Renungan

Minggu, 08 Januari 2012

Tajdid Nikah


Secara bahasa perkataan tajdid nikah berasal dari  kata,  Jaddada – Yujaddidu – Tajdiidan  yang artinya   pembaharuan. Yang dimaksud pembaharuan disini adalah memperbaharui nikah, dengan arti sudah pernah terjadi akad nikah yang sah menurut syara’, kemudian dengan maksud sebagai ihtiyath (hati-hati) dan membuat kenyamanan hati maka dilakukan akad nikah sekali lagi atau lebih. Tajdid nikah dalam pengertian di atas, menurut hemat kami sah-sah saja dilakukan dan tindakan tersebut tidak mengakibatkan batal akad nikah sebelumnya. Kesimpulan ini berdasarkan argumentasi sebagai berikutt :

1.        Tajdid nikah merupakan tindakan sebagai langkah membuat kenyamanan hati dan  ihtiyath (kehati-hatian) yang diperintah dalam agama sebagaimana kandungan sabda Nabi SAW yang berbunyi :

الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ
Artinya : Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat/samar-samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. (H.R. Bukhari)[1]

2.        Hadist Salamah, beliau berkata :
بَايَعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِي يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ قَالَ وَفِي الثَّانِي
       Artinya : Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.” (H.R. Bukhari)[2]

       Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at kepada Nabi SAW, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab.[3] Karena itu, bai’at Salamah kali kedua ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang pertama. Tajdid nikah dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara pihak-pihak. Pendalilian seperti ini telah dikemukakan oleh Ibnu Munir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Ibnu Munir berkata :
       “Dipahami dari hadits ini (hadits di atas) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama, ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah yang berpendapat demikian (mengakibatkan fasakh).”

Mengomentari pernyataan Ibnu Munir yang mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat mengulangi akad nikah dan akad lainnya dapat mengakibatkan fasakh akad pertama, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
Aku mengatakan : “Yang shahih di sisi ulama Syafi’iyah adalah mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama.”[4]


Kesimpulan bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama dapat juga dipahami dari nash kitab dari kalangan ulama Syafi’iyah, antara lain :
1.        Zakariya al-Anshari dalam kitab beliau, Fath al-Wahab mengatakan :
Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sir (sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu, kemudian diulang kembali akad itu secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya adalah seribu.”[5]

Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Jalaluddin al-Mahalli dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj.[6]
Di sini, kedua ulama di atas mengakui bahwa akad nikah kedua tidak membatalkan akad nikah pertama. Buktinya, beliau berpendapat bahwa kewajiban mahar dikembalikan menurut  yang disebutkan dalam akad yang pertama. Kalau akad yang kedua membatalkan akad yang pertama, maka tentunya jumlah mahar tidak dikembalikan kepada akad yang pertama. Oleh karena itu, dipahami bahwa akad yang kedua hanyalah dengan tujuan memperindah saja.
2.        Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
Dipahami daripada bahwa akad apabila diulangi, yang dii’tibar adalah akad yang pertama,……… dan seterusnya s/d beliau mengatakan, sesungguhnya semata-mata muwafakat suami melakukan bentuk aqad nikah yang kedua (misalnya), bukanlah merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab (pengakuan thalaq) atas  nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi dan itu dhahir … s/d beliau mengatakan, sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbaharui nikah) semata-mata keinginannya untuk memperindah atau berhati-hati.”[7]

       Radaksi di atas dalam Bahasa Arab, lengkapnya :
وَلَوْ تَوَافَقُوا ) أَيْ الزَّوْجُ وَالْوَلِيُّ وَالزَّوْجَةُ الرَّشِيدَةُ فَالْجَمْعُ بِاعْتِبَارِهَا أَوْ بِاعْتِبَارِ مَنْ يَنْضَمُّ لِلْفَرِيقَيْنِ غَالِبًا ( عَلَى مَهْرٍ سِرًّا وَأَعْلَنُوا بِزِيَادَةٍ فَالْمَذْهَبُ وُجُوبُ مَا عُقِدَ بِهِ ) أَوَّلًا إنْ تَكَرَّرَ عَقْدٌ قَلَّ أَوْ كَثُرَ اتَّحَدَتْ شُهُودُ السِّرِّ وَالْعَلَنِ أَمْ لَا لِأَنَّ الْمَهْرَ إنَّمَا يَجِبُ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يُنْظَرْ لِغَيْرِهِ وَيُؤْخَذُ مِنْ أَنَّ الْعُقُودَ إذَا تَكَرَّرَتْ اُعْتُبِرَ الْأَوَّلُ مَعَ مَا يَأْتِي أَوَائِلَ الطَّلَاقِ[8] أَنَّ قَوْلَ الزَّوْجِ لِوَلِيِّ زَوْجَتِهِ زَوِّجْنِي كِنَايَةٌ بِخِلَافِ زَوجهَا فَإِنَّهُ صَرِيحٌ أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلًا لَا يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ الْأُولَى بَلْ وَلَا كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ وَلَا يُنَافِيهِ مَا يَأْتِي قُبَيْلَ الْوَلِيمَةِ[9] أَنَّهُ لَوْ قَالَ كَانَ الثَّانِي تَجْدِيدَ لَفْظٍ لَا عَقْدًا لَمْ يُقْبَلْ لِأَنَّ ذَاكَ فِي عَقْدَيْنِ لَيْسَ فِي ثَانِيهِمَا طَلَبُ تَجْدِيدٍ وَافَقَ عَلَيْهِ الزَّوْجُ فَكَانَ الْأَصْلُ اقْتِضَاءَ كُلِّ الْمَهْرِ وَحَكَمْنَا بِوُقُوعِ طَلْقَةٍ لِاسْتِلْزَامِ الثَّانِي لَهَا ظَاهِرًا وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَحَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْه

          Ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa tajdid nikah dapat membatalkan nikah sebelumnya, antara lain Yusuf al-Ardabili al-Syafi’i, ulama terkemuka mazhab Syafi’i (wafat 779 H) sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya, al-Anwar li A’mal al-Anwar sebagai berikut :
Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi  mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallil.”[10]






[1] Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 20, No. Hadits : 52
[2] Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 98, No. Hadits : 7208
[3] Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 301
[4] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz.  XIII, Hal. 199
[5] Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Dicetak pada hamisy Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab, Dar Shadir, Beirut, Juz. III, Hal. 413
[6] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli  ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 281
[7] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,  Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 391.
[8] Lihat Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 16
[9] Lihat Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 421
[10] Yusuf al-Ardabili al-Syafi’i, al-Anwar li A’mal al-Anwar, Dar al-Dhiya’, Juz. II, Hal. 441


27 komentar:

  1. assalmu'alaikum Tgk
    Tolong penjelasan tentang kalimat yang kita ucapkan sewaktu akad nikah?
    Ada yang mengatakan apa bila kita ucapkan "ka loen teurimoeng " nikahnya tidak sah.tapi harus dengan kata "loen teurimoeng"yang jadi masalah kalimat sudah saya terima dan saya terima
    mohon penjelasannya kalau boleh beserta referensinya
    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. menurut hemat kami kedua kalimat tersebut sah menjadi lafazh qabul. karena kata ""ka loen teurimoeng " tidak dimaknai oleh orang yg mengucapkan sebagai berita telah terjadi penerimaan , tetapi menjadikan lafazh tersebut sebagai tanda diterima akad tsb. dalam ushul fiqh (kitab ghayatul wushul) yg seperti ini sebut lafazh insyaiyah, jadi tidak dii'tibar zamannya yg dipahami dari perkataan "ka". contoh-contoh lafazh akad nikah dalam kitab2 mu'tabar juga menggunakan fi'l al-mazhi (perkataan yg menunjukan telah terjadi/pastense)

      wassalam

      Hapus
  2. terimakasih Tgk atas penjelasannya.
    Dalam acara akad nikah saksi dan wali adalah syarat wajib sahnya pernikahan.
    Apakah syarat2 wali dan saksi,khususnya wali dari mempelai wanita.
    Wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. syarat2 wali calon isteri :
      1. islam
      2. adil (tidak berdosa besar dan berkekalan dgn dosa kecil)
      3. merdeka (bukan hamba sahaya)
      4. mukallaf (bukan belum baligh, tidak gila)
      5. laki2
      (I'anah III/305-306)

      syarat 2 saksi adalah :
      1. merdeka
      2. laki2
      3. adil
      4. islam
      5. mukallaf
      6. bisa mendengar
      7. bisa berbicara dan melihat
      (I'anah III/298-299)

      Hapus
  3. Apakah seorang wali calon isteri merasa dirinya masih berbuat dosa besar misalnya sering meninggalkan shalat,dsb,apakah boleh mengwakilkan begitu saja{tampa syarat} kepada orang lain atau kepada penghulu??
    mohon penjelasannya
    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. syarat mewakilkan kepada orang lain adalah apabila sah dilakukan sendiri. jadi kalau tidak sah dilakukan sendiri, maka tidak sah diwakilkan kepada orang lain.

      2. maka kalau wali yg lebih dekat fasiq, maka walinya berpindah kepada yang lebih jauh. misalnya kalau ayah fasiq, maka walinya adalah kakek yang tidak fasiq.

      wassalam

      Hapus
  4. Di daerah kami wali nikah umumnya di wakilkan oleh kadhi(pak kuaket)
    Bagaimanakah status nikah yg di wakilkan oleh Tgk kadhi karna semua wali fasiq
    Tolong tanggapannya
    Wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. kalau memang walinya fasiq, tentu gak sah diwakilkan kepada KUA.

      2. namun tentu kita gak boleh berburuk sangka kepada orang dgn menyebut semua orang fasiq. apalagi orang bisa saja pada waktu menikahkan atau mewakilkan nikah kepada orang lain sudah taubat. urusan taubat itu benar2 atau pura2 , itu hanyalah urusan orang itu dgn tuhannya. kita menghukum dgn patokan dhahirnya saja.

      wassalam

      Hapus
  5. ustad mohon penjelasannya bagaimana jika pada waktu akad nikah si calon istri mendengar ijab kabul suami"saya terima nikahnya fulanah bin fulan dgn mas kawin..."kemudian di sahkan oleh para saksi dan petugas KUAnya.apakah pernikahan tsb sah/tdk?kata yg diucapkan calon suami bin bukan binti

    BalasHapus
    Balasan
    1. kekeliruan menyebut bin/binti tdak mempengaruhi ke absahan akad nikah, asal calon suami tersebut meniat kan calon isteri di maksudnya. lihat : http://kitab-kuneng.blogspot.com/2015/08/kekeliruan-menyebut-nama-dalam-akad.html

      Hapus
  6. Assalamualaikum..
    Ustadz saya mau tanya
    1. jika suami tidak menafkahi materi slma 3 bulan berturut2 apakah sdh jatuh talak?
    2. Suami ingin memperbarui nikah kita dg alasan memperbaiki. apa saja syarat yg harus kita lakukan??
    Terima kasih. Wassalamualaikum..

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. tidak jatuh thalaq. cuma berdosa karena tidak menafkahkan isterinya. tapi jika isterinya rela tdk dinafkahi, maka tidak berdosa.

      2. memperbaharui nikah tidak ada syarat2 apa, lakukan saja nikah sperti nikah biasanya. ada wali, 2 orang saksi, ada suami. ada lafazh ijab kabul , sebagaimana halnya nikah pada biasanya.

      Hapus
  7. assalamu'alaikum Wr.Wb
    ustadz mohon penjelasannya, bagaimana pandangan ustadz terhadap pengulangan nikah/ akad dua kali bagi pasangan kawin hamil, akad yang pertama dilaksanakan di depan pegawai pencatat nikah/ KUA, dan akad yang kedua dilaksanakan setelah 7 hari / 40 hari anak yang di kandung lahir tanpa sepengetahuan pihak KUA/ secara diam-diam. mohon penjelasannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. pada dasarnya nikah pertama sudah sah, jadi tidak perlu di ulang lagi. lihat : http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2011/12/nikah-dengan-wanita-hamil-karena-zina_02.html

      2. kalaupun di ulang harus sebagai niat memperbahurui nikah pertama (tajdid nikah). hukum tajdid sdh kami jelaskan di atas.

      3. nikah tdk wajib di laksanakan di depan KUA. yang penting nikah itu sdh ada rukun dan syaratnya sesuai dgn syara', seperti ada wali dan 2 saksi, maka sdh sah, baik di laksanakan di KUA atau dilakukan sendiri oleh walinya. nikah di KUA atau dicatat oleh KUA itu hanya kewajiban negara saja.

      wassalam

      Hapus
  8. Mohon info....berapa kali boleh melakukan tajdidun nikah

    BalasHapus
  9. Berapa kali bolehnya tajdidun nikah

    BalasHapus
  10. tidak ada pembatasan dlm syara' ttg kebolehan tajdid nikahh. karena tidak ada dalil yg membatasinya

    BalasHapus
  11. Ustad, bagaimana jika ingin memperbarui akad tapi tidak memungkinkan melakukannya kecuali memberi tau alasan Sebenarnya kepada wali? Misalkan jika memperbarui akad karena dahulinya suami dan istri sebelum menikah pernah berzina?

    BalasHapus
  12. Assalamualaikum ustad, saya mau bertanya
    Bgaimana jika ingin memperbarui akad tetapi tdak memungkikan untuk dilaksanakan kecuali dengan memberitau telah terjadinya hbungan haram sebelum menikah tetapi tdk hamil kepada wali?
    apakah diperbolehkan untuk tidak memperbarui akadnya dan apakah akad yg pertama menjadi sah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. akad pertama selama memenuhi syarat dan rukunnya sdh sah. artinya zina apakah hamil atau tidak, tidak mempengaruhi sah nikah. coba buka link ini :
      http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2011/12/nikah-dengan-wanita-hamil-karena-zina_02.html

      2. mempembaharui nikah (tajdid), itu maksudnya melakukan akad nikah lagi, sedangkan akad nikah pertama sdh sah, jadi memperbaharui itu, tujuannya utk kehati-hatian saja. supaya mantap perasaan hati.lihat lagi posting di atas.
      3. aib yg pernah dilakukan tidak perlu di ungkit2 lagi, apalagi menyampaikan kpd orang yg menimbulkan masalah baru. yg penting sdr taubat dan bercita-cita tdk melakukan lagi serta minta ampun kpd Allah dan banyak2lah beribadah kpd -Nya.
      wassalam

      Hapus
    2. kalau semata-mata alasan karena pernah berzina sebelum nikah, saran kami tdk usah mengulang kembali akad nikah (tajdid nikah), kalau harus berterus terang kpd wali, karena hal itu dpt menimbulkan fitnah dan masalah baru. sebeb nikah pertama sdh sah

      Hapus
    3. Ustad, bagaimana dengan pendapat jika wanita pezina belum bertaubat sebelum akad maka nikahnya tidak sah
      Apakah taubat dari wanita pezina sebelum akad itu termasuk syarat dan rukun nikah?
      Bagaimana jika sebelum akad ia blm bertaubat tetapi dlm hati ia menginginkan menikah agar terhenti dari perbuatan zina, maksud saya ia bermaksud mengehntikan perzinaan antara dia dan lelaki yg kini menjadi suaminya dengan cara menikah, apakah itu bisa dikatakan taubat nya? Sah kah pernikahan yg dilakukannya?

      Hapus
    4. taubat dari zina hukumnya wajib, akan tetapi bukan syarat sah nikah. artinya nikah tetap sah meskipun dia tidak bertaubat dari zina. kami blom pernah mendengar ada ulama yg berpendapat wanita penzina harus taubat dahulu sebelum nikah.

      Hapus
  13. Assalamuallaikum ustad...
    Ustad apabila spasang suami istri telah menikah,,diwalikan ayah kandung pihak mpelai wanita..namun setelah menikah dan punya anak,, si ibu mertua mengatakan kalo dl mereka menikah saat mngandung 2 bln, tp krn si bapak mertua beragapan bahwa nasabnya nyambung menurut bbrp ustad n fiqh(krn anak lahir 6bln stelah akad) makanya si bapak bersikeras mjdi wali,dan mengatakan kalau sampai si ibu mebongkar sama saja membuka aib,,oleh krn itu ibu mertua tidak brani mengatakan apa2 saat tjd pernikahan anaknya diwalikan si bapak. Namun stelah beberapa tahun baru mengatakan yang sebenarnya pd si mantu dan anak tp tanpa spengetahua bapak mertua. Karena ibu mertua merasa was was takut apabila pernikahan anaknya dikatakan tdk sah. Ibu mertua ingin anak dan mantu menikah ulang.
    Pertanyaannya:
    1.haruskah mantu dan anaknya menikah ulang?utk menenangkan hati ibu mertua.
    2.jika akhirnya menikah ulang, bagaimana status anak yg telah lahir dr prnikahan yg diwalikan ayah mpelai wanita, apakah disebut anak zina, mengingat pasangan ini tdk tahu sama sekali ttg masa lalu ortu mpelai wanita.
    3.jika yang pertama sudah sah (spt apa yg dkatakan bpk mertua) dan kami ttap mengulang pernikahan tanpa berwalikan ayah mertua melainkan berwali hakim,,bukankan malah pernikahan kedua ini yg mjdi tidak sah karena berwalikan hakim sedangkan ayah mertua masih ada..
    Mohon ustad sy sangat butuh jawabannya..terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ustadz, tlg di jawab, karna saya juga ingin mempertayakan perihal ini . Terimakasih

      Hapus
  14. Assalamualaikum...
    Pak ustad... apakah seorg anak perempuan dr hasil dluar nikah blh dwalikan ayahnya? Ato hanya bs dwalikan walihakim saja?

    BalasHapus
  15. asslamualaikum, pak ustdz kalau mau tajidud nikah, apakah sah kalau walinya ke orang lain lantaran jauh

    BalasHapus