Abuya Tgk. Syekh H. Muhammad Syam Marfaly yang dikenal dengan panggilan Abu Syam atau Abu di Blang adalah salah seorang ulama kharismatik Aceh yang dikenal dengan ketegasan di hukum fiqih dan Abu juga seorang ulama yang membasmi paham wahabi di Blangpidie, yang sebelumnya merupakan salah satu tempat pusat perkembangan wahabi di wilayah Pantai Barat Selatan Aceh, Abuya di lahirkan di desa Lhung Tarok Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Selatan (sekarang Aceh Barat Daya) pada tahun 1937. Ayah beliau bernama Khalifah Makrufen bin Khalifah Ali dan ibu beliau Hj. Aisyah binti Tgk. Muhammad Ali.
Seperti umumnya pada masyarakat Aceh, pendidikan dasar yang diperoleh seorang anak dalam keluarga adalah diberikan dari orang tua mereka, terutama yang berhubungan dengan pendidikan agama dan akhlak. Di samping itu juga,Abu juga belajar di Sekolah Rakyat (SR) di Blangpidie tapi tidak selesai karena terhimpit factor ekonomi keluarga yang tidak mendukung dan juga disebabkan oleh meninggalnya Ayah beliau.
Setelah Abu berhenti sekolah Abu membantu orang tua ,yaitu bertani dan pada tahun 1955 Abu berdagang di Blangpidie. Karena aktifitas Abu di Blangpidie dekat dengan Mesjid Jamik Blangpidie, maka beliau pun menjadi salah seorang jama’ah Mesjid tersebut. Karena rutin mendengar ceramah dan pengajian dari Abuya Tgk. T. Syeh Mahmud bin Tgk. Ahmad (Pendiri/pimpinan Dayah Bustanul Huda) maka beliau tertarik untuk pergi mengaji.
Maka pada tahun 1958 Abu berangkat ke Dayah/Pesantren Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan pimpinan Abuya Tgk. Syekh Muhammad Muda Waly Al-Khalidy untuk menimba ilmu. Abu belajar dan mengajar di Darussalam selama 17 tahun lamanya.
Setelah selesai Abu di Darussalam maka pada tahun 1975 Abu menikah dengan Hj. Rusnida asal desa Blangporoh Labuhan Haji Aceh Selatan dan dari perkawinan tersebut beliau dikarunai tiga orang anak,yaitu : Nurbaiti Syam Marfaly, Nur Asyqiyati Syam Marfaly dan Tgk. H. Muhammad Qudusi Syam Marfaly.
Memimpin Dayah dan Perjuangan
Dayah Bustanul Huda merupakan salah satu Dayah tua dipantai Barat Selatan Aceh. Pada mulanya Dayh ini bernama Jami’atul Muslimin yang didirikan oleh Tgk. Syeh Ismail (tidak diketahui tanggal dan tahun yang jelas) yaitu pada masa penjajahan Belanda di Aceh yang lokasinya di Mesjid Jamik Agung Blangpidie sekarang. Setelah Tgk. Syeh Ismail berpulang Kerahmatullah maka Dayah Jami’atul Muslimin dipimpin oleh tgk. Yunus Lhong seorang Ulama dari Lhong Aceh Besar. Pada saat pergolakan Tgk. Peukan di Blangpidie yang disaat itu Tgk. Peukan syahit, maka Tgk. Yunus Lhong mengubur Tgk. Peukan sebagai mana layaknya meninggal seorang syuhada yaitu tanpa dimandikan dan dikafan. Maka pemerintah Hindia Belanda pada saat itu mencap Tgk. Yunus Lhong seorang yang berdiri dipihak pemberontak sehingga Belanda tidak mengizinkan Tgk. Yunus Lhong untuk tinggal di Blangpidie.
Sepeninggal Tgk. Yunus Lhong mak dengan sendirinya aktivitas Dayah terhenti. Maka pada tahun 1926 atas inisiatif tokoh masyarakat pada saat itu mendatangkan seorang Ulama lain yaitu Abuya Tgk. T. syeh Mahmud Bin T. Ahmad (Abu syeikh Mud) lulusan dari Dayah Yan Kedah Malaysia.
Pada saat itu Abu Syehmud mengganati nama Dayah dari Jami’atul Muslimin menjadi Dayah Bustanul Huda dan dibawah kepemimpinan beliau Dayah Bustanul Huda berkmbang dengan pesat santri-santri berdatangan dari seluruh Daerah. Sehingga melahirkan murd-murid yang handadal. Diantaranya Abuya. Tgk. Syeh H Muhammad Wali Al Khalidy (pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji), Tgk. H. Adnan Mahmud Bakongan (nek Abu), Tgk Ja’far Lailon, Tgk. Syekh H. Jailani Musa dan lain-lain.
Pada tahun 1966 Abu Syekh Mud meninggal dunia maka Dayah Bustanul Huda dipimpin oleh menantu beliau yaitu Abuya Tgk. Syekh H. Abdul Hamid Kamal yang dikenla dengan sebutan Abu Hamid. Abu Hamid pada saat itu juga sudah mendirikan Dayah yaitu Dayah Raudhatul Ulum Kuala Batee maka dengan sendirinya Abu Hamid memimpin dua buah dayah. Pada tahun 1980 Abu Hamid meninggal dunia maka ata inisiatif keluarga Abu Hamid dan tokoh masyarakat pada saat itu meminta kesediaan kepada Abuya Tgk. Syekh H. Muhammad Syam Marfaly untuk memimpin Dayah Bustanul Huda.
Pada tahun 1983 karena lokasi tidak memungkinkan untuk mengembangkan pendidikan maka Abu memindahkan lokasi Dayah ke Desa Keude Siblah yaitu di lokasi sekarang (Jl. Cot Seutui).
Di lokasi baru tersebut yang merupakan tanah pribadi Abu, perkembangan Dayah mulai pesat, santri mulai berdatangan untuk menetap di Dayah Bustanul Huda, sntri yang menetap mulai dari wilayah Blangpidie sampai berdatangan merata dari seluruh kabupate yang ada di Aceh. Bahkan ada dari Sumatra Utara, Sumtra Barat, Jambi, dan Riau. Pada tahun 1989 Abu mulai menerima satri putri untuk menetap dan belajar di Dayah Bustanul Huda Blangpidie.
Santri Abu banyak yang telah berhasil bahkan ada yang telah mendirikan Dayah diantarnya: Tgk. Hajad, pimpinan Dayah Nurul Muhsinin Beuruneun kabupaten Pidie , Tgk. Abubakar Yusuf, pempinan Dayah Bustanul Huda kecamatan Mutiara Timur kabupaten Pidie, Tgk. M. Husen Pimpinan Dayah. Tgk. Chik Fadil Diriwat Kembang Tanjung pidie. Tgk. Lukmanul Hakim pimpinan Dayah bustanul Huda Muara Tebo Provinsi Jambi, Tgk. Azhar syam Pimpinan Dayah Dayah Darul Wasi’ah Pekan Baru Riau.Tgk. mahyuddin pimpinan Dayah di Padang sumatera Barat, Tgk. M. tulot pimpinan Dayah Darul Huda kec. Babahrot, Tgk. Marah Hitam pimpinan dayah di Kuala Batee, Tgk. H. Ja’far Amja pimpinan Dayah Sirajul Ibad Meukek Aceh Selatan, Tgk. Junaidi Al Firdaus pimpinan Dayah Bustanul Fhata Aron Kuta Baro,Pidie, Tgk. Ramli pimpinan Dayah Babul Hidayatul Muslim Lhung Baro Nagan Raya, Tgk. Syamsul Bahari pimpinan Dayah Bahrulm ulum Diniyah Islamiyah kecamatan Meuraxa Kota Lhoksumawe dan lain-lain.
Dalam mengembangkan dayah, Abu tidak mau menerima sumbangan Pemerintah walupun pada masa itu yaitu di saat Orde Baru berkuasa pernah menawarkan sumbangan ratusan juta rupiah tapi Abu tetap menolaknya. Alasan Abu tidak mau menerima sumbangan Pemerintah disebabkan karena yang memberikan tersebut ada maunya sehingga apa yang secara tidak langsung mulut kita terbungkam dan tidak berani mengkritik sehingga menjadi corong pemerintah bukan coong masyarakat.
Untuk menjalankan Dayah, Abu hanya menerima sumbangan ikhlas dari masyarakat, selain itu juga ada dari wali murid Santri yang menetap di Dayah Bustanul Huda. Dan selain itu juga hasil dari perkebunan kelapa sawit milik Dayah Bustanul Huda.
Untuk menghidupi keluarga, Abu bertani dan berkebun. Abu turun sendiri kesawah dan kebun, disamping itu juga dibantu oleh santri-santri Abu. Dan Abu menananmkan kepada santri Abu untuk mandiri sehingga tidak tergantung kepada pihak lain, sehingga bila santri tersebut sudah mampu kelak membangun pesantren ada jiwa mandiri seperti yang dikerjakan oleh Abu.
Selain dari memimpin Dayah Abu juga aktif melakukan Majelis Ta’lim yaitu malam jum’at di Mesjid Jamik Kutatinggi Blangpidie untuk Masyarakat umum dan malam sabtu di Mesjid Jamik Blangpidie tapi karena pergolakan konflik Aceh semakin memanas pada masa itu maka pada tahun 2001 pengajian tersebut dihentikan. Dan pada hari jum’at usai shalat jum’at Abu membuka Majelis Ta’lim untuk Jama’ah Ibu-Ibu di Dayah Bustanul Huda dan pada hari Rabu untuk jama’ah Laki-Laki yang sampai sekarang masih aktif.
Abu juga aktif berdakwah yang diundang oleh masyarakat mulai dari sekitar Aceh sampai diluar Aceh. Dalam menyampaikan Da’wah Abu diknal keras suka mengkritik kebijakan pemerintah yang menentang dalam Agama . sehingga Abu dikenal dengan Ulama Keras yang menolak mordenisasi.
Akibat dari ceramah Abu yang keras suka mengkritik pemrintah, maka pada saat itu Abu diboikot atau dilarang oleh rezim pada masa itu untuk berceramah. Kalau ada masyarakat yang mengundang Abu untuk berceramah maka yang mengundang tersebut dapat teguran dari pemerintah yang berkuasa saat itu.
Pemerintah orde baru pada masa itu mengklaim Abu salah seorang Ulama yang ekstrem sehingga pada tanggal 15 Agustus 1992 Dayah/Pesantren Bustanul Huda pernah mau disrang oleh rezimm Soeharto yang berkuasa pada saat itu dengan tujuan ingin menangkap Abu dan santri-santri Beliau, tapi ALLAH SWT melindungi dan tidak mengizinkan hal itu terjadi. Mereka tidak berani masuk kewilaya komplek Dayah, pada tahun itu juga Abu melarang Muspika Kecamatan Blangpidie mengadakan MTQ di Mesjid Jamik Agung Blangpidie, dengan alas an tidak sesuai dengan ajaran Agama, seprti bercampur baur antara laki-laki dan permempuan. Imbas dari hal tersebut Abu dipanggil oleh KODIM 0107 Aceh Selatan pada saat itu, Abu dimintai keterangan selama empat hari empat malam oleh KODIM 0107 Aceh Selatan, tapi ALLAH SWT masih melindungi akhirnya Abu dinyatakan tidak bersalah sebab semua pernyataan Abu sudah digariskan didalam ajaran Agama.
Kiprah Dalam PERTI dan Masyarakat
Sejak Pemilu tahun 1955 Abuya sudah aktif di PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang pada saat itu PERTI termasuk sebagai salah satu Partai Politik peserta Pemilu dan pada awal msa orde baru berkuasa Abuya masih tetap eksis di Partai Islam PERTI, walaupun pada saat itu beliau diajak dengan berbagi macam cara untuk bergabung dengan orsospol GOLKAR (Golongan Karya) bahkan beliau pernah diancam keselamatan jiwa tetapi beliau masih tetap teguh pendirian di PERTI. Disaat kebijakan Pemerintah Orde Baru yang hanya membolehkan 3 Partai (2 Partai dan 1 golkar) akhirnya PI PERTI berfusi dengan empat partai Islam lainnya di dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maka Abu pun ikut aktif dalam PPP,bahkan beliau pernah menjabat posisi penting dalam PPP yaitu Ketua Majelis Pertimbangan Cabang PPP Aceh Selatan pada saat itu. Tapi, walaupun aktif di PPP Abu tidak pernah mau menjadi anggota legislative walaupun pernah ditawar beberapa kali oleh fungsionaris PPP untuk duduk di “kursi rakyat” tersebut dengan alas an sebab jika Abu memilih legislative tersebut,Dayah akan terbengkalai karena sibuk dengan urusan politik.
Dalam organisasi kemasyarakatan, Abu aktif di PERTI dan pada tahun 1997 Abu menjabat sebagai Ketua PERTI Aceh Selatan. Pada saat kepemimpinan beliaulah PERTI kembali berkibar di Aceh Selatan,beliau menghidupkan kembali pengurus PERTI disetiap kecamatan yaitu Pengurus Anak Cabang (PAC) dan di setiap desa yaitu Pengurus Ranting (PR) dan beliau turun langsung ke kecamatan dan desa dlam melantik PAC dan PR PERTI.
Dan pada saat itu, Abuya berencana membuka kembali MTI-MTI PERTI di Aceh Selatan yang sudah lama mati, tetapi akibat konflik di Aceh yang semakin memanas maka hal tersebut tidak terwujud.
Pada tahun 2003, Aceh Barat Daya di memekarkan diri dari Kabupaten Aceh Selatan, maka Abuya mendirikan PERTI di Kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA). Sebelum pelaksanaan MUSCAB (Musyawarah Cabang) Abuya terlebih dahulu mengumpulkan para Ulama,Birokrat,pengusaha,politisi dan tokoh masyarakat yang ada di Abdya untuk membicarakan pelaksanaan MUSCAB PERTI yang perdana di Abdya.
Hasil dari pendapat tersebut terlaksananya MUSCAB pada tanggal 8 s/d 10 Mai 2003 di Dayah Bustanul Huda Blangpidie Abdya. Pelaksanaa MUSCAB berlangsung meriah.Sehari sebelum Muscab, di adakan pawai ta’ruf PERTI keliling Kabupaten Aceh Barat Daya. Pada hari pembukaan dihadiri oleh ribuan masyarakat dan juga hadir dari DPP PERTI Bapak. Ir. H. Ibrahim Arif, M. Agr dan juga hadir dari DPD PERTI NAD. Dan pada Muscab tersebut terpilih Abuya Syam Marfaly sebagai Ketua DPC PERTI Aceh Barat Daya secara aklamasi dan juga berhasil membentuk pengurus DPC PERTI yang diisi oleh tokoh-tokoh, seperti Bupati Aceh Barat Daya (Drs. Burhanuddin M. Sampe, MM) sebagai Wakil Ketua DPC PERTI. Pada tahun 2008, Abuya juga mendorong pembentukan Pengurus Cabang Organisasi Pelajar Islam (PC OPI) dan Pengurus Cabang Kesatuan Mahasiswa Islam (PC KMI) Aceh Barat Daya.
Selain di PERTI, Abu juga aktif di dalam Pengurus Besar Dayah Inshafuddin Aceh beliau duduk sebagai salah seorang wakilo ketua Majelis Syura PB Dayah Inshafuddin Aceh , kemudian Abu juga sebagai Wakil Ketua Majelis Syura Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) , di Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU) Abu dipercayakan sebagai salah seorang Dewan Syuyukh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan Abu juga pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Cabang Blangpidie.
Selain dari memimpin dayah, semasa hidup Abu juga sebagai Imam Besar Mesjid Jamik Agung Blangpidie.
Disaat pergolakan Aceh antara RI dan GAM, Abu tidak pernah melibatkan diri ke dalam salah satu yang bertikai tersebut. Abu berdiri di tengah-tengah. Di dalam khutbah jum’at dan ceramah Agama Abu kerap kali mengkritik kebijakan Pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Aceh yang tidak manusiawi,dan pada Tahun 2000 Abu pernah mengundang unsue Muspika enam kecamatan dalam wilayah pembantu Bupati Blangpidie (pada saat itu Blangpidie masih dalam wilayah kabupaten Aceh Selatan) dalam hal menciptakan keamanan dalam wilayah tersebut sehingga yang tidak bersalah janganlah kena imbasnya.
Pada tahun 2001, Abu bersama dengan tokoh lainnya kembali menggelar pertemuan dengan Unsur Muspika dalam wilayah pembantu Bupati Blangpidie dan komandan pasukan yang bertugas di Aceh saat itu. Untuk menciptakan kondisi keamanan yang kondosif saat itu sehingga dikenal dengan Payung Kedamaian.
