Syeikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama terkenal asal Minangkabau, kelahiran Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam. Beliau memulai dan mengakhiri kariernya sebagai ulama di Makkah Al Mukarramah, dan terkenal dengan panggilan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Kata “Al-Minangkabawy” menunjukkan bahwa beliau berasal dari Ranah Alam Minangkabau.
Begitu meninggalkan Ranah Minang, beliau langsung berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu, sehingga akhirnya beliau menjadi guru, ulama dan syeikh yang terkenal di tanah suci tersebut, dengan pusat kegiatannya Masjidil Haram.
Semenjak berangkat pertama, tidak pernah pulang ke Minangkabau, sampai beliau berpulang ke alam baqa di kota tersebut. Beliau juga menikah dan berketurunan disana. Isteri, anak-anak dan cucu-cucunya adalah semua orang Arab.
Ahmad Khatib adalah anak dari Khatib Nagari yang berasal dari Koto Gadang, hasil perkawinannya dengan “Limbak Urai” yang berasal dari KotoTuo Balai Gurah. Beliau bersaudara sebanyak lima orang yaitu beliau sendiri, H. Aisyah, H. Mahmud, H. Hafsah dan H. Safiah, sedang dari ibu tirinya Kalsum di Koto Gadang, beliau mempunyai saudara yang bernama “Khailan Samsu”. Dari pihak Bapak, beliau mempunyai hubungan dengan Inyiak H. Agus Salim (saudara sepupu) dan dari pihak ibu, Seikh Ahmad Khatib bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang Ulama Falak yang terkenal di tanah Melayu (Malaysia sekarang)
Melihat silsilah keturunan beliau bersambung ke atas, tampaknya beliau juga punya hubungan dengan Tuanku Nan Tuo, seorang guru dari pejuang dan Ulama-ulama Paderi.
1 Ahmad Khatib kecantol dengan seorang puteri Mekkah, yaitu anak dari Saleh Kurdi, pemillik Toko Kitab di Babus Salam, dekat Masjidil Haram Saleh Kurdi dengan kesopanan, kerajinan dan kealiman Ahmad Khatib, yang diperhatikannya setiap hari, sewaktu keluar-masuk Masjidil Haram melewati Toko Kitabnya. Rupanya tidak cukup hanya seorang putri diamanahkan Saleh Kurdi untuk dikawini Ahmad Khatib, bahkan putrinya yang kedua juga dikawinkan dengan Ahmad Khatib setelah putrinya yang
pertama itu meninggal dunia. Dalam istilah Minagkabau hal semacam itu disebut
“mangganti lapiak” (mengganti tikar)
Dari isteri yang pertama itu mendapatkan seorang putra yang bernama Abdul Karim dan dari isteri yang kedua Ahmad Khatib dikurnai tiga orang anak yaitu Abdul Malik, Abdul Hamid dan Siti Khadijah. Dengan demikian Syeikh Ahmad Khatib mempunyai tiga orang putra dan seorang putri dari kedua putri yang bersaudara itu. Ahmad Khatib tidak pernah berpoligami, dan tidak pernah kawin lagi setelah istri yang kedua itu. Amatlah disayangkan, tidak ada putri Minang yang sempat teman hidup Syeikh Ahmad Khatib, sehingga juga tidak ada anak Minangyang berayah kepada beliau. Menurut keterangan seorang cucu beliau yang bernama Zakiyah Tamin di Koto Tuo Balai Gurah, salah seorang putra beliau yang bernama Abdul Hamid (anggota parlemen dan kemudian menjadi Duta Arab Saudi di Karachi) pernah datang ke Indonesia pada tahun 1938 dan berkunjung ke rumah bakonya di Koto Tuo. Terkandung maksud bagi Abdul Hamid untuk menggaet salah seorang putri dikalangan bakonya itu, yang akan dipersuntingnya sebagai istri, dengan tujuan agar pertalian kekeluargaan antara keturunan Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah dengan keluarga Syeikh di Minangkabau selalu terjalin erat dan terus bersambung. Tetapi…….. apa hendak dikata, semua wanita dikalangan bakonya sudah berpunya. Dan untuk menunggu yang baru atau yang akan lahir, rasanya usianya sudah terlalu tua. Maka niatnya itu tidak terkabul sama sekali. Namun surat menyurat masih berjalan terus antara keturunan Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah dengan keluarga yang masih ada di Koto Tuo Balai Gurah . Apa lagi Syeikh Ahmad Khatib dulu telah memanggil beberapa kemenakannya untuk datang dan menetap di Mekkah, mereka pun telah mempunyai keturunan pula disana.
Perkampungan keluarga Syeikh tersebut di Mekkah bernama “Garara Kampung Syamsiyah”. Banyak dianara mereka yang menjadi Syeikh Pelayan Haji dan memeberikan banyak pertolonganya kepada jamaah haji asal Minangkabau apalagi yang punya hubungan dengan Syeikh Ahmad Khatib.
Dari keterangan atau informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebahagian besar keluarga Syeikh Ahmad Khatib bermukim di Mekkah menjadi warga negara Arab Saudi. Dengan perkataan lain Syeikh Ahmad Khatib mempunyai saham yang paling besar dalam menambah kwantitas penduduk Mekkah khususnya dan warga Arab Saudi umumnya. Semoga Allah SWT memberikan keampunan kepada beliau dan menempatkan pada tempat yang Mulia, Amin.
2 Mengenai tahun kelahiran dan tahun keberangkatannya ke Mekkah terdapat perbedaan antara keterangan Hamka dengan keterangan Tamar Djaya. Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib dilahirkan tanggal 6 Zulhijjah 1276 Hijriyah (1860 M) dan berangkat ke Mekkah dalam usia 11 tahun, bersama ayahnya sendiri Khatib Nagari, untuk menunaikan Ibadah Haji dan mendalami ilmu agama dari alim ulama yang berada di Mekkah. Pada mulanya Ahmad Khatib akan memasuki Sekolah Raja di Bukittinggi, tetapi tidak jadi. Menurut Tamar Djaya, setelah Ahmad Khatib menamatkan Sekolah Rendah dikampungnya sendiri (tahun 1877 M). Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah, karena beliau tertarik dengan ilmu agama dan ingin mendalaminya langsung ke sumber aslinya (ke negeri dimana Islam mula-mula diturunkan).
Perbedaan tanggal dan tahun ini tidak begitu penting dan akan dapat dijelaskan dengan Hijrat (catatan autentik tentang kelahiran beliau), tetapi amatlah disayangkan hal itu belum diketemukan dari keluarga Syeikh. Yang jelas adalah beliau ke Mekkah dalam usia muda (belum kawin), belajar agama Islam di sana, kemudian menjadi guru dan akhirnya menjadi syeikh terkenal. Beliau menikah, berketurunan dan meninggal di tanah suci tersebut, tanpa pernah kembali ke Indonesia barang sekalipun. Beliau meninggal hari Senin bulan Jumadil Akhir 1334 (1915 M), dalam usia 63 tahun Ilmu pengetahuan utama yang didalaminya adalah Ilmu Fiqhi, disamping juga mempelajari ilmu agama lainnya dan ilmu umum seperti ilmu Falak, ilmu Hisab, ilmu Al Jabar dsb. Aliran Fiqhi yang dipelajari dan dianutnya adalah Mazhab Syafi’i. Guru-gurunya adalah : Zaid Ahmad Zain Dahlan, Said Bakri Syatta dan Syeikh Yahya Kabli.
Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam menuntut pelajaran, baik diwaktu belajar dikampung halamanny, maupun setelah berada di Mekkah. Kerajinan dan kecerdesannya itulah yang menyebabkan beliau dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, khususnya dalam bidang Hukum Islam. Dengan usaha dan jasa mertuanya Saleh Kurdi, Ahmad Khatib dapat membuat suatu Halakah tempat ia mengajar di dalam Masjidil Haram. Dalam waktu yang singkat ia telah dikelilingi oleh beratus-ratus orang yang ingi menjadi muridnya. Sebagian besar murid itu berasal dari Indonesia dan Semenanjung Malaysia, yang dulu disebut dengan julukan “Orang Jawi”. Kemasyhurannya sebagai Mudarris (guru), meningkat menjadi Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Kerajaan Istambul menggelari Ahmad Khatib dengan “Bey Tunis”, sebagai guru suatu tanda jasa yang diberikan kepada orang yang berjasa besar dalam bidang ilmu pengetahuan, Banyak Raja-raja dan Sultan-sultan di tanah Air dan di daerah Simenanjung yang meminta fatwaagama kepada beliau melalui surat-menyurat, yang selanjutnya diiringi dengan menukar tanda mata. Diantaranya yang beliau kirimkan adalah “Bacaan Khutbah Kedua” yang disebut juga dengan Khutbah “Na’at”, dan inilah yang dibaca oleh Khatib di negeriyang berada dibawah naungan sultan yang meminta fatwa kepada Ahmad Khatib, seperti tersebut diatas.
Beliau juga banyak menulis buku-buku agama mengenai Fiqhi, Ushul Fiqhi, Tashauf dan lain-lain dalam bahasa Melayu dan Bahasa Arab.
(Sumber : Riwayat Hidup dan Perjuangan 20Ulama Besar Sumatera Barat}
(Penerbit : Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981}
* Salah satu karya beliau adalah kitab al-Nufahaat 'ala Syarh al-Warqaat. sebuah kitab dalam bidang ushul fiqh yang banyak dipelajari dikalangan pesantren di Indonesia. (catatan dari Tgk Alizar Usman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar