Renungan

Sabtu, 30 Oktober 2021

Jenis-Jenis Karamah menurut Imam Tajuddin al-Subki

Berikut jenis-jenis karamah yang disebut oleh Imam Tajuddin al-Subki yang kami rangkum dari kitab beliau, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra (Juz II, Hal. 338-243)

1.    Menghidupkan makhluq yang sudah mati

Diperkuatkan jenis ini dengan kisah Abi ‘Ubaid al-Busry. Beliau pernah ikut dalam sebuah peperangan dengan menunggang kuda. Dalam peperangan tersebut, kuda itu mati. Abi ‘Ubaid berdoa kepada Allah agar dapat menghidupkan kembali kudanya. Sehingga pada saat beliau kembali ke Busr, kudanya itu berdiri akan tetapi dua telinganya sudah hilang. Setelah selesai peperangan dan sampai ke Busr, beliau memerintah pembantunya mengambil pelana dari kuda. Pada saat pelana diambil, kuda tersebut rubuh dalam keadaan mati. Al-Subki mengatakan, kisah-kisah seperti ini banyak. Namun di akhir penjelasannya, beliau mengatakan, Kecuali aku mengatakan, tidak shahih di sisiku sesungguhnya seorang wali dapat hidup kembali setelah mengalami kematian dalam waktu yang cukup lama setelah menjadi tulang belulang yang hancur, kemudian hidup dalam waktu yang lama. Ukuran ini tidak sampai kepada kita dan aku meng i’tiqad ini pernah terjadi pada seorang wali. Akan tetapi tidak diragukan yang seperti ini ada terjadi pada para Nabi ‘alaihimussalam. Contoh seperti ini adalah mu’jizat , tidak sampai karamah kepada derajat ini. Karena itu, mungkin saja seorang nabi sebelum selesai nubuwahnya menghidupkan umat yang terdahulu beberapa zaman, kemudian hidup merasakan kehidupan dalam beberapa zaman. Kemudian al-Subki melanjutkan, sekarang aku tidak mengi’tiqad ada seorang wali dapat menghidupkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah untuk kita yang keduanya merasakan kehidupan dalam waktu yang lama sebagaimana aktifitasnya sebelum wafat. Bahkan tidak juga dalam waktu yang pendek dimana keduanya dapat bergaul dengan orang-orang yang masih hidup sebagaimana terjadi sebelum wafat.

2.    Berbicara orang yang sudah mati

Ini lebih banyak dari jenis sebelumnya. Contoh ini pernah diriwayat dari al-Kharaz r.a., kemudian dari Syeikh Abd al-Qadir al-Jailany r.a., dan sebagian guru-guru dari Syeikh al-Imam al-Walid (ayah dari Imam Tajuddin al-Subky)

3.    Terbelah dan kering laut dan dapat berjalan di atas air

Semua ini banyak. Sesungguhnya telah sepakat terjadi yang seperti ini pada Syeikh al-Islam Sayyid al-Mutaakhiriin Taqiyuddin ibn Daqiiq al-‘Id.

4.    Berubah wujud benda

Sebagaimana dihikayah bahwa Syeikh ‘Isa al-Hitar al-Yamany pernah seseorang dengan tujuan memperolok-olok mengirimkan kepada beliau dua bejana yang penuh dengan khamar. Lalu beliau menuangkan isi salah satu bejana dalam bejana yang lain. Kemudian mengatakan kepada yang hadir, “Bismillah, makanlah!”  Merekapun makan. Pada ketika itu, isi bejana tersebut menjadi minyak samin yang tidak pernah dilihat bandingan warna dan aromanya.

5.    Pendek jarak bumi

Mereka menceritakan, sebagian aulia yang berada di Jami’ Tharasus rindu berziarah ke Masjidil haram. Lalu aulia itu memasukan kepalanya dalam jubahnya, lalu dikeluarkannya dalam keadaan sudah berada di Masjidil haram. al-Subky mengatakan, qadar kumpulan cerita-cerita jenis ini sampai tingkatan mutawatir, hanya pembohong saja yang mengingkarinya.

6.    Berbicara benda mati dan hewan

Tidak diragukan keberadaan dan banyaknya. Salah satunya apa yang dihikayah bahwa Ibrahim bin Adham pernah duduk di satu jalan di Baitul Maqdis di bawah pohon delima. Pohon delima berkata kepada beliau sebanyak tiga kali, “Hai Abu Ishaq, muliakanlah aku dengan memakan aku.” Pohon delima tersebut pendek, rasanya asam. Ketika itu, Ibrahim bin Adham pun memakan sebuah dari delima. Kemudian jadi manis rasa buahnya dan berbuah delima tersebut dua kali dalam setahun. Kemudian dinamai delima tersebut dengan nama Delima ‘Abidin.

7.    Menyembuh orang sakit

Sebagaimana dihikayah dari al-Sariyyi yang menceritakan seorang laki-laki yang beliau temui di sebagian gunung, dapat menyembuh penyakit menahun, buta dan berbagai penyakit lainnya. Juga dihikayah dari Syeikh Abd al-Qadir pernah mengatakan kepada seorang anak kecil yang tidak bisa berdiri karena lumpuh, buta dan menderita kusta, “Berdirilah dengan izin Allah”. Tiba-tiba anak kecil tersebut dapat berdiri tanpa ada penyakit lagi.

8.    Tunduk hewan-hewan

Sebagaimana kisah singa dengan Abi Sa’id bin Abi al-Khair al-Miihaniy, Ibrahim al-Khawass mencium singa. Bahkan tunduk benda mati, sebagaimana cerita pada Sulthan Ulama Syeikh al-Islam ‘Izzuddin bin Abd al-Salam dan perkataan beliau dalam peperangan Franka, “Hai angin, ambil mereka”. Saat itu juga angin menghempas mereka.

9. Menyingkatkan waktu

10. Memanjangkan waktu

Penjelasan tentang kedua jenis ini sukar dipahami. Karena itu, menyerahkan kepada ahlinya lebih utama terkait keyakinan ini. Kisah-kisah tentang kedua ini banyak.

11. Istijabah doa

“Jenis ini banyak sekali, kami pernah menyaksikan sendiri pada satu jama’ah” kata al-Subki.

12. Menahan lisan dari kalam

13. Menarik hati sebagian manusia dalam satu majelis yang sangat dibencinya

14. Menceritakan sebagian berita ghaib dan kasyaf.

Tingkatan banyaknya keluar dari batasan terhingga

15. Sabar tanpa makan dan minum dalam waktu yang lama

16. Maqam tashrif (dapat mengatur kejadian alam)

17. Mampu memperoleh makanan yang banyak

18. Terpelihara dari makan yang haram

Sebagaimana diceritakan dari al-Haaris al-Muhaasibiy  bahwa terangkat bau busuk makanan yang haram ke hidung beliau, maka beliau tidak memakannya.

19. Melihat tempat yang jauh dari belakang hijab

Sebagaimana dikatakan, bahwa Syeikh Abu Ishaq al-Syairazi dapat menyaksikan ka’bah, padahal beliau berada di Baghdad

20. Dapat memunculkan rasa takut yang luar biasa sehingga dapat menyebabkan mati orang yang berhadapan dengannya dengan semata-mata  melihatnya

21. Terjaga mereka dari kejahatan orang yang mempunyai rencana keburukan atas mereka sebagaimana kisah Imam Syafi’i r.a.  bersama Harun al-Rasyid.

22. Dapat berubah dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda

Ini yang dinamakan oleh para sufi dengan alam mitsal. Mereka menetapkan adanya alam yang berada di antara alam jisim dan alam arwah yang disebut dengan alam mitsal. Alam mitsal ini lebih halus dari alam jisim dan lebih kasar dari alam arwah. Berdasarkan adanya alam mitsal ini, para sufi mengatakan arwah dapat membentuk dirinya menjadi jasad dan nyata dalam bentuk yang berbeda-beda di alam mitsal.

Dihikayahkan dari Qazhib Alban al-Mushiiliy, beliau termasuk seorang abdal, dituduh tidak melaksanakan shalat oleh sebagian orang yang tidak melihat beliau shalat. Lalu al-Mushiiliy dengan serta merta memunculkan bentuk beliau dalam beberapa bentuk yang berbeda, seraya bertanya, “Dalam bentuk yang mana dari beberapa ini, kamu melihat aku tidak shalat?”.

23. Mengetahui isi kandungan bumi

Sebagaimana dihikayah dari Abu Turab, pada saat beliau menghentak kakinya di bumi, pada ketika itu muncullah mata air yang jernih.

