Kitab yang sering disebut dikalangan dayah/pesantren Aceh
sebagai Matan Taqrib ini merupakan kitab fiqh syafi’i yang sangat terkenal di
kalangan dayah/pesantren Aceh. Di dayah Aceh kitab ini diajarkan pada tingkat
pertama. Hal ini karena kitab ini merupakan kitab fiqh yang sangat ringkas
tetapi tetap lengkap mencakup semua bab fiqh. Kitab al-Taqrib ini juga dikenal
dengan nama Ghayah al-Ikhtishar. Materi kitab ini dimulai dengan kitab,
kemudian bab, seterusnya pashal. Karena sistimatikanya bagus dan
bahasa yang digunakan juga mudah dipahami, maka sangat membantu para santri
memahami kitab ini, sehingga tidak heran kitab ini sangat populer dikalangan
mazhab Syafi’i, baik didunia Islam luar maupun di Indonesia dan dengan alasan
ini juga, barangkali kitab ini banyak disyarah oleh ulama-ulama yang datang
setelah pengarang kitab ini. Namun dengan tanpa mengurangi perhormatan dan
penghargaan kita kepada pengarang kitab ini yang telah menghasilkan sebuah
karya yang sangat cemerlang ini, kitab yang berisi fiqh syafi’i ini ternyata
berisi beberapa masalah yang dianggap dha’if oleh ulama syafi’iyah sesudahnya.
Berdasarkan penelitian kami, setidaknya terdapat 24 (dua
puluh empat) masalah yang difatwa dhai’f atau tidak mu’tamad oleh ulama-ulama
Mazhab Syafi’i sesudahnya. Adapun
kitab-kitab yang kami guna sebagai referensi dalam mengkaji masalah ini disamping kitab al-Ghayah wal-Taqrib sendiri adalah :
1.
Fath al-Qarib al-Mujib, karya
Ibnu Qasim al-Ghazi
2.
Hasyiah al-Bajuri ‘ala
Fath al-Qarib, karya Ibrahim al-Bajuri
3.
Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, karya Imam al-Nawawi
4.
Hasyiah Qalyubi wa
Umairah, karya Qalyubi
5.
Minhaj al-Thalibin, karya
al-Nawawi,
6.
Raudhah al-Thalibin,
karya Imam al-Nawawi,
7.
al-Iqna’ ‘ala Halli
Alfazh Abi Syuja’, karya Khatib Syarbaini
8.
Kifayatul Akhyar, karya Imam
al-Taqiyuddin al-Hishny,
9.
I’anah al-Thalibin, karya
Al-Bakri al-Damyathi
10. Syarah
al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, karya Jalaluddin
al-Mahalli,
11. Fath al-Wahab,
karya Zakariya al-Anshari
12. al-Mughni al-Muhtaj,
karya Khatib Syarbaini
Masalah-masalah
dha’if dalam al-Ghayah wa al-Taqrib :
1.
Dalam kitab Thaharah,
pada masalah istinjak disebutkan :
ولا يستقبلُ الشمسَ والقمرَ ولا يَستدبرُِهما
Artinya : Tidak boleh menghadap matahari dan bulan serta tidak
membelakangkan keduanya.[1]
Maksud pengarang kitab
ini adalah makruh menghadap matahari dan membelakangkannya ketika qadha hajat sebagaimana
penjelasan Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib (kitab syarah
al-Ghayah wa al-Taqrib).[2]
Pernyataan pengarang
kitab al-Ghayah wa al-Taqrib bahwa membelakangkan qiblat ketika qadha hajat
makruh adalah dha’if sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibrahim al-Bajuri dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
)قوله ولا يستدبرهما (ضعيف فالمعتمد عدم كراهة الاستدبار
Artinya : Perkataan pengarang : “dan tidak
membelakangkan keduanya” adalah dha’if, sedangkan yang mu’tamad adalah tidak
makruh membelakangkan keduanya.[3]
b. Imam al-Nawawi mengatakan dalam Majmu’ Syarh
al-Muhazzab:
الرابع أنه في
القبلة يستوى الاستقبال والاستدبار وهنا لا بأس بالاستدبار وانما كرهوا الاستقبال:
هذا هو الصحيح المشهور وبه قطع المصنف في التنبية والجمهور
Artinya
: Yang ke-empat, sesungguhnya qadha hajad pada masalah kiblat sama hukumnya, menghadap
atau membelakangkannya. Di sini (masalah bulan dan matahari), tidak mengapa
membelakangkan keduanya, hanya mereka (ulama) memakruhkan menghadapnya. Ini
pendapat yang shahih dan masyhur yang disebut secara qatha’ oleh pengarang
al-Tanbih dan Jumhur.[4]
c. Qalyubi mengatakan :
يكره
استقبال القمرين لا استدبارهما
Artinya : Makruh menghadap dua bulan (bulan dan matahari) tidak
makruh membelakangkan keduanya.[5]
2.
Dalam
kitab Thaharah, pada masalah fardhu mandi, pengarang mengatakan :
وفرائض الغسل ثلاثة أشياء النية، وإزالة النجاسة إن كانت على بدنه، وإيصال الماء إلى جميع الشعر والبشرة
Artinya : Fardhu
mandi tiga perkara, yaitu niat, menghilangkan najis jika ada pada tubuhnya dan
menyampaikan air kepada seluruh bulu dan kulit.[6]
Pernyataan pengarang bahwa salah satu fardhu mandi menghilangkan
najis jika ada pada tubuhnya adalah dha’if sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibrahim al-Bajuri dalam
mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa
al-Taqrib tersebut, mengatakan :
)قوله ثلاثة أشياء ( أي على طريقة الرافعي من أن إزالة النجاسة من فرائض الغسل وهي مرجوحة وإن جرى عليها المصنف، وأما على طريقة النووي من أن إزالة النجاسة ليست من فرائضه فشيئان فقط
Artinya
: Perkataan pengarang : “tiga perkara” itu artinya berdasarkan jalur al-Rafi’i yaitu menghilangkan najis merupakan
fardhu mandi, pendapat ini lemah, meskipun pengarang berpendapat dengannya.
Adapun berdasarkan jalur al-Nawawi, menghilangkan najis tidaklah termasuk
fardhu mandi, jadi hanya dua perkara saja.[7]
b.
Dalam al-Minhaj al-Thalibin disebutkan :
وَمَنْ بِهِ نَجَسٌ يَغْسِلُهُ ثُمَّ يَغْتَسِلُ، وَلَا
تَكْفِي لَهُمَا غَسْلَةٌ، وَكَذَا فِي الْوُضُوءِ. قُلْتُ: الْأَصَحُّ تَكْفِيهِ،
وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
Artinya
: Orang-orang yang bernajis, hendaklah membasuhnya, kemudian mandi, dan tidak
memadai untuk keduanya dengan sekali basuh, demikian juga pada wudhu’. Saya
(al-Nawawi) mengatakan : “Menurut pendapat yang lebih shahih memadai,
wallahua’lam.[8]
c. Dalam Raudhah
al-Thalibin disebutkan :
فلو غسل غسلة واحدة بنية الحدث والنجس طهر عن النجس ولا يطهر عن
الحدث على المذهب .قلت الأصح أنه يطهر عن الحدث أيضاً
Artinya : Seandainya mandi dengan sekali basuh dengan
niat menghilangkan hadats dan najis, maka suci dari najis tetapi tidak suci
dari hadats berdasarkan mazhab. Saya (al-Nawawi) mengatakan: Menurut pendapat
yang lebih shahih sesungguhnya itu menyucikan juga dari hadats.[9]
3.
Dalam kitab Thaharah,
pada masalah mandi-mandi yang disunnatkan, pengarang mengatakan salah satunya
adalah :
وللمبيت بمزدلفة
Artinya : mandi karena bermalam di Muzdalifah.[10]
Pernyataan pengarang
termasuk mandi yang disunnatkan mandi karena bermalam di Muzdalifah adalah
dha’if sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a.
Ibrahim al-Bajuri dalam
mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa
al-Taqrib tersebut, mengatakan
)قوله وللمبيت بمزدلفة ( أي والغسل للمبيت بمزدلفة على رأي مرجوح، والراجح أنه لا يسن الغسل للمبيت بمزدلفة لقربه من غسل عرفة
Artinya : Perkataan pengarang “karena bermalam di
Muzdalifah” artinya, mandi karena bermalam di Muzdalifah berdasarkan pendapat
yang lemah. Pendapat yang kuat sesungguhnya tidak disunnatkan mandi karena
bermalam di Muzdalifah, karena dekat dengan mandi ‘Arafah.[11]
b.
Dalam al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi Syuja’ disebutkan :
(
وَ ) الرَّابِعَ عَشَرَ الْغُسْلُ ( لِلْمَبِيتِ بِمُزْدَلِفَةَ ) عَلَى طَرِيقَةٍ
ضَعِيفَةٍ لِبَعْضِ الْعِرَاقِيِّينَ ، وَالْمَذْهَبُ فِي الرَّوْضَةِ وَحَكَاهُ
فِي الزَّوَائِدِ عَنْ الْجُمْهُورِ
وَنَصَّ الْإِمَامُ اسْتِحْبَابَهُ لِلْوُقُوفِ بِمُزْدَلِفَةَ
بَعْدَ صُبْحِ يَوْمِ النَّحْرِ وَهُوَ الْوُقُوفُ بِالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
Artinya : Yang ke-empat belas (dari mandi yang
disunnatkan) adalah mandi karena bermalam di Muzdalifah berdasarkan jalur
dha’if sebagian ulama al-‘Iraqiyuun. Yang menjadi Mazhab dalam Raudhah dan telah
diceritakan dalam Zawaid al-Raudhah dari Jumhur serta nash al-Imam adalah disunnatkan
mandi karena wuquf di Muzdalifah sesudah Subuh pada hari al-Nahr, sedangkan Itu
adalah wuquf di Masy’ar al-Haram.[12]
4.
Dalam kitab Thaharah, pada
masalah mandi-mandi yang disunnatkan, pengarang mengatakan salah satunya adalah
:
وللطواف
Artinya : mandi karena
thawaf.[13]
Pernyataan pengarang
termasuk mandi yang disunnatkan mandi karena thawaf adalah dha’if sebagaimana
keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibrahim al-Bajuri dalam
mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa
al-Taqrib tersebut, mengatakan :
(قوله والغسل للطواف) أي على قول مرجوح والراجح أنه لا يسن الغسل له لأن وقته موسع فلا يلزم اجتماع الناس لفعله في وقت واحد المقتضي ذلك.لطلب الغسل
Artinya : Perkataan pengarang “dan mandi karena thawaf”
artinya berdasarkan perdapat yang lemah. Sedangkan pendapat yang kuat
sesungguhnya tidak disunnatkan mandi karena thawaf, karena waktunya lapang,
maka tidak lazim mengumpulkan manusia dalam waktu yang satu yang menghendaki
demikian itu bagi ada tuntutan mandi.[14]
b.
Dalam al-Iqna’ ‘ala Halli
Alfazh Abi Syuja’ disebutkan :
(
وَ ) السَّادِسَ عَشَرَ وَالسَّابِعَ عَشَرَ الْغُسْلُ ( لِلطَّوَافِ ) أَيْ
لِكُلٍّ مِنْ طَوَافِ الْإِفَاضَةِ وَالْوَدَاعِ ، وَهَذَا مَا جَرَى عَلَيْهِ
النَّوَوِيُّ فِي مَنْسَكِهِ الْكَبِيرِ .وَقَالَ فِيهِ أَيْضًا : إنَّ
الِاغْتِسَالَ لِلْحَلْقِ مَسْنُونٌ لَكِنَّهُ فِي الرَّوْضَةِ تَبَعًا لِكَثِيرٍ
.قَالَ : وَزَادَ فِي الْقَدِيمِ ثَلَاثَةَ أَغْسَالٍ لِطَوَافِ الْإِفَاضَةِ
وَالْوَدَاعِ وَلِلْحَلْقِ .قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ : وَحَاصِلُهُ أَنَّ
الْجَدِيدَ عَدَمُ الِاسْتِحْبَابِ لِهَذِهِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ ، وَهُوَ
مُقْتَضَى كَلَامِ الْمِنْهَاجِ انْتَهَى .وَهَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ .
Artinya : Yang ke-enam belas dan tujuh belas adalah mandi
karena thawaf, artinya karena setiap thawaf ifazhah dan wida’. Ini adalah
berdasarkan pendapat al-Nawawi dalam Manasik al-Kabir. Beliau mengatakan pula
di dalamnya, sesungguhnya mandi karena mencukur adalah disunnatkan, tetapi
beliau dalam Raudhah karena mengikuti kebanyakan ulama mengatakan, “Dilebihkan
pada pendapat qadim tiga mandi, yaitu mandi karena thawaf ifazhah, thawaf wida’
dan mandi karena mencukur. Tetapi al-Nawawi dalam al-Muhimmaat mengatakan : Kesimpulannya,
sesungguhnya pendapat jadid tidak disunnatkan mandi karena tiga perkara ini dan
ini merupakan kehendaki dari kalam al-Minhaj. (Berkata pengarang al-Iqna’) “Ini
adalah pendapat yang mu’tamad”.[15]
c.
Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan :
منها (يسن الْغُسْلُ
لِلطَّوَافِ) ولفظ الشيخ يشمل طواف القدوم وطَوَافِ الْإِفَاضَةِ و طواف َالْوَدَاعِ.
وقد نص الشافعي على استحباب الغسل لهذه
الثلاثة في القديم لان الناس يجتمعون له فيستحب له الاغتسال. والجديد انه لا يستحب
لان وقته موسع فلا تغلب فيه الزحمة بخلاف
سائر المواطن كذا قاله الرافعي والنواوي في الروضة وشرح المهذب وهو قضية كلام
المنهاج لانه لم يعد ها الا انه في المناسك قال يستحب الغسل للثلاثة
ِِArtinya :
Sebagian darinya disunnatkan mandi karena thawaf. Perkataan Syekh ini mencakup
thawaf al-qudum, thawaf ifazhah dan thawaf wida’. Syafi’i telah mennashkan atas
disunnatkan mandi karena tiga perkara ini pada qadim, karena manusia berkumpul
untuknya, maka disunnatkan mandi karenanya. Pendapat jadid, sesungguhnya mandi
karena thawaf tidak disunnatkan, karena waktunya yang lapang, maka tidak
diberatkan bersesak padanya, berbeda dengan waktu lain, seperti ini telah
berpendapat al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam al-Raudhah dan Syarh al-Muhazzab dan
ini juga merupakan kehendaki kalam al-Minhaj, karena Imam al-Nawawi tidak
menghitungnya sebagai sunnat mandi, tetapi beliau dalam kitab al-Manasik
mengatakan : “Disunnatkan mandi karena yang tiga tersebut.”[16]
(Bersambung........)
[1]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 4
[2]
Ibnu
Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal.
6
[3] Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian,
Singapura, Juz. I, Hal. 65
[4]
Imam al-Nawawi,
Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II,
Hal. 110
[5] Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal.
39
[6]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 5
[7]
Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian, Singapura,
Juz. I, Hal. 65
[8]
Imam al-Nawawi,
Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 68
[9]
Imam al-Nawawi,
Raudhah al-Thalibin, Dar al-‘Alim al-Kutub, Juz. I, Hal. 200-201
[10]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 5
[11]
Ibrahim al-Bajuri,
Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian, Singapura,
Juz. I, Hal. 81
[12]
Khatib
Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi
Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. I, Hal. 375
[13]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 5
[14]
Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian,
Singapura, Juz. I, Hal. 81
[15]
Khatib
Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi
Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. I, Hal. 375-376
[16]Imam
al-Taqiyuddin al-Hishny, Kifayatul
Akhyar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar