Renungan

Sabtu, 25 Agustus 2012

Masalah-masalah yang mu’tamad menurut pengarang Minhaj al-Thalibin yang difatwa dha’if oleh fuqaha Syafi’iyah sesudahnya.(bag. 3)


6. Al-Nawawi berpendapat dalam al-Minhaj, apabila meninggalkan perintah-perintah dalam ibadah haji yang tidak membatalkan haji seperti ihram pada miqaat, bermalam di Muzdalifah pada malam al-nahr dan di Mina pada malam-malam tasyriq, melempar dan thawaf wida’, maka wajib dam tertib dan ta’dil. Beliau mengatakan :
“Pendapat yang lebih shahih sesungguhnya dam pada meninggalkan perintah-perintah seperti ihram pada miqaat adalah dam tertib. Karena itu,  jika tidak mampu meyembelih dam, maka seseorang hendaklah membeli makanan dengan harga kambing dan menyedekahkannya, dan jika juga tidak mampu, maka berpuasa untuk setiap satu mud satu hari puasa.”[1]

            Pendapat yang telah dishahihkan oleh al-Ghazali dan Imam Juwaini ini didasarkan kepada qiyas kepada hukum meninggalkan ihram pada miqaat pada haji tamatu’. Namun kebanyakan ulama berpendapat apabila tidak mampu menyembelih dam, maka berpuasa tiga hari selama di haji dan tujuh hari sesudah kembali kekampung halaman. Qalyubi mengatakan pendapat pertama marjuh (dha’if) dan yang mu’tamad adalah pendapat kebanyakan ulama (yang kedua).[2]  Ibnu Hajar mengatakan pendapat kedua ini yang mu’tamad dalam al-Raudhah, al-Majmu’ dan al-Syarhaini.[3] Khatib Syarbaini mengatakan, yang lebih shahih adalah yang terebut dalam al-Raudhah sebagaimana disebut al-Haitamy di atas.[4] Senada dengan Khatib Syarbaini dikemukan oleh al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj.[5]

7. Al-Nawawi dalam al-Minhaj berpendapat, yang lebih shahih tidak ada hak khiyar pada hibah yang mempunyai imbalan, syafa’ah, sewa menyewa, akad al-masaaqaah (menyiram tanaman tua) dan mahar. Beliau mengatakan :
“tidak ada khiyar pada al-ibra’, nikah, hibah tanpa imbalan dan demikian juga hibah yang mempunyai imbalan, syafa’ah, sewa menyewa, akad al-masaaqaah (menyiram tanaman tua) dan mahar menurut pendapat yang lebih shahih.”[6]

            Argumentasi al-Nawawi karena semua akad tersebut di atas tidak disebut sebagai akad jual beli, sedangkan hadits yang melegitimasikan hak khiyar hanya terjadi pada akad jual beli. Namun Qalyubi dalam mengomentari pendapat al-Nawawi di atas, mengatakan pendapat yang mengatakan pada hibah yang mempunyai imbalan ada hak khiyar merupakan pendapat yang mu’tamad, karena ia pada makna jual beli.[7] Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, yang mu’tamad ada hak khiyar pada hibah yang mempunyai imbalan, karena akad tersebut merupakan akad jual beli pada hakikatnya.[8] Senada dengan ini juga dikemukakan oleh Khatib Syarbaini dalam al-Iqna’[9] Pendapat ini juga diikuti oleh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu’in.[10]


[1] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 145
[2] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 145
[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 197
[4] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 769
[5] Imam Ramli, Nihayah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiahnya ,karya Ali Syibran al-Malusi, Juz. II, Hal. 470
[6] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 190-191.
[7] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 190-191
[8] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 336
[9] Khatib Syarbaini,  al-Iqna’, dicetak dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Iqna’,  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 316
[10] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar