Renungan

Kamis, 15 Mei 2014

Hadits tidak sah nikah kecuali oleh wali


1.        Hadits dari Aisyah r.a. berbunyi :
أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا نِكَاح إِلَّا ولِي وشاهدي عدل وَمَا كَانَ من نِكَاح عَلَى غير ذَلِك فَهُوَ بَاطِل فَإِن تشاجروا فالسلطان ولي من لَا ولي لَهُ رَوَاهُ ابْن حبَان فِي صَحِيحه وَقَالَ لَا يَصح فِي ذكر الشَّاهِدين غَيره
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Tidak pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian, maka batil. Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali orang-orang yang tidak mempunyai wali. (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Beliau mengatakan, tidak ada hadits yang shahih dalam penyebutan dua orang saksi kecuali hadits ini.)[1]

2.        Dari Amran bin Hushain r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
Artinya : Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi. 

Hadits ini telah diriwayat oleh Ahmad dalam musnadnya, Baihaqi, al-Thabrani, Darulquthni dan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mengatakan, hadits ini meskipun munqathi’, tetapi kebanyakan ahli ilmu berpendapat dengan kandungan hadits tersebut.[2]

Terjadi khilaf ulama dalam hal kedudukan wali dalam pernikahan. Kalangan Hanafiyah tidak mensyaratkankan wali untuk keabsahan nikah, sebaliknya,  kebanyakan fuqaha berpendapat tidak sah nikah kecuali dengan wali. Perbedaan ini karena tidak ada nash al-Kitab yang tegas tentang persyaratan wali dalam suatu pernikahan. Adapun hadits Nabi SAW yang diantaranya hadits-hadits di atas, terjadi khilaf dalam hal keshahihannya. Ulama yang berpendapat tidak sah nikah kecuali dengan wali, menjadikan dhahir kandungan hadits-hadits tersebut sebagai hujjah tidak sah nikah kecuali dengan wali, sedangkan kalangan Hanafiyah berpendapat hadits-hadits tersebut lemah, karena itu tidak dapat menjadi hujjah dan kalaupun shahih, hadits-hadits tersebut dipahami sesuai dengan pendapat mereka, bukan sebagaimana dhahirnya.[3]

3.        Dari Abu Hurairah r.a. berkata :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَا تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى تُسْـتَأْذَنَ قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا  قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ
Artinya : Bahwa Rasulullah bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam." (Muttafaq Alaihi.)[4]

Telah sepakat ahli lughat, bahwa “al-ayyam” apabila disebut secara mutlaq menurut bahasa bermakna perempuan yang tidak bersuami, baik dia masik kecil atau sudah dewasa. Namun dalam memaknainya dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat. Ulama Hijaz dan umumnya para fuqaha berpendapat maksudnya itu adalah janda dengan berdalil kepada riwayat lain yang disebut dengan perkataan “al-tsaib” (janda) sebagaimana hadits di bawah ini (nomor 4). Pendapat ini juga didukung rangkaian hadits,  dimana disebutkan perkataan ‘al-ayyam” pada muqabalah “al-bikr” (gadis) dan juga penggunaan perkataan “al-ayyam” kepada makna janda lebih banyak dibandingkan makna lain. Para ulama Kufah dan Zafar memaknai “al-ayyam” dalam hadits di atas dengan makna semua perempuan yang tidak bersuami, baik gadis maupun janda. Mereka mengatakan, setiap perempuan yang sudah baligh, maka dia lebih berhak dari walinya, aqad nikah siperempuan atas dirinya sendiri adalah shahih dan wali bukanlah rukum nikah, tetapi hanya kesempurnaannya. Ini merupakan pendapat al-Sya’bi dan al-Zuhri. Al-Auza’i, Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan, ketergantungan sah nikah atas persetujuan wali.[5]
Para ulama juga berbeda pendapat dalam hal minta izin kepada anak gadis tentang pernikahannya. Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq dan lainnya mengatakan, meminta izin kepada anak gadis merupakan perintah, namun jika walinya adalah ayah dan kakek, maka hukumnya hanyalah anjuran, bukan wajib, karena sempurna kasih sayang keduanya. Adapun apabila walinya selain ayah dan kakek, maka wajib meminta izin kepadanya dan tidak sah nikah sebelum ada izinnya. Al-Auza’i, Abu Hanifah dan ulama Kufah lainnya mengatakan, wajib minta izin pada setiap gadis yang sudah baligh.[6]

4.        Dari Ibnu Abbas r.a. berkata :
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ  اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ , وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
Artinya : Bahwa Nabi SAW bersabda: "Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya dan seorang gadis diajak berembuk, dan tanda izinnya adalah diamnya." (H.R. Muslim.)[7]

            Pengertian “seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya” masih berkemungkinan bermakna ganda, yakni bisa bermakna lebih berhak dalam aqad dan lainnya seperti izin sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Daud. Akan tetapi juga bisa bermakna lebih berhaq dalam hal izin saja, sehingga tidak sah dinikahkan seorang janda kecuali dengan izinnya, namun sebagai pihak yang menikahkan tetap berada pada tangan si wali. Pendapat ini sesuai dengan hadits : “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” di atas dan juga hadits Abu Hurairah r.a, beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda: "Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan dirinya.(H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.)[8]






[1] Ibnu al-Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ‘ala Adallah al-Minhaj, Darul Hira’, Makkah, Hal. 363-364, No. Hadits : 1427
[2] Ibnu al-Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 542.
[3]. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha keluarga, Semarang, Juz. II, Hal. 6-9
[4] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 297
[5] Al-Nawawi. Syarah Muslim, Penerbit. Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 291
[6] Al-Nawawi. Syarah Muslim, Penerbit. Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 292
[7] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 297-298
[8] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 298

Rabu, 14 Mei 2014

Sujud Sahwi Karena Lupa Qunut


Pertanyaan :
12 May 14, 05:52 AM
apa kabar Tuan Guru TGK Alizar, mudah2an selalu sehat, aamiin. Maaf Tgk, saya ada pertanyaan lg, apakah benar sujud sahwi yg dilakukan krn meninggalkan qunut subuh itu diharamkan?

Jawab :
Sebagaimana dimaklumi menurut mazhab Syafi’i, qunut merupakan amalan yang disunnatkan dalam shalat Subuh. Apabila qunut ini lupa dibaca pada tempat pembacaannya, yakni waktu melakukan i’tidal, maka disunnatkan sujud sahwi sebagai penggantinya. Anjuran sujud sahwi ketika tertinggal qunut ini berdasarkan analogi (qiyas) kepada anjuran sujud sahwi pada ketika tertinggal tasyahud awal dalam shalat dengan ‘illah (alasan hukum) sama-sama merupakan amalan sunnat maqshudah, sehingga perlu ditempel dengan sujud sahwi. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tidak haram sujud sahwi karena meninggalkan qunut subuh, bahkan itu dianjurkan.
Yang dimaksud dengan sunnat maqshudah adalah amalan sunnat dalam shalat yang berdiri sendiri, bukan sebagai penyempurna amalan lain. Ini berbeda dengan takbir, tasbih, jihar, duduk tawarruk dalam tasyahud akhir, duduk iftiras dalam duduk tahyat awal dan lainnya.[1] Takbir merupakan zikir intiqalat (berpindah) dari satu rukun kepada rukun lain, tasbih merupakan zikir untuk menyempurnakan ruku’ dan sujud dan seterusnya.
Adapun dalil yang menjelaskan kepada kita sunnat sujud sahwi apabila tertinggal tasyahud awal antara lain adalah hadits Abdullah bin Buhainah berbunyi :
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ثم قام فلم يجلس فقام الناس معه فلما قضى صلاته وانتظرنا تسليمه كبر فسجد سجدتين وهو جالس قبل التسليم ثم سلم.
Artinya : Rasulullah SAW shalat dengan kami dua raka’at. Kemudian beliau berdiri dan tidak duduk. Orang-orangpun berdiri mengikuti beliau. Tatkala beliau menyelesaikan shalatnya dan kami menunggu bacaan salam beliau, maka beliau bertakbir dan sujud dua kali dan beliau duduk sebelum salam dan kemudian baru melakukan salam.(al-imam al-sittah)[2]

Al-Khutabi mengatakan bahwa hadits ini termasuk dalam hadits mu’tamad (menjadi pegangan) para ahli ilmu [3]  Dalam hadits ini, Rasulullah SAW meninggalkan tasyahud awal karena lupa, namun beliau tidak mengulanginya lagi, tetapi hanya beliau melakukan sujud sahwi.
Dalam kitab beliau, al-Muhazzab, al-Syairazi, mengatakan :
والثانى أن يترك القنوت ساهيا فيسجد للسهو لانه سنة مقصودة في محلها فتعلق السجود بتركها كالتشهد الاول
“Yang kedua, seseorang meningalkan qunut dalam keadaan lupa, maka hendaknya ia sujud sahwi, karena qunut merupakan sunnat maqshudah pada tempatnya, karena itu dihubungkan sujud dengan sebab meninggalkannya sama seperti tasyahud awal.[4]

Catatan :
Kitab al-Muhazzab merupakan matan dari kita Majmu’ Syarh al-Muhazzab karya Imam al-Nawawi seorang ulama besar dari kalangan mazhab Syafi’i.



[1] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (Dicetak dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab), terbitan : Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. IV, Hal. 52
[2] Jamaluddin al-Zaila’i, Takhrij Ahadits al-Kasyaf, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 297
[3] Al-Khuthabi, Ma’alim al-Sunan, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 238
[4] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (Dicetak dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab), terbitan : Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. IV, Hal. 52

Kamis, 08 Mei 2014

Maquulaat Sepuluh


Pertanyaan dari T. masykur:
assalam alaikum,, guree neutulong peujeulas tentang masaalah ma'quulat siploh

Jawab :
‘Alaikumussalam wr.wb.
Penulisan yang benar adalah maquulaat tanpa huruf ‘ain, bukan ma’quulaat. Kemudian sebagaimana dimaklumi bahwa alam ini terdiri dari dua katagori besar, yaitu jauhar dan ‘aradh. Jauhar sering didevinisikan dengan sesuatu yang berdiri sendiri tidak membutuhkan kepada selainnya seperti seorang manusia, sebaliknya ‘aradh ia membutuhkan selain dirinya, karena ia tidak dapat berdiri sendiri secara mandiri, karena ia merupakan sifat yang membutuhkan zat tempat berdiri dirinya. Contoh ‘aradh adalah warna yang berdiri pada suatu benda, tentu kita tidak dapat membayangkan ada suatu warna yang dapat berdiri sendiri tanpa bersifat pada suatu benda. Karena itu warna termasuk ‘aradh. Nah, dari dua katagori inilah munculnya pembagian-pembagiannya yang biasa disebut dengan maquulaat sepuluh. Ahmad Zaini Dahlan (seorang ulama Makkah dari kalangan Syafi’iyah mutaakhirin) mengatakan dalam kitab beliau, al-Risalah fi al-Maquulaat sebagai berikut :
“Ketahuilah, bahwa ulama mutakallimun membagikan maujud yang baharu kepada jauhar dan ‘aradh, kemudian ‘aradh tersebut dibagi kepada sembilan, yaitu kam, kaif, idhafah, mataa, aina, wazha’, milk, fi’l dan infi’al. mereka menamakan yang sembilan ini bersama-sama dengan jauhar sebagai maquulaat sepuluh.”[1]

Berdasarkan keterangan Ahmad Zaini Dahlan di atas, maka maquulaat sepuluh itu adalah jauhar, kam, kaif, idhafah, mataa, aina, wazha’, milk, fi’l dan infi’al.
Berikut ini beberapa pengertian maquulaat yang dikemukakan oleh beberapa penulis, yakni sebagai berikut :
1.    Pengertian yang dikemukakan Ahmad bin Ahmad bin Muhammad al-Sajaa’i (beliau juga pengarang kitab Hasyiah ‘ala Syarh Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Hisyam al-Anshary bagi kitab muqaddimahnya yang bernama Qathrunnidaa, sebuah kitab nahu yang menjadi kitab kurikulum sebagian dayah Aceh), yakni :
“Maquulaat merupakan jamak dari maquulah, menurut istilah hukama bermakna jenis-jenis tertinggi yang maujud menurut menurut mereka.”[2]

2.    Pengertian yang dikemukakan Ahmad Zaini Dahlan dalam kitabnya, al-Risalah fi al-Maquulaat, yakni :
“Maquulaat jama’ dari maquul dengan makna al-mahmul (obyek dalam sebuah qadhiyah). Karenanya, setiap yang menjadi al-mahmul kepada sesuatu, maka mestilah salah satu dari maquulaat sepuluh ini, karena mereka telah menjadikan maquulaat-maquulaat ini sebagai jenis tertinggi bagi maujud yang mungkin wujud.”[3]

Pengertian yang dikemukakan oleh penulis-penulis lainnya adalah makna yang bersifat kulliyaat (universal) diungkapkan dengan suatu perkataan, baik bersifat ijab (positif) maupun salab (negatif). Ada yang mendevinisikan makna yang bersifat kulliyat yang memungkinkan menjadi al-mahmul (obyek dalam sebuah qadhiyah) dalam sebuah qadhiyah (sebuah kalam yang sempurna). Devenisi lain menyebutkan, maquulaat adalah pemahaman, makna dan konsep yang maujud dalam pemikiran manusia.
Ahmad bin Ahmad bin Muhammad al-Sajaa’i  telah menyebut sepuluh maquulaat dalam bentuk nadham,[4] sebagai berikut :
إنَّ  المَقُولاَتِ  لَدَيْهِمْ  تُحْصَــــــرُ         في الْعَشْرِ وَهْيَ عَرَضٌ وَجَوْهَــــرُ
فَأَوَّلٌ    لَهُ    وُجُودٌ     قامَــــــــا         بِالْغَيْرِ  وَالثَّانِي   بنفس   دَامَــــا
مَا يَقْبَلُ الْقِسْمَةَ بالذَّاتِ فَكَمّْ                 وَالْكَيْفُ غَيْرُ قابِلٍ بِهَا  أرْتَسَمْ
أيْنٌ حُصُولُ الْجِسْمِ في المَكانِ            مَتَى حُصُولٌ  خُصَّ  بِالأزْمَــــــانِ
وَنِسْبَةٌ     تَكَرَّرَتْ     إضَافَـةْ            نَحْوُ    أبُوَّةٍ    إخا     لَطَــــــــافَهْ
وَضْعٌ  عُرُوضُ  هَيْئَةٍ   بِنِسْبَــــةِ        لِجُزْئِهِ     وَخَارِجٍ      فَــــــــأَثْبِتِ
وَهَيْئَةٌ   بِمَا   أحَاطَ   وَانْتَقَــــلْ          مِلْكٌ كَثَوْبٍ أو إهَابٍ اشْتَــــــمَلْ
أنْ  يَفْعَل  التَّأْثِيرُ  أنْ   يَنْفَعِــلاَ          تَأثُّرٌ   مَا   دَامَ  كُلٌّ  كَمَلاَ
Sesungguhnya maquulat disisi ulama terbagi kepada sepuluh, yaitu ‘aradh dan Jauhar.
Yang pertama bermakna sesuatu yang berwujud dengan sebab yang lain. Sedangkan yang kedua tsubut (exist) dengan sendirinya. 
‘Aradh yang menerima pembagian dengan i’tibar zatnya disebut dengan “kam”, sedangkan “al-kaif”didevinisikan dengan yang tidak menerima pembagian dengan i’tibar zatnya
“Aina”keberadaan jisim dalam tempat, “Mataa” keberadaan yang khusus kepada zaman.
Nisbah yang berulang-ulang adalah idhafah seperti abuwwah (keayahan), persaudaraan dan kecil.
Wazha’ adalah sifat yang datang dengan i’tibar bagian-bagiannya dan yang di luar darinya, maka tetapkanlah.
Keadaan dengan sesuatu yang meliputinya dan dapat berpindah-pindah adalah milik, seperti pakaian atau kulit
Sedangkan fi’l adalah memberi bekas (ta’tsir) dan adapun infi’al menerima ta’tsir selama kekal keduanya itu. Sempurnakanlah !

Berdasarkan bacaan penjelasan terhadap nadham di atas, terutama kitab al-Sajaa’i, al-Jawahir al-Muntadhimaati fi ‘Uqud al-Maquulaat dan penjelasan tentang maquulaat sepuluh oleh Ahmad Zaini Dahlan dalam al-Risalah fi al-Maquulaat, Ahmad Zaini Dahlan dalam kitabnya Majmu’ah Khams Rasail (Hal. 22-28) dan bacaan lainnya, maka penjelasaan terhadap nadham di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Yang pertama bermakna sesuatu yang berwujud dengan sebab yang lain.”
Yang dimaksudkan “yang pertama” adalah ‘aradh yakni sesuatu yang tidak dapat maujud secara mandiri (istiqlal), karena kemaujudannya memerlukan zat lain seperti warna yang berdiri pada suatu benda, tentu kita tidak dapat membayangkan ada suatu warna yang dapat berdiri sendiri tanpa bersifat pada suatu benda

2.    “Sedangkan yang kedua tsubut (exist) dengan sendirinya.”
Yang dimaksudkan “yang kedua” adalah jauhar, yakni sesuatu yang mumkinaat yang kemaujudannya wujud dengan sendirinya tanpa memerlukan sesuatu yang lain, jadi berbeda dengan ‘aradh. contohnya manusia dan jisim lainnya.

3.    ‘Aradh yang menerima pembagian dengan i’tibar zatnya disebut dengan “kam”,
Jadi kam berbeda dengan al-kaif, dimana al-kaif juga menerima pembagian, tetapi bukan dengan zatnya, tetapi dengan perantaraan selainnya. Contoh kam adalah bilangan. Kam ini sebagaimana sering dijelaskan dalam kajian sifat dua puluh ada dua pembagian, yakni kam al-muttashil dan kam al-munfashil. Kam al-muttashil misalnya berbilang-berbilang juzu’ tubuh manusia, seperti tangan, mata dan lain-lain. Sedangkan kam al-munfashil berbilang-bilang manusia, artinya manusia terdiri dari jumlah yang banyak.

4.        “sedangkan “al-kaif”didevinisikan dengan yang tidak menerima pembagian dengan i’tibar zatnya”

Maksudnya, dengan i’tibar zatnya, al-kaif tidak dapat dibagi, meskipun dapat dibagi apabila ditinjau dari sisi lainnya. Misalnya ilmu berdasarkan pendapat yang mengatakan ilmu bermakna sebuah shurah (yang dapat digambarkan) yang berada dalam jiwa,[5] maka zat ilmu ini tidak dapat dibagi-bagi, kecuali i’tibar obyek ilmu (muta’allaq-nya). Jadi ilmu tentang berdiri Umar berbeda dengan ilmu tentang berdiri Zaid hanya berdasarkan tinjauan berdiri pada umar bukan ‘ain berdiri pada Zaid, sedangkan diri ilmu tetap satu, berbedanya hanya muta’allaq ilmu. Berdasarkan pengertian ilmu ini, maka ilmu termasuk maquulaat al-kaif. Dalam kitabmya, Majmu’ Khamsin Rasail, Ahmad Zaini Dahlan menjelaskan kepada bahwa al-kaif  merupakan suatu shurah yang berada dalam jiwa.[6]

5.        “Aina” keberadaan jisim dalam tempat”
Misalnya keadaan si Zaid atas tempat duduknya atau dalam rumah. Ini disebut maquulaat aina, karena ia jatuh pada jawab aina (dimanakah)

6.        “Mataa” keberadaan yang khusus kepada zaman.”

Misalnya keadaan puasa terjadi pada siang hari. Disebut sebagai maquulat mataa, karena jatuh pada jawab mataa (kapankah)

7.        “Nisbah yang berulang-ulang adalah idhafah seperti abuwwah (keayahan), persaudaraan dan kecil.”

Yang dimaksud dengan nisbah di sini adalah yang tidak dapat digambarkan kecuali dengan membandingkan dengan yang lain. Maksud berulang-berulang adalah nisbah pertama tidak dapat digambarkan kecuali dengan nisbah yang lain, demikian juga nisbah yang lain tersebut tidak dapat digambarkan kecuali dengan nisbah pertama. Misalnya sifat keayahan yang tidak tidak digambarkan kecuali membandingkan dengan anak, demikian juga ke-anak-an tidak dapat digambarkan kecuali dengan membandingkan dengan ayah. Demikian juga persaudaraan dan kecil sama dengan sifat keayahan.

8.        “Wazha’ adalah sifat yang datang dengan i’tibar bagian-bagiannya dan yang di luar darinya, maka tetapkanlah.”

Misalnya duduk, maka duduk disebut sebagai maquulaat wazha’ karena ia merupakan sifat makhluq dengan i’tibar bagian makhluq, yakni pinggulnya (bersimpuh dengan menggunakan pinggul) dan dengan i’tibar yang diluar dirinya, yakni sebagian dari bumi (tempat duduk)

9.        “Keadaan dengan sesuatu yang meliputinya dan dapat berpindah-pindah adalah milik, seperti baju atau kulit”

Ada dua kriteria ‘aradh sesuatu disebut maquulaat milik, pertama a’radh itu meliputinya dan yang kedua ‘aradh itu berpindah dengan sebab berpindahnya, misalnya baju atau kulit. Baju disebut maquulaat milik apabila dipakainya dan tentunya baju tersebut bisa berpindah dengan sebab berpindah pemakainya. Ini berbeda apabila baju tersebut diletakkan atas kepalanya, maka tidak disebut maquulaat milik, karena tidak meliputi badan pemakainya. Demikian juga apabila seseorang berada dalam tenda, meskipun meliputi seluruh tubuhnya, tetapi tenda tidak berpindah dengan sebab berpindah orang berada dalam tenda. Karena itu, tenda bukan maquulaat milik. Perlu dicatat bahwa baju disebut maquulaat milik adalah i’tibar keadaannya meliputi tubuh seseorang, adapun baju dengan i’tibar zatnya, maka baju itu bukanlah ‘aradh, maka ia bukan maquulat milik, karena maquulaat milik termasuk dalam pembagian ‘aradh. Baju dengan i’tibar zatnya termasuk jauhar.

10.    “Sedangkan fi’l adalah memberi bekas (ta’tsir) dan adapun infi’al menerima ta’tsir selama kekal keduanya itu. Sempurnakanlah !”

Contoh fi’l adalah sifat memanaskan yang ada pada api yang memberi bekas kepada air. Sedangkan keadaan air yang menerima panas disebut maquulaat infi’al.



[1] Ahmad Zaini Dahlan, al-Risalah fi al-Maquulaat, Hal. 1
[2] Al-Sajaa’i, al-Jawahir al-Muntadhimaati fi ‘Uqud al-Maquulaat, (nadham beserta syarahmya), Hal. 1
[3] Ahmad Zaini Dahlan, al-Risalah fi al-Maquulaat, Hal. 1
[4] Al-Sajaa’i, al-Jawahir al-Muntadhimaati fi ‘Uqud al-Maquulaat, (nadham beserta syarahmya), Hal. 1-18
[5] Ahmad Zaini Dahlan, Majmu’ Khamsin Rasail, Penerbit : al-Haramain, Hal, 23
[6] Ahmad Zaini Dahlan, Majmu’ Khamsin Rasail, Penerbit : al-Haramain, Hal, 22