Renungan

Rabu, 20 Juli 2011

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), ta'alluq hukum ma'nawi, hal. 9-10

( وَيَتَعَلَّقُ الْخِطَابُ ) من امر أوغيره فهو أعم من قوله ويتعلق الأمر( عِنْدَنَا ) أيها الأشاعرة ( بِالْمَعْدُوْمِ تَعَلُّقًا مَعْنَوِيًّا ) بمعنى انه اذا وجد بصفة التكليف يكون مخاطبا بذلك الخطاب النفسى الأزلى لا تعلقا تنجيزيا بأن يكون حال عدمه مخاطبا اما المعتزلة فنفوا التعلق المعنوى ايضا لنفيهم الكلام النفسى
(Berhubungan titah Allah) baik dalam bentuk perintah atau lainnya, maka perkataan “yata’allaqu al-khithab” lebih umum dari perkataan Ashal “yata’allaqu al-amr”(1) (menurut kita) hai kaum Asy’ari (dengan yang belum ada sebagai ta’alluq ma’nawi) dengan makna apabila didapati seseorang dengan sifat taklif, maka ia menjadi orang yang dititahkan dengan titah nafsi yang bersifat azali tersebut, bukan sebagai ta’alluq tanjizi, (2) yakni pada ketika tidak adanya,(3) ia menjadi orang yang dititahkan. Adapun Mu’tazilah, mereka me-nafi-kan ta’alluq maknawi pula karena pe-nafi-an mereka terhadap kalam nafsi

Penjelasannya
(1)Karena perkataan “al-khithab” mencakup perintah dan lainnya. Sedangkan al-amr khusus kepada perintah saja.
(2)Pengertian ta’alluq ma’nawi, ta’alluq tanjizi, nafsi dan azali sudah dijelaskan sebelumnya
(3)Keadaan tidak adanya itu meskipun pada hukum, yakni didapati orang, tetapi tidak bersifat taklif seperti anak-anak, orang gila dan lain-lain 1

DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar