Sebagian ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa orangtua Nabi Muhammad SAW meninggal dalam keadaan bersih dari kekufuran. Berikut keterangan ulama mengenai keimanan orang tua Nabi SAW, antara lain :
1. Berkata Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawy :
“Nasab Nabi Muhammad SAW suci dari perzinaan Jahiliyah, tidak dilahirkan kecuali oleh pernikahan seperti pernikahan islami mulai dari Adam sampai dengan dilahirkan Nabi SAW oleh ayah dan ibunya”.
Sebagian ulama melakukan pendaliliannya dengan sabda Nabi SAW :
لم أزل أنقل من أصلاب الطاهرين الى أرحام الطاهرات
Artinya :Senantiasa aku dipindahkan dari sulbi yang suci kepada rahim yang suci juga.
Tidak disifati dengan sifat suci kecuali orang yang beriman. [1]
2. Pendalilian bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW, pihak ayah dan ibu sampai dengan Adam dan Hawa adalah suci, tidak yang ada kafir, dengan hadits di atas disebut juga oleh sebagian ulama lain seperti Ibrahim al-Bajury dalam kitabnya, Hasyiah Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayah al-Awam.[2]
3. Berkata Ahmad Shawy dari kalangan Malikiyah:
“Ketahuilah sesungguhnya ahli fatarah terlepas dari api neraka, meskipun mereka melakukan penggantian dan perubahan dan menyembah patung, karena firman Allah :لا وما كنا معذبين حتى نبعث رسو demikian juga orang idiot , anak-anak dan orang gila. Jika kamu mengatakan “
Sebagian ulama lain juga dari Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa dua ibu bapak Nabi SAW mati dalam keadaan kekufuran. Ulama yang termasuk dalam golongan ini antara lain Imam al-Nawawi, salah seorang sangat terpengaruh di kalangan Syafi’iyah. Ulama lain yang berpendapat seperti ini antara lain al-Naqaa’i, al-Hulaimy dan Ibnu ‘Athiyah.[4] Golongan ini berargumentasi dengan antara lain :
1. Hadits diriwayat dari Anas ibn Malik, beliau berkata:
أن رجلا قال: يا رسول الله! أين أبي؟ قال: “في النار” فلما قفي دعاه فقال: “إن أبي وأباك في النار
Artinya : Sesungguhnya ada seorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dimana ayahku?’ Beliau menjawab, ‘Di neraka.’ Lalu ketika orang tersebut berpaling/pergi, beliau memanggilnya dan berkata, ‘Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka.(H.R. Muslim) [5]
Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam “Bab menjelaskan barang siapa mati dalam keadaan kafir maka ia di neraka, syafa’at tidak akan mengenainya dan juga kekerabatan kaum yang dekat kepada Allah tidak berguna baginya”.
Imam an-Nawawi dalam mensyarah hadits di atas berkata :
“Pada hadits tersebut disimpulkan bahwa barang siapa mati dalam keadaan kafir maka ia di neraka dan kekerabatan kaum yang dekat kepada Allah tidak berguna baginya. Barangsiapa yang mati pada zaman fatarah dalam keadaan menyembah patung sebagaimana keadaan orang Arab, maka ia termasuk ahli neraka dan ini tidak termasuk mengazab sebelum sampai dakwah, karena sudah sampai kepada mereka (Arab) dakwah Ibrahim dan Nabi lainnya mudah-mudahan rahmat dan kesejahteraan Allah atas mereka.”[6]
2. Nabi SAW bersabda:
استأذنت ربي أن أستغفر لأمي فلم يأذن لي واستأذنته أن أزور قبرها فأذن لي.
Artinya : Aku meminta ijin kepada Allah untuk memintakan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Dia tidak mengizinkanku, dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengizinkanku.(H.R. Muslim)[7]
Dalam mengomentari hadits di atas, Imam an-Nawawi mengatakan :
“Pada hadits tersebut menunjukkan kebolehan menziarahi orang musyrik pada saat hidup dan menziarahi kuburan mereka setelah meninggal, karena apabila setelah meninggal boleh menziarahinya, maka lebih patut dibolehkan pada saat hidupnya.”[8]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa masalah keimanan dua ibu bapak Nabi Muhammad SAW adalah masalah khilafiyah yang tidak perlu dipertentangkan, apalagi dengan mencap orang yang berbeda pendapat dengan kita sebagai musyrik atau lebel-lebel lain yang tidak layak. Karena kedua pendapat tersebut didukung oleh ulama-ulama mu’tabar dan didukung oleh dalil-dalil yang layak dan bukan datang dari hawa nafsu belaka. Namun demikian, menurut hemat kami pendapat yang mengatakan bahwa ibu bapak Nabi Muhammad SAW terlepas dari api neraka lebih sesuai dengan adab kita kepada Nabi SAW dan husn dhan kepada orangtua beliau untuk dipegangi. Jalaludddin al-Suyuthi telah mengarang sebuah kitab yang khusus membela pendapat yang mengatakan bahwa ibu bapak Nabi Muhammad SAW terlepas dari api neraka dengan sejumlah argumentasi dengan judul, “al-Ta’dhim wal-Munnah fi Abawai Rasulullah fi al-Jannah” dan sebuah bab khusus dalam kitab al-Hawi lil Fatawa dengan judul, “Masalik al-Hanafa fi Walidai al-Mushtafa.”
[1] Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawy, Tijan Darary, Maktabah Muhammad bin Ahmad bin Nabhan wa Auladuhu,
[2] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayah al-Awam, Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuhu,
[3] Ahmad Shawy, Syarah Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid, Dar Ibnu katsir, Beirut-Damsyiq, Hal. 100-101
[4] Syarqawi, Hasyiah ‘ala al-Hudhudy, Syirkah al-Ma’arif, Bandung, Hal. 38
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim,
[6] An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby,
[7] Imam Muslim, Shahih Muslim,
[8] An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby,
Asslm...
BalasHapusDi dalam tauhid ada istilah yang di sebut dengan ta'luq shuluhi qadim, tanjizi qadim dan tanjizi hadis... Apa arti tiap2 istilah tersebut dan apa perbedaannya tgk...?
jawabannya dapat tgk ikuti pada blog kami ini melalui link berikut :
Hapushttp://kitab-kuneng.blogspot.com/2013/03/pengertian-taalluq-shuluhi-qadim.html
terima kasih