Tgk. Haji Abdullah Hanafi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Tanoh Mirah merupakan salah seorang ulama dayah terkenal di Aceh. Beliau yang terkenal di Aceh pada masanya sebagai seorang ulama sangat menguasai ilmu ushul fiqh, merupakan salah seorang murid dari Tgk. Syekh H. Muhammad Waly Al Khalidy atau yang lebih dikenal dengan Tgk. Mudawali.
Setelah sekian lama menetap belajar pada guru beliau, Tgk. Syekh H. Muhammad Waly Al Khalidy di Dayah Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan, beliau pulang ke kampung halaman mendirikan sebuah lembaga pendidikan Agama Islam yang bernama Dayah Darul Ulum. Dayah ini didirikan pada tahun 1957 yaitu di Desa Tanoh Mirah Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen Aceh.
Pada masa jayanya, Dayah Darul Ulum pernah sangat terkenal sampai ke Malaysia dan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. ”Banyak santri-santri dari luar daerah yang belajar di sini dan setelah sukses membangun pesantren di daerahnya masing-masing.
Abu Tanoh Mirah meninggal pada tahun 1989 dalam usia 63 tahun dan meninggalkan delapan orang putra-putrinya. Beliau merupakan ulama Aceh yang sangat teguh memegang al-qur'an dan hadits dengan mengikuti pemahaman Mazhab Syafi'i dalam bidang fiqh dan mengikuti Mazhab al-Asy'ari dalam bidang akidah. Adapun kepepimpinan Pesantren Darul Ulum diteruskan oleh anak-anak beliau, terutama yang sangat berperan adalah anak kedua beliau yang juga diberi nama sama dengan nama gurunya yakni Muhammad Waly Al Khalidy yang dipanggil juga dengan Tgk. Mudawali.
Penulis sendiri pernah menimba ilmu pengetahuan agama/belajar kitab kuning pada salah seorang murid Abu Tanoh Mirah ini, yaitu Almarhum Tgk Amir al-Ludiny Kualaba'u Aceh Selatan (mudah-mudahan kedua beliau ini selalu dalam lindungan Allah SWT). Guru kami ini sering bercerita kepada kami mengenai kelebihan-kelebihan dan ketekunan Abu Tanoh Mirah dalam memperjuangkan akidah ahlussunnah wal jama'ah.
(sumber : http://danijurnalis.wordpress.com/2009/04/01/dayah-abu-tanoh-mirah-darul-ulumsetengah-abad-menggapai-asa dan sumber lainnya)
Renungan
▼
Minggu, 28 Agustus 2011
Sabtu, 27 Agustus 2011
Syaikh Ismail Al-Khalidy
Syeikh Ismail Al Khalidi adalah punggawa thareqat Naqsyahbandiyah Khalidiyah di Sumatera. Karyanya menjadi perbincangan dan bahan rujukan kalangan tasawuf.
Seorang pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji pernah menulis bahwa tentang seorang ulama besar bernama Syekh Ismail Al Khalidi al-Minangkabawi. Dalam karangannya yang berjudul Tuhfatun Nafis disebutkan bahwa ulama ini sering datang ke kerajaan Melayu, Riau. Rajanya sendiri yang menjemput ulama dari Minagkabau ini di pelabuhan. Hampir seluruh kerabat keluarga istana berkumpul untuk mendengarkan nasehat dan wejangan dari ulama terkemuka itu. Catatan ini membuktikan bahwa Syeikh Ismail al Khalidi adalah ulama besar yang cukup berpengaruh.
Tidak hanya zaman itu saja, tetapi juga sampai sekarang. Namanya berderet diantara tokoh-tokoh sufi Nusantara yang tak lekang oleh zaman.
Memang Syeikh Ismail kesohor sebagai pengembang Thareqat Naqsyahbandiyah di ranah Minangkabau hingga Melayu.. Thareqat Naqsyabandiyah di Nusantara sendiri memang mempunyai dua aliran, yakni thareqat Naksyabandiyah Muzhariyah dan Naksyabandiyah Khalidiah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, yang juga seorang mursyid thareqat Naksyabandiyah.
Disebutkan dalam Ensiklopedi Islam bahwa Syekh Ismail yang lebih dikenal mula-mula belajar mengaji Alquran di surau kampungnya di bawah bimbingan guru dan orang tuanya. Soal tanggal lahirnya memang ada perbedaan. Disamping ilmu Al Quran juga belajar membaca kitab-kitab Arab Melayu dan kitab berbahasa Arab. Cakupan studinya juga cukup luas mulai ilmu fikih, tasawuf, kalam, tafsir, hadis dan ilmu kebahasaan. Seperti ulama besar lainnya, Ismail muda sangatlah haus akan ilmu pengetahuan. Mekah dan Madinah menjadi tujuannya dalam memburu ilmu. Bahkan menetap di keuda kota suci ini selama hampir 35 tahun.
Syeikh Muhammad Mirdad Abul Khair meriwayatkan bahwa Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minankabawi al-Khalidi asy-Syafi’ie lahir di Minangkabau. Tidak yang tahu kapan tepatnya tahun kelahirannya. Memang banyak muncul kontroversi di sini. Sejak kecil mengikuti ayahnya yang kemudian pindah ke Mekah. Di sana belajar pelbagai ilmu kepada Syeikh Utsman ad-Dimyati. Setelah ulama besar itu wafat, Syeikh Ismail Minangkabau belajar pula kepada Syeikh Ahmad ad-Dimyati. Selain kedua-dua ulama itu, Syeikh Ismail Minangkabau juga belajar kepada ulama-ulama lain dalam Masjidil-Haram, Mekah. Sempat pula belajar Mufti Mazhab Syafie ketika itu, Syeikh Muhammad Sa’id bin Ali asy-Syafi’ie al-Makki al-Qudsi (wafat 1260 Hijrah/1844-5 M).
Syeikh Ismail juga nyantri di ulama-ulama besar lainnya. Diantaranya pernah berguru kepada Syekh Athaillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fikih Mazhab Syafi’i), Syekh Abdullah asy-Syarqawi (mantan syekh al-Azhar dan ahli fikih Mazhab Syafi’i), Syekh Abdullah Affandi (tokoh thareqat Naksyabandiyah), Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi (seorang Mursyid Thariqat), dan Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam.
Syeikh Ismail dikenal sebagai salah satu pengembara sejati. Hal itu tidak lepas dari kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Seperti dituturkan oleh Syeikh Husein bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri, salah seorang muridnya. Ia menyatakan bahwa pernah bertemu dengan gurunya di Bahrain.
Sang murid belajar thareqat Naqsyabandiyah. Karena waktunya sempit pelajaran tersebut diteruskan di sebuah desa yang tidak diketahui namanya, di luar kota Basra Iraq. Sampai keduanya akhirnya berpisah di desa tersebut setelah sekian lama mengembara.
Mengenai Thariqat Naqasyabandiyah al-Khalidiyah, Syeikh Ismail al-Minangkabawi menerima baiat dari Sayid Abi Abdillah bin Abdullah Afandi al-Khalidi, murid Syeikh Khalid al-’Utsmani al- Kurdi. Namun Syeikh Ismail al-Minankabawi juga menerima baiat secara langsung dari Syeikh Khalid al-’Utsmani al-Kurdi. Nama inilah terdapat istilah al-Khalidiyah dalam Thariqat Naqasyabandi karena Syeikh Khalid al-’Utsmani al-Kurdi adalah seorang Mujaddid (pembaharu) dalam thareqat yang sangat terkenal itu.
Tercatat dalam sejarah bahwa Syeikh Ismail al-Minankabawi adalah seorang ulama yang sangat kuat melakukan ibadah, selain aktif mengamalkan Thariqat Naqasyabandiyah Khalidiyah, Syeikh Ismail juga mengamalkan Thariqat Syadziliyah.
Setelah sekian lama menjalankan studinya di Mekah, Syeikh Ismail balik ke kampung halamannya. Di Simabur (Batusangkar) dimulailah kegiatan dakwahnya.pertama-ta membuka sebuah majelis pendidikan agama Islam. Di madarsah ini, Syeikh Ismail mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat dan ilmu thareqat. Dalam ilmu.. Sejak itu thareqat Naksyabandiyah berkembang pesat di Sumatra Barat dan sekitarnya.
Oleh karenanya, Syekh Ismail kerap dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan thareqat Naksyabandiyah Khalidiah di Minangkabau. Bila ditilik perkembangan thareqat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli Selatan, maka jauh sebelum adanya thareqat Naksyabandiyah yang diusung Syekh Ismail, telah berkembang thareqat Syatariyah yang berpusat di Ulakan, Pariaman. Motornya tidak lain adalah Syeikh Burhanudddin Ulakan.
Buah Pemikirannya
Sebagai ulama yang mumpuni, Syeikh Ismail meninggalkan banyak jasa. Tidak hanya Islam menjadi semakin besar di Nusantara, thareqat berkembang dengan pesat, tetapi juga peninggalan keilmuan. Ada beberapa karya yang telah dihasilkan olehnya. Diantaranya ada berjudul Kifayah al-Gulam fi Bayan Arkan al-Islam wa Syurutih serta Risalah Muqaramah Urfiah wa Tauziah wa Kamaliah (risalah tentang niat shalat).
Kitab pertama berisi penjelasan tentang rukun Islam, rukun iman, sifat Tuhan dan penjelasan tentang kewajiban Muslim dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun Kitab kedua merupakan buku kecil yang membicarakan keterpaduan antara niat dan lafal takbiratulihram pada permulaan pelaksanaan shalat.
Sebagai penganut aliran Asyariyah, Ismail al-Minangkabawi mewajibkan setiap Muslim untuk mengenal Tuhan menurut metode kaum Asyariyah, yakni diawali dengan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Dia berpendapat Tuhan tidak dapat dikenal kecuali diawali dengan pengenalan terhadap sifat-sifat-Nya.
Setelah itu, umat Muslim diwajibkan mengetahui rukum iman lainnya.
Ada karyanya yang lain diantaranya Ar-Rahmatul Habithah fi Zikri Ismiz Zati war Rabithah. Kitab ini selesai tahun 1269. Isinya tentang tasawuf yang merupakan terjemahan sebuah karya murid beliau sendiri, seorang Arab yang bernama Syeikh Husein bin Ahmad ad-Dausari. Kemudian kitab Al-Muqaddimatul Kubra allati Tafarra’at minhan Nuskhatus Shughra.
Isi kandungannya membahas ilmu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara mendalam. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Amiriyah, Bulaq, Mesir, tertulis di halaman depan dinyatakan tahun 1309 Hijrah, dan di halaman akhir dinyatakan Rabiulakhir 1310 Hijrah.
Selanujutnya kitab Muqaddimatul Mubtadin. Kitab ini berisi ilmu akidah secara mendalam.
Kemudian kitab Mawabib Rabbil Falaq Syarh Bintil Milaq yang isinya membicarakan tasawuf, merupakan terjemahan dan syarah Qashidah al-’Arif Billah al-Qadhi Nashiruddin ibni Bintil Milaq asy-Syadzili. Sebahagian besar kandungannya membicarakan Thariqat Syadziliyah. Kitab ini termasuk dalam kategori kitab langka.
Di samping karena keluasan wawasan pengetahuannya, Ismail al-Mingangkawabi juga begitu dihormati di wilayah kerajaan Melayu Riau. Bahkan rajanya termasuk murid Syeikh Ismail. Disamping itu Hal dari segi silsilah masih ada pertalian darah dengan orang-orang Melayu dan Bugis di Pulau Penyengat dan di Negeri Sembilan. (Huda/ dari berbagai sumber)
(sumber : http://sherikay.blogspot.com/2008/12/syaikh-ismail-al-khalidy.html)
Seorang pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji pernah menulis bahwa tentang seorang ulama besar bernama Syekh Ismail Al Khalidi al-Minangkabawi. Dalam karangannya yang berjudul Tuhfatun Nafis disebutkan bahwa ulama ini sering datang ke kerajaan Melayu, Riau. Rajanya sendiri yang menjemput ulama dari Minagkabau ini di pelabuhan. Hampir seluruh kerabat keluarga istana berkumpul untuk mendengarkan nasehat dan wejangan dari ulama terkemuka itu. Catatan ini membuktikan bahwa Syeikh Ismail al Khalidi adalah ulama besar yang cukup berpengaruh.
Tidak hanya zaman itu saja, tetapi juga sampai sekarang. Namanya berderet diantara tokoh-tokoh sufi Nusantara yang tak lekang oleh zaman.
Memang Syeikh Ismail kesohor sebagai pengembang Thareqat Naqsyahbandiyah di ranah Minangkabau hingga Melayu.. Thareqat Naqsyabandiyah di Nusantara sendiri memang mempunyai dua aliran, yakni thareqat Naksyabandiyah Muzhariyah dan Naksyabandiyah Khalidiah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, yang juga seorang mursyid thareqat Naksyabandiyah.
Disebutkan dalam Ensiklopedi Islam bahwa Syekh Ismail yang lebih dikenal mula-mula belajar mengaji Alquran di surau kampungnya di bawah bimbingan guru dan orang tuanya. Soal tanggal lahirnya memang ada perbedaan. Disamping ilmu Al Quran juga belajar membaca kitab-kitab Arab Melayu dan kitab berbahasa Arab. Cakupan studinya juga cukup luas mulai ilmu fikih, tasawuf, kalam, tafsir, hadis dan ilmu kebahasaan. Seperti ulama besar lainnya, Ismail muda sangatlah haus akan ilmu pengetahuan. Mekah dan Madinah menjadi tujuannya dalam memburu ilmu. Bahkan menetap di keuda kota suci ini selama hampir 35 tahun.
Syeikh Muhammad Mirdad Abul Khair meriwayatkan bahwa Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minankabawi al-Khalidi asy-Syafi’ie lahir di Minangkabau. Tidak yang tahu kapan tepatnya tahun kelahirannya. Memang banyak muncul kontroversi di sini. Sejak kecil mengikuti ayahnya yang kemudian pindah ke Mekah. Di sana belajar pelbagai ilmu kepada Syeikh Utsman ad-Dimyati. Setelah ulama besar itu wafat, Syeikh Ismail Minangkabau belajar pula kepada Syeikh Ahmad ad-Dimyati. Selain kedua-dua ulama itu, Syeikh Ismail Minangkabau juga belajar kepada ulama-ulama lain dalam Masjidil-Haram, Mekah. Sempat pula belajar Mufti Mazhab Syafie ketika itu, Syeikh Muhammad Sa’id bin Ali asy-Syafi’ie al-Makki al-Qudsi (wafat 1260 Hijrah/1844-5 M).
Syeikh Ismail juga nyantri di ulama-ulama besar lainnya. Diantaranya pernah berguru kepada Syekh Athaillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fikih Mazhab Syafi’i), Syekh Abdullah asy-Syarqawi (mantan syekh al-Azhar dan ahli fikih Mazhab Syafi’i), Syekh Abdullah Affandi (tokoh thareqat Naksyabandiyah), Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi (seorang Mursyid Thariqat), dan Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam.
Syeikh Ismail dikenal sebagai salah satu pengembara sejati. Hal itu tidak lepas dari kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Seperti dituturkan oleh Syeikh Husein bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri, salah seorang muridnya. Ia menyatakan bahwa pernah bertemu dengan gurunya di Bahrain.
Sang murid belajar thareqat Naqsyabandiyah. Karena waktunya sempit pelajaran tersebut diteruskan di sebuah desa yang tidak diketahui namanya, di luar kota Basra Iraq. Sampai keduanya akhirnya berpisah di desa tersebut setelah sekian lama mengembara.
Mengenai Thariqat Naqasyabandiyah al-Khalidiyah, Syeikh Ismail al-Minangkabawi menerima baiat dari Sayid Abi Abdillah bin Abdullah Afandi al-Khalidi, murid Syeikh Khalid al-’Utsmani al- Kurdi. Namun Syeikh Ismail al-Minankabawi juga menerima baiat secara langsung dari Syeikh Khalid al-’Utsmani al-Kurdi. Nama inilah terdapat istilah al-Khalidiyah dalam Thariqat Naqasyabandi karena Syeikh Khalid al-’Utsmani al-Kurdi adalah seorang Mujaddid (pembaharu) dalam thareqat yang sangat terkenal itu.
Tercatat dalam sejarah bahwa Syeikh Ismail al-Minankabawi adalah seorang ulama yang sangat kuat melakukan ibadah, selain aktif mengamalkan Thariqat Naqasyabandiyah Khalidiyah, Syeikh Ismail juga mengamalkan Thariqat Syadziliyah.
Setelah sekian lama menjalankan studinya di Mekah, Syeikh Ismail balik ke kampung halamannya. Di Simabur (Batusangkar) dimulailah kegiatan dakwahnya.pertama-ta membuka sebuah majelis pendidikan agama Islam. Di madarsah ini, Syeikh Ismail mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat dan ilmu thareqat. Dalam ilmu.. Sejak itu thareqat Naksyabandiyah berkembang pesat di Sumatra Barat dan sekitarnya.
Oleh karenanya, Syekh Ismail kerap dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan thareqat Naksyabandiyah Khalidiah di Minangkabau. Bila ditilik perkembangan thareqat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli Selatan, maka jauh sebelum adanya thareqat Naksyabandiyah yang diusung Syekh Ismail, telah berkembang thareqat Syatariyah yang berpusat di Ulakan, Pariaman. Motornya tidak lain adalah Syeikh Burhanudddin Ulakan.
Buah Pemikirannya
Sebagai ulama yang mumpuni, Syeikh Ismail meninggalkan banyak jasa. Tidak hanya Islam menjadi semakin besar di Nusantara, thareqat berkembang dengan pesat, tetapi juga peninggalan keilmuan. Ada beberapa karya yang telah dihasilkan olehnya. Diantaranya ada berjudul Kifayah al-Gulam fi Bayan Arkan al-Islam wa Syurutih serta Risalah Muqaramah Urfiah wa Tauziah wa Kamaliah (risalah tentang niat shalat).
Kitab pertama berisi penjelasan tentang rukun Islam, rukun iman, sifat Tuhan dan penjelasan tentang kewajiban Muslim dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun Kitab kedua merupakan buku kecil yang membicarakan keterpaduan antara niat dan lafal takbiratulihram pada permulaan pelaksanaan shalat.
Sebagai penganut aliran Asyariyah, Ismail al-Minangkabawi mewajibkan setiap Muslim untuk mengenal Tuhan menurut metode kaum Asyariyah, yakni diawali dengan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Dia berpendapat Tuhan tidak dapat dikenal kecuali diawali dengan pengenalan terhadap sifat-sifat-Nya.
Setelah itu, umat Muslim diwajibkan mengetahui rukum iman lainnya.
Ada karyanya yang lain diantaranya Ar-Rahmatul Habithah fi Zikri Ismiz Zati war Rabithah. Kitab ini selesai tahun 1269. Isinya tentang tasawuf yang merupakan terjemahan sebuah karya murid beliau sendiri, seorang Arab yang bernama Syeikh Husein bin Ahmad ad-Dausari. Kemudian kitab Al-Muqaddimatul Kubra allati Tafarra’at minhan Nuskhatus Shughra.
Isi kandungannya membahas ilmu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara mendalam. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Amiriyah, Bulaq, Mesir, tertulis di halaman depan dinyatakan tahun 1309 Hijrah, dan di halaman akhir dinyatakan Rabiulakhir 1310 Hijrah.
Selanujutnya kitab Muqaddimatul Mubtadin. Kitab ini berisi ilmu akidah secara mendalam.
Kemudian kitab Mawabib Rabbil Falaq Syarh Bintil Milaq yang isinya membicarakan tasawuf, merupakan terjemahan dan syarah Qashidah al-’Arif Billah al-Qadhi Nashiruddin ibni Bintil Milaq asy-Syadzili. Sebahagian besar kandungannya membicarakan Thariqat Syadziliyah. Kitab ini termasuk dalam kategori kitab langka.
Di samping karena keluasan wawasan pengetahuannya, Ismail al-Mingangkawabi juga begitu dihormati di wilayah kerajaan Melayu Riau. Bahkan rajanya termasuk murid Syeikh Ismail. Disamping itu Hal dari segi silsilah masih ada pertalian darah dengan orang-orang Melayu dan Bugis di Pulau Penyengat dan di Negeri Sembilan. (Huda/ dari berbagai sumber)
(sumber : http://sherikay.blogspot.com/2008/12/syaikh-ismail-al-khalidy.html)
Niat zikir pada takbir intiqalat secara jihar bagi imam shalat
Berikut pendapat ulama Syafi’iyah mengenai niat zikir pada takbir intiqalat (takbir untuk berpindah dari rukun shalat kepada rukun lain) secara jihar bagi imam shalat
1.Zainuddin al-Malibary mengatakan :
“Disunatkan jihar takbir intiqalat sama halnya dengan takbiratul-ihram bagi imam, demikian juga bagi muballigh jika membutuhkannya, tetapi jika ada niat zikir atau niat zikir dan memperdengarkannya. Dan jika tidak, maka batal shalatnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhuna dalam syarah al-Minhaj.”1
2.Batal shalat sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Zainuddin al-Malibari di atas, oleh al-Bakri al-Damyathi menyebut alasannya karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia. 2
3.Ibrahim al-Bajuri mengatakan
“Pada takbir intiqalat, Imam dan muballiqh mengqashad zikir saja atau zikir dan memberitahu, tidak memberitahu saja, karena itu mudharat. Demikian juga secara mutlaq pada haq orang alim berbeda halnya dengan orang awam. Untuk itu, tidak boleh tidak qashad zikir pada setiap takbir menurut al-Ramli dan memadai qashadnya pada takbir pertama menurut al-Khathib.”3
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Bakri al-Damyathi di atas, kewajiban niat zikir pada takbir intiqalat imam yang dilakukan secara jihar, karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia, sedangkan berbicara dalam shalat tidak dibolehkan dan dapat membatalkan shalat seseorang . Oleh karena itu, supaya tidak keluar takbir tersebut sebagai zikir, maka diharuskan niat zikir.
Berbicara dalam shalat dapat membatalkan shalat adalah berdasarkan hadits Nabi SAW :
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Artinya : Sesungguhnya shalat itu tidak pantas disertai dengan percakapan manusia. Yang layak dalam shalat adalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an(H.R. Muslim)4
Daftar Pustaka
1.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 154
2.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal.154
3.Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, A-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 170
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 70, No. Hadits :1227
1.Zainuddin al-Malibary mengatakan :
“Disunatkan jihar takbir intiqalat sama halnya dengan takbiratul-ihram bagi imam, demikian juga bagi muballigh jika membutuhkannya, tetapi jika ada niat zikir atau niat zikir dan memperdengarkannya. Dan jika tidak, maka batal shalatnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhuna dalam syarah al-Minhaj.”1
2.Batal shalat sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Zainuddin al-Malibari di atas, oleh al-Bakri al-Damyathi menyebut alasannya karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia. 2
3.Ibrahim al-Bajuri mengatakan
“Pada takbir intiqalat, Imam dan muballiqh mengqashad zikir saja atau zikir dan memberitahu, tidak memberitahu saja, karena itu mudharat. Demikian juga secara mutlaq pada haq orang alim berbeda halnya dengan orang awam. Untuk itu, tidak boleh tidak qashad zikir pada setiap takbir menurut al-Ramli dan memadai qashadnya pada takbir pertama menurut al-Khathib.”3
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Bakri al-Damyathi di atas, kewajiban niat zikir pada takbir intiqalat imam yang dilakukan secara jihar, karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia, sedangkan berbicara dalam shalat tidak dibolehkan dan dapat membatalkan shalat seseorang . Oleh karena itu, supaya tidak keluar takbir tersebut sebagai zikir, maka diharuskan niat zikir.
Berbicara dalam shalat dapat membatalkan shalat adalah berdasarkan hadits Nabi SAW :
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Artinya : Sesungguhnya shalat itu tidak pantas disertai dengan percakapan manusia. Yang layak dalam shalat adalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an(H.R. Muslim)4
Daftar Pustaka
1.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 154
2.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal.154
3.Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, A-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 170
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 70, No. Hadits :1227
Membaca rabbighfirlii setelah wa ladhdhallin dalam fatihah shalat
Berikut pendapat ulama mengenai hal tersebut, antara lain :
1.Al-Bakry al-Damyathi mengatakan bahwa mengucapkan rabbighfirli setelah wa ladhdhallin adalah sunnah berdasarkan hadits hasan, yaitu
أنه صلعم قال عقب ولا الضالين رب اغفرلي
Selanjutnya Al-Damyathi mengutip pernyataan Ali Syibran al-Malusy, yaitu :
“ Sepatutnya seandainya menambah wa liwalidaiya wa lijami’ul muslimin, maka tidak mudharat pula”1
Hadits di atas telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Kitab beliau, Tuhfah al-Muhtaj dengan penilaian hadits sebagai hadits hasan. 2
2.Qalyubi berkata :
“Tidak disunnatkan berdo’a sebelum membaca amin. Namun Ibnu Hajar mengecualikan rabbighfirli karena ada keterangannya .”3
3.Alwy Abu Bakar Muhammad al-Saqaf mengatakan, 4 bahwa sunnah membaca rabbighfiirli wa liwalidayya sebelum membaca amin adalah karena mengharap pembacaan amin serentak dengan amin para ahli langit, sebagaimana hadits Syaikhain :
إذا أمن الامام فأمنوا فأنه من وفق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya : Apabila imam membaca amin, maka bacalah amin. Barangsiapa yang serentak aminnya dengan amin para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.(H.R. Bukhari 5 dan Muslim 6 )
Kesimpulan
Dengan demikian, membaca rabbighfiirli wa liwalidayya sebelum membaca amin adalah sunnah berdasarkan keterangan di atas.
Baca juga : http://kitab-kuneng.blogspot.com/2014/04/takhrij-hadits-membaca-rabbighfirlii.html
Daftar Pustaka
1.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 147. Keterangan yang sama dapat juga dilihat dalam Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala Fathul Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 199
2,Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 50
3.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, hal. 152
4.Alwy Abu Bakar Muhammad al-Saqaf , Ta’liq Nihayah al-Zain, dicetak dalam Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Hal. 76
5.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 156, No. Hadits : 780
6.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 307, No. Hadits : 410
1.Al-Bakry al-Damyathi mengatakan bahwa mengucapkan rabbighfirli setelah wa ladhdhallin adalah sunnah berdasarkan hadits hasan, yaitu
أنه صلعم قال عقب ولا الضالين رب اغفرلي
Selanjutnya Al-Damyathi mengutip pernyataan Ali Syibran al-Malusy, yaitu :
“ Sepatutnya seandainya menambah wa liwalidaiya wa lijami’ul muslimin, maka tidak mudharat pula”1
Hadits di atas telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Kitab beliau, Tuhfah al-Muhtaj dengan penilaian hadits sebagai hadits hasan. 2
2.Qalyubi berkata :
“Tidak disunnatkan berdo’a sebelum membaca amin. Namun Ibnu Hajar mengecualikan rabbighfirli karena ada keterangannya .”3
3.Alwy Abu Bakar Muhammad al-Saqaf mengatakan, 4 bahwa sunnah membaca rabbighfiirli wa liwalidayya sebelum membaca amin adalah karena mengharap pembacaan amin serentak dengan amin para ahli langit, sebagaimana hadits Syaikhain :
إذا أمن الامام فأمنوا فأنه من وفق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya : Apabila imam membaca amin, maka bacalah amin. Barangsiapa yang serentak aminnya dengan amin para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.(H.R. Bukhari 5 dan Muslim 6 )
Kesimpulan
Dengan demikian, membaca rabbighfiirli wa liwalidayya sebelum membaca amin adalah sunnah berdasarkan keterangan di atas.
Baca juga : http://kitab-kuneng.blogspot.com/2014/04/takhrij-hadits-membaca-rabbighfirlii.html
Daftar Pustaka
1.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 147. Keterangan yang sama dapat juga dilihat dalam Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala Fathul Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 199
2,Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 50
3.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, hal. 152
4.Alwy Abu Bakar Muhammad al-Saqaf , Ta’liq Nihayah al-Zain, dicetak dalam Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Hal. 76
5.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 156, No. Hadits : 780
6.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 307, No. Hadits : 410
Minggu, 14 Agustus 2011
Tgk. Abu Dahlan al-Fairussy al-Baghdady (1943-2006), Pewaris Koleksi Naskah Terbesar di Asia Tenggara
Setelah sejak beberapa tahun belakangan berjuang keras melawan penyakit jantung yang dideritanya, akhirnya pada Sabtu, 18 Nopember 2006, pukul 13.45 WIB laki-laki berusia 63 tahun itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia adalah Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi, pimpinan Dayah Tgk Chiek Tanoh Abee, Seulimuen, Aceh Besar.
Abu Tanoh Abee, demikian ia biasa disapa, memang bukan seorang tokoh nasional apalagi internasional terkemuka, meski ia tetap dianggap sebagai ulama besar di Tanah Rencong. Tapi bagi dunia pernaskahan khususnya, ia telah meninggalkan jasa yang luar biasa besar. Selama puluhan tahun ia menjadi semacam "kuncen" yang menjaga dan merawat tidak kurang dari 3.500 teks-teks kuno keagamaan dalam bentuk manuskrip. Jumlah naskah koleksi Dayah Tanoh Abee ini diduga sebagai yang terbesar di Asia Tenggara untuk kategori koleksi lembaga tradisional semacam Dayah ini.
Berkat jasa dan ketekunannya dalam mengumpulkan naskah-naskah tersebut, terutama yang diperoleh dari sanak familinya, kini dunia keilmuan masih bisa menyandarkan informasinya pada sumber-sumber lokal yang "genuine", khususnya yang berkaitan dengan sejarah perkembangan sosial intelektual keagamaan di Aceh sejak abad ke 16. Hingga kini, naskah-naskah tersebut tersimpan di Dayah Tanoh Abee yang diasuhnya, meski dengan standar perawatan yang belum maksimal.
Keberadaan naskah-naskah Tanoh Abee ini menjadi semakin terasa penting terutama setelah hancur dan musnahnya beberapa lembaga penyimpan dokumen bersejarah, seperti Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, akibat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.
Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Shaikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Shaikh Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya.
Dalam konteks perkembangan tarekat Shattariyyah di Aceh secara keseluruhan, alur silsilah yang dikembangkan oleh keturunan Shaikh Fairus ini tergolong "unik" karena tidak melalui Shaikh Abdurrauf Ali al-Jawi, yang dianggap sebagai khalifah utama tarekat Shattariyyah di Aceh khususnya, dan di dunia Melayu-Indonesia pada umumnya.
Dalam naskah Shattariyyah karangan Teungku Muhammad Ali, yang merupakan orang tua dari Abu Dahlan misalnya, disebutkan bahwa Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Shaikh Abdul Wahhab, dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Shaikh Muhammad As‘ad Tahir, dari Shaikh Muhammad Said Tahir, dari Shaikh Mansur Badiri, dari Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani, dari Shaikh Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw (Fakhriati 2006). Umumnya, sebelum sampai kepada Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani dan Shaikh Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia (Fathurahman 1999).
