Setelah sejak beberapa tahun belakangan berjuang keras melawan penyakit jantung yang dideritanya, akhirnya pada Sabtu, 18 Nopember 2006, pukul 13.45 WIB laki-laki berusia 63 tahun itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia adalah Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi, pimpinan Dayah Tgk Chiek Tanoh Abee, Seulimuen, Aceh Besar.
Abu Tanoh Abee, demikian ia biasa disapa, memang bukan seorang tokoh nasional apalagi internasional terkemuka, meski ia tetap dianggap sebagai ulama besar di Tanah Rencong. Tapi bagi dunia pernaskahan khususnya, ia telah meninggalkan jasa yang luar biasa besar. Selama puluhan tahun ia menjadi semacam "kuncen" yang menjaga dan merawat tidak kurang dari 3.500 teks-teks kuno keagamaan dalam bentuk manuskrip. Jumlah naskah koleksi Dayah Tanoh Abee ini diduga sebagai yang terbesar di Asia Tenggara untuk kategori koleksi lembaga tradisional semacam Dayah ini.
Berkat jasa dan ketekunannya dalam mengumpulkan naskah-naskah tersebut, terutama yang diperoleh dari sanak familinya, kini dunia keilmuan masih bisa menyandarkan informasinya pada sumber-sumber lokal yang "genuine", khususnya yang berkaitan dengan sejarah perkembangan sosial intelektual keagamaan di Aceh sejak abad ke 16. Hingga kini, naskah-naskah tersebut tersimpan di Dayah Tanoh Abee yang diasuhnya, meski dengan standar perawatan yang belum maksimal.
Keberadaan naskah-naskah Tanoh Abee ini menjadi semakin terasa penting terutama setelah hancur dan musnahnya beberapa lembaga penyimpan dokumen bersejarah, seperti Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, akibat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.
Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Shaikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Shaikh Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya.
Dalam konteks perkembangan tarekat Shattariyyah di Aceh secara keseluruhan, alur silsilah yang dikembangkan oleh keturunan Shaikh Fairus ini tergolong "unik" karena tidak melalui Shaikh Abdurrauf Ali al-Jawi, yang dianggap sebagai khalifah utama tarekat Shattariyyah di Aceh khususnya, dan di dunia Melayu-Indonesia pada umumnya.
Dalam naskah Shattariyyah karangan Teungku Muhammad Ali, yang merupakan orang tua dari Abu Dahlan misalnya, disebutkan bahwa Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Shaikh Abdul Wahhab, dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Shaikh Muhammad As‘ad Tahir, dari Shaikh Muhammad Said Tahir, dari Shaikh Mansur Badiri, dari Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani, dari Shaikh Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw (Fakhriati 2006). Umumnya, sebelum sampai kepada Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani dan Shaikh Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia (Fathurahman 1999).
Kini, Abu Tanoh Abee telah tiada, saya masih terngiang ungkapan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu, bahwa ia sesungguhnya tidak yakin siapa yang akan menggantikannya jika suatu saat ia tutup usia. Ia hanya berpesan bahwa khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama.
Dulu ia memang cenderung protektiv terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi Dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak famili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut, yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak "mengganggu" pusakanya, selain juga karena pengalaman pahit adanya "tangan-tangan jahil" yang tidak bertanggung jawab ketika diberi kesempatan mengakses naskah-naskah tersebut.
Namun kini, khususnya setelah ia melihat kenyataan musnahnnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama.
Abu Dahlan pun belakangan tidak segan-segan memperlihatkan koleksi naskahnya kepada mereka yang berkunjung ke Dayahnya, bahkan koleksi naskah yang tersimpan di kamar pribadinya sekalipun.
Beruntung saya pernah menjadi saksi, betapa judul-judul naskah yang disimpan Abu Dahlan merupakan kitab-kitab keagamaan yang sangat penting, khususnya dalam konteks tradisi dan wacana intelektual Islam di Aceh sejak abad ke 16.
Atas perubahan sikap yang diperlihatkan oleh Abu Dahlan ini pula, berbagai pihak pun mulai bersedia bekerja sama untuk melakukann pemeliharaan atas naskah-naskah tersebut.
Bahkan, saat ini, di atas tanah milik Abu Dahlan sendiri sedang dibangun perpustakaan manuskrip atas dukungan dana dari Cultural Emergency Response (CER) Prince Claus Fund, Belanda. Pembangunan itu sendiri merupakan salah satu upaya yang diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Aceh (lihat tulisan lain: "The Cultural Emergency Relief Action: The Rebuilding Manuscript Library in Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar" di bawah Label: Unpublished Conference Articles).
Akhirnya, Selamat jalan Abu, semoga segala jerih payahmu menjadi amal baik di alam baka, dan dedikasimu dapat diwarisi oleh generasi berikutnya. Amin Ya Allaah....
(sumber :http://yasirmaster.blogspot.com/2011/07/abu-tanoh-abee-sang-pewaris-naskah-aceh.html)
Apakah ada naskah terkait bencana di Aceh? semisal cerita gempa pada masa lalu?
BalasHapus