Jumhur ulama dari mazhab empat dan lainnya berpendapat bahwa
khutbah Hari Raya terdiri dari dua khutbah, bahkan Ibnu Hazm mengatakan ini
termasuk dalam masalah yang tidak ada khilaf di antara ulama. Beliau dalam
kitabnya, al-Muhalla mengatakan sebagai berikut :
“Apabila imam
sudah melakukan salam, maka berdiri berkhutbah kepada manusia dengan dua
khutbah yang duduk antara keduanya, lalu apabila telah sempurna keduanya,
manusia mulai bertebaran. Apabila berkhutbah sebelum shalat, maka bukan
khutbah. Tidak wajib menyimak khutbah. Semua ini tidak ada khilaf padanya
kecuali pada beberapa tempat yang akan kami sebutkan Insya Allah Ta’ala.”[1]
Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah,
salah seorang dari tujuh fuqaha Tabi’in yang terkenal di Madinah, mengatakan :
“Merupakan
sebuah sunnah seorang imam berkhutbah dalam dua shalat hari raya dengan dua khutbah dan memisahkan antara
keduanya dengan duduk.[2]
Adapun keterangan dari ulama mazhab empat
adalah berikut ini :
1.
Imam
Malik mengatakan :
“Khutbah,
semuanya khutbah imam dalam shalat minta hujan, dua hari raya dan shalat Jum’at
yang duduk di awalnya dan diselangi antara dua khutbah dengan duduk.”[3]
2.
Al-Dardir,
salah seorang ulama mazhab Maliki mengatakan sebagai berikut :
“Mandub
dua khutbah seperti shalat jum’at yang duduk pada awal khutbah pertama dan awal
khutbah kedua.”[4]
3.
Berkata
Imam Syafi’i dalam al-Um :
“Berkhutbah
dua khutbah dimana antara keduanya duduk sebagaimana dilakukan dalam shalat
jum’at.”[5]
4.
Imam
al-Nawawi, ulama syafi’iyah yang menjadi rujukan bagi ulama syafi’iyah
sesudahnya mengatakan :
“Disunnatkan dua khutbah sesudah shalat hari raya.”[6]
5.
Al-Sarkhasi,
salah seorang tokoh ulama mazhab Hanafi mengatakan :
“Khutbah
pada shalat hari raya sama seperti pada Jum’at, berkhutbah dua khutbah yang
duduk ringan antara keduanya.”[7]
6.
Ibnu
Qudamah, tokoh mazhab Hanbali dalam bab shalat hari raya dalam kitabnya,
al-Mughni mengatakan :
“Apabila
imam sudah melakukan salam, maka berkhutbah dengan dua khutbah dan duduk di
antara keduanya.”[8]
Adapun dalil-dalil fatwa ini adalah sebagai berikut :
1. Qiyas
kepada dua khutbah Jum’at. Pendalilian dengan jalan qiyas ini telah disebut
Imam al-Nawawi dalam Khulasah al-Ahkam,[9]
Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj[10]
dan Zakariya al-Anshary dalam kitab Fath al-Wahab[11]
dan lainnya.
2.
Dengan
sanad Yahya bin Hakim, Abu Bahr, Ismail bin Muslim, Abu Zubair, dari Jabir,
beliau berkata :
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَخَطَبَ قَائِمًا ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً
ثُمَّ قَامَ
Artinya : Rasulullah
SAW keluar pada hari raya fitrah atau adhha, berkhutbah sambil berdiri,
kemudian beliau duduk, kemudian berdiri. (H.R. Ibnu Majah).[12]
Abu Thaib al-‘Adhim Abady mengatakan, sanadnya dha’if, ada Ismail
bin Muslim dan Abu Bahr, sedang keduanya dha’if.[13]
Al-Madiny mengatakan, ditanyai kepada Yahya tentang Isma’il bin Muslim
al-Makky, beliau menjawab :
“Isma’il senantiasa ikhtilazh (bercambur haditsnya).”[14]
3. Dalam
Musnad al-Bazar disebutkan hadits dengan sanad ; Abdullah bin al-Syabib, Ahmad
bin Muhammad bin Abdul Aziz, Muhammad bin Abdul Aziz, Muhajir bin Mismar, ‘Amir
bin Sa’ad dari Sa’ad, beliau berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى العيد بغير أذان ولا إقامة
وكان يخطب خطبتين يفصل بينهما بجلسة.
Artinya : Sesungguhnya
Nabi SAW shalat hari raya dengan tanpa azan dan iqamah dan beliau berkhutbah
dengan dua khutbah yang diselangi antara keduanya dengan duduk.(H.R.
al-Bazar).[15]
Al-Haitsamy mengatakan, pada sanadnya terdapat perawi yang
tidak aku kenal.[16]
4.
Hadits
dengan sanad Ibrahim bin Muhammad, Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah, dari
Ibrahim bin Abdullah dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, beliau berkata :
السُّنَّةُ أَنْ يَخْطُبَ اْلإِمَامُ فِي
اْلعِيدَيْنِ خُطْبَتَيْنِ يُفَصِّلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوْسٍ.
Artinya
: Merupakan sebuah sunnah seorang imam berkhutbah dalam dua shalat hari
raya dengan dua khutbah dan memisahkan
antara keduanya dengan duduk.(H.R. Syafi’i).[17]
Ubaidillah dengan nama lengkap beliau, Abu Abdullah Ubaidillah
bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud al-Hazali al-A’ma ini merupakan salah
seorang tokoh fuqaha tujuh dari Tabi’in.[18] Dengan demikian
hadits ini tidak bersambung kepada kepada sahabat Nabi dan hanya berhenti pada Tabi’in
(hadits mursal). Namun Ibnu Atsir, seorang ahli hadits terkenal dalam
mengomentari hadits di atas mengatakan :
“Perkataan beliau, “al-sunnah
an yakhthuba” dari lafazh perawi hadits yang datang dari para perawi adalah maqbul
(dapat diterima) di sisi mereka, karena “al-sunnah” tidak disandarkan kecuali
kepada yang disunnahkan Nabi SAW dan yang diperintahkannya, tetapi lafazh
tersebut jika datang dari sahabat yang masyhur, maka ia masuk dalam hukum musnad,
karena sahabat tidak akan mengatakan yang demikian kecuali dari Rasulullah SAW.
Adapun jika Tabi’in dan lainnya, maka ada tinjauan dan perincian yang
memerlukan penafsiran, karena hal itu kadang-kadang merupakan ijmak dari
sahabat atau ijmak dari mereka sendiri (Tabi’in dan lainnya).”[19]
Berdasarkan keterangan Ibnu Atsir ini, maka riwayat Abu
Abdullah Ubaidillah
bin Abdullah bin ‘Utbah di atas, dapat menjadi hujjah bahwa khutbah pada shalat
hari raya disyari’atkan dua khutbah.
Ketiga hadits
di atas, meskipun dha’if (jika riwayat Abu Abdullah Ubaidillah bin
Abdullah bin ‘Utbah tidak dapat dijadikan hujjah secara
mandiri), namun datang dari jalur yang berbeda yang dapat menguatkan satu sama
lainnya serta maksud hadits ini banyak diamal oleh ulama Islam sebagaimana terlihat
pada keterangan di atas dan juga didukung oleh qiyas sebagaimana dijelaskan
oleh al-Nawawi dan al-Haitamy di atas. Dengan demikian, menurut hemat kami,
hadits-hadits ini sangat layak menjadi hujjah dan dalam ilmu hadits, hadits
seperti ini disebut hasan lighairihi
karena ada penyokongnya sebagaimana penjelasan ‘Athiyah
al-Ajhuri berikut ini :
“Adapun hasan lighairihi
dha’if asalnya, kemudian menjadi hasan karena ada ‘azhid (penyokong).”[20]
[1] Ibnu Hazm, al-Muhalla,
Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 82
[2] Al-Rafi’i, Syarah
Musnad Syafi’i, Wazarah al-Auqaf wal Syu-un al-Islamiyah, Qatar, Juz.
II, Hal. 34
[3]
Malik, al-Mudawwanah
al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 231
[4]Saidi Ahmad
al-Dardir, al-Syarh al-Shaghir, dicetak dalam Bulghah al-Salik li
Aqrab al-Masalik, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 347
[5] Syafi’i, al-Um,
Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 55
[6] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 305
[7] Al-Sarkhasi, al-Mabsuth,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 67
[8]
Ibnu Qudamah, al-Mughni,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 285
[9] Al-Nawawi, Khulasah al-Ahkam,
Maktbah Syamilah, Juz. II, Hal. 838
[10] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah
al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj, Juz. III, Hal.
45
[11] Zakariya
al-Anshary, Fath al-Wahab, Darul Fikri, Juz. I, Hal. 426
[12] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 332, No. Hadits 1289
[13] Abu Thaib al-‘Adhim Abady, al-‘Aun
al-Ma’bud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 4
[14] Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 248-249
[15] Al-Bazar,
Musnad al-Bazar, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 321, No. Hadits :
1116
[16] Al-Haitsami, al-Majma’ al-Zawaid,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 239, No. Hadits : 3239
[17] Al-Rafi’i, Syarah
Musnad Syafi’i, Wazarah al-Auqaf wal Syu-un al-Islamiyah, Qatar, Juz.
II, Hal. 34
[18]
Ibnu Hibban,
al-Tsuqaat Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 63, No : 3867
[19] Ibnu al-Atsir,
al-Syafi fi Syarh Musnad al-Syafi’i, Maktabah al-Rusyd, Juz. II, Hal.
296