Hal yang unik dalam konflik Aceh tersebut disaat lebaran/Hari Raya Idul Fitri ditahun 2000, di rumah Abu pernah duduk antara Komandan Kompi Siliwangi dengan Komandan Operasi GAM Wilayah Blangpidie, Abu member nasehat kepada kedua kelompok yang sedang bertika tersebut.
Aktivitas Lainnya
Selain memimpin Dayah, berda’wah dan lainnya Abu juga kerap membantu persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat seperti mendamaikan orang-orang bertikai, merukunkan keluarga yang hampir bercerai dan lainnya, dan disaat konflik Aceh memanas Abu kerap tidak sempat tidur karena banyak masyarakat yang mengadu kepada Abu tentang keluarganya yang ditahan atau ditangkap oleh salah satu pihak bertikai pada saat itu.
Selain dari itu banyak juga masyarakat dating ke Abu untuk meminta keberkahan seperti minta ditawar air untuk keluarganya yang sakit, dan lainnya. Ada juga yang minta bantu berdoa bersama Abu untuk dikembalikan hartanya yang hilang atau dicuri oleh orang lain.
Meninggal Dunia
Pada hari sabtu tanggal 8 Ramadhan 1430 H bertepatan 29 Agustus 2009 tepat pada pukul 08.30 Wib, Abuya berpulang kerahmatullah di rumah pribadi beliau yaitu di Dayah Bustanul Huda JL. Cot Seutui Gampong Keude Siblah Blangpidie Aceh Barat Daya setelah beliau menderita sakit empedu. Beliau sempat dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda Banda Aceh. Menurut keterangan dokter yang merawat Abuya, beliau terkena penyakit penyubatan dipembuluh empedu. Maka pada tanggal 17 Agustus 2009 keluarga Abuya membawa pulang beliau ke Blangpide.
Berita tentang meninggalnya Abuya beredar sangat cepat dikalangan masyarakat sehingga dalam waktu singkat ribuan masyarakat berbondong-bondong ketempat Abuya, lokasi Dayah Bustanul Huda penuh dengan masyarakat yang shalat jenazah. Upacara pelepasan jenazah dan shalat langsung dipimpin oleh putra laki-laki beliau yaitu: Mhd Qudusi Syam Marfaly yang diikuti oleh para Ulama, Pimpinan Dayah dari Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya, dan Aceh Barat, tokoh masyarakat , Pejabat Militer dan Polisi serta ribuan masyarakat. Abuya dikebumikan di komplek Dayah Busatanul Huda Blangpidie Aceh Barat Daya.
Abuya meninggalkan satu orang istri, tiga orang anak dua putri satu putra dan dua orang cucu.
Tambahan Kehidupan Abu
1. Untuk menghidupi keluarga, Abu bertani disawah beliau sendiri yang turun kesawah, disamping itu juga dibantu oleh murid-murid Abu. Abu mempunyai sikap mandiri yang tidak tergantung kepada orang lain.
2. Dalam mengelola Dayah Abu dibantu oleh para Dean Guru, yaitu santri Abu yang senior dan sudah mampu mengajar. Para dewan Guru tersebut tidak digaji oleh Abu tetapi mereka tetap ikhlas dalam membantu Abu untuk mengajar para santri-santri yang belajar di Bustanul Huda.
3. Kalau bertamu ke tempat Abu, Abu membuat beberapa aturan salah satunya yaitu harus menutup aurat (perempuan dilarang memakai celana panjang) serta sopan adapun kalu hal ini dilanggar maka tidak bisa masuk ke dalam komplek Dayah. Aturan ini berlaku bagi siapa saja,apakah itu masyarakat biasa atatupun pejabat. Pernah di tahun 1993 di Dayah Abu dikunjungi oleh Korem 012 TU yaitu Kol. Inf. Rudi Supriatna beliau didampingi oleh istri dan raombongan.Tetapi, istri korem tidak memakai pakaian muslimah maka Abu pun tidak mengizinkan istri Korem masuk ke dalam Komplek Dayah Abu.
4. Dalam bertamu ke rumah Abu, Abu menyediakan dua ruangan, satu untuk tamu laki-laki dan satu lagi untuk tamu perempuan, jadi bila bertamu ke rumah Abu dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.
5. Kebijakan Abu dalam memisahkan antara yang hak dan bathil bukan hanya di tempat Abu saja, tapi juga di tempat lainnya. Apabila ada acara yang mengundang Abu di tempat itu tidak dipisahkan antara hak dan yang bathil maka Abu menegurnya dan langsung pulang,termasuk seperti pada saat Musda VII PERTI Aceh yang berlangsung pada 25 Juni 2002 M di Gapang, Sabang yang pada ada saat pembukaan Musda dihadiri oleh usur Muspida tingkat propinsi NAD.Saat meyanyikan lagu Indonesia Raya,yang memimpin lagu adalah kelompok perempuan, melihat hal itu Abu langsung keluar ruangan Musda.
6. Abu merupakan ulama keras, suka mengkritik kebijakan Pemerintah yang salah dengan Agama dan beliau juga disegan oleh lawan maupun kawan. Pada saat konflik berlangsung di Aceh, Abu berdiri di tengah-tengah tidak memihak pada salah satu yang bertikai bakan Abu pernah mejadi mediator antara dua kubu tersebut. Ini dapat dilihat pada saat itu, bila keluarga yang ditangkap oleh aparat masyarakat mengadu kepada Abu, Abu langsung menghubungi komandan mereka agar masyarakat tersebut dilepaskan karena yang ditangkap oleh merea tidka bersalah
7. Jadi tidak heran pada saat konflik , banyak yang mencari perlindungan di tempat Abu seperti Tgk. H. Baihaqi Daud (pimpinan Dayah Darul Istiqamah Kueng Batee/Ketua HUDA Abdya/Anggota DPRD Abdya pada masa itu) beliau diteror oleh pihak GAM, tgk. H. Baihaqi hijrah ke Dayah Abu selama empat hari empat malam sehingga dengan izin Allah SWT beliau aman.
8. Sekitar tahun 1996 Abu pernah diundang oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara tapi beliau tidak mau datang sebab “seburuk-buruk ulama adalah ulama yang bertamu ke rumah sultan, dan sebaik-beik sultan adalah sultan yang bertanu ke rumah Ulama” dan pada tahun yang sama juga Abu termasuk salah seorang dari Ulama aceh yang mendapat quota studi banding keliling dunia tetapi Abu tetap tidak mau.
9. Abu tidak pernah menghadiri undangan dari pejabat baik sipil maupun militer tanpa alasan yang jelas, tapi bila undangan tersebut membicarakan masalah ummat beliau menghadiri, dan jangan heran di rumah Abu banyak dikunjungi oelh pejabat sipil dan militer di waktu konflik setiap pasukan operasi yang masuk ke wilayah Blangpidie tetap bertamu ke rumah Abun dan dalam setiap forum pertemuan baik itu pertemuan seluruh Aceh, dengan pejabatmaupun aparat militer lainnya Abu bicara dengan jelas dan forum diam tidak membantah apa yang Abu ucapkan.
10. Alm. Abu merupakan seoran Ulama kharismatik dan beliau dikenal sebagai seorang Ulama yang keras,berani dan tegas. Bila sudah menentang dengan ajaran Agama beliau tidak segan melawan walaupun itu menantang dengan kebijakan Pemerintah. Abu juga seorang ulama yang membasmi paham wahabi di Blangpidie yang sebelumnya merupakan salah satu pusat tempat perkembangan paham wahabi di wilayah pantai barat selatan. Salah satu contoh kiprah Abu dalam menegakkan Ahlsunnah wal Jama’ah adalah terlaksananya Rukyah tul hilal bila mau masuk Ramadhan dan Hari Raya ‘idhul Fitri. Bila hilal belum nampak umumya masyarakat Abdya tidak berpuasa dan hari raya bahkan Mesjid Jamik Agung pun tetap mengacu pada Rukyah tul Hilal.
(sumber : Catatan dan hasil wawancara dengan Tgk. H. Muhammad Qudusi Syam Marfaly -Pimpinan Dayah Bustanul sekarang- anak kandung Abu)
tulisan di kutip dari http://ajuncell.blogspot.com/2011/02/abuya-tgk-syekh-h-muhammad-syam-marfaly.html
Terimakasih banyak.. :)
BalasHapussaran: udah bisa beli domain .com bang... postingannya udah banyak