Renungan

Senin, 16 April 2012

Yang tidak sempurna wajib kecuali dengannya, maka ia adalah wajib

ما لا يتم الواجب إلا به فهو الواجب

Orang yang sering melakukan kajian fiqh, qaidah ini merupakan hal yang tidak asing lagi kedengarannya. Hal itu dikarenakan banyak sekali kasus-kasus fiqh yang diselesaikan hukumnya dengan merujuk kepadanya. Untuk itu, sangatlah perlu qaidah ini dikaji secara mendalam, baik pendapat ulama mengenai qaidah ini maupun dari sisi pengertiannya. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam penerapannya yang dapat melahirkan produk-produk hukum yang salah kaprah dan jauh dari semestiny.

Kitab-kitab karya ulama yang menyebut qaidah ini

Para ulama yang menyebut qaidah ini dengan pembahasan secara khusus dalam kitab mereka, antara lain :

1. Zakariya al-Ashari dalam kitab beliau, Ghayatul Wushul[1]

2. Tajuddin al-Subki dalam kitabnya, Jam’ul Jawami’[2] dan al-Asybah wal-Nadhair.[3]

3. Zarkasyi, dalam kitabnya, Bahrul Muhith.[4]

4. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, al-Mushtashfa.[5]

5. Dan lain-lain

Pengertian qaidah ini

Zakariya al-Anshari dalam kitabnya, Ghayatul Wushul menyebut qaidah ini dengan radaksi berikut ini :

الفعل المقدور للمكلف الذي لا يتم أي يوجد عنده الواجب المطلق إلا به واجب بوجوب الواجب في الأصح

Artinya : Perbuataan yang berada dibawah kemampuan seorang mukallaf yang tidak sempurna wajib yang mutlaq (tidak didapati di sisinya wajib yang mutlaq) kecuali dengan sebabnya, maka itu adalah wajib dengan sebab diwajibkan sesuatu yang wajib itu menurut pendapat yang lebih shahih.[6]

Penjelasannya

1. Al-maqdur bermakna perbuataan yang berada dibawah kemampuan seorang mukallaf. Dengan demikian, perbuatan yang tidak berada di bawah kemampuan seorang mukallaf seperti qudrah dan iradah Allah tidak termasuk dalam katagori qaidah ini, meskipun melakukan suatu perbuatan tergantung kepada qudrah dan iradah-Nya. Perbuataan yang berada dibawah kemampuan seorang mukallaf itu baik dalam bentuk sebab seperti api bagi membakar maupun syarat seperti wudhu’ bagi shalat sebagaimana ditegaskan oleh Zakariya al-Anshari.[7]

2. Wajib yang mutlaq bermakna kewajibannya tidak diqaidkan dengan perbuatan yang tidak sempurnanya kecuali dengan sebabnya itu sendiri. Karena itu, masalah seperti zakat yang diqaidkan kewajibannya dengan kepemilikan nisab tidak termasuk dalam katagori qaidah ini. Dengan demikian, tidak dapat ditetapkan hukum bahwa mengusahakan kepemilikan nisab adalah wajib, dengan beralasan tidak sempurna menunai zakat kecuali dengan memiliki nisab. Hal itu karena perintah menunai zakat diqaidkan dengan kepemilikan zakat, misalnya zakat biji-bijian dan kurma yang diqaidkan dengan sampai nisab lima wasaq sebagaimana sabda Nabi SAW :

لَيْسَ فِى حَبٍّ وَلاَ تَمْرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ

Artinya : Tidak ada zakat pada biji-bijian dan buah-buahan sehingga banyak lima wasaq (H.R. Muslim)[8]


Contoh lain adalah kewajiban menunai haji yang diqaidkan dengan mampu bepergian ke Baitullah di Makkah sebagaimana firman Allah Q.S. Ali Imran : 97 berbunyi :

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Artinya : Allah mewajibkan haji ke baitullah kepada manusia yang kuasa pergi ke sana (Q.S. Ali Imran : 97)


Karena itu, meskipun kewajiban menunai haji tergantung kepada kemampuan pergi ke baitullah, tetapi mengusaha kemampuan pergi ke baitullah, hukumnya tidak wajib, karena tidak termasuk dalam katagori qaidah di atas.

3. Contoh-contoh yang memenuhi kriteria qaidah di atas, antara lain, kewajiban shalat yang tergantung kepada wudhu’. Maka wudhu’ juga wajib, karena tidak sempurna kewajiban shalat kecuali dengan berwudhu’, sedangkan kewajiban shalat tidak diqaidkan dengan berwudhu’ sebagaimana firman Allah :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Artinya : Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar.(Q.S. al-Angkabut : 45)


Al-Subki menyebutkan contoh-contoh qaidah ini antara lain :

a. Apabila tidak diketahui lagi posisi najis yang diyakini ada pada pakaian atau badan, maka wajib dibasuh seluruhnya. Demikian juga pabila pada rumah. Namun pendapat lain mengatakan, kalau pada rumah tidak wajib basuh semuanya.

b. Apabila lupa salah satu shalat yang lima, maka wajib qadha semuanya

c. Apabila tidak diketahui lagi mana yang isterinya di antara perempuan lain yang haram atasnya, maka wajib menghindari dari semuanya[9]


Pendapat Ulama mengenai status qaidah ini

1. Qaidah di atas dengan penjelasannya merupakan pendapat kebanyakan ulama

2. Pendapat kedua mengatakan, tidak wajib perbuatan tersebut secara mutlaq dengan sebab diwajibkan suatu kewajiban. Alasannya, dalil yang menunjukkannya diam darinya.

3. Pendapat ketiga mengatakan, wajib jika perbuatan tersebut merupakan sebab, seperti api bagi membakar. Perbedaannya, sebab dan musabbab lebih kuat hubungannya dibandingkan syarat dan masyruth.

4. Imam Haramain mengatakan, wajib jika perbuatan tersebut merupakan syarat syar’i seperti wudhu’ bagi shalat, tidak syarat ‘aqli seperti meninggalkan lawan wajib ataupun syarat ‘adi seperti membasuh sebagian kepala bagi membasuh wajah pada wudhu’.[10]



[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, hal. 29

[2]Tajuddin al-Subki, Jam’ul Jawami’, dicetak bersama syarahnya dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 192-193

[3] Tajuddin al-Subki, al-Asybah wal-Nadhair, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 90

[4] Zarkasyi, Bahrul Muhith, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 179

[5] Al-Ghazali, al-Mushtashfa, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 138

[6] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, hal. 29

[7] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, hal. 29

[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. 3, Hal. 66, No. Hadits : 2315

[9] Al-Subki, al-Asybah wal-Nadhair, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 90-91

[10] Tajuddin al-Subki, Jam’ul Jawami’, dicetak bersama syarahnya dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 193-194

3 komentar:

  1. Assalamu'alaikum Teungku
    Semoga Teungku senantisa diberi kesehatan oleh Allah SWT dan senantiasa dalam lindungan-NYA.. Aamiin..

    saya ingin bertanya, Bagaimana perbedaan ataupun ta'rif dari syarat syar'i, syarat 'aqli, dan syarat 'adi ??

    sebelum dan sesudahnya, saya ucapkan terima kasih, Wassalam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih tengku,
      perbedaaan syarat syar'i, 'aqli dan 'adi, dapat teungku baca tulisan dalam blog ini dengan judul "Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), pengertian syarat, hal.13" pada Label "Syarah ghayatul wushul"

      Hapus
  2. Alhamdulillah, menjadi lebih jelas.
    Karena sering dikaitkan dengan masalah pemilu.

    Kalau ingin pemimpin negeri yang sholeh, maka PROSES menuju pemilihan pemimpin ini menjadi wajib. Karena kan tidak mungkin dengan cara kudeta??

    BalasHapus