وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - - أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - اِنْكَسَرَ، فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ. - أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya : Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya mangkok Nabi SAW retak, lalu beliau (Anas bin Malik) menambal tempat yang retak itu dengan sambungan yang terbuat dari perak (Dikeluarkan oleh Bukhari)[1]
Catatan :
Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Majmu’[2] bahwa perkataan “فَاتَّخَذ” dalam hadits di atas, mewahamkan yang menambalkan itu adalah Nabi SAW, padahal tidaklah demikian, karena yang menambal dalam hadits tersebut adalah Anas bin Malik sendiri. Hal ini sesuai dengan riwayat lain, berkata Anas bin Malik :
فجعلت مكان الشعب سلسلة
Artinya : Maka aku menambal tempat yang retak itu. (H.R. Baihaqi)[3]
Al-Ahkam
Menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’i, haram hukumnya menggunakan bejana yang terdiri perak, karena beramal dengan hadits Ummi Salamah, beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya : Dari Ummi Salamah, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang minum dalam bejana perak, sesungguhnya ia telah memasukkan dalam perutnya neraka jahannam (Muttafaqun’alaihi)[4]
Adapun hukum menggunakan bejana yang ditambal dengan perak adalah sesuai dengan penjelasan di bawah ini :
Imam Syafi’i mengatakan :
“Makruh bejana yang ditambal dengan perak, supaya orang tidak minum dalam bejana perak.”[5]
Kalangan Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum menambal bejana dengan perak kepada empat pendapat, yaitu :
1. Merincikan dalam empat katagori, yaitu :
- Jika tambalan dengan perak tersebut sedikit dan ada hajad, hukumnya tidak makruh. Dalilnya adalah hadits riwayat Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Bukhari di atas.
- Jika tambalannya sedikit dan karena hiasan, maka hukumnya makruh, karena tidak ada hajad dan tidak haram dikarenakan hadits riwayat Anas bin Malik, beliau berkata :
كان نعل سيف رسول الله صلي الله عليه وسلم من فضة وقبيعة سيفه فضة وما بين ذلك حلق الفضة
Artinya : Keadaan bawah sarung pedang Rasulullah SAW adalah dari perak, pegangannya juga dari perak dan di antaranya itu lingkaran perak.(H.R. Abu Daud dan Turmidzi, dengan kualitasi hasan)
- Jika tambalan tersebut besar dan tidak ada hajad, hukumnya haram, karena perkataan Ibnu Umar :
لا يتوضأ ولا يشرب من قدح فيه حلقة من فضة أو ضبة من فضة
Artinya : Jangan berwudhu’ dan minum dari bejana yang lingkaran dan tambalannya dari perak (H.R Baihaqi dan lainnya dengan kualitas shahih)
Dan atsar dari Aisyah :
وعن عائشة رضى الله عنها أنها نهت أن تضبب الاقداح بالفضة
Artinya : Dari Aisyah r.a, sesungguhnya beliau melarang menambal bejana dengan perak (H.R. Thabarany dan Baihaqi, dengan kualiatas hasan)
- dan jika tambalannya besar dan ada hajad, maka makruh karena banyak dan tidak haram karena ada hajad
Menurut Imam Nawawi, pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan merupakan pendapat yang masyhur di kalangan ahli Iraq serta telah meng-qatha’ oleh kebanyakan ahli Iraq. Telah dishahihkan pendapat ini oleh Syeikh Abu Hamid, al-Muhamily, al-Mawardi, al-Dariky dan mutaakhirin Syafi’iyah. Mereka ini mempertempatkan nash Imam Syafi’i di atas dengan pengertian sesuai dengan pendapat ini
2. Jika tambalan perak itu terjadi pada bagian yang digunakan seperti bagian yang tersentuh mulut orang yang minum, maka haram dan jika tidak seperti demikian, maka tidak haram. Pendapat ini merupakan Abu Ishaq al-Maruzy
3. Makruh dan tidak haram dalam keadaan apapun. Yang mengatakan pendapat ini adalah Abu ‘Ali al-Thabary dan lainnya
4. Haram dalam keadaan apapun. Abu Hasan al-Juwaini menghikayah pendapat ini dari Ibnu Umar r.a.dan Aisyah r.a.[6]
[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 27
[2] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 257
[3] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 29, No. hadits : 113
[4] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 26
[5] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 258
[6] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 256-258
Tidak ada komentar:
Posting Komentar