Kini, Abu Tanoh Abee telah tiada, saya masih terngiang ungkapan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu, bahwa ia sesungguhnya tidak yakin siapa yang akan menggantikannya jika suatu saat ia tutup usia. Ia hanya berpesan bahwa khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama.
Dulu ia memang cenderung protektiv terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi Dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak famili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut, yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak "mengganggu" pusakanya, selain juga karena pengalaman pahit adanya "tangan-tangan jahil" yang tidak bertanggung jawab ketika diberi kesempatan mengakses naskah-naskah tersebut.
Namun kini, khususnya setelah ia melihat kenyataan musnahnnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama.
Abu Dahlan pun belakangan tidak segan-segan memperlihatkan koleksi naskahnya kepada mereka yang berkunjung ke Dayahnya, bahkan koleksi naskah yang tersimpan di kamar pribadinya sekalipun.
Beruntung saya pernah menjadi saksi, betapa judul-judul naskah yang disimpan Abu Dahlan merupakan kitab-kitab keagamaan yang sangat penting, khususnya dalam konteks tradisi dan wacana intelektual Islam di Aceh sejak abad ke 16.
Atas perubahan sikap yang diperlihatkan oleh Abu Dahlan ini pula, berbagai pihak pun mulai bersedia bekerja sama untuk melakukann pemeliharaan atas naskah-naskah tersebut.
Bahkan, saat ini, di atas tanah milik Abu Dahlan sendiri sedang dibangun perpustakaan manuskrip atas dukungan dana dari Cultural Emergency Response (CER) Prince Claus Fund, Belanda. Pembangunan itu sendiri merupakan salah satu upaya yang diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Aceh (lihat tulisan lain: "The Cultural Emergency Relief Action: The Rebuilding Manuscript Library in Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar" di bawah Label: Unpublished Conference Articles).
Akhirnya, Selamat jalan Abu, semoga segala jerih payahmu menjadi amal baik di alam baka, dan dedikasimu dapat diwarisi oleh generasi berikutnya. Amin Ya Allaah....
(sumber :http://yasirmaster.blogspot.com/2011/07/abu-tanoh-abee-sang-pewaris-naskah-aceh.html)
Abu Tanoh Abee, demikian ia biasa disapa, memang bukan seorang tokoh nasional apalagi internasional terkemuka, meski ia tetap dianggap sebagai ulama besar di Tanah Rencong. Tapi bagi dunia pernaskahan khususnya, ia telah meninggalkan jasa yang luar biasa besar. Selama puluhan tahun ia menjadi semacam "kuncen" yang menjaga dan merawat tidak kurang dari 3.500 teks-teks kuno keagamaan dalam bentuk manuskrip. Jumlah naskah koleksi Dayah Tanoh Abee ini diduga sebagai yang terbesar di Asia Tenggara untuk kategori koleksi lembaga tradisional semacam Dayah ini.
Berkat jasa dan ketekunannya dalam mengumpulkan naskah-naskah tersebut, terutama yang diperoleh dari sanak familinya, kini dunia keilmuan masih bisa menyandarkan informasinya pada sumber-sumber lokal yang "genuine", khususnya yang berkaitan dengan sejarah perkembangan sosial intelektual keagamaan di Aceh sejak abad ke 16. Hingga kini, naskah-naskah tersebut tersimpan di Dayah Tanoh Abee yang diasuhnya, meski dengan standar perawatan yang belum maksimal.
Keberadaan naskah-naskah Tanoh Abee ini menjadi semakin terasa penting terutama setelah hancur dan musnahnya beberapa lembaga penyimpan dokumen bersejarah, seperti Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, akibat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.
Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Shaikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Shaikh Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya.
Dalam konteks perkembangan tarekat Shattariyyah di Aceh secara keseluruhan, alur silsilah yang dikembangkan oleh keturunan Shaikh Fairus ini tergolong "unik" karena tidak melalui Shaikh Abdurrauf Ali al-Jawi, yang dianggap sebagai khalifah utama tarekat Shattariyyah di Aceh khususnya, dan di dunia Melayu-Indonesia pada umumnya.
Dalam naskah Shattariyyah karangan Teungku Muhammad Ali, yang merupakan orang tua dari Abu Dahlan misalnya, disebutkan bahwa Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Shaikh Abdul Wahhab, dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Shaikh Muhammad As‘ad Tahir, dari Shaikh Muhammad Said Tahir, dari Shaikh Mansur Badiri, dari Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani, dari Shaikh Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw (Fakhriati 2006). Umumnya, sebelum sampai kepada Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani dan Shaikh Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia (Fathurahman 1999).
Kini, Abu Tanoh Abee telah tiada, saya masih terngiang ungkapan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu, bahwa ia sesungguhnya tidak yakin siapa yang akan menggantikannya jika suatu saat ia tutup usia. Ia hanya berpesan bahwa khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama.
Dulu ia memang cenderung protektiv terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi Dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak famili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut, yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak "mengganggu" pusakanya, selain juga karena pengalaman pahit adanya "tangan-tangan jahil" yang tidak bertanggung jawab ketika diberi kesempatan mengakses naskah-naskah tersebut.
Namun kini, khususnya setelah ia melihat kenyataan musnahnnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama.
Abu Dahlan pun belakangan tidak segan-segan memperlihatkan koleksi naskahnya kepada mereka yang berkunjung ke Dayahnya, bahkan koleksi naskah yang tersimpan di kamar pribadinya sekalipun.
Beruntung saya pernah menjadi saksi, betapa judul-judul naskah yang disimpan Abu Dahlan merupakan kitab-kitab keagamaan yang sangat penting, khususnya dalam konteks tradisi dan wacana intelektual Islam di Aceh sejak abad ke 16.
Atas perubahan sikap yang diperlihatkan oleh Abu Dahlan ini pula, berbagai pihak pun mulai bersedia bekerja sama untuk melakukann pemeliharaan atas naskah-naskah tersebut.
Bahkan, saat ini, di atas tanah milik Abu Dahlan sendiri sedang dibangun perpustakaan manuskrip atas dukungan dana dari Cultural Emergency Response (CER) Prince Claus Fund, Belanda. Pembangunan itu sendiri merupakan salah satu upaya yang diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Aceh (lihat tulisan lain: "The Cultural Emergency Relief Action: The Rebuilding Manuscript Library in Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar" di bawah Label: Unpublished Conference Articles).
Akhirnya, Selamat jalan Abu, semoga segala jerih payahmu menjadi amal baik di alam baka, dan dedikasimu dapat diwarisi oleh generasi berikutnya. Amin Ya Allaah....
(sumber :http://yasirmaster.blogspot.com/2011/07/abu-tanoh-abee-sang-pewaris-naskah-aceh.html)
Habib Zain bin Abdullah Al Aidrus (1289 – 1399 H)
Kelahiran dan masa kecil beliau Habib Zain bin Abdullah Al-Aidrus, beliau dilahirkan di daerah As-Suweiry (dekat kota Tarim), Hadramaut, pada tahun 1289 H. Ayah beliau Al-Habib Abdullah, berasal dari kota Tarim, dan kemudian berhijrah ke kota As-Suweiry dengan beberapa teman beliau atas perintah Al-Imam Al-Habib Thahir bin Husin Bin Thahir Ba’alawy untuk mengawasi gencatan senjata antar kabilah yang terjadi di kota tersebut.
