Renungan

Jumat, 31 Oktober 2025

Bayar zakat fitrah kemudian mudik ke kampung kelahiran

 

Telah menjadi tradisi bahwa menjelang lebaran hari raya ‘Idul Fitri, kebanyakan orang yang merantau pulang kampung kelahirannya. Sebagiannya kembali menjelang hari raya. Kadang-kadang di tempat tinggalnya, ia telah menunaikan zakat fitrah. Namun sebelum malam lebaran tiba, ia telah berangkat menuju kampung kelahirannya sehingga saat berbuka puasa hari terakhir ia tidak lagi berada di tempat domisili ia membayar zakat fitrah. Yang menjadi pertanyaan, apakah fitrahnya tersebut sah dan tidak perlu mengulangi lagi dikampung kelahirannya?, Sementara pada saat wajib zakat fitrah (mendapati dua ujung bulan, yaitu akhir bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal) ia tidak berada lagi di tempat pembayaran zakat fitrah tersebut, akan tetapi sudah berada di perjalanan pulang kampung atau sudah sampai dikampung kelahirannya, alias zakat tersebut dibayar sebelum tiba waktu kewajibannya.

Jawaban

Untuk menjawab persoalan di atas, kita simak nash kitab ulama berikut ini:

1.  Pengarang I’anah al-Thalibin mengatakan:

وفي إجزاء المعجل عند غيبة المال أو الآخذ عن بلد الوجوب وقته خلاف فقال حجر لا يجزئه لعدم الأهلية وقت الوجوب وقال م ر يجزئه

Dalam hal memadai zakat yang disegerakan ketika jauh harta atau pengambilnya dari balad wajib pada waktu wajib ada terjadi khilafiyah. Ibnu Hajar mengatakan, tidak memadai karena bukan ahlinya pada waktu wajib. Al-Ramli mengatakan memadai. (I’anah al-Thalibin:II/210)

 

2.    Dalam Hasyiah ‘Ali Syiban al-Malasi dijelaskan:

)قوله : كما اعتمده الوالد ) وهل يجري ذلك في البدن في الفطرة حتى لو عجل الفطرة ثم كان عند الوجوب في بلد آخر أجزأ أو لا ولا بد من الإخراج ثانيا إذا كان عند الوجوب ببلد آخر فيه نظر ا هـ سم على حج .والأقرب الأول للعلة المذكورة في كلام الشارح فإن قضيتها أنه لا فرق بين زكاة المال والبدن

(Perkataan pengarang: sebagaimana yang dimuktamadkan oleh al-Waliid), apakah berlaku demikian pada badan pada zakat fitrah, sehingga kalau seseorang menyegerakan fitrah kemudian pada saat wajib dia berada di balad lain, apakah memadai atau tidak dan diharuskan mengeluarkan lagi pada kali kedua apabila dia berada di balad lain pada waktu wajib. Dalam hal ini ada tinjauan. Demikian Ibnu al-Qasim‘ala Ibnu Hajar. Yang mendekati adalah yang pertama, karena illah yang telah disebutkan dalam kalam Syarih. Dan mafhumnya tidak beda antara zakat harta dan zakat badan. (Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi ‘ala NIhayah al-Muhtaj: III/143)

3.    Dalam kitab Ismadul `Ainaini fi Ba`dh Ikhtilaf asy-Syaikhaini Ibn Hajar al-Haitamy wa Syamsuddin al-Ramli dijelaskan:

)مسألة(.لو غاب المالك او الآخذ عن بلد الوجوب لم يجز المعجل عند حج خلافا لمر. قال الشرقاوى قرر الحفني ان غيبة الدافع لاتضر فى زكاة الفطر ولو مات المدفوع له مثلا لزم المالك الدفع ثانيا ولا يجزئ دفع المعجل لغير مستحق وقت القبض وان استحقه وقت الوجوب اهــ

(Masalah); kalau jauh pemilik atau pengambil zakat dari balad wajib, maka tidak memadai zakat yang disegerakan menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy. Ini khilaf dari pendapat al-Ramli. Al-Syarqawiy mengatakan al-Hufniy menetapkan bahwa jauh si pemberi zakat tidak mudharat pada zakat fitrah. Jikalau mati orang yg sudah diberikan (misalnya), maka wajib si pemilik memberikan lagi pada kali kedua. Dan tidak memadai pemberian yang disegerakan bagi bukan yang berhak pada waktu qabazh, meskipun berhak pada wajib. (Ismadul `Ainaini fi Ba`dh Ikhtilaf asy-Syaikhaini Ibn Hajar al-Haitamy wa Syams Ramli (Hasmisy bersama Bughyah al-Mustarsyidin): 51)

Berdasarkan rujukan kitab di atas, maka dapat simpulkan bahwa terjadi khilafiyah di antara ulama mutaakhirin mazhab Syafi’i. Ibnu Hajar al-Haitamiy berpendapat zakat tersebut tidak sah. Karena itu wajib diulangi kembali ketika orang tersebut berada dikampung kelahirannya. Adapun Imam al-Ramli berpendapat sebaliknya, yaitu zakat fitrah yang sudah pernah diberikan kepada mustahiqnya ditempat tinggalnya sudah memadai sebagai zakat fitrahnya.

Wallahua’lam bisshawab

Kamis, 30 Oktober 2025

Naqal zakat dari tempat domisilinya ke tempat lain

 

Membayar zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang harus dilaksanakan apabila mempunyai sejumlah harta yang sudah ditentukan syara’. Ini berdasarkan firman Allah berbunyi:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Taubah: 103)

 

Terjadi khilafiyah para ulama dalam hal naqal zakat atau memberikan zakat tidak di tempat domisili pemberi zakat dan tempat domisili harta. Pendapat yang muktamad dalam Mazhab Syafi'i tidak boleh pemilik harta memindah zakatnya dari satu balad zakat (daerah wajib zakat) ke  balad lainnya.

Sabda Nabi SAW:

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.(Muttaqun a’alahi)

 

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa zakat diambil dari orang-orang kaya suatu tempat, kemudian dikembalikan kepada fakir miskin mereka. Ini artinya, zakat tidak boleh dipindahkan dari domisilinya.

Imam al-Nawawi mengatakan,

(أما) الأحكام فحاصل المذهب أنه ينبغي أن يفرق الزكاة في بلد المال فلو نقلها إلى بلد آخر مع وجود المستحقين فللشافعي رضي الله عنه في المسألة قولان وللأصحاب فيها ثلاث طرف (أصحها) عندهم أن القولين في الإجزاء وعدمه (أصحهما) لا يجزئه )والثاني( يجزئه ولا خلاف في تحريم النقل (والطريق الثاني) أنهما في التحريم وعدمه (أصحهما) يحرم )والثاني( لا يحرم ولا خلاف انه يجزىء وهذان الطريقان في الكتاب (والثالث) حكاه صاحب الشامل أنهما في الجواز والإجزاء معا (أصحهما) لا يجوز ولا يجزئه (والثاني) يجوز ويجزئه وتعليل الجميع في الكتاب والأصح عند الأصحاب الطريق الأول (والأصح) من القولين أنه لا يجزئه وهو محكي عن عمر بن عبد العزيز وطاوس وسعيد بن جبير ومجاهد والنخعي والثوري ومالك وأحمد وبالإجزاء قال أبو حنيفة

Adapun hukumnya, maka Kesimpulan mazhab Syafi’i seharusnya dibagikan zakat dalam balad harta. Karena itu, kalau dinaqal zakat kepada balad lain sedangkan dalam balad tersebut ada mustahiqnya, maka dalam hal ini, Imam Syafi’i ada dua qaul. Merespon dua qaul Imam Syafi’i ini, pengikutnya terbagi dalam tiga pendapat. Pendapat yang lebih shahih di sisi mereka, dua qaul tersebut terkait memadai dan tidak memadai sebagai zakat. Yang lebih shahih dari keduanya adalah tidak memadai. Qaul kedua ; memadai. Dan tidak terjadi khilaf dalam hal keharaman naqal. Thariq kedua; kedua qaul tersebut terkait haram dan tidak haram. Pendapat yang lebih shahih adalah haram. Qaul kedua ; tidak haram. Tidak ada khilaf bahwa naqal zakat itu memadai. Dua thariq ini terdapat dalam kitab. Thariq ketiga telah dihikayah oleh pengarang al-Syaamil, sesungguhnya dua qaul tersebut adalah terkait kebolehan dan sekaligus memadai. Yang lebih shahih adalah tidak tidak boleh dan tidak memadai. Qaul kedua ; boleh dan memadai. ‘illah semuanya ada dalam kitab. Yang lebih shahih di sisi pengikut Syafi’i adalah thariq pertama serta yang lebih shahih dari dua qaul tersebut adalah tidak memadai. Pendapat ini telah dihikayah pula dari Umar bin Abdul Aziz, Thaus, Sa’id bin Jubair, Mujahid, al-Nakh’i, al-Tsuriy, Malik, Ahmad. Adapun pendapat memadai datang dari Abu Hanifah. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: VI/221-222)

 

Berdasarkan penjelasan Imam al-Nawawi di atas, ketidakbolehnaqal zakat merupakan pendapat mayoritas ulama Islam dan juga merupakan pendapat muktamad mazhab Syafi’i (pendapat yang dianggap sebagai mazhab Syafi’i)

Syekh Zainuddin al-Malibary menyatakan,

ولا يَجوزُ لِمالِكٍ نقْلُ الزّكاةِ عنْ بلدِ الْمال ولوْ إلى مسافةٍ قريبةٍ، ولا تُجزِئ

Tidak diperbolehkan bagi pemilik harta zakat memindahkan zakat dari daerah harta itu, sekalipun ke daerah yang berdekatan, dan zakat tersebut tidak sah.(Kitab Fathul Mu'in (edisi bersama I’anatut Thalibin), Hal. 198)

 

Pengarang I’anah Thalibin berkomentar:

وخرج بالمالك، الإمام، فيجوز له نقلها إلى محل عمله، لا خارجه، لأن ولايته عامة، وله أن يأذن للمالك فيه.

Dengan perkataan “malik”, maka tidak termasuk imam (pemimpin), boleh baginya naqal zakat kepada wilayah kerjanya, tidak boleh diluarnya. Karena wilayahnya umum dan boleh baginya mengizinkan pemilik harta naqal di dalam wilayahnya. (I’anah al-Thalibin: II/198)

 

Pengarang I’anah al-Thalibin menjelaskan kepada kita bahwa ketidakbolehan naqal zakat hanya berlaku atas pemilik harta. Adapun penguasa atau badan yang berwenang pengelolaan zakat seperti Baital Mal di Aceh dibolehkan naqal zakat selama masih di wilayah wewenangnya.

Dalam komentar selanjutnya:

(قوله: عن بلد المال) أي عن محل المال الذي وجبت فيه الزكاة، وهو الذي كان فيه عند وجوبها.

Perkataan pengarang: dari balad harta, artinya dari tempat harta yang wajib zakat padanya, yaitu tempat keberadaan harta ketika wajib zakat

 

Kemudian selanjutnya beliau mengatakan,

وهذا في زكاة المال. أما زكاة الفطرة: فالعبرة فيها ببلد المؤدى عنه.

Ini pada zakat harta. Adapun zakat fitrah, maka yang menjadi patokannya adalah balad orang yang ditunai zakat untuknya. (I’anah al-Thalibin: II/198)

 

Nash kitab di atas, menjelaskan bahwa yang menjadi patokan naqal zakat adalah apabila naqal zakat zakat tersebut dari domisili harta pada ketika zakat di wajibkan atasnya. Ini zakat harta. Adapun zakat fitrah patokannya adalah tempat domisi seseorang yang diberikan zakat atas namanya, meskipun diberikan oleh orang lain.

Dalam kitab Syarh al-Mahally dijelas:

( وَالْأَظْهَرُ مَنْعُ نَقْلِ الزَّكَاةِ ) مِنْ بَلَدِ الْوُجُوبِ مَعَ وُجُودِ الْمُسْتَحِقِّينَ فِيهِ إلَى بَلَدٍ آخَرَ فِيهِ الْمُسْتَحِقُّونَ ، بِأَنْ تُصْرَفَ إلَيْهِمْ أَيْ يَحْرُمُ ، وَلَا يُجْزِئُ لِمَا فِي حَدِيثِ الشَّيْخَيْنِ { صَدَقَةٌ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ ، فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ } ، وَالثَّانِي : يَجُوزُ النَّقْلُ وَيُجْزِئُ لِلْإِطْلَاقِ فِي الْآيَةِ ، ( وَلَوْ عُدِمَ الْأَصْنَافُ فِي الْبَلَدِ وَوَجَبَ النَّقْلُ ) إلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ إلَيْهِ

Menurut qaul adzhar tidak boleh memindah zakat dari tempat diwajibkannya mengeluarkan zakat -sedangkan orang-orang yang berhak menerima zakat tersebut ada-  dipindah ke daerah lain yang juga ada orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu zakat tersebut diberikan kepada mereka (mustahiq zakat yang berada didaerah lain), maka hukumnya diharamkan dan tidak memadai, karena berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim. "Shadaqah (zakat) itu diambilkan dari orang-orang yang kaya, kemudian dikembalikan (diberikan) kepada orang-orang faqir dari golongan mereka". Sedangkan menurut pendapat yang kedua "Boleh memindah zakat dan sudah dianggap memadai, karena berdasarkan kemutlakan firman Allah". Dan apabila disebuah daerah tidak ditemukan ashnâf yang menerima zakat, maka zakat wajib pindah kedaerah yang paling terdekat. (Al-Mahalli beserta hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah: III/202-203)

 

Kemudian Qalyubi berkomentar:

 (قوله وَالثَّانِي يَجُوزُ النَّقْلُ وَتُجْزِئُ ) وَاخْتَارَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ كَابْنِ الصَّلَاحِ وَابْنِ الْفِرْكَاحِ وَغَيْرِهِمْ ، قَالَ شَيْخُنَا تَبَعًا لِشَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ : وَيَجُوزُ لِلشَّخْصِ الْعَمَلُ بِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ ، وَكَذَا يَجُوزُ الْعَمَلُ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ بِقَوْلِ مَنْ يَثِقُ بِهِ مِنْ الْأَئِمَّةِ ، كَالْأَذْرَعِيِّ وَالسُّبْكِيِّ وَالْإِسْنَوِيِّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ

Perkataan pengarang: pendapat kedua boleh naqal dan memadai, artinya pendapat yang ke-dua ini telah dipilih oleh segolongan ulama' dari ashâb imam Syafi'I, seperti Ibnu Shalah, Ibnu Al-Farkâh dan ulama' yang lainnya. Syaikhunâ berkata dengan mengikuti terhadap pendapat guru kami imam Ar-Ramlî, diperbolehkan bagi seseorang mengamalkan pendapat tersebut untuk dirinya sendiri, begitu pula mengamalkan semua hukum-hukum dengan berpijak terhadap pendapat ulama' yang dapat dipercaya dari beberapa ulama'. Seperti imam Al-Adza’iI, Al-Subukî dan imam Al-Isnâwî menurut qaul mu'tamad ".(Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah: III/203)

 

Dalam Bughyatul Mustarsyidin disebutkan:

اَلرَّاجِحُ فِى الْمَذْهَبِ عَدَمُ جَوَازِ نَقْلِ الزَّكاَتِ وَاخْتَارَ جَمْعُ الْجَوَازَ كَابْنِ عُجَيْلٍ وَابْنِ الصَّلاَحِ وَغَيْرِ هِمَا قَالَ أَبُو مَخْرَمَةَ وَهُوَ الْمُخْتاَرُ إِذاَ كاَنَ لِنَحْوِ قَرِيْبٍ وَاخْتَارَهُ الرَّوْياَنِى وَنَقَلَهُ الْخَطَّابِى عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَماَءِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَتِيْق فَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هَؤُلاَءِ (مَسْأَلَةٌ ي ك) لاَيَجُوْزُ نَقْلُ الزَّكاَتِ وَالْفِطْرَةِ عَلىَ اْلأَظْهَرِ مِنْ أَقْوَالِ الشَّافِعِى نَعَمْ أُسْتُثْنِيَ فِى التُّحْفَةِ وَالنِّهَاَيَةِ مَا يَقْرُبُ مِنَ الْمَوْضِعِ وَيُعَدُّ مَعَهُ وَاحِدًا وَإِنْ خَرَجَ عَنِ السُّوْرِ

Pendapat rajih dalam madzhab tidak memperbolehkan pemindahan zakat ke (daerah lain). Sekelompok ulama memilih di perbolehkan pemindahan zakat, seperti pendapat Ibnu ‘Ujail dan Ibnu Shalah dan selain keduanya. Ibnu Makhramah mengatakan kebolehan memindah zakat merupakan pendapat terpilih apabila diberikan kepada kerabat. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al-Rauyani, Al-khathabi dan Ibnu ‘Atiq telah mengutip dari sebagian besar ulama, maka boleh mengikuti mereka itu.

(Masalah Ya ka) Menurut qaul azhhar Imam Syafi’i tidak diperkenankan memindahkan zakat (maal) dan (fitrah). Dalam karya Tuhfah dan Nihayah terdapat pengecualian untuk tempat yang berdekatan dan masih dianggap satu walaupun berada di luar perbatasan.(Bughyatul Mustarsyidin: 105)

 

Berdasarkan penjelasan Qalyubi dan kitab Bughyatul Mustarsyidin di atas, naqal zakat ini meskipun dianggap pendapat yang lemah dari sisi pandangan mazhab Syafi’i, namun boleh diamalkan binafsihi (amalan untuk diri sendiri, bukan untuk fatwa). Karena amalan ini merupakan juga pendapat pilihan beberapa ulama besar Syafi’yah seperti al-Ruyaniy, al-Khathabi dan lain-lain

Ulama mazhab Syafi’i menyatakan kewajiban seseorang untuk mengeluarkan zakat fitrah di negeri mereka tinggal sebagaimana keterangan Imam Abu Ishaq al-Syairazi dari Mazhab Syafi’i dalam al-Muhazzab berikut ini:

وان وجبت عليه زكاة الفطر وهو في بلد وماله فيه وجب اخراجها إلى الاصناف في البلد لان مصرفها مصرف سائر الزكوات

Jika datang waktu wajib pembayaran zakat fitrah pada seseorang, sementara ia dan hartanya ada di suatu negeri, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya kepada golongan penerima zakat yang ada di negeri tersebut karena tempat tasaruf zakat fitrah sama saja dengan tempat tasaruf zakat jenis lainnya (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: VI/225)

 

Imam al-Nawawi mengatakan.

قال أصحابنا إذا كان في وقت وجوب زكاة الفطر في بلد وماله فيه وجب صرفها فيه فإن نقلها عنه كان كنقل باقي الزكوات ففيه الخلاف والتفصيل السابق وان كان في بلد وماله في آخر فأيهما يعتبر فيه وجهان (أحدهما)بلد المال كزكاة المال (وأصحهما) بلد رب المال ممن صححه المصنف في التنبيه والجرجاني في التحرير والغزالي والبغوي والرافعي وآخرون

Ashabunaa (Ulama Syafi’iyah) berpendapat apabila seseorang pada ketika wajib zakat fitrah berada dalam satu baladdan hartanya juga dalam balad tersebut, maka wajib menyerahkan zakat fitrah dalam balad tersebut. Jika di naqal, maka hukumnya sama dengan naqal zakat  lain. Padanya ada khilaf dan rincian sebelumnya. Dan jika seseorang berada dalam satu balad, sedangkan hartanya di balad lain, maka mana yg menjadi i’tibar?. Ini ada dua pendapat, salah satunya adalah balad harta sama seperti zakat harta. Namun pendapat yang lebih shahih adalah balad yang punya harta. Pendapat ini termasuk yang telah ditashihkan oleh pengarang dalam al-Tanbiih, Jarjaniy dalam al-Tahrir, al-Ghazali, al-Baghwiy, al-Rafi’I dan lainnya. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab:VI/225-226)

 Wallahua'lam bisshawab

Media sosial dan fenomena ghibah

Keberadaan media sosial saat ini memiliki daya untuk melipatgandakan pahala, nyaris tanpa biaya dan lebih mudah. Tinggal berbagi inspirasi kebaikan lewat facebook, group whatsapp, twitter, atau jejaring sosial lain. Semakin tersebar, semakin berganda pula pahala kita.  Hadirnya media sosial membuat kita menjadi mudah dalam menjalankan setiap aktivitas. Kita bisa saling berkomunikasi dengan jarak jauh, berbagi ilmu, nasehat kebaikan, diskusi, belajar, dan dampak positif lainnya. Namun, di sisi lain media sosial juga dapat memberikan dampak negatif jika tidak bijak dalam penggunaannya. Sering dianalogikan bahwa media sosial ibarat pisau bermata dua. Jika kita bijak dalam menggunakannya, tentu akan memberikan banyak dampak positif kepada kita. Sebaliknya, jika kita memanfaatkan media sosial sebagai tindak kejahatan, tentu akan berdampak negatif bagi diri kita dan orang yang ada di sekitar kita. Media sosial membawa dampak negatif apabila dimanfaatkan untuk ghibah, membuka aib orang atau aktifitas maksiat lainnya. Dalam tulisan ini, kita tidak membahas tentang hoaks atau berita-berita dusta yang sudah banyak diketahui orang, hukumnya adalah haram, akan tetapi mencoba fokus membahas perihal menyebarkan berita yang benar, tapi menyakiti pihak yang menjadi sasaran berita atau apa yang sering disebut sebagai ghibah.

Pengertian Ghibah

Ghibah atau menggunjing adalah tindakan menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain, yang jika orang itu mendengarnya tidak merasa senang. Dalam ghibah keburukan yang diceritakan itu adalah kondisi yang benar. Jika cerita keburukan itu tidak benar, maka termasuk fitnah atau bohong. Yang terakhir ini tidak kurang buruk dan dosanya dari ghibah. Imam al-Ghazali menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :

اعْلَمْ أَنَّ حَدَّ الْغِيبَةِ أَنْ تَذْكُرَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ لَوْ بلغه سواء ذَكَرْتَهُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهِ أَوْ نَسَبِهِ أَوْ فِي خُلُقِهِ أَوْ فِي فِعْلِهِ أَوْ فِي قَوْلِهِ أَوْ فِي دِينِهِ أَوْ فِي دُنْيَاهُ حَتَّى فِي ثَوْبِهِ وَدَارِهِ وَدَابَّتِهِ

Ketahuilah, sesungguhnya devinisi ghibah adalah membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya bila sampai perkataanmu itu kepadanya, baik kamu menyebut kekurangan pada badan, nasab, kejadian, perbuatan, perkataan, agama dan dunianya sehingga perihal pakaian, rumah dan kenderaannya. (Ihya Ulumuddin : III/143)

Ibnu Hajar al-Asqalaniy menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :

الْغَيْبَة هُوَ ذكر الرجل بِمَا يكره ذكره مِمَّا هُوَ فِيهِ

Ghibah adalah membicarakan seseorang dengan apa yang dibencinya, yaitu kekurangan  yang ada padanya. (Fathulbarri : I/164)

 

 Point penting yang perlu dipahami, bahwa ghibah adalah suatu pernyataan yang benar dengan kenyataan. Karena jika tidak benar, maka termasuk dalam katagori menyebar berita bohong. Pengertian seperti sebagaimana ditegaskan Hadits Nabi SAW bersabda :

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قالوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فقد اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah bersabda, “Membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya”. Ada yang menimpali, “Apa pendapatmu, jika aku mengatakan sesuatu yang benar pada saudaraku”. Rasulullah menjawab, “Jika benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan ghibah dan jika tidak benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan kebohongan.. (H.R. Muslim)

 

Point kedua, ghibah bukan hanya dengan lisan saja, tetapi juga mencakup isyarah, gerakan tubuh, tulisan, kerlingan mata, perbuatan dan setiap hal yang dapat dipahami darinya merendahkan orang lain. Imam al-Ghazali mengatakan,

اعلم أن الذكر باللسان إنما حرم لأن فيه تفهيم الغير نقصان أخيك وتعريفه بما يكرهه فالتعريض بِهِ كَالتَّصْرِيحِ وَالْفِعْلُ فِيهِ كَالْقَوْلِ وَالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ وَالْغَمْزِ وَالْهَمْزِ وَالْكِتَابَةِ وَالْحَرَكَةِ وَكُلُّ مَا يُفْهِمُ الْمَقْصُودَ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْغِيبَةِ وَهُوَ حَرَامٌ

Ketahuilah, sesungguhnya membicarakan secara lisan, hukumnya haram karena padanya ada memberikan pemahaman kepada orang lain ada kekurangan saudaramu dan memperkenalkan saudaramu dengan kekurangan yang dibencinya. Karena itu, menyindir sama seperti penegasan, perbuatan sama seperti perkataan. Demikian juga isyarah, penunjukan dengan tangan, kedipan mata, penunjukan dengan kaki, tulisan, gerakan dan setiap yang dipahami maksudnya. Maka semua itu masuk dalam ghibah yang diharamkan.(Ihya ‘Ulumuddin: III/144)

Termasuk dalam katagori ghibah perkataan ‘Aisyah r.a:

دخلت علينا امرأة فلما ولت أومأت بيدي أنها قصيرة فقال صلى الله عليه وسلم اغتبتيها

Masuk menemui kami, seorang perempuan. Manaakala ia berpaling, aku isyaratkan dengan tanganku bahwa ia pendek. Lalu Nabi SAW bersabda. “Kamu telah melakukan ghibah kepadanya”. (H.R. Ibnu Abi Dun’ya dan Ibnu Mardawiih)

Termasuk ghibah juga meniru berjalan pincang sebagaimana halnya seseorang berjalan, bahkan lebih berat dari ghibah, karena lebih kuat kesannya dalam menggambarkannya dan memberikan pemahaman. (Ihya Ulumuddin : III/144)

 

 

Hukum ghibah

Sebagaimana dimaklumi hukum ghibah adalah haram dengan ijmak ulama. Imam al-Nawawi mengatakan,

وأما حكمهما، فهما محرّمتان بإجماع المسلمين، وقد تظاهرَ على تحريمهما الدلائلُ الصريحةُ من الكتاب والسنّة وإجماع الأمة،

Adapun hukum Keduanya (ghibah dan namimah) adalah haram dengan ijmak kaum Muslimin. Sesungguhnya dhahir dan nyata haram keduanya berdasarkan dalil-dalil yang sharih dari al-Kitab dan al-Sunnah serta ijmak ummat.(al-Azkar: 536)

 

Ibnu Hajar al-Haitamy telah memasukkan ghibah dalam katagori dosa besar. Dalam kitab al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, beliau mengatakan:

الكبيرة الثامنة والتاسعة والاربعون بعد الماءتين الغيبة والسكوت عليها

Dosa besar yang kedua ratus empat puluh delapan dan kedua ratus empat puluh sembilan adalah ghibah dan diam atasnya. (al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair: II/8)

 

Dalil keharaman ghibah antara lain firman Allah Ta’ala berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q. S. al-Hujurat : 12)

 

Dan hadits dari ‘Aisyah r.a., beliau berkata:

قلتُ للنبيّ صلى الله عليه وسلم : حسبُك من صفيّة كذا وكذا قال بعضُ الرواة: تعني قصيرة، فقال: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ  قالت: وحكيتُ له إنساناً  فقال: " ما أُحِبُّ أني حَكَيْتُ إنساناً وأنَّ لي كَذَا وكَذَا "

Aku pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW, ‘Cukup bagimu perihal kekurangan Shafiyyah yang ini dan itu,’–sebagian perawi mengatakan bahwa yang dimaksud Aisyah adalah soal tinggi badan Shafiyah yang rendah.– Rasul menegurku, ‘Kau telah melontarkan sebuah kalimat yang bila dilemparkan ke laut, niscaya ia akan bercampur (mengubah rasa air) laut tersebut.’ Aku juga pernah menceritakan (keburukan) seseorang kepadanya. Lalu Rasul menanggapi, ‘Aku tidak suka bercerita perihal seseorang dan aku mendapatkan (keuntungan) ini dan itu.’’ (H.R. Abu Daud dan Turmidzi).

 

Motivasi ghibah

Banyak hal yang memotivasi munculnya ghibah, namun secara garis besar dapat dikatagorikan dalam sebelas katagori sebagaimana dikemukakan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, yaitu sebagai berikut:

1.  Melampiaskan kemarahan. Ketika kemarahan berkobar, kadang-kadang seorang melampiaskan dengan menyebut kejelekan-kejelekan orang yang dimarahinya.

2.  Menyesuaikan diri dengan teman-temannya yang sedang berghibah. Sebagian orang berpandangan bahwa dalam pergaulan yang baik harus menyesuaikan diri dengan perilaku teman pergaulannya, termasuk mengikuti perilaku ghibah yang dilakukan temannya.

3.  Merasa ada seseorang yang akan berusaha menjelek-jelekkannya. Lalu sebelum kejelekannya disampaikan, maka dia mencoba mematahkannya dengan lebih dahulu menyebut kejelekan-kejelekan orang yang berusaha menjelekkannya itu.

4.  Dituduh sudah melakukan suatu perbuatan. Lalu melepaskan dirinya dari tuduhan tersebut dengan melempar tuduhan itu kepada orang lain dengan menyebut bahwa orang tersebutlah yang melakukan perbuatan yang dituduh atas dirinya.

5.  Mempunyai maksud membanggakan dan menonjolkan dirinya dengan menyebut kekurangan dan kejelekan orang lain

6.  Dengki kepada orang yang kerap dipuji, dicintai dan dimuliakan orang. Karena itu, dia berkeinginan hilang nikmat dipuji, dicintai dan dimuliakan pada orang yang didengkinya itu dengan menyebut sifat-sifat tercela pada orang tersebut.

7.  Bersenda gurau dan menghabiskan waktu dengan tertawa. Lalu menyebut aib-aib orang dengan maksud dapat mengundang tertawa.

8.  Mengejek dan menghina. Sumbernya adalah sikap kesombongan dan menganggap rendah orang lain.

9.  Muncul rasa keheranan karena dorongan keyakinan agamanya yang baik. Apabila melihat seseorang berbuat salah, lalu dia berucap: “Aku heran, kenapa si pulan berbuat yang tidak benar itu”. Padahal ungkapan keheranannya itu bisa diungkapkan tanpa menyebut namanya.

10.  Ungkapan rasa kasih sayang. Ketika melihat seseorang tertimpa suatu aib, lalu dia berucap: “Kasihan si pulan telah tertimpa aib itu”. Sebenarnya, ungkapan rasa kasih sayang itu bukan suatu yang salah. Namun menjadi ghibah yang diharamkan pada saat ada penyebutan nama. Padahal itu bisa diungkapkan tanpa menyebut nama.

11.   Marah karena Allah. Sesungguhnya pada saat melihat suatu kemungkaran, seseorang semestinya menunjukkan kemarahannya. Namun kemarahan itu bisa diungkap langsung atas orang yang berbuat kemungkaran. tidak perlu dikemukakan kepada orang lain dengan menyebut nama orang yang berbuat kemungkaran tersebut. Ketika dikemukakan kepada orang lain dengan menyebut nama orang yang berbuat kemungkaran, maka itu menjadi ghibah. (Ihya’ ‘Ulumuddin: III/146-147)

Hal-hal yang membolehkan ghibah

Ghibah ini meskipun haram, akan tetapi dalam beberapa kondisi hukumnya menjadi mubah karena ada kemaslahatannya. Imam al-Nawawi menyebut ada enam kemaslahatan yang menjadi faktor kebolehan ghibah, yaitu:

الأوّل: التظلم

1.  Memberitahu kedhaliman.

Seseorang yang mendapati dirinya terdhalimi dibolehkan menyampaikan kepada pihak yang berwenang bahwa seseorang telah mendhaliminya, meskipun itu termasuk dalam katagori ghibah

الثاني: الاستعانة على تغيير المنكر وردّ العاصي إلى الصواب

2.  Minta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat kepada kebenaran. Misalnya seseorang menyampaikan kepada yang mempunyai kemampuan menghilangkan kemungkaran bahwa sipulan telah berbuat suatu yang salah. Penyampainnya ini diharapkan seseorang itu dapat mencegah kemungkaran tersebut.

الثالث: الاستفتاء،

3.  Ghibah dalam rangka meminta fatwa

Terkadang dalam rangka minta fatwa diharuskan menceritakan aib seseorang dalam sebuah kasus. Dalam kasus seperti ini, ghibah suatu hal yang dibolehkan karena faktor darurat.

الرابع: تحذير المسلمين من الشرّ ونصيحتهم

4.  Menjaga orang muslim dari keburukan dan menasihatinya.

Menceritakan keburukan seseorang dalam rangka menghindarkan seorang muslim dari dampak negatif yang dikuatirkan akan menimpanya merupakan ghibah yang dapat dibenarkan.

الخامس: أن يكون مُجاهراً بفسقه أو بدعته

5.  Orang yang dighibah merupakan seseorang yang suka mempamerkan kejahatannya atau amalan bid’ahnya.

Misalnya orang yang suka minum minuman keras secara terang-terangan ataupun kejahatan lainnya di depan umum.

السادس: التعريف،

6.    Dalam rangka memperkenalkan seseorang.

Seandainya seseorang sudah ma’ruf dan dikenal dengan sebutan yang jelek, seperti sipendek, sibotak dan sebutan-sebutan jelek lainnya, maka menyebutnya dengan sebutan tersebut dapat dibenarkan selama tidak ada niat menghinanya atau menjelek-jelekkannya.

(al-Azkar: 542-544)