Renungan

Minggu, 15 Juli 2012

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Pengertian 'Azimah, Hal. 19

( وَ إِلاَّ ) أى وان لم يتغير الحكم كما ذكر بأن لم يتغير كوجوب المكتوبات أو تغير الى صعوبة كحرمة الإصطياد بالإحرام بعد إباحته قبله أو الى سهولة لالعذر كحل ترك الوضوء لصلاة ثانية مثلا لمن لم يحدث بعد حرمته بمعنى انه خلاف الأولى أولعذر لامع قيام السبب للحكم الأصلى كاباحة ترك ثبات واحد منا لعشرة من الكفار فى القتال بعد حرمته وسببها قلتنا ولم يبق حال الإباحة لكثرتنا حينئذ وعذر الإباحة مشقة الثبات المذكور لما كثرنا )فَعَزِيْمَةٌ ) أى فالحكم غير المتغير أوالمتغير اليه الصعب أوالسهل المذكور آنفا يسمى عزيمة وهى لغة القصد المصمم من عزمت على الشئ جزمت به وصممت عليه عزما وعزما وعزيما وعزيمة لأنه عزم أمره أى قطع وحتم وصعب على المكلف أوسهل وظاهر كلام كثير انقسامها الى الأحكام الستة وبه صرح الشمس البرماوى لكن الإمام الرازى خصها بغير الحرمة  والغزالى والآمدى وغيرهما بالوجوب والقرافى بالوجوب والندب واعترض تعريفا الرخصة والعزيمة بوجوب ترك الصلاة والصوم على الحائض فانه عزيمة ويصدق به تعريف الرخصة واجيب بمنع الصدق فإن الحيض وان كان عذرا فى الترك مانع من الفعل ومن مانعيته نشأ وجوب الترك وتقسيم الحكم الى الرخصة والعزيمة كما ذكر اقرب الى اللغة من تقسيم الإمام الرازى وغيره الفعل الذى هو متعلق الحكم اليهما 

(Dan jika tidak, maka adalah ‘azimah) artinya : dan jika tidak berubah hukum sebagaimana yang telah disebutkan, yakni tidak berubah sama sekali seperti wajib shalat lima kali sehari semalam atau berubah kepada sukar seperti haram berburu dengan sebab ihram sesudah mubah sebelumnya ataupun berubah kepada mudah bukan karena ‘uzur seperti halal dengan makna khilaf al-aula meninggalkan wudhu’ untuk misalnya shalat kedua bagi orang yang tidak berhadats sesudah haramnya ataupun berubah kepada mudah karena ‘uzur tetapi tidak tetap lagi sebab hukum asal, seperti mubah meninggalkan tetap bertahan satu orang dari kita kaum muslim melawan sepuluh orang kafir dalam peperangan sesudah haramnya, sebab haramnya adalah keadaan kita yang sedikit, sedangkan keadaan sedikit tersebut tidak kekal pada ketika mubah karena sudah banyak jumlah kita pada ketika itu. ‘Uzur yang menyebabkan mubah adalah kesukaran tetap bertahan tersebut karena kita sudah berjumlah banyak. Yakni, maka hukum yang tidak berubah atau berubahnya kepada sukar atau mudah yang telah disebutkan barusan dinamakan dengan ‘azimah. Perkataan ‘azimah secara bahasa bermakna qashad yang tetap, diambil dari ucapan :
عزمت على الشئ جزمت به وصممت عليه عزما وعزما وعزيما وعزيمة(1)
Karena ‘azm perkara sesuatu artinya pasti dan tidak boleh tidak, baik sukar atas mukallaf maupun mudah. Zhahir kalam kebanyakan ulama terbagi ‘azimah kepada hukum yang enam.  Dengan pendapat ini, Al-Syamsul Barmawy telah menerangkannya, tetapi Imam al-Razy mengkhususkannya kepada selain haram. Al-Ghazali, al-Amadi dan lainnya mengkhususkannya dengan wajib, sedangkan al-Qurafi mengkhususkan dengan wajib dan mandub. Ada yang mengkritik devinisi rukhshah dan ‘azimah dengan persoalan  kewajiban meninggalkan shalat dan puasa atas perempuan yang berhaid, sesungguhnya kewajiban tersebut merupakan ‘azimah, sedangkan devinisi rukhshah juga terbenar atasnya. Dijawab : tidak terbenar devinisi rukhshah padanya, sesungguhnya haid, meskipun yang menjadikan ‘uzur pada meninggalkan shalat, ia merupakan al-maani’ /penghalang melakukannya dan dari sisi ia merupakan penghalang, maka terjadi kewajiban meninggalkannya.(2) Pembagian hukum kepada rukhshah dan ‘azimah sebagaimana yang telah disebutkan lebih dekat kepada lughat dari pada pembagian perbuatan yang merupakan objek hukum kepada keduanya(3) oleh Imam al-Razi dan lainnya.

Penjelasannya
(1). Terjemahannya : “Aku cita-cita atas sesuatu dengan pasti, yakni aku pastikan dan tetapkan atasnya.” Mashdarnya adalah ; ‘azman, uzman, ‘aziiman dan ‘azimah.
(2). Dengan demikian, meninggalkan shalat dan puasa pada perempuan berhaid bukanlah rukhshah, karena meninggalkan puasa tersebut karena ada al-manii’ bukan karena ‘uzur.
(3). Rukhshah dan ‘azimah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar