Ada beberapa istilah yang digunakan dalam al-Minhaj yang menunjuki kepada adanya terjadi khilaf dalam Mazhab Syafi’i, yaitu ;
1.Al-Azhhar, istilah ini digunakan untuk menunjuki adanya khilaf antara qaul Syafi’i, dimana qaul yang lebih rajih disebut dengan al-Azhhar apabila muqaabil-nya (lawannya) agak kuat. Artinya, kedua qaul ini sama-sama kuat, namun qaul yang dinamakan dengan al-azhhar lebih kuat dan zhahir. Disebut al-azhhar mengandung makna bahwa kedua qaul tersebut sama-sama zhahir, namun pendapat al-azhhar lebih zhahir.1 Sebagai contohnya dapat diperhatikan pada masalah menyapu sepatu jarmuqaani (sepatu atas sepatu dimana keduanya memenuhi syarat untuk disapu) sebagai pengganti membasuh kaki pada wudhu’. Imam Syafi’i mempunyai dua qaul mengenai ini. Qaul beliau yang mengatakan tidak boleh menyapu atas sepatu yang berada diatas merupakan qaul al-azhhar, karena kebolehan menyapu sepatu merupakan rukhshah (keringanan hukum), sedangkan wujud rukhshah haruslah berdasarkan umum kebutuhan manusia kepadanya. Sementara jarmuqaani tidak umum kebutuhan manusia kepadanya. Oleh karena itu, al-Nawawi mentarjihkan qaul pertama ini. Namun demikian, bukan berarti lawan qaul ini tidak mempunyai argumentasi sama sekali. Qaul yang mengatakan boleh menyapu atas sepatu yang berada di atas berargumentasi bahwa sangat kedinginan kadang-kadang memerlukan memakai jarmuqaani, sedangkan mencabutnya untuk menyapu pada sepatu yang berada di bawah pada setiap berwudhu’ menimbulkan kesukaran. Oleh karena itu, dibolehkan menyapu pada sepatu yang berada di atas. Argumentasi ini dibantah bahwa kesukaran ini dapat ditanggulangi dengan memasukkan tangan di antara dua sepatu, lalu menyapu pada sepatu yang berada di bawah tanpa mencabut sepatu.2 Dari contoh ini terlihat bahwa kedua qaul Syafi’i tersebut sama-sama mempunyai argementasi yang kuat dan zhahir, namun qaul pertama lebih zhahir dan kuat, sehingga disebut dengan al-azhhar.
2.Al-Masyhur, istilah ini juga digunakan untuk menunjuki adanya khilaf antara qaul Syafi’i, qaul yang rajih disebut dengan al-masyhur. Berbeda dengan lawan al-azhhar yang mempunyai argumentasi yang kuat, lawan al-masyhur argumentasinya lemah, bahkan ganjil. Disebut dengan al-masyhur menunjukkan bahwa lawannya ganjil dan gharib.3 Contohnya, masalah kulit yang bernajis dengan sebab mati (kulit bangkai). Tidak terjadi khilaf dalam hal suci zhahir kulit dengan sebab disamak, hanya muncul dua qaul Syafi’i mengenai kesucian bathin kulitnya. Qaul masyhur mengatakan bahwa bathin kulit, hukumnya suci dengan sebab samak, sama halnya dengan zhahirnya berdasarkan keumuman hadits Muslim, berbunyi :
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Artinya : Apabila disamak kulit bangkai, maka sucilah ia (H.R. Muslim) 4
Qaul kedua mengatakan tidak suci bathin kulit, dengan alasan alat samak tidak sampai ke bathinnya. Argumentasi ini dibantah bahwa hal itu bisa sampai kepada bathinnya dengan perantaraan air dan basah-basah kulit.5 Qaul kedua, lawan masyhur ini dianggap lemah dan ganjil karena bertentangan dengan zhahir dan keumuman hadits shahih riwayat Muslim di atas dan lagi pula argumentasinya yang dikemukakannya dapat dibantah.
3.Al-Ashah, istilah ini mengisyaratkan terjadi khilaf antara sahabat Syafi’i. Pendapat yang lebih kuat disebut al-ashah apabila lawannya dalilnya agak kuat. Jelasnya, terjadi perbedaan pendapat antara sahabat Syafi’i (ashhab al-wujuh) mengenai suatu hukum yang diistinbathnya berdasarkan qawa’id mazhab Syafi’i (ini menurut kebiasaan, kadang-kadang istinbath tersebut terlepas sama sekali dari qawaid mazhab Syafi’i 6). Kedua pendapat tersebut sama-sama mempunyai argumentasi yang kuat, namun pendapat salah satunya lebih kuat dibanding yang lain. Yang lebih kuat tersebut dinamakan al-ashah.7 Contohnya, disepakati dalam mazhab Syafi’i bahwa darah merupakan najis dan sesuatu najis dapat dimaafkan apabila bersifat umum balaa. Para sahabat Syafi’i terjadi khilaf mengenai darah kutu dan kotoran lalat yang mengenai pakaian. Sebagian mereka hanya memaafkannya kalau sedikit, tidak memaafkan kalau banyak. Pendapat lain mengatakan, dimaafkan, baik sedikit ataupun banyak dengan alasan umum balaa. Padahal umum balaa ini terjadi, baik dalam hal darah sedikit maupun banyak. Pendapat kedua ini merupakan pendapat ashah menurut tarjih al-Nawawi. Pendapat pertama yang ditarjih oleh al-Rafi’i berargumentasi darah kutu dan kotoran lalat yang banyak tidak dimaafkan, karena ia bersifat dengan banyak, meskipun bersifat umum balaa.8 Syara’, biasanya memaafkan yang sedikit, tidak yang banyak.
4.Al-Shahih, istilah ini juga mengisyaratkan terjadi khilaf antara sahabat Syafi’i. Yang rajih diantaranya merupakan pendapat al-shahih. Istilah al-shahih mengisyaratkan sangat lemah dan fasid lawannya, karena sangat lemah argumentasinya. Karena itu, istilah al-shahih tidak digunakan kepada khilaf antara qaul Syafi’i sendiri, karena untuk adab kepada beliau.9 Contoh pendapat al-shahih, masalah shalat sunnat Rawatib sebelum Magrib. Terjadi khilaf sahabat Syafi’i mengenai sunnat shalat Rawatib sebelum Magrib. Pendapat al-shahih mengatakan sunnat,10 karena ada perintah melaksanakannya dalam hadits riwayat Bukhari, yang berbunyi :
صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ
Artinya : Shalatlah kalian sebelum shalat magrib.(H.R. Bukhari)11
Maksud shalat dalam hadits tersebut adalah shalat dua raka’at sebagaimana riwayat Abu Daud.12 dan dalam Shahih Ibnu Hibban :
أَنه عَلَيْهِ السَّلَام صَلَّى قبل الْمغرب رَكْعَتَيْنِ
Artinya:Sesungguhnya Nabi SAW shalat dua raka’at sebelum Magrib(H.R.Ibnu Hibban)13
Pendapat kedua, mengatakan tidak sunnat dengan berargumentasi dengan hadits Ibnu Umar riwayat Abu Daud dengan isnad hasan yang berbunyi :
سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّيهِمَا
Artinya : Ibnu Umar pernah ditanyai mengenai shalat dua raka’at sebelum Magrib. Beliau menjawab, tidak pernah aku melihat seorangpun yang shalat keduanya pada masa Rasulullah SAW. (H.R. Abu Daud)14
Pendalilian dengan hadits ini dibantah, bahwa Ibnu Umar hanya mengatakan tidak pernah melihat. Ini bukanlah berarti shalat tersebut tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW. Hal ini terbukti bahwa shalat tersebut pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW sebagaimana hadits dari Anas, berkata :
صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ أَرَآكُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ نَعَمْ رَآنَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا.
Artinya : Aku shalat dua raka’at sebelum Magrib pada masa Rasulullah SAW. Berkata perawi : Aku bertanya pada Anas, apakah kalian dilihat oleh Rasulullah SAW?. Beliau menjawab, Ya, beliau melihat kami, beliau tidak memerintah dan tidak melarang kami. (H.R. Abu Daud) 15
Jalaluddin al-Mahalli mengatakan hadits ini diriwayat oleh al-Syaikhaini (Bukhari dan Muslim) 16
(Bersambung----)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 12
2.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 60
3.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 12
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 283, No. Hadits : 547
5.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 72-73
6. Qalyubi, Hasyiah Qayubi, dicetak bersama Hasyiah Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
7. Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
8.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 184
9,Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
10.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 211
11.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 74, No. Hadits : 1183
12.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 293
13.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 457, No. Hadits : 1588
14.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 495, No hadits : 1286
15.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 494, No hadits : 1284
16.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah a-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 211
Ustazz,, kalo boleh ustaz kasih terjemahan kitab al mahalli dari AMMA BA'DU hal 8.. Ampek ke MINHA BAYANUL QAULAYNI WAL WAJHAYNI hal 12... Serta penjelasannya uga.,,
BalasHapusmakasiih ustaz...
terima kasih intan dahliana atas kepercayaannya,
Hapusmengingat permintaan terjemahan tersebut terlalu panjang, maka kami saran kepada ukhti untuk menanyakan saja kepada ustaz yang mengajari ukhti, kami yakin ustazh-ustaz yang ngajar ukhti intan pasti mampu memenuhi maksud ukhti
wssalam
Sambungan nya ini dimana Gure
BalasHapus