a. Peristiwa pertemuan Nabi Khizhir dengan Nabi Musa yang tersebut dalam al-Qur’an, dimana menurut mereka Nabi Khizir telah melakukan beberapa tindakan yang bertentangan syari’at, namun Allah menggambarkan bahwa perbuatan Khizir ini suatu perbuatan yang benar, tetapi cuma Musa yang tidak mempunyai ilmu hakikat tidak dapat memahaminya sebagaimana halnya Khizir. Dengan alasan ini, mereka memahami bahwa hakikat bertentangan syari’at.
حَفِظْتُ
مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وِعَاءَيْنِ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا
فَبَثَثْتُهُ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومُ.
Artinya : Aku menyimpan ilmu (hadits) dari Rasulullah SAW pada dua wadah. Yang satu aku sebarkan dan sampaikan, yang satu lagi sekiranya aku sampaikan maka akan terputuslah tenggorakan ini.(H.R. Bukhari)[1]
Kaum salek buta, mengi’tiqad bahwa wadah yang disembunyikan oleh Abu Hurairah tadi adalah ilmu hakikat yang bertentangan dengan syari’at, buktinya kalau disebarluaskan, leher Abu Hurairah dikuatirkan digorok oleh manusia. Dengan alasan ini pula, mereka bersesumbar bahwa ajaran hakikat mereka memang selalu ditentang oleh ulama syari’at. Hal ini menurut mereka karena ulama syari’at tidak mengerti ilmu hakikat. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ilmu hakikat yang disembunyikan oleh Abu Hurairah hanya diterima oleh kalangan-kalangan tertentu saja, sehingga sampailah ilmu tersebut kepada mereka.
Berikut keterangan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai hubungan syari’at dan hakikat, antara lain :
a. Al-Qurthubi, salah seorang ahli
tafsir terkenal dan ulama dari kalangan Ahlussunah wal Jama’ah, mengatakan :
“Mereka mengatakan hukum syari’at ini yang bersifat umum, hanya
berlaku atas orang-orang bodoh dan ‘awam. Adapun para aulia dan ahli khusus,
mereka ini tidak memerlukan nash-nash itu. Telah datang kutipan perkataan
mereka : “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun telah difatwa oleh para
mufti”. Mereka berargumentasi untuk ini dengan peristiwa al-Khizhir bahwa
al-Khizhir dengan sebab ilmu-ilmu yang tajalli kepadanya tidak membutuhkan
pemahaman-pemahaman yang ada pada Musa. Perkataan ini adalah zindiq dan kufur,
dibunuh yang mengatakannya dan tidak diminta taubat serta tidak perlu dilakukan
soal dan jawab. Karena darinya lazim ini hukum dan mengitsbat nabi sesudah Nabi
Muhammad SAW.” [2]
b.
Al-Ghazali, seorang sufi besar
dalam sejarah Islam dalam Ihya Ulumuddin berkata :
“Barangsiapa yang berkata sesungguhnya hakikat menyalahi syari’at
atau bathin bertentangan dengan dhahir, maka dia lebih dekat kepada kufur
dibandingkan kepada iman”. [3]
c.
Imam Malik mengatakan :
“Barangsiapa yang bertasauf tanpa
berpegang kepada fiqh, maka dia zindiq, barang siapa yang berpegang kepada fiqh
tanpa bertasauf, maka sungguh dia fasiq dan
barangsiapa yang mengumpulkan keduanya, maka sungguh dia itu tahqiq (mendapatkan
sesuatu yang pasti).”[4]
d.
Syeikh Nawawi al-Bantany al-Jawi
mengatakan :
“Syari’at
tanpa hakikat kosong dan hakikat tanpa syari’at batil”[5]
Dari keterangan empat ulama besar di atas, dengan jelas dan terang
benderang dikatakan bahwa anggapan hakikat dan syari’at suatu hal yang
bertentangan merupakan i’tiqad batil dan menyesatkan.
Adapun peristiwa pertemuan Nabi
Khidhir dengan Musa sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an - yang dijadikan
argumentasi oleh kaum salek buta -, berbunyi :
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ
أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ
أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي
بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى
إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ
نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا
فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76) فَانْطَلَقَا حَتَّى
إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ
يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ
قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ
بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ
صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ
فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ
غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ
يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا
رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ
فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ
لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا
أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ
عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (82)
Artinya : Maka berjalanlah keduanya,
hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata:
"Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah
berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan
aku." Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku
dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku."
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang
anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar." Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa
berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini,
maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur padaku." Maka keduanya berjalan; hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu." Khidhir berkata: "Inilah
perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun perahu itu
adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap perahu. Dan adapun anak muda itu, maka kedua orangtuanya adalah
orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang
tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan
mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun
dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;
dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Q.S.
al-Kahfi : 71-82)
1). Khidhir dan Musa menaiki perahu, lalu Khidhir melobanginya.
1). Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Khidhir bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu. Dengan demikian, sang raja tersebut tidak menginginkan merampasnya lagi
3). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka dengan menegakkan kembali dinding rumah yang sudah roboh, Khidhir berharap Allah menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari-Nya.
Perlu ditekankan di sini bahwa dari tiga peristiwa di atas, tidak ditemukan petunjuk, baik secara tersurat maupun tersirat yang dapat memunculkan pemahaman bahwa hakikat bertentangan dengan syari’at. Kesimpulan ini berdasarkan hal-hal berikut ini, yaitu :
a). Khidhir adalah seorang nabi yang mempunyai syari’at sendiri menurut pendapat jumhur ulama dan merupakan pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ramli dalam Fatawanya,[6] yang memungkinkan berbeda sebagian syari’atnya dengan syari’at Musa. Jadi dengan demikian, Khidhir bukan pengikut Musa dan tidak diperintahkan untuk mengikutinya, sehingga boleh-boleh saja bagi Khidir berbuat tidak seperti apa yang menjadi syari’at bagi Musa, karena setiap nabi mempunyai manhaj dan syari’at yang berbeda-beda, karena itu pada ujung kisah pada ayat di atas, Khidhir mengatakan :
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ
أَمْرِي
Artinya : Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri (Q.S al-Kahfi : 82)
Artinya, Nabi Khidhir melakukan tindakan-tindakannya itu berdasarkan perintah Allah yang langsung diwahyukan kepadanya, yakni tindakan-tindakan tersebut adalah berdasarkan syari’at Nabi Khidhir, yang mungkin berbeda dengan syari’at Nabi Musa. Berdasarkan ayat ini pula dapat dipahami bahwa Khidhir adalah seorang nabi. Kalaupun kita berpendapat bahwa Khidhir bukan seorang nabi, tetapi hanya seorang auliya Allah sebagaimana pendapat sebagian kecil ulama, maka penjelasannya tetap bahwa syari’at Khidhir berbeda dengan syari’at Musa, buktinya Khidhir tidak mau tunduk kepada ketidaksetujuan Musa, maka kemungkinan besar Khidhir mengikuti syari’at nabi lain yang bukan syari’at Nabi Musa, karena boleh hidup beberapa orang nabi dan rasul dalam zaman yang sama seperti Harun dan Musa. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat dipahami bahwa tindakan-tindakan Nabi Khidhir pada ayat-ayat di atas bukanlah karena Nabi Khidhir mempunyai ilmu hakikat yang berbeda dengan ilmu syari’at, tetapi hanya karena Nabi Khidhir mempunyai manhaj dan syari’at yang berbeda dengan Nabi Musa.
b). Khusus masalah merusak perahu kepunyaan orang-orang miskin dan menegakkan kembali dinding rumah yang sudah roboh, ada jawaban lain, yaitu hal itu tidak bertentangan dengan syari’at kita, karena setiap mukallaf diperintahkan untuk melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan kemaslahatan yang dhahir pada masing-masing mukallaf. Nabi Khidhir melakukan tindakan-tindakannya itu berdasarkan kemaslahatan yang dhahir padanya, namun Musa pada awalnya tidak setuju dengan Khidhir, karena tidak dhahir kemaslahatannya itu pada dirinya. Kedua-kedua tindakan tersebut berdasarkan syari’at. Ini sama halnya dengan orang yang berbeda dalam menilai air, bagi seseorang yang menilai suatu air adalah najis, maka baginya tidak sah bersuci dengan air tersebut, namun bagi orang yang menilai air tadi adalah suci, maka sah baginya bersuci dengan air tersebut. Kedua-duanya adalah syari’at, tidak dikatakan satu hakikat, sedangkan yang lain adalah syari’at.
Catatan :
a. Seseorang yang mengaku mendapatkan ilmu laduni, sebagaimana yang di dapat oleh Nabi Khidir, sama saja ia mengaku mendapatkan wahyu dari langit, karena yang didapat Nabi Khidhir adalah wahyu, padahal tidak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman :
مَا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
b. Seseorang yang mengaku mendapat ajaran hakikat dari Nabi
Khidhir, maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu :
1).Ajaran itu diakui sebagai syari’at Nabi
Khidhir atau syari’at nabi yang diikuti oleh Khidhir seandainya kita
berpendapat Khidhir bukan nabi, tetapi hanya seorang auliya Allah, maka ini
menyesatkan, karena syari’at Nabi Khidhir atau syari’at nabi yang diikuti oleh
Khidhir, sudah mansukh dengan datangnya syari’at Nabi Muhammad SAW, karena
setiap rasul mempunyai syari’at dan manhaj sendiri-sendiri. Allah Ta’ala
berfirman :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا
مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya : Bagi tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Q.S. al-Maidah : 48)
2).Ajaran itu merupakan syari’at Nabi
Muhammad, karena Nabi Khidhir hidup sekarang dan dengan demikian menjadi umat
Nabi Muhaammad, sebagaimana halnya Nabi Isa yang muncul kembali di akhir zaman
nanti, juga bersyari’at dengan syari’at Nabi Muhammad. Apabila ajaran Nabi
Khidhir merupakan syari’at Nabi Muhammad, maka tentunya ajaran tersebut sesuai
dengan al-Kitab dan al-Sunnah, sehingga kalau ada ajaran yang diakui dari Nabi
Khidhir tersebut bertentangan atau tidak sesuai dengan al-Kitab dan al-Sunnah,
maka itu merupakan kebohongan yang nyata yang dibuat-buat dengan
mengatasnamakan Nabi Khidhir.
Adapun argumentasi kaum salek buta dengan hadits riwayat Abu
Hurairah yang artinya, “Aku menyimpan ilmu
(hadits) dari Rasulullah SAW pada dua
wadah. Yang satu aku sebarkan dan sampaikan, yang satu lagi sekiranya aku
sampaikan maka akan terputuslah tenggorakan ini.” tidak mengena sedikitpun, hal ini karena hadits ini
tidak menyentuh sedikitpun mengenai pembahasan hubungan hakikat dengan
syari’at. Abu Hurairah hanya menjelaskan bahwa pada beliau ada dua ilmu yang
beliau terima dari Rasulullah SAW, satu yang dapat beliau ungkapkan kepada
manusia, sedangkan yang lain tidak dapat diungkapkan kepada manusia. Lalu apa
yang menjadi isi ilmu yang tidak dapat diungkapkan kepada manusia itu ?, apakah
itu ilmu hakikat sebagaimana dakwaan kaum salek buta atau apa ?, mari kita ikuti
penjelasan para ulama yang mu’tabar tentang maksud hadits ini sebenarnya
berikut ini :
1). Ibnu Munir sebagaimana dikutip oleh
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Kaum Bathiniyah (kaum yang meninggalkan
syariat, dengan alasan mereka sudah sampai kepada hakikat, di Aceh mereka
dipanggil dengan nama salek buta) telah menjadikan hadits ini (hadits riwayat
Abu Hurairah di atas) untuk membenarkan kebatilan mereka dimana mereka mengi’tiqad
syari’at itu ada dhahir dan batin dan yang batin itu kehasilannya adalah untuk
melepaskan diri dari agama.”[7]
2). Ibnu Jauzi salah seorang ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Hanbali dalam mengomentari hadits Abu
Hurairah di atas, mengatakan dalam kitabnya, Kasyf al-Masykal min Hadits
al-Shahihaini sebagai berikut :
“Seseorang mengatakan, bagaimana mungkin
dibolehkan menyembunyikan hadits Rasulullah SAW, padahal Rasulullah pernah
bersabda, “Sampaikanlah apa yang datang dariku” ? dan bagaimana mungkin
Rasulullah SAW mengatakan sesuatu dimana apabila disebut perkataan tersebut,
maka perawinya akan dibunuh ? dan bagaimana mungkin kaum muslimin yaitu para
sahabat pilihan dan para tabi’in membolehkan membunuh orang yang meriwayat
sebuah hadits dari Rasulullah SAW, maka jawaban semua itu adalah sesungguhnya
yang disembunyikan Abu Hurairah tersebut bukanlah urusan syari’at, karena
urusan syari’at tidak boleh myembunyikannya. Abu Hurairah sendiri pernah
berkata : “Jikalau tidak ada satu ayat dalam kitab Allah, niscaya tidak aku beritahukan
kepadamu.” Ayat itu adalah, “Sesungguhnya orang-orang yang meyembunyi apa yang
telah Kami turunkan berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk” (al-Baqarah :
159), maka bagaimana diduga bahwa Abu Hurairah menyembunyikan sesuatu dari
syari’at sesudah ada ayat ini dan sesudah ada perintah Rasulullah SAW untuk
menyampaikannya. Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda, “Hendaknya yang hadir
menyampaikan kepada yang jauh”. Maka sesungguhnya yang disembunyikan ini adalah
seperti bahwa berkata : “Sipulan adalah munafik’” atau “Nanti kalian akan membunuh Utsman” ataupun seperti, “Celakalah umatku
pada tangan sekelompok orang dari Quraisy bani pulan”. Maka seandainya Abu
Hurairah menerangkan nama-nama mereka, pasti mereka akan mendustainya dan
membunuhnya.”[8]
3). Ibnu Hajar al-Asqalany, seorang ahli
hadits bermazhab Syafi’i, mengatakan :
“Wadah
yang tidak boleh disebarkan oleh Abu Hurairah pada hadits-hadits tentangnya
diposisikan oleh para ulama kepada penjelasan nama-nama pemimpin yang jahat,
keadaan-keadaan dan zaman mereka. Sesungguhnya Abu Hurairah mengkinayah
sebagian dari mereka dan tidak menerangkannya, karena kuatir atas diri beliau
dari kejahatan mereka, seperti perkataan beliau, “Aku berlindung dengan Allah
dari penghujung tahun enam puluh dan kekuasaan anak-anak” yang mengisyaratkan
kepada khilafah Yazid bin Mu’awiyah, karena khilafah Yazid bin Mu’awiyah
terjadi pada tahun enam puluh hijrah dan Allah menjawab do’a Abu Hurairah
dengan sebab meninggal beliau satu tahun sebelum khilafah Yazid bin Mu’awiyah.”[9]
Dengan
memperhatikan penjelasan tiga ulama terkenal dari kalangan Ahlussunnah wal
Jama’ah di atas, jelaslah bagi kita bahwa pengertian hadits riwayat Abu
Hurairah di atas tidaklah sebagaimana yang dipahami oleh kaum salek buta, yakni
ajaran Rasulullah SAW itu ada hakikat dan syari’at, dimana keduanya saling
bertentangan. Kesimpulan ini sebagaimana telah dijelaskan tiga ulama di atas
berdasarkan argumentasi sebagai berikut :
a). Apa saja yang berhubungan dengan
agama, akidah atau syari’at ataupun apa yang kaum salek buta namakan sebagai
hakikat tidak boleh disembunyikan, karena itu tidak mungkin Abu Hurairah, salah
seorang sahabat nabi yang utama menyembunyikan sesuatu ajaran dari Rasulullah
SAW.
b). Tidak mungkin Rasulullah SAW menyampaikan
suatu ajaran dimana apabila disebut ajaran tersebut, maka perawinya akan
dibunuh.
c). Tidak mungkin kaum muslimin yaitu
para sahabat pilihan dan para tabi’in membolehkan membunuh orang yang meriwayat
sebuah hadits dari Rasulullah SAW.
Karena
itu, tidak boleh tidak pemahaman wadah yang tidak boleh disebarkan oleh Abu
Hurairah pada hadits-hadits tentangnya adalah masalah-masalah duniawi yang
tidak berhubungan dengan akidah dan syari’at Nabi Muhammad SAW. Masalah
tersebut sebagaimana dijelaskan dua ulama di atas adalah seperti masalah
ramalan akan terjadi sesuatu yang disembunyikan nama-nama orang yang tersangkut
dengannya oleh Abu Hurairah. Penyebutan nama-namanya tersebut dikuatirkan akan
menimbulkan fitnah-fitnah yang tidak diinginkan seperti pembunuhan atau
perbuatan-perbuatan dhalim lainnya. Diantara ramalan tersebut mengenai naik
tahta Yazid bin Mu’awiyah.
Sayangnya,
kaum salek buta yang terdiri dari orang-orang bodoh dan berlagak alim tidak
mampu memahaminya, hal ini karena mereka hanya mengekor saja kepada gurunya,
padahal gurunya itu juga terdiri dari orang-orang bodoh dan tidak mengerti
agama sama sekali.
[1]
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 41,
No. Hadits : 120
[2]
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Dar Alim al-Kutub, Riyadh , Juz. VII, Hal. 39
[3] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha
Putra, Semarang, Juz. I, Hal.100
[4]
Ibnu ‘Ajibah, Iqadh al-Hamam fi Syarh al-Hikam, al-Haramain, Hal.
6
[5]
Nawawi al-Bantany al-Jawi, Muraqi al-Ubudiyah, Raja Murah,
Pekalongan, Hal. 4
[6]
Al-Ramli, Fatawa al-Ramli,
Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 52
[7]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath
al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 216
[9]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath
al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 216