Renungan

Senin, 29 Oktober 2012

Hakikat dan Syari’at Menurut Golongan Salek Buta (Salek Buta adalah sebutan untuk kaum Bathiniyah di Aceh)

Golongan salek buta mengatakan hakikat bertentangan dengan syari’at. Menurut mereka, hukum syari’at ini yang bersifat umum, hanya berlaku atas orang-orang bodoh dan ‘awam. Adapun para aulia dan ahli khusus, mereka ini tidak memerlukan nash-nash itu. sebagian mereka mengatakan, “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun telah difatwa oleh para mufti”. Artinya mereka tidak memerlukan nash agama, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW, tetapi memadai apa yang datang dari hawa nafsu mereka atau apa yang mereka sebut sebagai ilmu hakikat, meskipun hakikat itu bertentangan dengan syari’at yang bersumber dari Kitabullah dan al-Sunnah. Argumentasi yang sering mereka kemukakan dalam mendoktrinkan kepada orang ajaran salek buta ini, antara lain :
a.   Peristiwa pertemuan Nabi Khizhir dengan Nabi Musa yang tersebut dalam al-Qur’an, dimana menurut mereka Nabi Khizir telah melakukan beberapa tindakan yang bertentangan syari’at, namun Allah menggambarkan bahwa perbuatan Khizir ini suatu perbuatan yang benar, tetapi cuma Musa yang tidak mempunyai ilmu hakikat tidak dapat memahaminya sebagaimana halnya Khizir. Dengan alasan ini, mereka memahami bahwa hakikat bertentangan syari’at.
b.   Hadits Nabi SAW yang diriwayat dari Abu Hurairah, berkata :

حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وِعَاءَيْنِ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومُ.


 Artinya : Aku menyimpan ilmu (hadits) dari Rasulullah  SAW pada dua wadah. Yang satu aku sebarkan dan sampaikan, yang satu lagi sekiranya aku sampaikan maka akan terputuslah tenggorakan ini.(H.R. Bukhari)[1] 
            
Kaum salek buta, mengi’tiqad bahwa wadah yang disembunyikan oleh Abu Hurairah tadi adalah ilmu hakikat yang bertentangan dengan syari’at, buktinya kalau disebarluaskan, leher Abu Hurairah dikuatirkan digorok oleh manusia. Dengan alasan ini pula, mereka bersesumbar bahwa ajaran hakikat mereka memang selalu ditentang oleh ulama syari’at. Hal ini menurut mereka karena ulama syari’at tidak mengerti ilmu hakikat. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ilmu hakikat yang disembunyikan oleh Abu Hurairah hanya diterima oleh kalangan-kalangan tertentu saja, sehingga sampailah ilmu tersebut kepada mereka. 

Bantahan 

Berikut keterangan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai hubungan syari’at dan hakikat, antara lain :
a.  Al-Qurthubi, salah seorang ahli tafsir terkenal dan ulama dari kalangan Ahlussunah wal Jama’ah, mengatakan :
“Mereka mengatakan hukum syari’at ini yang bersifat umum, hanya berlaku atas orang-orang bodoh dan ‘awam. Adapun para aulia dan ahli khusus, mereka ini tidak memerlukan nash-nash itu. Telah datang kutipan perkataan mereka : “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun telah difatwa oleh para mufti”. Mereka berargumentasi untuk ini dengan peristiwa al-Khizhir bahwa al-Khizhir dengan sebab ilmu-ilmu yang tajalli kepadanya tidak membutuhkan pemahaman-pemahaman yang ada pada Musa. Perkataan ini adalah zindiq dan kufur, dibunuh yang mengatakannya dan tidak diminta taubat serta tidak perlu dilakukan soal dan jawab. Karena darinya lazim ini hukum dan mengitsbat nabi sesudah Nabi Muhammad SAW.” [2]

b.        Al-Ghazali, seorang sufi besar dalam sejarah Islam dalam Ihya Ulumuddin berkata :
Barangsiapa yang berkata sesungguhnya hakikat menyalahi syari’at atau bathin bertentangan dengan dhahir, maka dia lebih dekat kepada kufur dibandingkan kepada iman”. [3]

c.       Imam Malik mengatakan :
“Barangsiapa yang bertasauf tanpa berpegang kepada fiqh, maka dia zindiq, barang siapa yang berpegang kepada fiqh tanpa bertasauf, maka sungguh dia fasiq dan  barangsiapa yang mengumpulkan keduanya, maka sungguh dia itu tahqiq (mendapatkan sesuatu yang pasti).”[4]

d.      Syeikh Nawawi al-Bantany al-Jawi mengatakan :
Syari’at tanpa hakikat kosong dan hakikat tanpa syari’at batil”[5]

Dari keterangan empat ulama besar di atas, dengan jelas dan terang benderang dikatakan bahwa anggapan hakikat dan syari’at suatu hal yang bertentangan merupakan i’tiqad batil dan menyesatkan.
            Adapun peristiwa pertemuan Nabi Khidhir dengan Musa sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an - yang dijadikan argumentasi oleh kaum salek buta -, berbunyi :
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (82)
Artinya : Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku." Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku." Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar." Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku." Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu." Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu. Dan adapun anak muda itu, maka kedua orangtuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Q.S. al-Kahfi : 71-82)

            Ada tiga peristiwa dalam pertemuan Khidhir dengan Musa berdasar ayat di atas, dimana Musa pada awalnya sebelum ada penjelasan dari Khidhir merasa keberatan dengan tindakan Khidhir,  yaitu :
1). Khidhir dan Musa menaiki perahu, lalu Khidhir melobanginya.
2).Tatkala Khidhir dan Musa berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya.
3). Tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu.
            Ketidaksetujuan Musa dengan tindakan-tindakan Khidhir di atas, dijawab Khidhir dengan jawaban sebagai berikut :
1). Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Khidhir bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu. Dengan demikian, sang raja tersebut tidak menginginkan merampasnya lagi
2). Adapun anak muda itu, maka kedua orangtuanya adalah orang-orang mukmin, dan Khidhir khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orangtuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Karenanya, Khidhir berharap Allah mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
3). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka dengan menegakkan kembali dinding rumah yang sudah roboh, Khidhir berharap Allah menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari-Nya.
            
Perlu ditekankan di sini bahwa dari tiga peristiwa di atas, tidak ditemukan petunjuk, baik secara tersurat maupun tersirat yang dapat memunculkan pemahaman bahwa hakikat bertentangan dengan syari’at. Kesimpulan ini berdasarkan hal-hal berikut ini, yaitu :
a). Khidhir adalah seorang nabi yang mempunyai syari’at sendiri menurut pendapat jumhur ulama dan merupakan pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ramli dalam Fatawanya,[6] yang memungkinkan berbeda sebagian syari’atnya  dengan syari’at Musa. Jadi dengan demikian, Khidhir bukan pengikut Musa dan tidak diperintahkan untuk mengikutinya, sehingga boleh-boleh saja bagi Khidir berbuat tidak seperti apa yang menjadi syari’at bagi Musa, karena setiap nabi mempunyai manhaj dan syari’at yang berbeda-beda, karena itu pada ujung kisah pada ayat di atas, Khidhir mengatakan :

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي



Artinya : Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri (Q.S al-Kahfi : 82)
 
Artinya, Nabi Khidhir melakukan tindakan-tindakannya itu berdasarkan perintah Allah yang langsung diwahyukan kepadanya, yakni tindakan-tindakan tersebut adalah berdasarkan syari’at Nabi Khidhir, yang mungkin berbeda dengan syari’at Nabi Musa. Berdasarkan ayat ini pula dapat dipahami bahwa Khidhir adalah seorang nabi. Kalaupun kita berpendapat bahwa Khidhir bukan seorang nabi, tetapi hanya seorang auliya Allah sebagaimana pendapat sebagian kecil ulama, maka penjelasannya tetap bahwa syari’at Khidhir berbeda dengan syari’at Musa, buktinya Khidhir tidak mau tunduk kepada ketidaksetujuan  Musa, maka kemungkinan besar Khidhir mengikuti syari’at nabi lain yang bukan syari’at Nabi Musa, karena boleh hidup beberapa orang nabi dan rasul dalam zaman yang sama seperti Harun dan Musa. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat dipahami bahwa tindakan-tindakan Nabi Khidhir pada ayat-ayat di atas bukanlah karena Nabi Khidhir mempunyai ilmu hakikat yang berbeda dengan ilmu syari’at, tetapi hanya karena Nabi Khidhir mempunyai manhaj dan syari’at yang berbeda dengan Nabi Musa.

b). Khusus masalah merusak perahu kepunyaan orang-orang miskin dan menegakkan kembali dinding rumah yang sudah roboh, ada jawaban lain, yaitu hal itu tidak bertentangan dengan syari’at kita,  karena setiap mukallaf diperintahkan untuk melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan kemaslahatan yang dhahir pada masing-masing mukallaf. Nabi Khidhir melakukan tindakan-tindakannya itu berdasarkan kemaslahatan yang dhahir padanya, namun Musa pada awalnya tidak setuju dengan Khidhir, karena tidak dhahir kemaslahatannya itu pada dirinya. Kedua-kedua tindakan tersebut berdasarkan syari’at. Ini sama halnya dengan orang yang berbeda dalam menilai air, bagi seseorang yang menilai suatu air adalah najis, maka baginya tidak sah bersuci dengan air tersebut, namun bagi orang yang menilai air tadi adalah suci, maka sah baginya bersuci dengan air tersebut. Kedua-duanya adalah syari’at, tidak dikatakan satu hakikat, sedangkan yang lain adalah syari’at.


Catatan :
a.  Seseorang yang mengaku mendapatkan ilmu laduni, sebagaimana yang di dapat oleh Nabi Khidir, sama saja ia mengaku mendapatkan wahyu dari langit, karena yang didapat Nabi Khidhir adalah wahyu, padahal tidak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman :
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.(QS. Al-Ahzab: 40)

b.  Seseorang yang mengaku mendapat ajaran hakikat dari Nabi Khidhir, maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu :
1).Ajaran itu diakui sebagai syari’at Nabi Khidhir atau syari’at nabi yang diikuti oleh Khidhir seandainya kita berpendapat Khidhir bukan nabi, tetapi hanya seorang auliya Allah, maka ini menyesatkan, karena syari’at Nabi Khidhir atau syari’at nabi yang diikuti oleh Khidhir, sudah mansukh dengan datangnya syari’at Nabi Muhammad SAW, karena setiap rasul mempunyai syari’at dan manhaj sendiri-sendiri. Allah Ta’ala berfirman :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya : Bagi tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Q.S. al-Maidah : 48)

2).Ajaran itu merupakan syari’at Nabi Muhammad, karena Nabi Khidhir hidup sekarang dan dengan demikian menjadi umat Nabi Muhaammad, sebagaimana halnya Nabi Isa yang muncul kembali di akhir zaman nanti, juga bersyari’at dengan syari’at Nabi Muhammad. Apabila ajaran Nabi Khidhir merupakan syari’at Nabi Muhammad, maka tentunya ajaran tersebut sesuai dengan al-Kitab dan al-Sunnah, sehingga kalau ada ajaran yang diakui dari Nabi Khidhir tersebut bertentangan atau tidak sesuai dengan al-Kitab dan al-Sunnah, maka itu merupakan kebohongan yang nyata yang dibuat-buat dengan mengatasnamakan Nabi Khidhir.

     Adapun argumentasi kaum salek buta dengan hadits riwayat Abu Hurairah yang artinya, “Aku menyimpan ilmu (hadits) dari Rasulullah  SAW pada dua wadah. Yang satu aku sebarkan dan sampaikan, yang satu lagi sekiranya aku sampaikan maka akan terputuslah tenggorakan ini.” tidak mengena sedikitpun, hal ini karena hadits ini tidak menyentuh sedikitpun mengenai pembahasan hubungan hakikat dengan syari’at. Abu Hurairah hanya menjelaskan bahwa pada beliau ada dua ilmu yang beliau terima dari Rasulullah SAW, satu yang dapat beliau ungkapkan kepada manusia, sedangkan yang lain tidak dapat diungkapkan kepada manusia. Lalu apa yang menjadi isi ilmu yang tidak dapat diungkapkan kepada manusia itu ?, apakah itu ilmu hakikat sebagaimana dakwaan kaum salek buta atau apa ?, mari kita ikuti penjelasan para ulama yang mu’tabar tentang maksud hadits ini sebenarnya berikut ini :
1). Ibnu Munir sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Kaum Bathiniyah (kaum yang meninggalkan syariat, dengan alasan mereka sudah sampai kepada hakikat, di Aceh mereka dipanggil dengan nama salek buta) telah menjadikan hadits ini (hadits riwayat Abu Hurairah di atas) untuk membenarkan  kebatilan mereka dimana mereka mengi’tiqad syari’at itu ada dhahir dan batin dan yang batin itu kehasilannya adalah untuk melepaskan diri dari agama.”[7]
    
2). Ibnu Jauzi salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Hanbali dalam mengomentari hadits Abu Hurairah di atas, mengatakan dalam kitabnya, Kasyf al-Masykal min Hadits al-Shahihaini sebagai berikut :
“Seseorang mengatakan, bagaimana mungkin dibolehkan menyembunyikan hadits Rasulullah SAW, padahal Rasulullah pernah bersabda, “Sampaikanlah apa yang datang dariku” ? dan bagaimana mungkin Rasulullah SAW mengatakan sesuatu dimana apabila disebut perkataan tersebut, maka perawinya akan dibunuh ? dan bagaimana mungkin kaum muslimin yaitu para sahabat pilihan dan para tabi’in membolehkan membunuh orang yang meriwayat sebuah hadits dari Rasulullah SAW, maka jawaban semua itu adalah sesungguhnya yang disembunyikan Abu Hurairah tersebut bukanlah urusan syari’at, karena urusan syari’at tidak boleh myembunyikannya. Abu Hurairah sendiri pernah berkata : “Jikalau tidak ada satu ayat dalam kitab Allah, niscaya tidak aku beritahukan kepadamu.” Ayat itu adalah, “Sesungguhnya orang-orang yang meyembunyi apa yang telah Kami turunkan berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk” (al-Baqarah : 159), maka bagaimana diduga bahwa Abu Hurairah menyembunyikan sesuatu dari syari’at sesudah ada ayat ini dan sesudah ada perintah Rasulullah SAW untuk menyampaikannya. Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda, “Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang jauh”. Maka sesungguhnya yang disembunyikan ini adalah seperti bahwa berkata : “Sipulan adalah munafik’”  atau “Nanti kalian akan membunuh  Utsman” ataupun seperti, “Celakalah umatku pada tangan sekelompok orang dari Quraisy bani pulan”. Maka seandainya Abu Hurairah menerangkan nama-nama mereka, pasti mereka akan mendustainya dan membunuhnya.”[8]

3). Ibnu Hajar al-Asqalany, seorang ahli hadits bermazhab Syafi’i, mengatakan :
 “Wadah yang tidak boleh disebarkan oleh Abu Hurairah pada hadits-hadits tentangnya diposisikan oleh para ulama kepada penjelasan nama-nama pemimpin yang jahat, keadaan-keadaan dan zaman mereka. Sesungguhnya Abu Hurairah mengkinayah sebagian dari mereka dan tidak menerangkannya, karena kuatir atas diri beliau dari kejahatan mereka, seperti perkataan beliau, “Aku berlindung dengan Allah dari penghujung tahun enam puluh dan kekuasaan anak-anak” yang mengisyaratkan kepada khilafah Yazid bin Mu’awiyah, karena khilafah Yazid bin Mu’awiyah terjadi pada tahun enam puluh hijrah dan Allah menjawab do’a Abu Hurairah dengan sebab meninggal beliau satu tahun sebelum khilafah Yazid bin Mu’awiyah.”[9]

Dengan memperhatikan penjelasan tiga ulama terkenal dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah di atas, jelaslah bagi kita bahwa pengertian hadits riwayat Abu Hurairah di atas tidaklah sebagaimana yang dipahami oleh kaum salek buta, yakni ajaran Rasulullah SAW itu ada hakikat dan syari’at, dimana keduanya saling bertentangan. Kesimpulan ini sebagaimana telah dijelaskan tiga ulama di atas berdasarkan argumentasi sebagai berikut :
a). Apa saja yang berhubungan dengan agama, akidah atau syari’at ataupun apa yang kaum salek buta namakan sebagai hakikat tidak boleh disembunyikan, karena itu tidak mungkin Abu Hurairah, salah seorang sahabat nabi yang utama menyembunyikan sesuatu ajaran dari Rasulullah SAW.
b). Tidak mungkin Rasulullah SAW menyampaikan suatu ajaran dimana apabila disebut ajaran tersebut, maka perawinya akan dibunuh.
c). Tidak mungkin kaum muslimin yaitu para sahabat pilihan dan para tabi’in membolehkan membunuh orang yang meriwayat sebuah hadits dari Rasulullah SAW.
            Karena itu, tidak boleh tidak pemahaman wadah yang tidak boleh disebarkan oleh Abu Hurairah pada hadits-hadits tentangnya adalah masalah-masalah duniawi yang tidak berhubungan dengan akidah dan syari’at Nabi Muhammad SAW. Masalah tersebut sebagaimana dijelaskan dua ulama di atas adalah seperti masalah ramalan akan terjadi sesuatu yang disembunyikan nama-nama orang yang tersangkut dengannya oleh Abu Hurairah. Penyebutan nama-namanya tersebut dikuatirkan akan menimbulkan fitnah-fitnah yang tidak diinginkan seperti pembunuhan atau perbuatan-perbuatan dhalim lainnya. Diantara ramalan tersebut mengenai naik tahta Yazid bin Mu’awiyah.
            Sayangnya, kaum salek buta yang terdiri dari orang-orang bodoh dan berlagak alim tidak mampu memahaminya, hal ini karena mereka hanya mengekor saja kepada gurunya, padahal gurunya itu juga terdiri dari orang-orang bodoh dan tidak mengerti agama sama sekali.




[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 41, No. Hadits : 120
[2] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Dar Alim al-Kutub, Riyadh, Juz. VII, Hal. 39
[3] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal.100
[4] Ibnu ‘Ajibah, Iqadh al-Hamam fi Syarh al-Hikam, al-Haramain, Hal. 6
[5] Nawawi al-Bantany al-Jawi, Muraqi al-Ubudiyah, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 4
[6] Al-Ramli, Fatawa  al-Ramli, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 52
[7] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 216
[8] Ibnu Jauzi, Kasyf al-Masykal min Hadits al-Shahihaini, Maktabah Syamilah, Hal. 1014
[9] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 216

Kamis, 25 Oktober 2012

Tgk. H. Abdul Wahhab bin ‘Abbas bin Sayed Al-Hadhrami


Lembaga Pendidikan Islam Dayah Ruhul Fata merupakan salah satu dayah salafiah yang mempunyai dasar-dasar / prinsip Islam yang kuat di Provinsi Aceh, terletak di Gampong  Seulimeum Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar. Lebih kurang 42 KM dari Banda Aceh, Ibu Kota provinsi Aceh. Dayah Ruhul Fata didirikan oleh Almukarram Syaikhuna Tgk. H. Abdul Wahhab bin ‘Abbas bin Sayed Al-Hadhrami (Abu Seulimeum) pada tahun 1946.
Beliau mendalami  ilmu agama Islam pada Almukarram Syaikhuna Tgk. H. Ibrahim (Tgk. di Bireuen) ayahanda dari Prof. A. Majid Ibrahim. Selanjutnya beliau melanjutkan pengajiannya  di dayah Mudi Mesra Samalanga pada tahun 1936 dibawah bimbingan Al-‘Alim Al-Mursyid Syaikhuna Tgk. H. Hanafiah Samalanga (Teungku Abi). Selama sepuluh tahun beliau menimba ilmu agama, beliau telah menyelesaikan berbagai kitab yang menjadi pedoman pembelajaran, termasuk juga ijazah Thariqat, kemudian oleh guru beliau dilantik  menjadi Mursyid Thariqat Syathariyyah, Shamadiyyah dan Khulutiyyah. Abu Seulimeum adalah salah seorang Ulama besar yang kharismatik dan disegani serta menjadi rujukan masyarakat untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul ditengah-tengah kehidupan masyarakat, hal ini dikarenakan sikap dan akhlaknya yang konsisten berpihak pada kebenaran dan keadilan, kritis terhadap pemerintah yang kurang memperhatikan kaidah dan hukum Islam dalam menjalankan roda pemerintahan.
 Pada awal pendirian, dayah ini hanya memiliki beberapa balai pengajian, dimana dirasahnya hanya kepada masyarakat di sekitar dayah, dengan jumlah thalabah pada saat itu lima puluh orang yang di bantu oleh 5 (lima) orang tenaga pengajar, dikenal sebagai dayah Masjid Tuha. Dengan ma’unah Allah dan berkat doa gurunya serta niat beliau yang ikhlas lillahi Ta’ala maka dayah ini mulai berkembang. Thalabah yang belajar tidak hanya berasal dari kecamatan Seulimeum tetapi juga berasal dari luar kecamatan bahkan kabupaten, sehingga dayah ini sudah dikenal di seluruh Aceh.
Tgk. H. Abdul Wahhab berpulang kerahmatullah pada tahun 1996, kepemimpinan dayah dilanjutkan oleh putra Beliau yaitu Almukarram Syaikhuna Tgk. H. Mukhtar Luthfi bin Tgk. H. Abdul Wahhab bin ‘Abbas bin Sayed Al-Hadhrami (Abon Seulimeum) sampai dengan sekarang (2012 M / 1433 H). Seiring dengan perkembangannya, dayah Ruhul Fata mendapatkan beragam hambatan baik gejolak politik dan gangguan keamanan dalam negeri, seperti pemberontakan DI/TII di Aceh pada tahun 1953, PKI pada tahun 1965 dan konflik di Aceh, yang berdampak terhadap terganggunya proses pengajian, berkat ma’unah Allah dan kegigihan serta sifat istiqamah beliau dalam berjuang mempertahankan kebenaran serta menyebarkan ilmu agama, dan dengan keberaniannya dalam melawan segala bentuk kedhaliman, khurafat dan bid’ah dhalalah (sesat), Alhamdulillah dayah Ruhul Fata tetap menjalankan kegiatan pengajian, bahkan telah berkembang menjadi salah satu dayah terbesar di Aceh yang memiliki peranan penting terhadap kemaslahatan ummat.

(sumber : http://ruhulfataseulimeum.blogspot.com/2012/08/history.html)




Resensi Kitab Ghayatul Wushul


Kitab Ghayatul Wushul merupakan sebuah kitab Ushul Fiqh yang cukup populer di kalangan ilmuan Islam di Indonesia, baik di kalangan dayah/pesantren maupun lainnya. Kitab ini merupakan hasil karya ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, yaitu Syaikh Islam Zakariya al-Anshari (826-926 H), lahir di Kairo dan pernah belajar di Al-Azhar Kairo. Di Dayah Aceh, umumnya kitab ini di ajarkan pada kelas tingkatan V, VI dan VII. Berdasarkan pengalaman kami pada saat belajar di dayah/pesantren, kitab Ghayatul Wushul ini dianggap sebuah kitab yang tidak mudah dipahami, mengingat disamping isinya memang masalah-masalah yang berat, juga bahasanya cukup singkat dan padat, sehingga dalam memahaminya membutuhkan seperangkat ilmu bantu lainnya, sedangkan memahami isi kitab tersebut merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang mau mempelajari ushul fiqh dan fiqh. Sebagaimana pengikut mazhab Asy’ari lainnya, dalam beberapa masalah, pengarang kitab ini dalam melakukan kajiannya dipengaruhi oleh metode dan istilah-istilah ilmu kalam, misalnya saat membahas mengenai devinisi hukum.
Kitab Ghayatul Wushul merupakan Syarah dari kitab Labb al-Ushul yang juga karangan pensyarah sendiri, yaitu Zakariya al-Anshari. Sedangkan Labb al-Ushul merupakan ringkasan dari kitab Jam’ul Jawami’ karangan Tajuddin al-Subky (wafat : 771 H). Sementara kitab Jam’ul Jawami’ ini menurut pengakuan pengarangnya sendiri merupakan kitab ushul fiqh dengan merujuk kepada sekitar seratus kitab-kitab karangan ulama sebelumnya. Rujukan utama Jam’ul Jawami’ ini adalah kitab karya Tajuddin al-Subky sendiri, yaitu syarah atas kitab al-Mukhtashar karya Ibnu Hajib dan syarah atas kitab al-Minhaj karya al-Baidhawi.
Sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimahnya, Kitab Ghayatul Wushul terdiri muqaddimah dan tujuh kitab, yaitu lima mengenai dalil-dalil, yaitu al-Kitab, al-Sunnah, ijmak, Qiyas dan istidlal dan keenam masalah ta’adul dan tarjih dan ketujuh ijtihad dan yang berhubungan dengannya, yaitu taqlid dan adab fatwa. Kemudian disisipi dengan masalah taqlid pada bidang ushuluddin yang ditutup dengan khatimah mengenai tasauf.
            Sejauh pengetahuan penulis, kitab Ghayatul Wushul telah dibuat hasyiahnya oleh Syekh Muhammad al-Jauhari dengan ditempatkan di bawah Ghayatul Wushul berdasarkan terbitan Usaha Keluarga-Semarang dan oleh Dr Shahal Mahfudh, seorang ulama dari Indonesia, yakni dari kalangan Nahdhatul Ulama dengan judul, “Thariqat al-Hushul ila Ghayatul Wushul.”
Bagi anda yang menginginkan kitab Ghayatul Wushul versi PDF, dapatkan melalui link berikut :
dan ini ada kitab Thariqat al-Hushul ila Ghayatul Wushul, karya Dr Shahal Mahfudh, yang merupakan syarah ghayatul wushul melaui link : http://www.ketabpedia.com/1923/


Rabu, 24 Oktober 2012

Resensi kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, karya al-Nawawi


Kitab al-Majmu' Syarh al-Muhazzab karya Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi merupakan rujukan fiqh terbesar mazhab al-Syafi-’i secara khusus dan fiqh Islam secara umum. Kitab yang merupakan komentar/syarah atas kitab al-Muhazzab karya Abu Ishaq al-Syairazi (W. 476 H) ini memiliki karakter khusus dibandingkan kitab mazhab lainnya, sehingga membuatnya berada di tempat teratas dibanding ensklopedia-ensiklopedia fiqh lainnya, baik klasik maupun kontemporer. Khususnya dikalangan mutaakhiriin pengikut Syafi’i, kitab ini mempunyai posisi yang sangat penting dalam fatwa, sehingga tidak mengherankan kalau Sayyed al-Bakri al-Dimyathi mengatakan bahwa kitab al-Majmu' Syarh al-Muhazzab merupakan rujukan yang lebih diutamakan apabila bertentangan dengan kitab karya al-Nawawi lainnya, seperti al-Tahqiq, al-Tanqih, al-Raudhah dan al-Minhaj.
Kitab al-Majmu’ karya al-Nawawi merupakan salah satu rujukan terbesar yang penuh dengan pendapat-pendapat fiqh keempat imam mazhab dan lain-lainnya, sekalipun fokus utama pembahasannya adalah mengenai fiqh al-Syafi-’i. Dalam mengutip pendapat-pendapat mazhab, beliau merujuk kepada kitab al-Asyraf dan al-Ijmak karya Ibnu Munzir serta kitab-kitab pengikut mazhab-mazhab itu sendiri.
Cakupan isi kitab al-Ma’mu’ Syarh al-Muhazzab memuatkan seluruh pendapat-pendapat mazhab berserta dalil-dalilnya, di samping menyebutkan pentarjihan di antara pendapat-pendapat ini. Disamping itu terdapat juga pentakhrijan hadits-hadits hukum, penjelasan maknanya, penyebutan seluruh pendapat para imam dari kalangan ahli fiqh dan pentarjihan di antara pendapat-pendapat tersebut serta mazhab-mazhab mereka, penjelasan kecacatan hadits, status hadits dan biografi para perawinya, penafsiran kalimat-kalimat yang langka ( gharib ) dari al-Qur’an dan al-Hadits serta penjelasan kosa kata yang terdapat dalam redaksi kitab al-Muhazzab.
Namun, al-Nawawi -rahimahullah- meninggal sebelum menyelesaikan pensyarahan atas al-Muhazzab pada abad ketujuh Hijriyah karena beliau meninggal dunia lebih awal pada tahun 676 H. Syarah al-Nawawi tersebut terdiri dari  Juz  1 sampai dengan 9, terdiri dari Kitab al-Thaharah, al-Shalat, al-Zakat, al-Shiyam, al-Hajj dan yang berhubungan dengan qurban, aqiqah, nazar, makanan, perburuan dan penyembelihan. Kemudian masuk dalam bab jual beli dengan penjelasan tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh jual beli, jual beli gharar dan lainnya serta yang membatalkan dan yang tidak membatalkannya, sehingga masuk bab riba. Maka selanjutnya tugas mulia ini diambil alih oleh salah seorang ulama terkemuka, yaitu Taqiyuddin al-Subki, seorang Syaikhul Islam pada masanya (W. 756 H). al-Subki juga tidak sempat menyelesaikannya, maka seterusnya disambung kembali syarahnya oleh al-'Alim  al-Faqih al-Syeikh Muhammad Najib al-Muthi_'iy dengan mengikuti metode dua imam sebelumnya. Akhirnya,  terwujudlah kitab al-Majmu' Syarh al-Muhazzab yang lengkap disyarah oleh tiga ulama.

Bagi anda yang ingin kitab al-Majmu' Syarh al-Muhazzab versi PDF, download via link berikut :


Daftar Pustaka
            1Dr. Muhammad al-Zuhaili, Muqaddimah al-Tahqiqi atas kitab al-Muhazzab, Dar al-Qalam, Damsyiq, Hal. 16-18
2.      Sayyed Al-Bakry al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234
3.      KH Sirajuddin Abbas, Keagungan Mazhab Syafi’i, Pustaka Tarbiyah, Jakarta

Selasa, 23 Oktober 2012

Mempercayai hari naas


Mempercayai adanya hari-hari tertentu sebagai hari naas atau sial merupakan perbuatan yang tercela dalam agama. Dalam al-Fatawa al-haditsah, karya Ibnu Hajar al-Haitamy disebutkan :
وَسُئِلَ نفع الله بِعُلُومِهِ: السُّؤَال عَن النحس والسعد وَعَن الْأَيَّام والليالي الَّتِي تصلح لنَحْو السّفر والانتقال مَا يكون جَوَابه؟ فَأجَاب رَضِي الله عَنهُ مَنْ يَسْأَلْ عَنِ النَّحْسِ وَمَا بَعْدَهُ لإِيْجَابٍ إِلاَّ بِاْلإِعْرَاضِ عَنْهُ وَتَسْفِيْهِ مَا فَعَلَهُ وَيُبَيِّنُ لَهُ قُبْحَهُ وَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ سُنَّةِ الْيَهُوْدِ لاَ مِنْ هَدْيِ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَى خَالِقِهِمْ وَبَارِئِهِمِ الَّذِيْنَ لاَ يَحْسَبُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. وَمَا يُنْقَلُ مِنَ الأَيَّامِ الْمَنْقُوْطَةِ وَنَحْوِهَا عَنْ عَلِيِّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ بَاطِلٌ كَذِبٌ لاَ أَصْلَ لَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنْ ذَلِكَ.
Artinya : Beliau (Ibnu Hajar al-Haitamy) ditanya tentang naas dan bahagia, hari dan malam yang baik untuk melakukan seperti  perjalanan dan pindah, apa jawabnya ?Beliau menjawab : Barangsiapa yang menanyakan tentang sial dan hal-hal sesudahnya, maka jangan dijawab, kecuali untuk ditinggalkannya dan menganggap bodoh tindakannya serta menjelaskan keburukannya. Semua itu merupakan perilaku orang Yahudi, bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Yang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dan semisalnya dari Ali karamallahu wajhahu adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu.[1]

Nabi SAW bersabda :
لا عدوى ولا طيرة . ويعجبني الفأل . قال قيل : وما الفأل ؟ قال : الكلمة الطيبة
Artinya : Tidak ada penularan (tanpa kehendak Allah) dan tidak ada sial dan yang membuatku terkagum adalah tafa-ul. Ada yang bertanya : “Apa itu tafa-ul?” Rasulullah bersabda : “Tafa-ul  yaitu kalimat yang baik.” (H.R. Muslim) [2]

Perkataan thairah, asal maknanya adalah burung. sial disebut dengan al-thairah karena orang-orang Arab pada zaman Jahiliyah apabila mau berangkat ke suatu tempat karena suatu kebutuhan, apabila melihat burung terbang di samping kanannya, maka mereka merasa gembira karena kepergiannya itu dianggap ada keberuntungan. Sebaliknya, kalau burung tersebut terbang sebelah samping kirinya, maka dianggap sebagai sial (tasya-um) dan mereka menunda keberangkatannya.[3]





[1] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 20.
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1746, No. Hadits : 2224
[3] Al-Sanady, Hasyiah al-Sanady ‘ala Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, I, Hal. 77

Kamis, 18 Oktober 2012

Menyiram Air Bunga pada Kuburan


Hukum menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain :
وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِة
Artinya : Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin sebagai pengharapan dinginnya tempat berbaring (kuburan) dan  juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan sedikit air mawar, karena malaikat senang pada aroma yang harum.[1]

Pada halaman lain masih dalam kitab Nihayah al-Zain, beliau mengatakan :
وَيُنْدَبُ وَضْعُ الشَّيْءِ الرَّطْبِ على القبر كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً
Artinya : Disunnatkan meletak sesuatu yang masih segar atas kuburan, seperti pelepah kurma yang masih hijau dan tumbuhan-tumbuhan yang harum, karena itu meminta keampunan bagi mayat selama ia dalam keadaan segar.[2]

            Dalam Kitab Fath al-Mu’in, Zainuddin al-Malibary mengatakan sebagai berikut :
يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ
Artinya : Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. dan dapat meringankan beban si mayat karena berkah bacaan tasbihnya dan disamakan dengannya apa yang menjadi adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan  masih segar.[3]

Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍا كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ فأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا.(متفق عليه)
Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, Nabi SAW melewati dua perkuburan, maka Nabi mengatakan, “Kedua-duanya sedang disiksa, tetapi bukan karena dosa besar, yang seorang buang air kecil tidak bersuci dan seorang lagi tukang fitnah.” Kemudian Nabi mengambil pelepah kurma yang masih hijau dan dibelah dua. Kemudian masing-masing ditanam pada setiap perkuburan. Ada yang bertanya, Ya Rasulullah kenapa engkau lakukan ini ? Jawab beliau, “Mudah-mudahan keduanya dapat meringankan siksaannya selama belum kering.(Muttafaqun ‘alaihi)[4]







[1] Syekh al-Nawawi al-Bantany, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Hal. 178
[2] Syekh al-Nawawi al-Bantany, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Hal. 188
[3] Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 119
[4] Ibnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila Adallah al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 165-166