Renungan

Kamis, 04 Oktober 2012

Asbabun Nuzul (materi mata kuliah Pengantar Ilmu al-Qur'an di STAI Tapaktuan (pertemuan V dan VI))


Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang Allah SWT mukjizatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran ini terdiri atas 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat. Menurut al-Ja’bary al-Qur’an itu diturunkan dalam dua bentuk : Pertama, diturunkan  sebagai permulaan tanpa didahului oleh suatu peristiwa atau pertanyaan, Kedua, diturunkan al-Qur’an seiring terjadi suatu peristiwa atau muncul sebuah pertanyaan (asbabun nuzul).[1]
Bagaimanapun juga sangat penting mempelajari Asbabun nuzul karena dengan mempelajari dan memahaminya, manusia akan lebih mudah memahami dan sekaligus menempatkan pemahamannya kepada posisi yang benar serta lebih memperkuat iman dan takwanya kepada Allah SWT. Al-Wahidi berkata:
”Tidak mungkin mengetahui penafsiran ayat al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya”.[2]

Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan :
“Penjelasan asbabun nuzul merupakan jalan yang kuat dalam memahami makna al-Qur’an.”[3]

A.      Pengertian asbabun nuzul
Kalimat asbabun nuzul pada mulanya merupakan gabungan dua kalimat atau dalam bahasa arab disebutnya kalimat idhafah yakni dari kalimat “asbab” dan “nuzul”. Yang jika dipandang secara etimologi maka asbabun nuzul didefinisikan sebagai sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Sedangkan asbabun nuzul yang dimaksudkan disini adalah sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya al-Quran. Asbabun nuzul juga dapat didefinisikan sebagai suatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan. Menurut Mana’ Al-Qaththan, asbabun nuzul merupakan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an yang berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang di ajukan kepada Nabi.[4]

B.       Faedah mengetahui asbabun nuzul
Faedah mengetahui asbabun nuzul, antara lain :
1.      Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan suatu hukum.
2.      Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasis-nya (yang mengkhususkannya ).
3.      Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
4.      Dapat menolak dugaan adanya hasr ( pembatasan ).
5.      Diketahui nama orang yang turun ayat padanya dan menghilangkan kesamaran  yang bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah.[5]

Ad.1. Contohnya dapat diperhatikan Q.S. al-Maidah : 93 pada contoh pada Ad. 3 di bawah ini. Berdasarkan asbabun nuzul ayat ini dipahami bahwa tidak berdosa orang-orang yang sudah beriman dan beramal shaleh atas perbuatan mereka minum khamar sebelum ada larangan minum khamar merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada makhluqnya yang tunduk dan patuh kepada-Nya, sehingga Allah tidak membebani suatu hukum kepada makhluq-Nya melainkan setelah Allah memberi ilmu pengetahuan kepada mereka.
Ad.2. Contohnya, firman Allah Q.S. al-Nur : 23. (sudah dijelaskan pada masalah peristiwa yang menjadi sebab masuk dalam umum secara qat’i sesudah ini)

Ad.3. Contohnya, firman Allah Q.S. al-Maidah : 93, berbunyi :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
Artinya : Tidak berdosa atas orang-orang beriman dan beramal shaleh terhadap apa yang mereka makan. (Q.S. al-Maidah : 93)

          Diceritakan bahwa Utsman bin Madhghun dan ‘Amr bin Ma’dy Karb berpendapat bahwa khamar adalah halal berdasarkan firman Allah di atas. Al-Suyuthi menjelaskan seandainya keduanya mengetahui asbabun nuzul ayat di atas, pasti keduanya tidak akan berpendapat seperti itu. Karena asbabun nuzul ayat di atas adalah manakala diharamkan khamar, manusia bertanya-tanya, bagaimana dengan orang-orang telah syahid pada peperangan pada jalan Allah, sementara mereka pernah minum khamar.[6] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ayat di atas bukanlah menjelaskan apabila seseorang sudah beriman dan beramal shaleh boleh minum dan makan apa saja, tetapi hanya menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh yang sudah meninggal dunia dunia sebelum turun ayat pengharaman khamar, mereka tidak berdosa atas perbuatan meminum khamar pada ketika hidup mereka.

Ad.4. Contohnya, firman Allah Q.S. al-An’am : 145, berbunyi :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya : Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.(Q.S. al-An’am : 145)

Ayat ini diturunkan karena kaum kafir menentang Allah dengan mengharamkan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan yang diharamkan-Nya, maka turunlah ayat di atas untuk melawan maksud mereka, sehingga seolah-olah Allah mengatakan “Tidak haram kecuali apa yang kamu halalkan, yaitu bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang bukan dengan nama Allah.” Tidak dimaksudkan sebagai halal selain yang tersebut itu, karena maksud ayat tersebut adalah menetapkan yang haram, bukan menetapkan yang halal.[7]

Ad.5. Contohnya firman Allah Q.S. al-Ahqaf : 17, berbunyi :
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا
Artinya : Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya. (Q.S. al-Ahqaf : 17)

 Diriwayatkan bahwa Marwan meminta kepada kaum muslimin untuk mau bai’at kepada Yazid, Marwan mengatakan : “Ini adalah sunnah Abu Bakar dan Umar”, Abdurrahman bin Abu Bakar menjawab : “Sunnah Heraqlu dan Kaisar”. Marwan menjawab pula : “Ini adalah orang yang dikatakan Allah tentangnya pada ayat : “Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Ah bagi kamu keduanya”. Berita perkataan Marwan ini tentang Abdurrahman bin Abu Bakar ini sampai kepada Aisyah, Aisyah membantah : “Dusta Marwan, demi Allah, Abdurrahman bukan orangnya, kalau kamu menginginkan aku sebut nama orang yang diturunkan ayat tersebut tentangnya , maka aku sebut namanya.”[8] Dengan sebab ada penjelasan asbabun nuzul dari Aisyah, maka terlepas Abdurrahman bin Abu Bakar dari tuduhan yang tidak benar.

C.       Kitab-kitab khusus pembahasannya mengenai asbabun nuzul
Pada awalnya para ulama hanya menjelaskan asbabun nuzul suatu ayat dari al-Qur’an hanya dalam kitab-kitab tafsir atau dalam kitab-kitab fiqh ketika menjelaskan penafsiran ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan pembahasan tertentu. Namun seiring dengan perkembangan ilmu tafsir, maka muncullah ulama-ulama yang mengarang kitab-kitab khusus membahas mengenai asbabun nuzul ini. Kitab-kitab itu antara lain :
1.      Kitab yang menjelaskan asbabun nuzul, karangan Ali bin al-Madiny (guru Imam al-Bukhari). Menurut keterangan al-Suyuthi kitab ini merupakan kitab pertama dalam bidang ini.
2.      Kitab Asbabun Nuzul, karangan al-Wahidy (kitab ini kemudian diringkas oleh al-Ja’bary)
3.      Kitab yang menjelaskan asbabun nuzul, karangan Syekh Islam Ibnu Hajar
4.      Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, karangan al-Suyuthi. (Point 1-4 di atas berdasarkan keterangan al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an)[9]

D.      Pedoman mengetahui asbabun nuzul
1.      Riwayat dari Sahabat Nabi SAW.
2.      Riwayat dari Tabi’in. Menurut al-Suyuthi riwayat Tabi’in dapat diterima dalam periwayatan asbabun nuzul apabila Tabi’in itu merupakan imam-imam tafsir yang mengambil tafsirnya dari Sahabat Nabi SAW, seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jabir atau apabila didukung (ada ‘azhid) oleh riwayat lain atau semisalnya.[10]

E.       Qaidah-qaidah yang berhubungan dengan asbabun nuzul
1.        Terjadi perbedaan pendapat ulama, apakah yang dii’tibar umum lafazh atau khusus sebab ?, menurut pendapat yang lebih shahih, yang dii’tibar umum lafazhnya. Berdasarkan pendapat yang lebih shahih ini, maka muncullah qaidah berbunyi :
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
ِ       Artinya : Yang dii’tibar adalah umum lafazh, bukan khusus sebab.[11]

Contohnya : Q.S. al-Mujadilah : 1-4, berbunyi :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)
Artinya : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Q.S. al-Mujadilah : 1-4)

Anas bin Malik menceritakan bahwa Aus bin Shamit menzhihar isterinya, Khuwailah bin Tha’labah. Isterinya itu mengadu kepada Nabi SAW dengan mengatakan :
“Dia telah mendhihar aku pada ketika aku sudah tua dan lemah tulangku.”, maka turun ayat di atas menjawab persoalan yang diadukan isteri Aus bin Shamit.[12] Ayat ini meskipun turun pada kasus Aus bin Shamit dan isterinya, namun hukum zhihar yang menjadi maksud ayat ini tetap berlaku secara umum.

2.        Kaidah berbunyi :
ان صورة السبب قطعية الدخول في العام
ِArtinya : Sesungguhnya peristiwa yang menjadi sebab masuk dalam umum secara qat’i (pasti).[13]

Apabila yang diturunkan itu lafazh yang umum dan terdapat dalil pengkhususannya, maka pengkhususannya itu hanya terhadap yang selain peristiwa sebabnya. Misalnya firman Allah Q.S. al-Nur : 23, berbunyi :
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menuduh berzina wanita yang baik-baik, yang lengah  lagi beriman, mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar (Q.S. al-Nur : 23)

Ayat di atas turun berkenaan dengan Aisyah secara khusus atau Aisyah dan isteri-isteri Nabi SAW yang lain.[14] Berdasarkan ayat ini, akan dikenai azab atas umum orang yang menuduh berzina orang-orang beriman dan terpelihara. Namun ayat ini dikhususkan kepada orang-orang yang tidak mau bertaubat, karena dikhususkan oleh firman Allah Q.S. al-Nur : 4-5), berbunyi :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh berzina wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Nur : 4-5)

                        Namun pengkhususan kepada orang-orang yang tidak mau bertaubat tidak berlaku pada kasus Aisyah atau Aisyah dan isteri-isteri Nabi SAW yang lain, karena kasus Aisyah atau Aisyah dan isteri-isteri Nabi SAW yang lain masuk dalam umum Q.S. al-Nur : 23 di atas secara qat’i, sehingga tidak dapat di khususkan oleh dalil yang lain. Dengan demikian, orang-orang yang telah menuduh Aisyah berzina, tidak ada tobat baginya.


Dosen : Tgk Alizar Usman



[1] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[2] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[3] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[4] Mana’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Hal. 73
[5] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28-29
[6] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 29
[7] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal.  29
[8] Mana’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Hal. 78
[9] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[10] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 31
[11] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 29
[12] Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Maktabah Syamilah, Hal. 145
[13] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 30
[14] Mana’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Hal. 75-76

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum,
    Teungku yg saya muliakan..
    saya ingin bertanya mengenai perbedaan pendapat ulama ttg masalah aurat wanita diluar shalat.. mengapa Imam syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal menganggap wajah dan telapak tangan termasuk aurat wanita di luar shalat, apa dalil yg kedua Imam ini digunakan??
    dan kalau tidak salah, jika kita baca dlm kitab fiqh Mzhab Imam syafi'i maka yg dijadikan sebagai patron itu adalah sesuatu yg menimbulkan شهوة dan perasaan لذة

    Syukran katsira. wassalamu'alaikum.

    BalasHapus
  2. pembahasan dapat saudara klik pada lingk "http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/10/aurat-wanita-merdeka-menurut-madzhab.html"
    wassalam

    BalasHapus