Renungan

Rabu, 01 Agustus 2012

Masalah-masalah yang mu’tamad menurut pengarang Minhaj al-Thalibin yang difatwa dha’if oleh fuqaha Syafi’iyah sesudahnya.(bag. 2)


4.   Menurut Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj, menggunakan pakaian yang dicelup dengan tumbuhan ‘ushfur (sejenis tumbuhan untuk mencelup kain) untuk mengkafani mayat, hukumnya makruh.
Berkata Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj :
“Makruh mengkafani mayat dengan kain yang dicelup dengan tumbuhan ‘ushfur”[1]

Al-Ramli dalam al-Nihayah dan Khatib Syarbaini dalam al-Mughni sependapat dengan pendapat al-Nawawi di atas,[2] namun Ibnu Hajar al-Haitamy lebih cenderung mengharamkannya. Beliau dalam Tuhfah al-Muhtaj pada Pashl al-Libaas, mengatakan :
“Demikian juga haram pakaian yang dicelup dengan tumbuhan ‘ushfur, berdasarkan atas hadits shahih. Baihaqi dan lainnya telah memilih pendapat ini dan mereka tidak mempedulikan nash Syafi’i atas halalnya karena mendahulukan beramal dengan wasiatnya.” [3]

Yang dimaksud dengan wasiat Syafi’i dalam kalam Ibnu Hajar diatas adalah perkataan Syafi’i, berbunyi :
اذا صح الحديث فهو مذهبي
Artinya : Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku.”[4]

Berdasarkan wasiat Syafi’i ini, Baihaqi dan lainnya lebih memilih haram pakaian yang dicelup dengan tumbuhan ‘ushfur karena ada hadits shahih yang menunjukkan kepada haram dari pada nash Syafi’i sendiri yang menghalalkannya.
Diantara hadits yang melarang memakai pakaian yang dicelup dengan tumbuhan ‘ushfur adalah Abdullah bin Amr bi ‘Ash berkata :
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَ
Artinya : Rasulullah SAW pernah melihat padaku dua pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur, lalu beliau mengatakan : “Sesungguhnya ini termasuk pakaian kafir, maka jangan kamu memakainya.” (H.R. Muslim) [5]
 
5.    Al-Nawawi dalam al-Minhaj, berpendapat sunnat menaruh wangi-wangian pada bajunya bagi orang yang ihram. Beliau mengatakan :
“Sunat menaruh wangi-wangian pada badan orang yang ihram dan demikian juga pada pakaiannya menurut pendapat yang lebih shahih.”[6]

Pendapat al-Nawawi ini didasarkan secara qiyas kepada menggunakan wangi-wangian pada badan.[7] Namun Qalyubi mengatakan, tarjih al-Nawawi ini lemah (marjuh), bahkan ia makruh menurut Ibnu Hajar dan mubah menurut Imam Ramli.[8] Dalam Tuhfah al-Muhtaj, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Tetapi yang mu’tamad dalam al-Majmu’, sesungguhnya tidak disunnatkan menaruh wangi-wangian pada pakaian orang yang ihram secara pasti karena ada khilaf yang kuat pada keharamannya. Berdasarkan ini dipahami bahwa menaruh wangi-wangian pada pakaian orang yang ihram adalah makruh karena qiyas kalam para ulama pada masalah-masalah yang diterangkan kemakruhannya karena ada khilaf keharamannya. Kemudian aku pernah melihat Qadhi Abu Thaib dan lainnya yang menerangkan secara sharih kemakruhannya.”[9]

Imam Ramli dalam al-Nihayah mengatakan :
“Pengarang (al-Nawawi) mengikuti pendapat al-Muharar (al-Rafi’i) dalam berpendapat sunnat menaruh wangi-wangian pada pakaian, tetapi beliau telah menshahihkan dalam al-Majmu’, hukumnya mubah, beliau mengatakan :”Tidak disunnatkan secara pasti” dan beliau juga telah menshahihkannya jawaz (boleh) dalam al-Raudhah ka Ashliha. (Al-Ramli mengatakan) : “Ini adalah yang mu’tamad.”[10]


[1] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 345
[2] Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 27
[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 27
[4] Syarwani, Hasyiah Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 185
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. Vi, Hal. 143, No. Hadits : 5555
[6] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 98
[7] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 98
[8] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 98
[9] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 58
[10] Imam Ramli, Nihayah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiahnya ,karya Ali Syibran al-Malusi, Juz. II, Hal. 399

Tidak ada komentar:

Posting Komentar