24. Kemudahan para ulama dalam mengarang kitab-kitab dalam waktu yang singkat

25. Tidak membekas racun dan benda-benda yang mematikan.

 

Sabtu, 09 Oktober 2021

Menyimak Pandangan Ulama Mengenai Ahli Fatarah

 

I.     Pengertian fatarah

Menurut kamus al-Munawir, secara bahasa ahli bermakna famili, kerabat, keluarga, penghuni, yang bertanggung jawab, pengikut. Sedangkan makna fatarah antara lain tenang, reda, masa dan periode.  Adapun makna ahli fatarah dalam istilah menurut Ibnu Hajar al-Haitami adalah orang-orang yang tidak diutus seorang Rasul kepada mereka.[1]  Dalam Kitab al-Hawi lil fatawa karangan al-Suyuthi dijelaskan bahwa ahli fatarah adalah umat-umat yang zaman hidupnya berada antara dua zaman para Rasul yang tidak diutus kepada mereka risalah rasul pertama dan mereka juga tidak mendapati rasul yang kedua. Misalnya orang-orang Arab yang tidak diutus kepada mereka Nabi Isa as dan mereka juga tidak terhubung dengan Nabi SAW. Fatarah dengan makna ini mencakup zaman di antara semua para Rasul. Namun pada saat membahas patarah, para fuqaha mendefinisi sebagai fatarah hanya antara zaman Nabi Isa as dan Nabi SAW.[2] Senada dengan al-Suyuthi, Hasan al-‘Ithar menyebutkan ahli fatarah adalah setiap orang yang zaman hidupnya berada antara dua orang rasul, dimana rasul pertama tidak diutus kepada mereka dan sedangkan mereka juga tidak mendapati rasul kedua.[3]

Adapun fatarah antara Isa dan diutus Nabi SAW adalah sekitar 600 tahun.[4] Hal ini sesuai dengan hadits riwayat al-Bukhari berbunyi :

عن سلمان الفارسي قال : فترة بين عيسى ومحمد عليهما الصلاة والسلام ستمائة سنة .

“Dari Salman al-Farisi, beliau mengatakan, fatarah antara Isa dan Muhammad semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan atas keduanya adalah 600 tahun.”  (H.R. al-Bukhari)[5]

 

Ibnu Hajar al-Asqalany telah menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ahli ma’rifah bi al-akhbar.[6]

II.  Padangan para ulama status ahli fatarah antara Nabi Isa As dan Nabi Kita Muhammad SAW.

Para ulama setelah sepakat terjadi fatarah dalam bidang furu’ syariat, mereka  berbeda pendapat dalam mengomentari status ahli fatarah dalam bidang aqaid.[7] Menurut Muhammad al-Dusuqi terjadi perbedaan pendapat ulama dalam dua kelompok pendapat, yakni :

1.       fatarah hanya dalam furu’ syariat, tidak ada fatarah dalam akidah

2.       fatarah dalam akidah dan furu’ syariat.

 

Al-Dusuqi menjelaskan kepada kita terjadi perbedaan pendapat, apakah apakah memadai taklif  ‘aqaid dengan sampai dakwah siapa  saja dari seorang nabi atau diharuskan sampai dakwah seorang nabi dizamannya. Pendapat memadai taklif  ‘aqaid dengan sampai dakwah siapa  saja dari seorang nabi berargumentasi tidak ada fatarah dalam aqaid, berbeda dengan furu’, karena aqaid disepakati di antara para rasul. Sedangkan pendapat diharuskan sampai dakwah seorang nabi dizamannya, melihat dalam bidang ‘aqaid berlaku fatarah juga sama halnya dengan furu’.[8] Dhahirnya al-Dusuqi lebih cenderung kepada pendapat pertama, sebagaimana ucapan beliau :

ومن هذا يعلم انه لا يصح بنجاة احد من الجاهلية الذين لا معرفة عندهم بالعقائد لكونه من اهل الفترة

“Dari ini dapat dimaklumi bahwa tidak shahih pendapat terlepas seseorang yang hidup pada zaman Jahiliyah yang tidak mengenal aqidah di sisi mereka karena mereka termasuk ahli fatarah.” [9]

 

Namun Ibnu Hajar al-Haitamy membantah pendapat ini. Dalam al-Fatawa al-Haditsiyah beliau mengatakan, dakwaan yang mengatakan setiap orang yang tidak beriman setelah diutus Nabi Adam atau Nuh (berdasarkan awal nabi adalah Adam atau Nuh), maka mereka dalam neraka, pendapat ini menyalahi dhahir ayat al-Qur’an. Karena itu, tidak boleh menjadi pegangan.[10]

Dalam menjelaskan status ahli fatarah ini, al-Banany menjelaskan satu jama’ah dari ulama berpendapat  ahli fatarah meskipun tidak sampai dakwah seorang nabi yang diutus kepada mereka, akan tetapi telah sampai kepada mereka dakwah para nabi yang tidak diutus kepada mereka seperti  Saiyidina Musa, Harun, Sulaiman, Daud dan lain-lain. Karena itu, barangsiapa di antara mereka yang mempunyai pemikiran dan nadhar, sedangkan mereka tidak mengi’tiqad agama yang benar, maka dihukum kafir. Dan barangsiapa di antara mereka pernah mendengar satu ayat dakwah kepada Allah dan mereka meninggalkan berargumentasi dengan akalnya untuk menyatakan shahih dakwah tersebut, sedangkan mereka termasuk ahli argumentasi dan nadhar , niscaya mereka termasuk yang berpaling dari dakwah maka mereka adalah kafir. Selanjutnya al-Banany menjelaskan bahwa ini merupakan pendapat yang dipegang Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim, al-Nawawi mengatakan :

أَنَّ مَنْ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْعَرَبُ مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلَيْسَ هَذَا مُؤَاخَذَةٌ قَبْلَ بُلُوغِ الدَّعْوَةِ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ كَانَتْ قَدْ بَلَغَتْهُمْ دَعْوَةُ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ تَعَالَى وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang mati pada zaman fatarah dimana mereka dalam keadaan penyembah berhala sebagaimana halnya orang-orang Arab pada saat itu, maka mereka adalah ahli neraka. Ini bukanlah memberi azab sebelum sampai dakwah, karena telah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim dan nabi lainnya dari para nabi-nabi semoga Allah memberikan rahmat dan kesejahteraan bagi mereka.”

Kemudian al-Banany menyebut pendapat kedua (tidak diazab ahli fatarah) yang merupakan pendapat jumhur pengikut Asy’ari, Ushuliyun dan fuqaha Syafi’yah. Mereka ini berargumentasi antara lain :

1.       hadits-hadits shahih yang menyatakan ada jama’ah ahli fatarah mendapat azab neraka merupakan hadits ahad tidak dapat dipertentangkan dengan dalil-dalil qath’i yang memastikan ahli fatarah tidak di azab dalam neraka

2.       boleh jadi orang-orang yang diazab berdasarkan hadits shahih tersebut karena ada suatu kekhususan yang menyebabkan demikian dalam ilmu Allah SWT, sebagaimana halnya dikatakan pada kasus budak beserta bayinya yang dibunuh Nabi Khizir a.s.

3.       dalil-dalil qath’i memastikan tidak ada azab sehingga ada hujjah. Karena itu, dapat dimaklumi bahwa ahli fatarah tidak di azab dalam neraka.[11]

 

Dhahirnya pendapat pertama yang dikemukan oleh al-Banani di atas merupakan pendapat kalangan al-Maturidiyah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-‘Abidin (seorang ulama mutaakhirin mazhab Hanafi), beliau mengatakan :

أَمَّا الْمَاتُرِيدِيَّةُ، فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ مُضِيِّ مُدَّةٍ يُمْكِنُهُ فِيهَا التَّأَمُّلُ وَلَمْ يَعْتَقِدْ إيمَانًا وَلَا كُفْرًا فَلَا عِقَابَ عَلَيْهِ، بِخِلَافِ مَا إذَا اعْتَقَدَ كُفْرًا أَوْ مَاتَ بَعْدَ الْمُدَّةِ غَيْرَ مُعْتَقِدٍ شَيْئًا

“Adapun kalangan al-Maturidiyah, seandainya seseorang meninggal dunia sebelum berlalu satu masa yang memungkinkan diirinya berpikir, sedangkan dia tidak beri’tiqad iman dan tidak juga kufur, maka tidak ada siksaan atasnya. Ini berbeda apabila seseorang sempat mengi’tiqad kufur atau meninggal dunia sesudah berlalu masa berpikir, akan tetapi dia tidak mengi’tiqad apapun.”[12]

 

Dr Mustafa al-Zuhaily juga telah mengutip Pendapat al-Maturidiyah ini dalam kitabnya, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, beliau mengatakan, al-Maturidiyah mengecualikan kewajiban beriman dan i’tiqad keesaan Allah Ta’ala. Sesungguhnya ahli fatarah apabila tidak mengi’tiqad yang demikian sebagaimana yang diwajib oleh akal mereka, maka mereka diazab dan dihisab atas kesyirikan dan kekufuran mereka,  karena iman merupakan  kebaikan bagi diri seseorang yang tidak dapat menerima gugurnya dengan satu alasan apapun. Ini juga merupakan pendapat kebanyakan ulama Hanafiyah yang mewajibkan iman dan mengharamkan kufur atas setiap orang yang berakal, baik sampai dakwah kepada mereka maupun tidak sampai. Karena akal secara mandiri dapat memahami sebagian hukum Allah Ta’ala. Yang sangat utama dari hukum-hukum Allah itu adalah iman dengan Allah Ta’ala. Dan pernah diriwayat dari Abu Hanifah, beliau mengatakan, tidak ada uzur seseorang dalam hal kebodohan dengan khaliqnya, karena dia dapat menganalisa dalil-dalil keesaan Allah.[13]

Sementara itu, ada penjelasan ulama mengenai ahli fatarah ini dengan menggunakan tafshil, diantaranya al-Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi. Beliau membagikan ahli fatarah menjadi tiga kelompok, yakni :

1.       yang mempunya akidah tauhid dengan mata hatinya. Kemudian sebagian mereka ini tidak masuk dalam syari’atnya seperti Qus bin Sa’idah dan Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Sebagian yang lain masuk dalam syari’at yang haq yang lurus, seperti Tubba’ dan kaumnya

2.       yang melakukan pergantian dan mengubah agama, berakidah musyrik, tidak bertauhid dan mengada-adakan syariat untuk diri sendiri, maka mereka membuat hukum halal dan haram. Mereka ini mayoritas seperti ‘Amr bin Luhay, seorang yang pertama sekali meciptakan ajaran menyembah berhala bagi orang Arab, menciptakan hukum-hukum. Maka Amr bin Luhay membuat syari’at membelah telinga unta bahiirah (unta yang sudah melahirkan lima kali, diberi tanda dengan membelah telinganya untuk dipersembahkan kepada berhala), membuat syariat saaibah (unta yang ditandai dengan belah telinga untuk dipersembahkan kepada berhala karena sembuh dari penyakit), membuat syariat al-waashilah (anak kambing jantan yang dipersembahkan kepada berhala) dan membuat syariat al-haami (binatang yang membuntingi anaknya, maka binatang tersebut tidak boleh lagi dinaiki dan dibebani muatan. Satu kelompok orang Arab lain menambah lagi ajaran yakni menyembah jin dan malaikat, membakar bayi mereka, membuat rumah-rumah kemudian rumah-rumah tersebut di persiapkan pelayannya dan hijab untuk menyayangi Ka’bah seperti Laata, ‘Uzza dan Manaah.

3.       Mereka ini tidak musyrik, tidak bertauhid, tidak masuk dalam syari’at seorang nabi, tidak mengadakan syariat dan agama baru, akan tetapi umurnya kekal dalam kelalaian semua ini.

 

Kemudian al-Suyuthi menjelaskan, kepada kelompok yang kedua inilah dipertempatkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa mereka diazab dalam neraka, karena mereka kufur tanpa ‘uzur. Adapun pembagian ketiga, mereka inilah hakikat ahli fatarah dan mereka ini tidak di azab dalam neraka. Sedangkan kelompok pertama, terkait dengan Qus dan Zaid, Rasulullah pernah bersabda :

انه يبعث امة وحده

“Sesungguhnya dia itu di bangkitkan sebagai umat tersendiri”

 

Adapun Tubba’ dan orang-orang yang sama dengannya, mereka ini seperti hukum ahli agama yang masuk dalam agamanya selama mereka tidak mendapati Islam yang memansukhkan setiap agama.[14]

 

 



[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 113

[2] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 209

[3] Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Jam’ al-Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 89

[4] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 206

[5] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 71, No 3948

[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 40

[7] Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62

[8] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah Thaha Putra, Semarang, Hal 53

[9] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah Thaha Putra, Semarang, Hal 53

[10] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 113

[11] Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62-63

[12] Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Ibnu ‘Abidin ‘ala Dur al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 185

[13] Mushtafa al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (al-Madkhal-al-Mashadir-al-Hukm al-Syar’i), Dar al-Khair, Hal. 459-460.

[14]   Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 209