Nasab beliau bersandar pada silsilah dzahabiyyah, bersambung dari ayah ke kakek, sampai akhirnya bertemu dengan kakek beliau yang termulia Rasulullah SAW. Adapun perinciannya, beliau adalah:
Al-Habib Al-Allamah Zain bin Abdullah bin Alwi bin Umar bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Ahmad Ash-Shalaibiyyah bin Husin bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al-Aidrus bin Abu Bakar As-Sakran bin Abdur Rahman As-Saggaf bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahib Ad-Dark bin Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Ali Al-’Uradhy bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin, putri Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dalam suatu keluarga yang penuh keutamaan, ilmu dan akhlak, mencontoh keluarga datuk beliau Rasulullah SAW. Al-Habib Abdullah, ayah beliau, mencurahkan perhatian yang lebih kepada beliau diantara saudara-saudaranya, karena selain beliau adalah anak yang terakhir, juga beliau adalah anak yang berperilaku yang mulia dan berhati bersih. Dan sungguh Al-Habib Abdullah melihat dengan firasat tajamnya bahwa putra beliau yang satu ini akan menjadi seorang yang mempunyai hal (keadaan) yang tinggi di suatu masa mendatang.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dewasa dan dicintai oleh keluarganya dan masyarakat As-Suweiry. Beliau habiskan masa kecil beliau dengan penuh kezuhudan dan ibadah. Beliau semenjak kecilnya gemar sekali menjaga kewajiban shalat dan menunaikan shalat-shalat sunnah. Suatu kegemaran yang jarang sekali dipunyai oleh anak-anak sebaya beliau.
Perjalanan hijrah beliau
Pada tahun 1301 H, beliau melakukan perjalanan hijrah ke Indonesia, disertai saudara-saudaranya Alwi, Ahmad dan Ali. Pada saat itu beliau masih berusia 12 tahun. Di Indonesia beliau bertemu dengan pamannya Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Alwi Al-Aidrus yang sudah terlebih dahulu menetap disana.
Masa belajar beliau
Sebelum beliau berhijrah ke Indonesia, beliau banyak mengambil ilmu dari keluarganya, dan juga dari para ulama di tempat asalnya Hadramaut, yang memang terkenal pada saat itu dengan negeri yang penuh dengan ulama-ulama besar. Dari daerah tersebut, beliau banyak mengambil berbagai macam ilmu-ilmu agama.
Setelah berada di Indonesia, beliau menuntut ilmu kepada pamannya Al-Habib Muhammad. Setelah dirasakan cukup, beliau Al-Habib Zain dikirim oleh pamannya untuk menuntut ilmu kepada salah seorang mufti terkenal di Indonesia saat itu, yaitu Al-Habib Al-Faqih Al-Allamah Utsman bin Abdullah Bin Yahya. Guru beliau Al-Habib Utsman Bin Yahya merupakan salah seorang tokoh agama yang cukup mumpuni di bidang fiqih dan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Banyak diantara para murid Al-Habib Utsman yang menjadi ulama-ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdur Rahman Alhabsyi, Kwitang.
Hiduplah beliau Al-Habib Zain dibawa didikan gurunya Al-Habib Utsman Bin Yahya. Sebagaimana masa kecilnya, semangat beliau seakan tak pupus untuk belajar dengan giat dan tekun. Banyak ilmu yang diambil beliau dari gurunya, diantaranya adalah ilmu-ilmu bahasa Arab, Fiqih, Fara’idh (ilmu waris), Ushul, Falak, dan sebagainya. Beliau mengambil dari gurunya ilmu dan amal dan beliau banyak mendapatkan ijazah dari gurunya tersebut.
Masa dakwah beliau
Pada tahun 1322 H, berdirilah sebuah sekolah agama di kota Jakarta yang dinamakan Jamiat Khair. Beberapa pengurus dari sekolah itu kemudian datang kepada beliau untuk memintanya mengajar disana. Akhirnya mengajarlah beliau disana dengan kesungguhan, tanpa lelah dan bosan. Pada saat itu beliau merupakan salah seorang staf pengajar kurun waktu pertama sekolah Jamiat Khair, suatu sekolah yang banyak menghasilkan tokoh-tokoh agama dan pergerakan.
Selang beberapa tahun kemudian, beliau mendirikan sebuah sekolah kecil di jalan Gajah Mada, Jakarta. Keberadaan sekolah itu disambut dengan gembira oleh masyarakat, yang sangat butuh akan ilmu-ilmu agama. Akan tetapi sayangnya, tak selang berapa lama, dengan kedatangan Jepang, sekolah tersebut ditutup oleh penjajah Jepang.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1326 H, beliau mendirikan majlis taklim di Masjid Al-Mubarak, Krukut, Jakarta. Majlis taklim tersebut diadakan siang dan malam, dan banyak dihadiri pria dan wanita. Sepeninggal pamannya Al-Habib Muhammad, beliaulah yang menjadi khalifah-nya. Termasuk juga beliau menjadi imam di Masjid tersebut, menggantikan posisi pamannya. Di masjid itu, beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama, diantaranya ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah yang lurus, dan ilmu-ilmu lainnya, dengan cara yang mudah dan sederhana. Begitulah seterusnya beliau menjalankan aktivitasnya dalam berdakwah, tanpa lelah dan bosan, selama 70 tahun.
Suluk beliau
Sebagaimana thariqah yang dipegang oleh para Datuk beliau, beliau bermadzhabkan kepada Al-Imam Asy-Sy-Syafi’i dan bersandarkan pada aqidah Asy’ariyyah, salah satu aqidah didalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah yang beliau bawa sebagai pegangan hidup, meneruskan dari apa-apa yang telah digariskan oleh datuk-datuk beliau para Salaf Bani Alawy.
Sifat-sifat mulia beliau
Sedangkan mengenai sifat-sifat beliau, beliau adalah seorang memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah, zuhud terhadap dunia, qana’ah dalam menerima sesuatu, banyak membaca Al-Qur’an dan dzikir. Sebagaimana di masa kecilnya, beliau selalu tekun melakukan shalat di Masjid Al-Mubarak dan disana beliau selalu bertindak sebagai imam. Salah satu kebiasaan yang sering beliau lakukan adalah beliau tidak keluar dari masjid setelah menunaikan shalat Subuh, kecuali setelah datangnya waktu isyraq (terbitnya matahari). Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah yang selalu beliau kerjakan. Hal ini berlangsung terus meskipun beliau sudah memasuki masa tuanya.
Wafat beliau
Di akhir hayatnya, majlis beliau adalah sebuah majlis ilmu yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan, majlis yang penuh akhlak dan adab, majlis yang penuh anwar dan asrar, taman ilmu dan hikmah, penuh dengan dzikir dan doa. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, dalam usianya 110 tahun. Beliau wafat pada hari Sabtu, tanggal 24 Rabi’ul Tsani 1399 H (24 Maret 1979 M), sekitar pukul 3 sore. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Condet (depan Al-Hawi), Jakarta.
Derai tangis mengiringi kepergian beliau menuju Hadratillah. Al-Habib Husin bin Abdur Rahman Assegaf melantunkan syair perpisahan dengan beliau, yang diantara baitnya berbunyi:
Keindahan ufuk itu telah hilang dan pancaran cahaya bintang itu telah pergi.
Ia menerangi kami beberapa saat dan setelah habisnya malam, ia pun berlalu dan pergi.
Itulah Al-Faqid Zain yang pernah menerangi zaman dan penunjuk hidayah.
Sungguh beliau adalah pelita bagi ilmu agama dan Al-Qur’an, serta seorang imam, jarang ada yang menyamainya.
Khalifah (penerus) bagi para pendahulunya, beliau berjalan pada atsar dan jejak langkah mereka.
Seorang ulama min ahlillah telah berpulang, akan tetapi ilmu dan akhlaknya akan tetap terus terkenang, menjadi ibrah bagi orang-orang yang mempunyai bashirah.
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
Semoga kita bisa meneladani beliau. amien.
Referensi
1. Jauharah An-Nufus As-Sayyid Al-Allamah Zain bin Abdullah Ash-Shalaibiyyah Al-Aidrus, As-Sayid Hasan bin Husin Assaggaf.
2. Tahqiq Syams Adh-Dhahirah, Al-Habib Muhammad Dhia Bin Syahab, juz. 2.
3. Harian Pos Kota, Senin, 26 Maret 1979.
4. Harian Sinar Harapan, Senin, 26 Maret 1979
Sumber: http://www.asyraaf.com/v2/manaqib.php?op=2&id=14
Nasab beliau bersandar pada silsilah dzahabiyyah, bersambung dari ayah ke kakek, sampai akhirnya bertemu dengan kakek beliau yang termulia Rasulullah SAW. Adapun perinciannya, beliau adalah:
Al-Habib Al-Allamah Zain bin Abdullah bin Alwi bin Umar bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Ahmad Ash-Shalaibiyyah bin Husin bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al-Aidrus bin Abu Bakar As-Sakran bin Abdur Rahman As-Saggaf bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahib Ad-Dark bin Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Ali Al-’Uradhy bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin, putri Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dalam suatu keluarga yang penuh keutamaan, ilmu dan akhlak, mencontoh keluarga datuk beliau Rasulullah SAW. Al-Habib Abdullah, ayah beliau, mencurahkan perhatian yang lebih kepada beliau diantara saudara-saudaranya, karena selain beliau adalah anak yang terakhir, juga beliau adalah anak yang berperilaku yang mulia dan berhati bersih. Dan sungguh Al-Habib Abdullah melihat dengan firasat tajamnya bahwa putra beliau yang satu ini akan menjadi seorang yang mempunyai hal (keadaan) yang tinggi di suatu masa mendatang.
Beliau Al-Habib Zain tumbuh dewasa dan dicintai oleh keluarganya dan masyarakat As-Suweiry. Beliau habiskan masa kecil beliau dengan penuh kezuhudan dan ibadah. Beliau semenjak kecilnya gemar sekali menjaga kewajiban shalat dan menunaikan shalat-shalat sunnah. Suatu kegemaran yang jarang sekali dipunyai oleh anak-anak sebaya beliau.
Perjalanan hijrah beliau
Pada tahun 1301 H, beliau melakukan perjalanan hijrah ke Indonesia, disertai saudara-saudaranya Alwi, Ahmad dan Ali. Pada saat itu beliau masih berusia 12 tahun. Di Indonesia beliau bertemu dengan pamannya Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Alwi Al-Aidrus yang sudah terlebih dahulu menetap disana.
Masa belajar beliau
Sebelum beliau berhijrah ke Indonesia, beliau banyak mengambil ilmu dari keluarganya, dan juga dari para ulama di tempat asalnya Hadramaut, yang memang terkenal pada saat itu dengan negeri yang penuh dengan ulama-ulama besar. Dari daerah tersebut, beliau banyak mengambil berbagai macam ilmu-ilmu agama.
Setelah berada di Indonesia, beliau menuntut ilmu kepada pamannya Al-Habib Muhammad. Setelah dirasakan cukup, beliau Al-Habib Zain dikirim oleh pamannya untuk menuntut ilmu kepada salah seorang mufti terkenal di Indonesia saat itu, yaitu Al-Habib Al-Faqih Al-Allamah Utsman bin Abdullah Bin Yahya. Guru beliau Al-Habib Utsman Bin Yahya merupakan salah seorang tokoh agama yang cukup mumpuni di bidang fiqih dan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Banyak diantara para murid Al-Habib Utsman yang menjadi ulama-ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdur Rahman Alhabsyi, Kwitang.
Hiduplah beliau Al-Habib Zain dibawa didikan gurunya Al-Habib Utsman Bin Yahya. Sebagaimana masa kecilnya, semangat beliau seakan tak pupus untuk belajar dengan giat dan tekun. Banyak ilmu yang diambil beliau dari gurunya, diantaranya adalah ilmu-ilmu bahasa Arab, Fiqih, Fara’idh (ilmu waris), Ushul, Falak, dan sebagainya. Beliau mengambil dari gurunya ilmu dan amal dan beliau banyak mendapatkan ijazah dari gurunya tersebut.
Masa dakwah beliau
Pada tahun 1322 H, berdirilah sebuah sekolah agama di kota Jakarta yang dinamakan Jamiat Khair. Beberapa pengurus dari sekolah itu kemudian datang kepada beliau untuk memintanya mengajar disana. Akhirnya mengajarlah beliau disana dengan kesungguhan, tanpa lelah dan bosan. Pada saat itu beliau merupakan salah seorang staf pengajar kurun waktu pertama sekolah Jamiat Khair, suatu sekolah yang banyak menghasilkan tokoh-tokoh agama dan pergerakan.
Selang beberapa tahun kemudian, beliau mendirikan sebuah sekolah kecil di jalan Gajah Mada, Jakarta. Keberadaan sekolah itu disambut dengan gembira oleh masyarakat, yang sangat butuh akan ilmu-ilmu agama. Akan tetapi sayangnya, tak selang berapa lama, dengan kedatangan Jepang, sekolah tersebut ditutup oleh penjajah Jepang.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1326 H, beliau mendirikan majlis taklim di Masjid Al-Mubarak, Krukut, Jakarta. Majlis taklim tersebut diadakan siang dan malam, dan banyak dihadiri pria dan wanita. Sepeninggal pamannya Al-Habib Muhammad, beliaulah yang menjadi khalifah-nya. Termasuk juga beliau menjadi imam di Masjid tersebut, menggantikan posisi pamannya. Di masjid itu, beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama, diantaranya ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah yang lurus, dan ilmu-ilmu lainnya, dengan cara yang mudah dan sederhana. Begitulah seterusnya beliau menjalankan aktivitasnya dalam berdakwah, tanpa lelah dan bosan, selama 70 tahun.
Suluk beliau
Sebagaimana thariqah yang dipegang oleh para Datuk beliau, beliau bermadzhabkan kepada Al-Imam Asy-Sy-Syafi’i dan bersandarkan pada aqidah Asy’ariyyah, salah satu aqidah didalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah yang beliau bawa sebagai pegangan hidup, meneruskan dari apa-apa yang telah digariskan oleh datuk-datuk beliau para Salaf Bani Alawy.
Sifat-sifat mulia beliau
Sedangkan mengenai sifat-sifat beliau, beliau adalah seorang memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah, zuhud terhadap dunia, qana’ah dalam menerima sesuatu, banyak membaca Al-Qur’an dan dzikir. Sebagaimana di masa kecilnya, beliau selalu tekun melakukan shalat di Masjid Al-Mubarak dan disana beliau selalu bertindak sebagai imam. Salah satu kebiasaan yang sering beliau lakukan adalah beliau tidak keluar dari masjid setelah menunaikan shalat Subuh, kecuali setelah datangnya waktu isyraq (terbitnya matahari). Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah yang selalu beliau kerjakan. Hal ini berlangsung terus meskipun beliau sudah memasuki masa tuanya.
Wafat beliau
Di akhir hayatnya, majlis beliau adalah sebuah majlis ilmu yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan, majlis yang penuh akhlak dan adab, majlis yang penuh anwar dan asrar, taman ilmu dan hikmah, penuh dengan dzikir dan doa. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, dalam usianya 110 tahun. Beliau wafat pada hari Sabtu, tanggal 24 Rabi’ul Tsani 1399 H (24 Maret 1979 M), sekitar pukul 3 sore. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Condet (depan Al-Hawi), Jakarta.
Derai tangis mengiringi kepergian beliau menuju Hadratillah. Al-Habib Husin bin Abdur Rahman Assegaf melantunkan syair perpisahan dengan beliau, yang diantara baitnya berbunyi:
Keindahan ufuk itu telah hilang dan pancaran cahaya bintang itu telah pergi.
Ia menerangi kami beberapa saat dan setelah habisnya malam, ia pun berlalu dan pergi.
Itulah Al-Faqid Zain yang pernah menerangi zaman dan penunjuk hidayah.
Sungguh beliau adalah pelita bagi ilmu agama dan Al-Qur’an, serta seorang imam, jarang ada yang menyamainya.
Khalifah (penerus) bagi para pendahulunya, beliau berjalan pada atsar dan jejak langkah mereka.
Seorang ulama min ahlillah telah berpulang, akan tetapi ilmu dan akhlaknya akan tetap terus terkenang, menjadi ibrah bagi orang-orang yang mempunyai bashirah.
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
Semoga kita bisa meneladani beliau. amien.
Referensi
1. Jauharah An-Nufus As-Sayyid Al-Allamah Zain bin Abdullah Ash-Shalaibiyyah Al-Aidrus, As-Sayid Hasan bin Husin Assaggaf.
2. Tahqiq Syams Adh-Dhahirah, Al-Habib Muhammad Dhia Bin Syahab, juz. 2.
3. Harian Pos Kota, Senin, 26 Maret 1979.
4. Harian Sinar Harapan, Senin, 26 Maret 1979
Sumber: http://www.asyraaf.com/v2/manaqib.php?op=2&id=14
Selasa, 09 Agustus 2011
Penggunaan Sayyidina dalam Tasyahud Shalat
Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud
akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah
sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah.[1] Adapun
lafaz shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan
oleh Rasulullah SAW adalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
Para ulama
Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada
lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab
Syafi’iyah dikatakan :
“Pendapat
yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan
santun.”[4]
Ulama
Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam
shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi,
al-Halaby, dan lainnya.[5] Sedangkan dari kitab
ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya
Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :
Pendapat yang
senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu
Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.[7]
Dalil-dalil fatwa ini, antara lain
:
1.
Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan
oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk
amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan
kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad
al-Bajuri menyatakan:
“Pengucapan “sayyidina” merupakan
sikap sopan santun.”[8]
Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu)
anak adam pada hari kiamat. Orang
pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan
orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).[9]
Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di
akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari
akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid
manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi
dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :
“Adapun sabda
Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia
maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau
itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan
seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir
dan dakwaan orang musyrik”.[10]
Berdasarkan
pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam
shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.
2.
Hadits Abu Sa’id, berkata :
قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر
Artinya : Rasulullah SAW bersabda,
Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.(H.R.
Turmidzi)[11]
Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas
Sebagian umat
Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan
tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan
berargumentasi antara lain :
1.
Sabda Rasulullah SAW :
لاَ تُسَيِّدُونِي فِي
الصَّلاَةِ
Artinya : Janganlah kalian mengucapkan
kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.
Jawab kita :
Hadits ini tidak
memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal
yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling
fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“
berasal dari kata “ سَادَ – يَسُوْدُ
“ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan
redaksi “ لاَ تُسَوِّدُوْنِي
“ dan bukanlah dengan “ لاَ تُسَيِّدُونِي
“ . Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :
”Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan
kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana
telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin.”[12]
Senada dengan pernyataan di atas juga
disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.[13]
Dengan
demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa
dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.
2. Sabda
Rasulullah SAW,
لاَ
تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه
Artinya : Janganlah kamu menyanjungku
sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini
seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)[14]
Mereka
mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan.
Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”
Jawab kita :
Larangan
pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani
kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai
tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan
dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah
mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan
Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum
Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya,
ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar
lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain. Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir
hadits di atas mengatakan :
”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana
sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan
lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka
itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”[15]
Dengan demikian, hadits ini tidak
tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik
dalam dalam shalat maupun luar shalat
3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :
أن رجلا
قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و
سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله
عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل
Artinya : Seorang lelaki telah
datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak
Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di
kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa
dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah
Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku
tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza
wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)[16]
Memperhatikan ujung
hadits ini yang berbunyi,
“ Demi Allah bahwasanya aku tidak
suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa
Jalla tentukan bagiku”
Dan
hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :
“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”
Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada
Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang
telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri
mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid
bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang
memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat
Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung
Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni
kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan
konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :
“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana
sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba,
maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
Pemahaman hadits ini telah
dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat
Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.
4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara
bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat
yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ،
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
(H.R. Bukhari)[17]
Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam
shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam
shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan
Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula
Rasulullah SAW pernah bersabda :
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya : Shalatlah
sebagaimana kamu melihat aku shalat
Jawab kita :
Menambah zikir dalam dalam
shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal
ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى
الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه:
ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا،
قال: رأيت بضعة
وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah bin
Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi
SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata :
“Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau :
“Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah
selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu
menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih
malaikat yang berebutan pertama kali
menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) [18]
Dalam hadits di atas, seorang
sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya
dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah
shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama
tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di
atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats
(mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat
apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.[19]
Berdasarkan pemahaman ini, maka
dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan zikir
dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan
“wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau
dalam hadits Abu Daud[20]
yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.[21]
Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu
Qilabah
حَدَّثَنَا
مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ
مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ
اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا
بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ
وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ
أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ
الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal
bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan
umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu
beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya
kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun
memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu
dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah
mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain
yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: "
Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang,
maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu
menjadi imam”. (H.R. Bukahri22[22]
dan Syafi’i)[23]
Sebagaimana
dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW
tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan
kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian
berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW
bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”. Lalu sekarang
muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan
perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah
melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
a. Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW
tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam
shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut
mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau,
apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
b. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan)
dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu
yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh,
mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah
”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak
memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini,
tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi
makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas
tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah zikir dalam shalat
seperti perkataan sayyidina dalam
tasyahud.
5. Ada sebagian kaum muslimin yang
berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan
perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut
bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad
tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana
disebut dalam hadits riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.
Jawab kita :
Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam
hadits tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan
tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini
termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada
beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah,
sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab.[24]
Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih
dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu
Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak
mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap
mundur dari imam mempersilakan Rasulullah
SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah
Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana
tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ
فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ:
أَتُصَلِّي بِالنَّاسِ فَأُقِيمُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ
فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ
فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ
لَا يَلْتَفِتُ فِي الصَّلَاةِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ
الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ
إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ،
فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا أَمَرَهُ
بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ
اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ: «يَا أَبَا
بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ» قَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا
كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ؟ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ
فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ
وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ»
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi,
bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk
menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada
seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau
memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar
menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian
datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu
beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat
dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan
shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata
dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya:
'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji
Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan
masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat.
Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang
menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu
Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin
shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa
kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada
kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan
tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita."
(H.R. Muslim[25]
dan Bukhari[26])
Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits
shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas, maka menambah “sayyidina” pada
tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih
utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina”
yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah
dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud[27]
[1]. Ibrahim Bujairumy, Hasyiah
al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal.
188
[2]. Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[3] .Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad,
Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 244, No. Hadits : 18158
[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah
al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[5] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah,
Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[8] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah
al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[9] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 59, No. Hadits : 6079
[10] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim,
Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 37
[11] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi,
Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 308, No. Hadits 3148
[13] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah,
Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[14]. Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 204, No. Hadits : 3445
[15] Badruddin al-‘Ainy al-Hanafi, ‘Umdah
al-Qary Syarah Shahih al-Bukhary, Maktabah Syamilah, Juz. XXIII, Hal.
441
[17] Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[18] Bukhari, Shahih Bukhari,
Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
[19] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul
Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
[20] Abu Daud, Sunan Abu Daud,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 367, No. Hadits : 937
[21] Badruddin al-‘Ainy, Syarah
Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251
[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631
[23] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah
Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235
[24] Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Hasyiah
al-‘Ubady ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah
Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II,
Hal. 86
[25]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal.
316, No. Hadits : 421
[26]
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137,
No. Hadits : 684
[27]
Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Dur al-Manzhud, Dar al-Minhaj, Hal.
133-134