Renungan

Rabu, 06 Desember 2023

Hukum Bercinta Dengan Boneka Seks

 

Seiring berkembangnya zaman, teknologipun berkembang menjadi semakin canggih. Bahkan dalam persoalan seksualpun kini seseorang bisa menggunakan boneka seks untuk memuaskan hasrat seksualnya. Boneka seks dibuat dari bahan yang elastis dan lentur dan dibentuk sedemikian rupa sehingga wujudnya seperti seorang manusia asli. Beberapa di antaranya, memiliki fitur kecerdasan buatan sehingga orang bisa memiliki hubungan emosional dengan boneka tersebut. Namun, bagaimana Islam memandang hal ini?                           

Allah Ta’ala telah memberikan batasan-batasan kepada hambanya supaya tidak terjerumus kepada hal-hal yang tercela, termasuk dalam persoalan nafsu seksual. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُون

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. al-Mukminun: 5-7)

 

Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan,

وَالَّذِينَ قَدْ حَفِظُوا فُرُوجَهُمْ مِنَ الْحَرَامِ، فَلَا يَقَعُونَ فِيمَا نَهَاهُمُ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ زِنًا أَوْ لِوَاطٍ، وَلَا يَقْرَبُونَ سِوَى أَزْوَاجَهُمُ الَّتِي أَحَلَّهَا اللَّهُ لَهُمْ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ مِنَ السَّرَارِيِّ

Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka dari perbuatan yang diharamkan. Karena itu mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah yakni zina dan liwat. Dan mereka tidak mendekati selain dari istri-istri mereka yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, atau budak-budak perempuan yang mereka miliki dari tawanan perangnya (Tafsir Ibnu Katsir: V/462)


Sesuai dengan penafsiran Ibnu Katsir di atas, ayat 5-7 dari Surat al-Mukminun di atas ingin menjelaskan kepada kita bahwa tindakan memuaskan nafsu seks dengan selain isteri yang sah dan budak yang dimiliki adalah haram. Kemudian Ibnu Katsir mengatakan,

وَقَدِ اسْتَدَلَّ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ، رحمه الله، وَمَنْ وَافَقَهُ عَلَى تَحْرِيمِ الِاسْتِمْنَاءِ بِالْيَدِ بِهَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُون إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ  قَالَ فَهَذَا الصَّنِيعُ خَارِجٌ عَنْ هَذَيْنَ الْقِسْمَيْنِ

Imam Syafi’i rahimahullah dan orang-orang yang mendukung pendapatnya menjadikan ayat ini yaitu Q.S. al-Mukminun: 5-6 sebagai dalil bahwa onani itu haram. Imam Syafi’i mengatakan bahwa perbuatan onani itu di luar kedua perkara tersebut (penyaluran seks kepada istri dan budak yang dimiliki). (Tafsir Ibnu Katsir: V/463)

 

Sekarang kita kembali kepada masalah penggunaan boneka seks sebagai alat memuaskan nafsu seks. Memperhatikan penjelasan Imam Syafi’i di atas, maka jelaslah bahwa penggunaan boneka seks tidak termasuk dalam dua katagori di atas yang dihalalkan Allah Ta’ala. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan boneka seks sebagai alat memuaskan nafsu seks adalah haram meskipun boneka seks hanyalah benda mati. Kesimpulan ini juga dapat dipahami dari keterangan Syeikh Sulaiman al-Jamal dalam kitab beliau:

‌وَالنَّظَرُ ‌بِشَهْوَةٍ حَرَامٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرَ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ اهـ. شَرْحُ م ر قَالَ ع ش عَلَيْهِ وَعُمُومُهُ يَشْمَلُ الْجَمَادَاتِ فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إلَيْهَا بِشَهْوَةٍ اهـ

Memandang dengan syahwat kepada apapun, baik mahram maupun bukan mahram, hukumnya haram tanpa khilaf  kecuali isteri dan budak yang dimilikinya. Demikian keterangan Imam al-Ramli dalam syarahnya. ‘Ali Syibran Malasiy mengatakan, keumumannya mencakup juga benda mati. Karena itu, haram juga memandang dengan syahwat kepada benda mati.(Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj: IV/122)

 

Apabila memandang dengan syahwat saja dapat dikatagori perbuatan haram, maka konsekuensi logisnya penggunaan boneka seks dengan melakukan hubungan intim atau penetrasi alat kelamin dalam vagina boneka seks tersebut lebih-lebih lagi diharamkan.

Namun apakah hubungan intim atau penetrasi alat kelamin dalam vagina boneka seks termasuk zina?. Dalam Minhaj al-Thalibin, Imam al-Nawawi membuat kriteria zina yang dapat dikenakan hukum hudud berupa rajam atau cambuk seratus kali sebagai berikut:

إيلَاجُ الذَّكَرِ بِفَرْجٍ مُحَرَّمٍ لعَيْنِهِ خَالٍ عَنْ الشُّبْهَةِ مُشْتَهًى يُوجِبُ الْحَدَّ.

Memasukkan zakar dalam faraj (kemaluan perempuan) yang diharamkan karena memasukkan itu sendiri, yang tidak ada unsur syubhat serta dalam faraj yang membangkitkan syahwat secara naluri dapat mewajibkan hukuman hudud.

 

Kemudian Khatib Syarbaini menjelaskan pengertian “musytahaan” di atas dengan perkataan beliau:

)مُشْتَهًى) طَبْعًا بِأَنْ كَانَ فَرْجُ آدَمِيٍّ حَيٍّ

Faraj yang membangkitkan syahwat secara tabi’at (naluri), yaitu faraj manusia yang hidup.(Mughni al-Muhtaj: V/442)

 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa penggunaan boneka seks sebagai alat memuaskan nafsu seks adalah haram meskipun boneka seks hanyalah benda mati. Namun demikian perbuatan penggunaan boneka seks tersebut tidak termasuk zina yang dapat dikenakan hukuman hudud berupa rajam atau cambuk seratus kali sebagaimana lazimnya dipaparkan dalam fiqh jinayah Islam. Karena boneka seks hanya benda mati, bukan manusia yang hidup

Wallahua’lam bisshawab

 

Jumat, 01 Desember 2023

Bolehkah Menerima Uang dari Caleg?

 

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sangat mungkin bagi semua kalangan masyarakat untuk ikut serta andil, bahkan menjadi pemain, dalam pencalonan diri menjadi legislatif ataupun pemimpin pemerintahan. Banyak dari lapisan masyarakat yang sebelumnya fokus dalam dunia non-politik, kini berpindah masuk dalam percaturan politik dan bergelut memperebutkan kursi kekuasaan. Dari pengamatan kita di Indonesia, dalam memperoleh suara rakyat, banyak cara yang ditempuh oleh calon legislatif ataupun calon pemimpin. Sebagian calon ada yang hanya mengandalkan ketenaran di dunia non-politik, atau calon yang tidak memiliki ketenaran sama sekali, namun dengan modal finansial yang besar. Kekuatan finansial tersebut yang kemudian digunakannya sebagai sarana meraih suara mayoritas. Mereka dengan sangat piawai dalam menutupi money politik yang mereka lancarkan; mulai dari yang berwujud sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, hingga yang dibungkus rapi dalam bentuk hadiah dan pemberian secara individual. Sehingga, suap (risywah) sudah tidak lagi dilakukan di bawah meja kekuasaan, namun dengan menu dan aroma yang baru.

Menanggapi fenomena semacam ini, beberapa abad yang lalu Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa risywah (sogok) merupakan tindakan yang tidak terpuji. Dari Ibnu Umar r.a, beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ

Rasulullah SAW melaknat penyogok dan penerima sogok (H.R. Abu Daud dan lainnya)

 

Al-Turmidzi menyatakan hadits ini hasan dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban.(Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).

Dalam mengomentari kandungan hadits ini, Zakariya al-Anshariy menjelaskan kepada kita,

وفيه تحريم الرشوة على القاضي وغيره من الولاة لأنها ترفع إليه ليحكم بحق أو ليمتنع من ظلم وكلاهما واجب عليه فلا يجوز أخذ العوض عليه وأما دافعها وهو الراشي فإن توصل بها إلى باطل فحرام عليه، وإن توصل بها إلى تحصيل حق أو دفع ظلم فليس بحرام، ويختلف الحال في جوازه واستحبابه ووجوبه باختلاف المواضع

Dalam hadits memberi petunjuk haram menyogok qadhi dan pemangku kewenangan lainnya. Karena seseorang membuat laporan kepadanya agar mendapat hukum yang haq atau mencegah dari sebuah kedhaliman. Keduanya merupakan kewajibannya. Karena itu tidak boleh mengambil imbalan atas pekerjaannya itu. Adapun pemberinya yaitu penyogok apabila menjadikan sogokan tersebut sebagai perantaraan kepada suatu yang batil, maka hukumnya haram. Adapun apabila sogokannya itu sebagai perantaraan untuk mendapatkan haknya atau menolak kedhaliman, maka ini tidak haram. Terkait dalam hal boleh, anjuran atau wajib, ini tergantung perbedaan kondisinya. (Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).

 

Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakariya al-Anshari menegaskankan dalam Ihya ‘Ulumuddin sebagai berikut:

قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ

Imam al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya, jika diberikan harta untuk tujuan mendatang (akhirat), maka dinamakan sadaqah atau untuk tujuan segera (imbalan​​​​​​ dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyarthi al-tsawab (hibah dengan syarat imbalan). Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an (fardhu ‘ain) maka dinamakan risywah.(Asnaa al-Mathaalib, karya Zakaria al-Anshari: IV/300)

 

Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam fatwanya No. 03 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum Menurut Perspektif Islam dalam fatwa point kedua disebutkan: “Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan menjalankan fardhu ‘ain seperti shalat, dan lain-lain adalah hukumnya wajib.” Kemudian dalam point kelima disebutkan:Politik Uang dan atau memberikan sesuatu untuk kemenangan kandidat tertentu hukumnya adalah haram.” Dan juga point keenam ada pemjelasan berikut ini: “Pemberian sesuatu baik langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan politik adalah perilaku yang tidak terpuji, baik yang memberi atau yang menerima.”

Keterangan-keterangan di atas memberi pemahaman kepada kita sebagai berikut :

1.  Pemangku kewenangan yang diberikan oleh pemerintah seperti qadhi dan lainnya wajib menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan wajib menolak kedhaliman

2.  Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT hukumnya wajib

3.  Kewajiban menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan menolak kedhaliman tersebut menjadi alasan hukum haram menerima imbalan apapun dari pihak yang tidak berwenang memberinya. Ini dapat dikatagorikan sebagai risywah yang diharamkan.

4.  Namun demikian, apabila sipemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi serta tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah. Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima

Sesuai dengan uraian di atas, jika kita terapkan untuk penomena yang sudah kita paparkan di awal tulisan ini, yaitu penomena sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan dan lainnya ataupun pemberian secara individual dalam rangka mengubah pilihan sipenerima dalam pemilihan legislatif maupun pemilhan calon pemimpin, maka tindakan tersebut merupakan risywah yang diharamkan baik dari sisi pemberi maupun penerimanya. Kesimpulan ini berdasarkan pemahaman kita berikut ini:

1.  Risywah tidak hanya dalam konteks putusan hukum saja, tapi lebih luas dari itu sebagaimana penjelasan pengarang kitab Asnaa al-Mathalib di atas. Pemilih calon legislatif dan pemilih calon pemimpin merupakan individu yang diberikan kewenangan oleh pemerintah  dalam memilih. Karena itu, individu pemilih dalam hal ini sama hukumnya seperti qadhi dan pemangku kewenangan lainnya.

2.  Pemilih wajib memilih calon legislatif dan calon pemimpin yang sesuai dengan keyakinannya. Karena itu, apabila menerima imbalan harta dari pihak calon legislatif atau calon pemimpin apakah itu mengubah pilihannya ataupun tidak, hukumnya haram, karena pemilih wajib memilih sesuai keyakinannya meskipun tanpa imbalan apa-apapun. Ini akan bertambah haram lagi apabila si pemilih mempunyai niat menipu dengan jalan menerima uang tetapi pilihannya tidak berubah sesuai keinginan sipemberi. 

3.  Apabila pemberian tersebut bertujuan melakukan suatu perbuatan yang diharamkan berupa upaya mengubah pilihan masyarakat dalam memilih pemimpin atau wakilnya dalam pemerintahan dengan jalan pemberian imbalan sejumlah harta. Ini merupakan tindakan kedhaliman merebut hak orang lain tanpa haq yang diharamkan, baik dari sisi pemberi maupun penerima

4.  Namun demikian, apabila sipemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi dan tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah. Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima

Wallahua’lam bisshawab