Renungan

Kamis, 31 Oktober 2013

Tafsir Q.S. al-Baqarah : 142-144

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (144)
Artinya : Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus" (142) Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (143) Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (144). (Q.S. al-Baqarah : 142-144)

Tafsirnya :
1.    Cemoohan kaum kafir atas perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah merupakan cemoohan dari orang-orang bodoh dan kurang akalnya. Karena itu, tidak boleh dipegang perkataannya.

2.    Semua arah merupakan milik Allah Ta’ala. Karena itu, tidak dapat dicela perpindahan arah kiblat dari satu arah kepada arah lainnya.

3.     Perpindahan arah kiblat merupakan ujian terhadap keimanan manusia, sehingga akan nampak siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya berpura-pura.

4.    Ka’bah merupakan arah kiblat bapak dari para nabi-nabi. Karenanya, Allah menghimpunkan hati manusia atasnya.

5.    Makna “Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” adalah Allah tidak menyia-nyiakan shalatmu. Hal ini karena sepakat ulama bahwa ayat ini diturunkan pada orang-orang yang sudah meninggal dunia, sedangkan mereka shalat menghadap ke arah Baitul Muqaddis. Diriwayat dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan :
“Manakala Nabi SAW diperintah menghadap ka’bah dalam shalatnya, mereka mengatakan, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan saudara-saudara kami yang sudah meninggal dunia, sedangkan mereka shalat menghadap Baitul Muqaddis ? Maka Allah Tala’a-pun menurunkan ayat : “Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”.[1]

6.    Ahlul kitab mengetahui perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah merupakan kebenaran, tetapi mereka mengingin menyebarkan fitnah kepada orang-orang beriman.

7.    Hukum-hukumnya :
a.       Sepakat para ulama bahwa Ka’bah merupakan kiblat umat Islam dalam shalatnya dan perintah menghadapnya dalam shalat bermakna perintah wajib. Menghadap kiblat merupakan fardhu shalat dan tidak sah shalat tanpanya kecuali pada shalat khauf dan pada shalat sunat di atas kenderaan. Ini berdasarkan hadits Nabi riwayat Ahmad, Muslim dan Turmidzi :
ان النبي صلعم كان يصلي علي راحلته حيثما توجهت به وفيه نزلت (فاينما تولوا فثم وجه الله)
“Sesungguhnya Nabi SAW shalat di atas kenderaannya kemana kenderaannya menghadap. Pada waktu itu turun ayat  “Kemana kamu menghadap, maka di sana wajhullah” (H.R. Ahmad, Muslim dan Turmidzi)[2]

b.      Terjadi perbedaan pendapat ulama, apakah wajib menghadap ‘ain Ka’bah atau arah Ka’bah. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat wajib menghadap ‘ain Ka’bah, sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tidak wajib menghadap ‘ain Ka’bah, tetapi yang wajib adalah arah Ka’bah (jihah). Perbedaan pendapat ini apabila orang yang shalat berada pada lokasi yang tidak dapat menyaksikan Ka’bah dengan mata kepala. Adapun apabila berada pada lokasi yang dapat menyaksikan Ka’bah dengan mata kepala, maka mereka ijmak bahwa menghadap ‘ain Ka’bah merupakan kewajiban.

c.       Dalil golongan Syafi’iyah dan Hanabilah, antara lain :
-          Dhahir bunyi al-Baqarah : 144 di atas. Perintah yang berbunyi : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka’bah).” dhahirnya wajib menghadap wajah orang yang shalat kepada ‘ain Ka’bah.
-          Hadits Usamah bin Zaid, beliau berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا دَخَلَ الْبَيْتَ، دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا، وَلَمْ يُصَلِّ فِيهِ حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ فِي قُبُلِ الْبَيْتِ رَكْعَتَيْنِ، وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ
“Sesungguhnya Nabi SAW tatkala masuk ke Ka’bah berdoa di sudut-sudutnya, tidak shalat di dalamnya sehingga beliau keluar. Tatkala keluar, beliau shalat dua raka’at menghadap Ka’bah. Kemudian beliau berkata : “Ini adalah kiblat.” (H.R. Muslim)[3]

-          Ijmak ulama wajib menghadap ‘ain Ka’bah apabila berada pada lokasi yang dapat menyaksikan Ka’bah dengan mata kepala,[4] maka demikian juga apabila berada dalam lokasi yang jauh yang tidak dapat menyaksikan Ka’bah dengan mata kepala. Hanya perbedaannya : yang pertama wajib dengan cara yakin, sedangkan yang kedua boleh dengan cara dhan melalui ijtihad.

d.      Dalil golongan Hanafiyah dan Malikiyah, antara lain :
-          Dhahir firman Allah : Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” . Allah tidak mengatakan “arah Ka’bah”. Maka siapa saja yang menghadap sebagian dari Masjidil Haram sudah melaksanakan kewajibannya, baik yang dihadap itu bertentangan dengan ‘ain Ka’bah atau tidak.
-          Penduduk Quba-Madinah shalat Subuh menghadap Baitul Maqdis (membelakangi Ka’bah), tiba-tiba datang orang mengatakan bahwa kiblat sudah berpindah ke arah Ka’bah. Seketika itu juga mereka dalam shalatnya berbalik menghadap Ka’bah tanpa mencari petunjuk kemana arah ‘ain Ka’bah. Nabi SAW sendiri mendengar berita itu tidak mengingkarinya.[5]

e.       Perbedaan pendapat di atas juga berlaku pada keshahihan shalat di atas Ka’bah. Pendapat yang mengatakan kiblat adalah arah Ka’bah berpendapat boleh shalat atas Ka’bah, karena arah Ka’bah dari bawah bumi sampai ke atas langit adalah kiblat. Sedangkan golongan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak sah, karena tidak ada ‘ain Ka’bah yang menjadi kiblatnya.[6]




[1] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 121
[2] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 124
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 968, No. Hadits : 395
[4] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 125
[5] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 126
[6] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 128

Kamis, 24 Oktober 2013

tanda isim dan mubtada isim nakirah


asslkm.
Tgk..sy ingin menanyakan tetang irab mubtada,. Apakah isim bilangan yg nakirah bs diirab kemubtada'k sperti contoh didlm ktb fathul qarib Jz I pasal shalat mayit :"wa itsnaini la yuphsalaani ...ilakh" semetara dia tdk ma'rifah dn tdk melengkapi syarat lain, mhn bntuan tgk.

Prtanyaan ke2: dalam ktb kawakib duriyah tanda2 isim banyak tp yg disebutkn contoh cuma yg 5 saja, tgk mhn uraiannya tanda2 isem yg lain berserta sumber@,.trm ksh

.
Jawab :
1.      Isim nakirah boleh menjadi mubtada apabila disifatkan dengan suatu sifat (menjadi man’ut). Pada contoh yg tgk sebutkan di atas, jumlah “laa yughshalani” na’at kepada “itsnaani”, sedangkan “al-syahid” adalah kabarnya (kalau mengikuti matannya saja) dan kalau mengikuti matan bersama syarahnya, maka yang menjadi khabarnya adalah jumlah “ahaduhuma dan al-syahid” (jumlah mubtada dan khabarnya). Dengan demikian, “isnaani” tidak menjadi masalah kalau menjadi mubtada.

2.      Tanda2 isim selain yang disebut dalam kitab kawakib, di antaranya al-nida’ seperti Ya Zaid, (al-khuzari ‘ala Ibnu Aqil, Juz. I, Hal. 61), idhafah, kembali zhamir kepadanya, jamak, tashghir, badal (ganti) dari isim sharih seperti kaifa anta a shahih am saqim, muwafaqat bagi lafazh yang diitsbatkan sebagai isim pada lafazh (muwaqat pada lafazh) atau pada maknanya (muwaqat pada maknanya) (al-khuzari ‘ala Ibnu Aqil, Juz. I, Hal. 18)

3.      Dalam kitab al-asybah wal nadhair fi nahwi, karya al-suyuthi (bukan kitab al-asybah wal nadhair tentang qawaid al-fiqh) ditambah lagi, antara nya : isyarah kepada musammaa-nya, tatsniah, tazkir, ta’nih, dihubungkan ya nisbah, dapat menjadi fa’il atau maf’ul, masuk lam ibtida’ dan waw hal, keadaannya isim dhamir, isim alam, mufrad, nakirah, tamyiz dan manshub secara hal. (al-asybah wal nadhair fi nahwi, Juz. II, Hal. 8)

Senin, 07 Oktober 2013

waktu mengqadha shalat yang ditinggalkan karena sengaja

Assalamualaikum Tgk Alizar,

Mohon Tgk membantu dalam soal qadha solat fardhu yang tertinggal dgn sengaja (tanpa uzur syar'i).
Saya difahamkan: 1) Ijmak Ulama WAJIB SEGERAKAN QADHA'
2) Qaul Muktamad Mazhab Syafie juga WAJIB SEGERAKAN QADHA'
Seperti di ibaratkan dalam kitab-kitab besar dan kecil Mazhab Syafie' maupun bahasa Arab atau Melayu seperti: Syarah Manhaj at-Thulab, Ia'nah Tholibin,Majmu', Sabilal Muhtadin dan sebagainya.

Soalnya: Apakah ada dalam Mazhad Syafie Qaul Dhaif yang SUNAT SAHAJA DISEGERAKAN QADHA'? Yang boleh dipegangi oleh orang-orang awam yang lemah?

Terimakasih..
Jawaban

  1. alaikum salam wr wb
    Dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab disebutkan, dalam hal qadha shalat yang ditinggalkan secara sengaja terdapat dua pendapat ulama syafi’iyah :
    Pertama : sunnat diqadha secara segera dan boleh ditunda qadhanya. Ini merupakan pendapat yang dianggap lebih shahih di sisi ulama syafi’iyah di Iraq.
    Kedua : wajib qadha secara segera. Ini merupakan pendapat ulama syafi’iyah di Khurasan. Namun kebanyakan ulama syafi’iyah Khurasan mengatakan, tidak ada pendapat dalam mazhab syafi’i kecuali pendapat ini, bahkan Imam al-Haramain telah mengutip adanya kesepakatan para tokoh-tokoh ulama syafi’iyah terhadap pendapat kedua ini. Kemudian Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ini mengatakan, pendapat Imam Haramain ini merupakan pendapat shahih, karena sikap sengaja meninggalkan shalat dan lagi pula orang meninggalkan shalat secara sengaja hukumannya adalah bunuh, jadi kalau qadhanya boleh ditunda, maka tentu tidak dapat dijatuhi hukumannya.
    (al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz. III, Hal. 74)
    Berdasarkan penjelasan al-Nawawi di atas, maka pendapat sunnat qadha secara segera, bukan wajib bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, merupakan pendapat muqabil shahih (lawan pendapat shahih). Dengan demikian pendapat sunnat qadha secara segera tersebut sangatlah dha’if. karenanya tidak boleh diamalkan berdasarkan tarjih al-Nawawi di atas.

    wassalam

Rabu, 02 Oktober 2013

Kisah ‘Auj Bin Unuq

Diantara kisah yang paling sering disebut-sebut oleh umat Islam adalah kisah mengenai ‘Auj bin Unuq. Kisah ini juga terdapat dalam beberapa kitab tafsir yang sering dibaca umat Islam.

Ciri-ciri Auj bin Unuq dan perilakunya yang disebut-sebut dalam kitab-kitab tafsir dan sejarah.

1. Dalam rangka menjelaskan kisah Auj Bin Unuq sebagai kisah dusta, Ibnu Katsir menyebutkan berdasarkan kisah-kisah yang disebut tukang cerita bahwa Auj Bin Unuq tersebut mempunyai ciri-ciri berikut :
a.       ‘Auj bin Unuq lahir sebagai anak zina dari seorang ibu yang bernama ‘Unuq binti Adam.
b.      Sudah ada sebelum zaman Nuh dan tetap hidup sampai zaman Nabi Musa.
c.       Saat lapar, dia mengambil ikan dari dasar laut dan memanggangnya pada matahari.
d.      Dia memperolok-olok Nabi Nuh yang membuat kapal dengan mengatakan : “Apakah ini mangkokmu ?”
e.       Dia seorang kafir, fasiq, keras kepala dan sombong.
f.       ‘Auj bin Unuq panjangnya mencapai 3333 1/3 hasta.[1]

2.    Ibnu Munzir dalam tafsirnya dengan sanad dari Ibnu Umar mengatakan, panjang ‘Auj Bin Unuq 13 ribu hasta, berasal dari kaum ‘Aad, pagi dan malam bersama matahari.

3.    Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir-nya dengan sanad dari Ibnu Mas’ud mengatakan, Musa a.s. panjangnya dua belas hasta, panjang tongkatnya dua belas hasta dan jauh lompatannya dua belas hasta, namun ketika Musa a.s. memukul ‘Auj Bin Unuq, maka tidak sampai kecuali hanya pada mata kaki ‘Auj Bin Unuq.

4.    Syeikh Ibnu Hayyan dalam kitab al-‘Udhmah dengan sanad dari Ibnu Abbas mengatakan, yang paling pendek kaum ‘Aad adalah tujuh puluh hasta dan sepanjang-panjangnya adalah seratus hasta, sedangkan panjang Musa a.s. tujuh hasta dan panjang tongkatnya tujuh hasta serta jauh lompatannya ke udara tujuh hasta. Musa hanya mendapatkan mata kaki ‘Auj, lalu membunuhnya.

5.    Riwayat Ibnu Munzir, al-Thabrani dan Syeikh Ibnu Hayyan di atas telah dikutip oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Hawi lil Fatawa. Disamping itu al-Suyuthi juga menyebut beberapa riwayat lain yang satu sama lainnya versinya berbeda.[2]

Bagaimana kedudukan kisah ini, shahihkah atau justru palsu ?
Berikut ini keterangan ulama mengenai kedudukan kisah di atas, yaitu :
1.    Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Haditsiyah mengatakan :
“Al-Hafizh al-‘Imad ibn al-Katsir mengatakan, Kisah ‘Auj bin Unuq dan semua yang diceritakan tentangnya adalah cerita ngawur yang tidak ada asalnya. Kisah tersebut diada-adakan kaum zindiq dari ahlul kitab, padahal itu tidak ada sama sekali pada masa Nuh, karena orang kafir tidak ada yang selamat dari banjir zaman Nuh.”[3]

2.    Pendapat Ibnu Katsir yang dikemukakan Ibnu Hajar al-Haitamy pada point pertama di atas merupakan pendapat yang dikemukakan Ibnu Katsir dalam kitabnya, al-Bidayah wal-Nihayah. Selanjutnya dalam al-Bidayah wal-Nihayah Ibnu Katsir menyebutkan argumentasi kepalsuan kisah Auj bin Unuq ini, sebagai berikut [4] :
a.       Bertentangan dengan akal.
Bagaimana bisa mungkin Allah membiarkan selamat ‘Auj bin Unuq yang kafir, fasiq, keras kepala dan sombong, sementara Allah Ta’ala mencelakakan anak Nabi Nuh karena kekafirannya, anak seorang nabi ummat dan pemimpin orang-orang beriman. Bagaimana bisa mungkin Allah membiarkan selamat ‘Auj bin Unuq dengan sifat-sifatnya yang keji di atas, sementara Allah tidak memberi rahmat kepada seorangpun yang tidak naik kapal bersama Nuh, tidak memberi rahmat kepada ibu bayi dan juga tidak kepada bayinya. Kisah Allah juga menenggelamkan ibu bayi bersama bayinya dalam banjir zaman Nuh disebut dalam riwayat Abu Ja’far Ibnu Jarir dan Abu Muhammad bin Abi Hatim dalam tafsir keduanya.[5]
b.      Bertentangan dengan nash syara’.
a). Firman Allah Ta’ala :
ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ
“Kemudian Kami tenggelamkan orang-orang yang lain.” (Q.S. al-Shafaat : 82)

b). Firman Allah Ta’ala :
رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا
 “Nuh berkata: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara  orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Q.S. Nuh : 26)

Kedua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa tidak ada yang selamat pada banjir zaman Nabi Nuh kecuali yang naik kapal bersama Nuh, apalagi apa yang dinamai dengan nama ‘Auj bin Unuq yang kafir, fasiq, keras kepala dan sombong,
 c).Dikisahkan bahwa ‘Auj bin Unuq panjangnya mencapai 3333 1/3 hasta. Keterangan ini bertentangan dengan hadits dalam Shahihaini, yakni Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، ثُمَّ لَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ
    “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dimana panjangnya adalah enam puluh hasta, kemudian senantiasa makhluq itu kurang panjangnya sampai dengan sekarang. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada seorangpun keturunan Adam yang melebihi ukuran panjangnya dari pada Adam sendiri. Sedangkan dalam kisah ‘Auj bin Unuq disebut bahwa panjangnya mencapai 3333 1/3 hasta.

3.    Dalam kitab al-Asrar al-Marfu’ah fil-Akhbar al-Maudhu’ah, karya Mulla ‘Ali Qari seorang ahli hadits bermazhab Hanafi disebutkan :
“Tidak mengherankan keberanian seperti ini pada sipendusta atas Allah, tetapi yang mengherankan adalah orang-orang yang memasukkan hadits ini (kisah ‘Auj bin Unuq) dalam kitab-kitab ilmu tafsir dan lainnya, padahal tidak dijelaskan kedudukan hadits itu.”[6]

4.    Namun al-Suyuthi setelah menyebut beberapa riwayat kisah ‘Auj bin Unuq ini sebagaimana telah kami kemukakan di atas, pada ujungnya beliau berkomentar :
“Yang mendekati mengenai ‘Auj bin Unuq ini merupakan sisa dari kaum ‘Aad. panjangnya secara global adalah seratus hasta atau sekitar itu, tidak dengan panjang yang telah disebutkan dan Musa a.s. telah membunuhnya dengan tongkatnya. Ukuran ini merupakan ukuran yang kemungkinan dapat diterima. Wallahua’lam.”[7]




[1] Ibnu Katsir, al-Bidayah wal-Nihayah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal.  266
[2] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 342
[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 133
[4] Ibnu Katsir, al-Bidayah wal-Nihayah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 266-267
[5] Ibnu Katsir, al-Bidayah wal-Nihayah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 265-266
[6] Mulla ‘Ali Qari, al-Asrar al-Marfu’ah fil-Akhbar al-Maudhu’ah, Maktabah al-Islami, Hal. 426
[7] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 343