Menurut
al-Zarkasyi, para ulama pengikut Syafi’i kadang-kadang menyebut asal dan dhahir, tetapi pada waktu
lain terkadang menyebutnya asal dan ghalib, sehingga seolah-olah dhahir dan
ghalib itu bermakna satu. Sebagian mereka membedakan antara keduanya, yakni
ghalib adalah sesuatu yang menguatkan zhan tetapi tidak nyata, sedangkan dhahir
adalah sesuatu yang muncul dengan cara kasat mata seperti keluar mani seorang
perempuan setelah berhubungan badan dan mandi.[1]
Satu jama’ah mutaakhirin dari Khurasaan sebagaimana dihikayah oleh al-Nawawi
menyebut bahwa setiap masalah yang terjadi pertentangan antara asal dan dhahir
atau pertentangan antara dua asal, maka pada masalah itu ada khilaf. Menurut
al-Nawawi penyebutan secara mutlaq ini tidaklah tepat, karena dalam mazhab
Syafi’i ada masalah yang diamalkannya karena mengikuti dhahir sesuatu tanpa
khilaf seperti mengamalkan kesaksian dua orang yang adil secara ijmak. Di sini tidak
ditinjau aspek asal, yakni bara-ah al-zimmah (asal sesuatu adalah lepas
tanggungjawab), dan kadang-kadang ada masalah yang diamalkannya dengan mengikuti
asal tanpa khilaf, seperti orang yang menduga berhadats, thalaq, merdeka atau
shalat tiga raka’at atau adakalanya empat, maka ini tidak ada khilaf dikalangan
ulama diamalkannya dengan mengikuti asal, meskipun dhahir adalah kebalikannya. Selanjutnya
al-Nawawi mengatakan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah apa yang telah
dibuat pembatasan (dhabith) oleh Ibnu al-Shalah, yakni “Apabila bertentangan
antara dua asal atau asal dan dhahir, maka wajib ada tarjih sebagaimana
pertentangan yang terjadi antara dua dalil. Karena itu, seandainya masih
terjadi taraddud (kemungkinan-kemungkinan), maka itu termasuk dalam masalah
khilafiyah. Namun apabila dalil dhahir lebih rajih, maka diamalkan dhahir tanpa
khilaf dan apabila dalil asal lebih rajih, maka diamalkan asal tanpa khilaf.”[2] Pada
kesempatan lain, setelah menyebut qaidah mendahulukan asal atas dhahir dan
contoh-contohnya, Imam al-Nawawi berkomentar, semua ini selama tidak disandarkan
dhan (yakni dhan dhahir) kepada sebab tertentu. Adapun apabila disandarkan
kepada sebab tertentu, seperti masalah kencing hewan dalam air banyak apabila
berubah, masalah kuburan yang diragukan penggaliannya, pakaian orang yang keyakinan
agamanya tidak ada masalah menggunakan najis dan lainnya, maka dalam hal ini
baginya ada hukum yang ma’ruf, yakni sebagiannya beramal dengan dhahir tanpa
khilaf seperti masalah kencing hewan dan kesaksian dua orang saksi, dimana
dalam dua kasus ini memberi faedah dhan dan dhan tersebut lebih didahulukan
atas asal terlepas tanggungjawab (bara-ah al-zimmah) dan sebagian lain beramal
dengan dhahir, tetapi ada khilaf sebagaimana contoh masalah kuburan dan
seumpamanya.[3]
Zainuddin
al-Malibary dalam bab bersuci dalam kitabnya, Fath al-Mu’in mengatakan, sesuatu
yang asalnya suci, kemudian kuat dhannya bernajis karena biasanya bernajis benda
yang sejenisnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang ma’ruf
(qaulain), yakni khilaf antara asal dan dhahir atau asal dan ghalib. Menurut pendapat
yang lebih rajih, hukumnya adalah suci sebab mengikuti amal dengan asal yang
yakin. Argumentasinya asal lebih ter-dhabith (terukur) dibandingkan ghalib yang
berbeda dengan sebab berbeda keadaan dan zaman. Mengomentari perkataan Fath
al-Mu’in di atas, pengarang I’anah al-Thalibin dalam Hasyiahnya atas Fath al-Mu’in
menjelaskan, beramal dengan asal, kedudukannya adalah apabila dhan najis
tersebut hanya disandarkan kepada kebiasaannya (ghalib). Adapun apabila tidak hanya
disandarkan kepada ghalib, maka diamalkan ghalib. Karena itu, apabila seekor
hewan kencing dalam air banyak dan air itu berubah, namun ragu-ragu sebab
berubahnya apakah penyebabnya kencing atau karena air lama mengendap , maka dihukum
najis sebab beramal dengan dhahir. Argumentasinya dhahir tersebut disandarkan
kepada sebab tertentu sama hal dengan dengan berita seorang yang adil.[4]
Adanya khilafiyah pada masalah
pertentangan asal dan dhahir, Al-Zarkasyi menyebutkan syarat-syaratnya sebagai berikut :
1.
Tidak
iththirad ‘adat (kebiasaan yang sifatnya tetap) yang menyalahi asal. Karena
itu, seandainya iththirad adat menyalahi asal, maka didahulukan dhahir atas
asal. Misalnya, menggunakan baja/tahi pada bejana tembikar. Dalam contoh ini dihukum
najis bejana, sebab didahulukan dhahir atas asal tanpa khilaf, karena sudah
ma’ruf bahwa bejana tersebut dibuat dari baja/tahi, meskipun asal bejana adalah
suci.
2.
Banyak
sebab dhahir. Karena itu apabila sebab dhahir nadir (jarang sekali terjadi),
maka tidak ditinjau aspek dhahirnya tanpa khilaf. Berdasarkan ini, para
pengikut Syafi’i sepakat boleh seseorang
menggunakan wudhu’nya apabila dia yakin pernah suci dengan wudhu’nya tersebut,
kemudian datang dugaan dia berhadats. Tidak berlaku pada masalah hadats ini khilaf
yang berlaku pada masalah yang menguatkan dhan bernajis. Perbedaannya, sebab
yang menjadi tanda pada najis banyak, sedangkan sebab pada hadats sedikit
3.
Tidak
ada pendukung (‘azhid) salah satunya. Karena itu, apabila ada yang dalil
mendukungnya, maka wajib mengikuti konsekwensi yang ditarjih berdasarkan dalil
pendukungnya itu. [5]
Dalam
Majmu’ Syarh al-Muhazzab, al-Nawawi mengatakan, dalil dalam bab ini, yakni
beramal atas dasar mengikuti asal dan tidak dapat dipengaruhi oleh
keragu-raguan dalam masalah air, hadats, pakaian, thalaq dan memerdekakan hamba
sahaya dan lainnya adalah sabda Nabi SAW di saat seorang sahabat yang mengadu
kepada beliau bahwa dia berhayal dan merasakan ada sesuatu pada ketika berada
dalam shalatnya. Nabi SAW bersabda :
لا ينصرف حتى
يسمع صوتا او يجد ريحا
Artinya : Jangan berpaling dari shalat sehingga mendengar suara
atau mendapati baunya. (H.R. Bukhari dan Muslim).[6]
Dalam
halaman berikutnya, al-Nawawi menambahkan, qaidah ini sifatnya iththirad
(mencakup semua cabang-cabangnya), sehingga tidak ada yang keluar darinya
kecuali sedikit masalah, itupun karena ada dalil yang mengkhususkannya,
sedangkan sebagian lain apabila ditahqiq, maka masuk dalam cabang qaidah ini
juga.[7]
Berdasarkan
uraian di atas, sesuai dengan pembagian al-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair[8]
dan al-Zarkasyi dalam al-Mantsur fi Qawaid,[9]
maka pembagian di sekitar masalah pertentangan asal dan dhahir ini ada empat pembagian,
yaitu :
1.
Ditarjih
asal secara pasti (jazm). Kriterianya :
asal itu hanya paradoks dengan ihtimal (kemungkinan) semata. Al-Zarkasyi
memberikan contohnya antara lain :
a.
Seseorang
meyakini sudah pernah suci, kemudian dia ragu apakah dia berhadats sekarang
atau tidak, atau dia sekarang menduga sudah berhadats, maka masih tetap dihukum
suci, karena beramal dengan asal.
b.
Seseorang
ragu dalam hal terbit fajar pada puasa Ramadhan. Maka orang ini masih boleh
makan sebelum datang keyakinan fajar sudah terbit.
c.
Seorang
isteri yang lama tinggal bersama suami mendakwa bahwa suaminya tidak pernah
memberikan nafkah dan pakaian yang wajib untuknya. Dakwaan isteri ini dapat
dibenarkan karena asalnya isteri selalu bersama suami dan pada adat kebiasaan
jarang sekali terjadi isteri tinggal tidak bersama suaminya.
2.
Ditarjih
dhahir secara pasti (jazm). Kriterianya
adalah dhahir tersebut :
a.
disandarkan
kepada sebab yang secara khusus diakui syara’ seperti kesaksian atau berita
seorang yang adil telah masuk waktu sebuah ibadah, najis air, pemberitahuan
seorang perempuan tentang haidnya dan telah lalu ‘iddah, meskipun asal pada
pada contoh-contoh ini kebalikannya. Contoh lain kekuasaan pada masalah dakwa,
dimana asalnya tentu tidak ada kepemilikan seseorang pada sebuah harta, tetapi
karena harta tersebut ada pada kekuasaan seseorang, maka dhahirnya orang yang
menguasainya adalah pemiliknya. Hal ini karena ada penegasan syara’ demikian
adanya.
b.
disandarkan
kepada sebab yang ma’ruf pada adat. Contohnya tanah dipantai sungai, dhahirnya
berserakan dan dapat mengalir kembali bercampur dalam air. Karena itu tidak
boleh mempersewanya, meskipun asalnya adalah tanah. Al-Zarkasyi memberi contoh
sebagaimana telah disebut di atas, menggunakan baja/tahi pada bejana tembikar,
hukum menggunakan bejana adalah najis, karena ma’ruf bejana tersebut dibuat
dengan menggunakan baja/tahi. Contoh lain yang disebut al-Zarkasyi adalah air
yang berasal dari tempat pemandian (hamam), dihukum najis karena iththirad
‘adat orang yang mandi kencing di dalamnya.
c.
ada
pada dhahir tersebut koondisi yang menjadi dalil pendukungnya, seperti masalah
kencing binatang kijang (kencing kijang yang dilihat dengan kasat mata dalam
air, kemudian air tersebut berubah, maka dihukum berubahnya itu karena kencing,
bukan karena air itu lama mengendap). Contoh lain, seorang yang sedang ihram
mengambil telur ayam dan dimasukannya bersama telur binatang buruan, kemudian
ternyata telur binatang buruan tersebut pecah, maka orang yang ihram ini wajib
membayarnya, karena dhahirnya telur binatang buruan pecah karena bercampur
dengan telur ayam, meskipun kita mengatakan asal sesuatu terlepas tanggung
jawab (bara-ah al-zimmah).
3.
Ditarjih
asal menurut pendapat yang lebih shahih. Kriterianya,
disandarkan ihtimal (kemungkinan-kemungkinan) dhahir kepada sebab yang
dha’if. Contohnya antara lain :
a. Sesuatu yang pernah diyakini suci, tetapi ghalibnya najis, maka ini
dihukum suci menurut pendapat yang lebih shahih, seperti bejana dan pakaian
orang-orang yang sering menyentuh khamar, tukang sembelih, kafir yang
berdasarkan agamanya tidak bermasalah dengan najis seperti Majusi, dan
orang-orang yang dhahirnya berbaur dengan najis dan tidak menghindarkan diri
dari najis, baik dia muslim maupun kafir. Contoh lain tanah pada lorong-lorong
jalan dan kuburan yang dibongkar selama tidak diyakini najis.
b. Seekor anjing memasukan kepalanya dalam bejana, kemudian
dikeluarkan mulut dalam keadaan basah dan tidak diketahui apakah anjing itu ada
menjilat air tersebut, maka air tersebut dihukum suci karena beramal dengan
asal menurut pendapat yang lebih shahih. Dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab
disebutkan, ini karena suci yakin,
sedang najis diragukan. Adapun basah-basah pada mulut anjing bisa jadi berasal
dari keringatnya, bukan dari bejana. Karena itu, ini berbeda dengan kasus
kencing hewan yang nampak pada kasat mata, yang menghasilkan keyakinan adanya
najis dan menjadi sebab dhahir air berubah.[10] Adapun
apabila mulut anjing tersebut dalam keadaan kering, maka dihukum suci tanpa
khilaf.
c. Jatuh seekor tikus dalam sumur, sebelum sampai kepada batasan
tertentu (batasan waktu dimana tikus menjadi mati. pen.) diambil tikus
itu dengan timba. Kuat dugaannya dalam sumur tersebut tidak mungkin tidak ada
bulu tikus yang tersisa, tetapi dia sama sekali tidak melihatnya, maka dihukum
suci air dalam sumur. (ini apabila air dalam sumur tidak sampai dua qullah)
d. Sepasang suami isteri pernah khalwat dalam sebuah kamar, kemudian
terjadi perselisihan antara keduanya. Isteri mengatakan dia pernah digauli oleh
suaminya, tetapi sisuami membantahnya. Menurut pendapat yang lebih shahih dibenarkan
perkataan suami, karena asalnya tidak ada digauli, meskipun dhahir dari khalwat
ada digauli pada kebiasaan.
4.
Ditarjih
dhahir atas asal menurut pendapat rajih.
Kriterianya, dhahir itu mempunyai sebab yang kuat dan ter-dhabit (dapat diukur).
Contoh-contohnya antara lain :
a. Setelah shalat atau ibadah lainnya, seseorang ragu dalam
meninggalkan rukun selain niat, maka menurut pendapat yang masyhur
keragu-raguannya itu tidak mempengaruhi apa-apa, karena dhahirnya telah berlalu
ibadah itu atas keshahihannya.
b. Setelah membaca al-Fatihah, ragu pada satu huruf atau perkataan
dari al-Fatihah tersebut, maka ini juga tidak pengaruhnya.
c. Berbeda pendapat antara dua pihak yang melakukan sebuah akad
tentang sah atau fasid akad tersebut, menurut pendapat yang lebih shahih
dibenarkan yang mendakwa sah akad, karena dhahirnya berlaku akad di antara
orang muslim sesuai dengan tuntunan syara’.
d. Setelah seorang isteri disetubuhi, kemudian setelah terpenuhi
syahwatnya dia mandi. Namun setelah itu, dari kemaluannya keluar mani
laki-laki. Menurut pendapat yang lebih shahih wajib mengulangi kembali
mandinya, karena dhahirnya bersama mani laki-laki itu keluar juga mani
perempuan.
Catatan
Dalam al-Mantsur fil Qawaid, Al-Zarkasyi menyebut dua catatan penting
berkaitan dengan masalah pertentangan antara asal dan dhahir di atas, yakni :
1.
Khilafiyah
dalam hal pertentangan antara asal dan dhahir di atas juga berlaku pada asal
dan ghalib. Yang dimaksud dengan ghalib di sini adalah ghulbah dhan (kuat dhan)
yang muncul bukan dari aspek tanda-tanda yang berhubungan dengan ‘ain sesuatu. Maka
ini merupakan sasaran khilafiyah apakah asal halal dapat hilang dengan sebab sesuatu
yang ghalib, seperti khilafiyah pada suci bejana orang yang sering menyentuh
khamar, shalat pada kuburan yang sudah dibongkar dan tanah pada lorong-lorong
jalan. Menurut pendapat yang terpilih, asalnya masih mu’tabar. Adapun apabila disandarkan kuat dhan kepada
tanda-tanda yang berhubungan dengan ‘ain sesuatu, maka wajib tarjih ghalib, seperti
masalah kencing kijang. (kencing kijang yang dilihat dengan kasat mata dalam
air, kemudian air tersebut berubah, maka dihukum berubahnya itu karena kencing,
bukan karena air itu lama mengendap)
2.
Al-Qarafi
mengatakan, mendahulukan asal atas ghalib adalah rukhsah (keringanan hukum).
Karena sesungguhnya suci jarang ada pada sesuatu yang sering bernajis. Karena
itu apabila ghalibnya adalah najis, maka meninggalkannya adalah wara’. Adapun
ketika sama posisi kemungkinan keduanya (antara najis dan suci) atau lebih
rajih suci, maka meninggalkannya adalah was-was.[11]
[1] Al-Zarkasyi, al-Mantsur
fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 184
[2] Al-Suyuthi, al-Asybah
wan-Nadhair, al-Haramain, Singapura-Indonesia, Hal. 46
[3] Al-Nawawi, Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 258
[4] Al-Bakri
al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin dan matannya, Fath al-Mu’in,
Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 104
[5]
Al-Zarkasyi, al-Mantsur
fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 184-185
[6]
Al-Nawawi, Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 220
[7]
Al-Nawawi, Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 257-258
[8]
Al-Suyuthi, al-Asybah
wan-Nadhair, al-Haramain, Singapura-Indonesia, Hal. 46-49
[9]
Al-Zarkasyi, al-Mantsur
fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 184-196
[11]
Al-Zarkasyi, al-Mantsur
fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 197