Renungan

Jumat, 31 Agustus 2012

Khutbah hari raya terdiri dari dua khutbah



Jumhur ulama dari mazhab empat dan lainnya berpendapat bahwa khutbah Hari Raya terdiri dari dua khutbah, bahkan Ibnu Hazm mengatakan ini termasuk dalam masalah yang tidak ada khilaf di antara ulama. Beliau dalam kitabnya, al-Muhalla mengatakan sebagai berikut :
“Apabila imam sudah melakukan salam, maka berdiri berkhutbah kepada manusia dengan dua khutbah yang duduk antara keduanya, lalu apabila telah sempurna keduanya, manusia mulai bertebaran. Apabila berkhutbah sebelum shalat, maka bukan khutbah. Tidak wajib menyimak khutbah. Semua ini tidak ada khilaf padanya kecuali pada beberapa tempat yang akan kami sebutkan Insya Allah Ta’ala.”[1]

Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, salah seorang dari tujuh fuqaha Tabi’in yang terkenal di Madinah, mengatakan :
“Merupakan sebuah sunnah seorang imam berkhutbah dalam dua shalat hari raya  dengan dua khutbah dan memisahkan antara keduanya dengan duduk.[2]
           
Adapun keterangan dari ulama mazhab empat adalah berikut ini :
1.        Imam Malik mengatakan :
Khutbah, semuanya khutbah imam dalam shalat minta hujan, dua hari raya dan shalat Jum’at yang duduk di awalnya dan diselangi antara dua khutbah dengan duduk.”[3]

2.        Al-Dardir, salah seorang ulama mazhab Maliki mengatakan sebagai berikut :
“Mandub dua khutbah seperti shalat jum’at yang duduk pada awal khutbah pertama dan awal khutbah kedua.”[4]

3.        Berkata Imam Syafi’i dalam al-Um :
“Berkhutbah dua khutbah dimana antara keduanya duduk sebagaimana dilakukan dalam shalat jum’at.”[5]

4.        Imam al-Nawawi, ulama syafi’iyah yang menjadi rujukan bagi ulama syafi’iyah sesudahnya  mengatakan :
“Disunnatkan dua khutbah sesudah shalat hari raya.”[6]

5.        Al-Sarkhasi, salah seorang tokoh ulama mazhab Hanafi mengatakan :
Khutbah pada shalat hari raya sama seperti pada Jum’at, berkhutbah dua khutbah yang duduk  ringan antara keduanya.”[7]

6.        Ibnu Qudamah, tokoh mazhab Hanbali dalam bab shalat hari raya dalam kitabnya, al-Mughni mengatakan :
“Apabila imam sudah melakukan salam, maka berkhutbah dengan dua khutbah dan duduk di antara keduanya.”[8]

Adapun dalil-dalil fatwa ini adalah sebagai berikut :
1.     Qiyas kepada dua khutbah Jum’at. Pendalilian dengan jalan qiyas ini telah disebut Imam al-Nawawi dalam Khulasah al-Ahkam,[9] Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj[10] dan Zakariya al-Anshary dalam kitab Fath al-Wahab[11] dan lainnya.

2.        Dengan sanad Yahya bin Hakim, Abu Bahr, Ismail bin Muslim, Abu Zubair, dari Jabir, beliau berkata :
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَخَطَبَ قَائِمًا ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً ثُمَّ قَامَ
Artinya : Rasulullah SAW keluar pada hari raya fitrah atau adhha, berkhutbah sambil berdiri, kemudian beliau duduk, kemudian berdiri. (H.R. Ibnu Majah).[12]

Abu Thaib al-‘Adhim Abady mengatakan, sanadnya dha’if, ada Ismail bin Muslim dan Abu Bahr, sedang keduanya dha’if.[13] Al-Madiny mengatakan, ditanyai kepada Yahya tentang Isma’il bin Muslim al-Makky, beliau menjawab :
Isma’il senantiasa ikhtilazh (bercambur haditsnya).”[14]

3.   Dalam Musnad al-Bazar disebutkan hadits dengan sanad ; Abdullah bin al-Syabib, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Aziz, Muhammad bin Abdul Aziz, Muhajir bin Mismar, ‘Amir bin Sa’ad dari Sa’ad, beliau berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى العيد بغير أذان ولا إقامة وكان يخطب خطبتين يفصل بينهما بجلسة.
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW shalat hari raya dengan tanpa azan dan iqamah dan beliau berkhutbah dengan dua khutbah yang diselangi antara keduanya dengan duduk.(H.R. al-Bazar).[15]

Al-Haitsamy mengatakan, pada sanadnya terdapat perawi yang tidak aku kenal.[16]

4.        Hadits dengan sanad Ibrahim bin Muhammad, Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah, dari Ibrahim bin Abdullah dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, beliau berkata :
السُّنَّةُ أَنْ يَخْطُبَ اْلإِمَامُ فِي اْلعِيدَيْنِ خُطْبَتَيْنِ يُفَصِّلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوْسٍ.
Artinya : Merupakan sebuah sunnah seorang imam berkhutbah dalam dua shalat hari raya  dengan dua khutbah dan memisahkan antara keduanya dengan duduk.(H.R. Syafi’i).[17]

Ubaidillah dengan nama lengkap beliau, Abu Abdullah Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud al-Hazali al-A’ma ini merupakan salah seorang tokoh fuqaha tujuh dari Tabi’in.[18] Dengan demikian hadits ini tidak bersambung kepada kepada sahabat Nabi dan hanya berhenti pada Tabi’in (hadits mursal). Namun Ibnu Atsir, seorang ahli hadits terkenal dalam mengomentari hadits di atas mengatakan :
“Perkataan beliau, “al-sunnah an yakhthuba” dari lafazh perawi hadits yang datang dari para perawi adalah maqbul (dapat diterima) di sisi mereka, karena “al-sunnah” tidak disandarkan kecuali kepada yang disunnahkan Nabi SAW dan yang diperintahkannya, tetapi lafazh tersebut jika datang dari sahabat yang masyhur, maka ia masuk dalam hukum musnad, karena sahabat tidak akan mengatakan yang demikian kecuali dari Rasulullah SAW. Adapun jika Tabi’in dan lainnya, maka ada tinjauan dan perincian yang memerlukan penafsiran, karena hal itu kadang-kadang merupakan ijmak dari sahabat atau ijmak dari mereka sendiri (Tabi’in dan lainnya).”[19]

Berdasarkan keterangan Ibnu Atsir ini, maka riwayat Abu Abdullah Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah di atas, dapat menjadi hujjah bahwa khutbah pada shalat hari raya disyari’atkan dua khutbah.

Ketiga hadits di atas, meskipun dha’if (jika riwayat Abu Abdullah Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah tidak dapat dijadikan hujjah secara mandiri), namun datang dari jalur yang berbeda yang dapat menguatkan satu sama lainnya serta maksud hadits ini banyak diamal oleh ulama Islam sebagaimana terlihat pada keterangan di atas dan juga didukung oleh qiyas sebagaimana dijelaskan oleh al-Nawawi dan al-Haitamy di atas. Dengan demikian, menurut hemat kami, hadits-hadits ini sangat layak menjadi hujjah dan dalam ilmu hadits, hadits seperti ini disebut  hasan lighairihi karena ada penyokongnya sebagaimana penjelasan ‘Athiyah al-Ajhuri berikut ini :
Adapun hasan lighairihi dha’if asalnya, kemudian menjadi hasan karena ada ‘azhid (penyokong).”[20]



[1] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 82
[2] Al-Rafi’i, Syarah Musnad Syafi’i, Wazarah al-Auqaf wal Syu-un al-Islamiyah, Qatar, Juz. II, Hal. 34
[3] Malik, al-Mudawwanah al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 231
[4]Saidi Ahmad al-Dardir, al-Syarh al-Shaghir, dicetak dalam Bulghah al-Salik li Aqrab al-Masalik, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,  Juz. I, Hal. 347
[5] Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 55
[6] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 305
[7] Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 67
[8] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 285
[9] Al-Nawawi, Khulasah al-Ahkam, Maktbah Syamilah, Juz. II, Hal. 838
[10] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj, Juz. III, Hal. 45
[11] Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahab, Darul Fikri, Juz. I, Hal. 426
[12] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 332, No. Hadits 1289
[13] Abu Thaib al-‘Adhim Abady, al-‘Aun al-Ma’bud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 4
[14] Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 248-249
[15] Al-Bazar, Musnad al-Bazar, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 321, No. Hadits : 1116
[16] Al-Haitsami, al-Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 239, No. Hadits : 3239
[17] Al-Rafi’i, Syarah Musnad Syafi’i, Wazarah al-Auqaf wal Syu-un al-Islamiyah, Qatar, Juz. II, Hal. 34
[18] Ibnu Hibban, al-Tsuqaat Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 63, No : 3867
[19] Ibnu al-Atsir, al-Syafi fi Syarh Musnad al-Syafi’i, Maktabah al-Rusyd, Juz. II, Hal. 296
[20] Athiyah al-Ajhuri, Hasyiah ‘ala Syarh al-Baiquniyah, al-Haramain, Singapura, Hal. 24