Renungan

Rabu, 07 Maret 2012

Sudah berpulang kerahmatullah permata berharga Islam dari Aceh, Abuya Prof Dr Muhibbuddin Wali MA

Semalam sekitar pukul 22.00 wib Tgl 7 Maret 2012 M, Aceh Tanah Serambi Makkah berduka cita dengan berpulang kerahmatullah ulama besar dan kharismatik Aceh dan Indonesia serta Asia Tenggara pada umumnya, Abuya Prof Dr Muhibbuddin Wali MA di Rumah Sakit Fakinah Banda Aceh


Abuya Muhibbuddin, demikian ia akrab disapa, adalah Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan dan merupakan putra Syekh Muhammad Waly, guru Tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di Tanah Rencong, yang sebenarnya berasal dari Minangkabau. Dari ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan julukan Syekh Muda Waly, mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Muda Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syekh Muda Waly juga mewarisi karisma dan karamahnya. Syekh Muda Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan itu pula, beberapa tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Abuya.


Diceritakan, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni yang baru saja wafat pertengahan Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky bertanya, siapakah gerangan tamunya tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah putra Syekh Muda Waly, murid Sayid Ali Al-Maliky. Mendengar itu, Sayid Maliky menangis haru dan memeluk Abuya, kemudian mengijazahkan semua ilmu tarekatnya. Hal yang sama sekali tak diduga sebelumnya oleh Abuya. Pertemuannya dengan Syekh Yasin Al-Fadany juga penuh dengan isak tangis mengharukan. Setelah memeluk Abuya erat-erat, sambil terus memegang tangannya, Syekh Yasin mengijazahkan semua hadis Rasulullah SAW yang dikuasainya.


Guru Mursyid

Untuk pertama kalinya, tempo doeloe di masa remaja, Abuya Muhibbuddin belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada ayahandanya. Setelah dianggap cukup, belakangan, Syekh Muda Waly menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syekh Abdul Ghani Al-Kampary (dari Kampar). Saat itu di pesisir laut Sumatra ada dua mursyid besar yang tinggal di Riau. Mereka termasyhur sebagai min jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam. Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh Muhammad Nadzim Al-Haqqany.


Syekh Muhibbuddin Waly mengambil gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan disertasi tentang Pengantar Ilmu Hukum Islam. Lulus 1971, waktu kuliahnya terbilang singkat. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.


Ada beberapa buku tentang tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah. Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly (Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf).


Doa kita , semoga arwah ulama kita ini mendapat tempat yang layak di sisi Allah Ta’ala. Amin


(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar