Renungan

Rabu, 23 Mei 2012

Dialog Syaikh al-Nabhani dengan Rasyid Ridha


Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab. Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah al-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Padahal selain al-Imam al-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits. Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia. Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata: “Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali  meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia tidak melakukannya.” Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha. Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam”. Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.” Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid muthlaq. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid muthlaq, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi mujtahid muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dengan disederhanakan.

(sumber : buku pintar berdebat dengan Wahabi, oleh Muhammad Idrus Ramli)

1 komentar: