Renungan

Selasa, 18 Juni 2013

"Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku" : Oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag, M. Hum


Pernyataan di atas, yaitu “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku” adalah perkataan Imam Syafi’i yang sangat sering dikutip oleh sebagian umat Islam. Dengan mempedomani perkataan Imam Syafi’i ini, apabila menemukan sebuah hadits shahih, mereka langsung (tanpa mendalami kemungkinan-kemungkinan lain dalam memahami hadits tersebut) menisbahkan kandungan zhahir hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i, dengan alasan setiap hadits yang shahih sanadnya, maka itu adalah pendapat Syafi’i, padahal Imam Syafi’i sendiri terlepas dari penisbatan itu sendiri. Untuk ini, penulis tergerak hati mencoba membahas masalah perkataan Imam Syafi’i ini dengan memperhatikan pendapat dan komentar para ulama mengenai masalah ini.

Sumber periwayatan perkataan “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”
Perkataan Imam Syafi’i di atas,  terdapat dalam kitab-kitab karya ulama antara lain :
a.    Dalam Kitab Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi” karya Imam al-Subki disebutkan :
سألت وفقك الله عن قول امامنا الشافعي رضي الله عنه إذا صح الحديث فهو مذهبي "وهو قول مشهور عنه لم يختلف الناس في انه قاله وروي عنه معناه ايضا بالفاظ مختلفة
Artinya : Engkau (Tajul al-Subki, anak dari Imam al-Subki) menanyakan – Semoga Allah memberikan taufiq bagimu – tentang perkataan Imam kita Syafi’i r.a. “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”. Perkataan tersebut adalah perkataan yang masyhur dari beliau dan tidak terjadi perbedaan pendapat manusia bahwa perkataan tersebut diriwayat dari beliau. Telah diriwayat juga dari beliau perkataan yang semakna dengannya dengan lafazh yang berbeda. [1] 

b.    Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab disebutkan :
صَحَّ عَنْ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا قَوْلِي: وَرُوِيَ عَنْهُ إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ خِلَافَ قَوْلِي فَاعْمَلُوا بِالْحَدِيثِ وَاتْرُكُوا قَوْلِي أَوْ قَالَ فَهُوَ مَذْهَبِي وَرُوِيَ هَذَا الْمَعْنَى بِأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ
Artinya : Telah shahih dari Syafi’i r.h. sesungguhnya beliau mengatakan : “ Apabila kalian dapatkan dalam kitabku khilaf sunnah Rasulullah SAW, maka katakanlah dengan sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku dan telah diriwayat pula “Apabila shahih hadits khilaf dengan pendapatku, maka amalkan hadits dan tinggalkan pendapatku atau Imam Syafi’i berkata : “ maka itulah mazhabku dan telah diriwayat perkataan dengan makna ini dengan lafazh-lafazh yang berbeda.[2]

c.    Dalam Nihayah al-Muhtaj disebutkan :
فَقَدْ صَحَّ أَنَّهُ قَالَ: إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
Artinya : Maka sesungguhnya telah shahih bahwasanya Imam Syafi’i pernah  mengatakan : Apabila shahih hadits,maka itulah mazhabku. [3]

d.   Dalam Kitab Manaqib al-Syafi’i, karangan al-Baihaqi disebutkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan, ayahku mengatakan, telah mengatakan kepada kami oleh Syafi’i :
اذا صح عندكم الحديث عن النبي صلعم فقولوا حتى اذهب اليه
 Artinya : Apabila di sisimu shahih hadits dari Nabi SAW, maka katakanlah sehingga aku berpendapat berdasarkan hadits itu.[4]

Apakah ada pendapat Imam Syafi’i yang bertentangan dengan hadits shahih
            Dhahir perkataan Imam Syafi’i, “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku” atau yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Imam Syafi’i sangat mementingkan hadits Nabi SAW dan beliau menempatkan posisi hadits dalam istinbath hukum dalam posisi yang semestinya, sehingga tidak heran banyak ulama memuji Syafi’i karena sikap beliau tersebut, bahkan beberapa ulama yang datang sesudahnya menyatakan bahwa tidak ada satupun pendapat Syafi’i yang meninggalkan hadits shahih atau bertentangan dengannya. Ini dapat disimak dari pernyataan antara lain :
a.    Ahmad bin Hanbal mengatakan :
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang melebihi Syafi’i dalam mengikuti atsar”[5]

b.      Ibnu Khuzaimah pernah ditanyai :
“Apakah engkau mengetahui sunnah Rasulullah SAW tentang halal dan haram yang tidak disebut Syafi’i dalam kitabnya, Ibnu Khuzaimah menjawab : “Tidak”.[6]

Namun demikian, sebagai manusia biasa yang tidak bersifat dengan ma’shum, tentu kita tidak boleh beri’tiqad bahwa Imam Syafi’i tidak mungkin bersalah, karena sifat tersebut hanya dipunyai oleh Nabi dan Rasul utusan Allah Ta’ala. Karena itu, Abu Syamah, guru dari Imam al-Nawawi mengatakan :
“Sesusungguhnya Syafi’i membangun mazhabnya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW serta nadhar shahih yang merujuk kepada keduanya. Namun beliau tentu tidak ma’shum dari lupa.”[7]

Apakah setiap hadits yang shahih sanadnya merupakan mazhab Syafi’i ?
            Dapat dipastikan jawaban pertanyaan di atas adalah tidak semua zhahir makna hadits yang telah dinyatakan shahih sanadnya oleh ahli hadits merupakan mazhab Syafi’i, meskipun harus diakui dan memang begitulah adanya bahwa semua hukum fiqh dalam mazhab Syafi’i didasarkan kepada hadits shahih atau hasan (hadits maqbul). Pernyataan bahwa tidak setiap zhahir makna hadits shahih merupakan mazhab Syafi’i dibuktikan dengan sebagai berikut :
a.       Kadang-kadang Imam Syafi’i tidak mengamalkan zhahir makna dari hadits shahih, karena hadits tersebut dinyatakan mansukh (dihapus). Misalnya hadits yang disebut dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi :
أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ
Artinya : Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya(H.R.Bukhari).[8]

Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh. Al-Subki menjawab pertanyaan Abu Walid yang mengatakan bahwa hadits “Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya” adalah shahih, mengatakan :
“Ditolak perkataan Abu Walid tersebut dengan penjelasan bahwa Syafi’i meninggalkan hadits tersebut, padahal hadits itu shahih, karena hadits itu mansukh di sisinya dan beliau sendiri telah menjelaskannya.[9]

Contoh lain hadits riwayat Muslim berbunyi :
الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Artinya : berwudhu’ karena makan sesuatu yang disentuh api.(H.R.Muslim) [10]
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh. Imam al-Nawawi mengatakan :
“Jawaban dari hadits-hadits mereka (hadits-hadits wajib berwudhu’ dengan sebab makan sesuatu yang disentuh api), sesungguhnya hadits itu mansukh, seperti ini telah dijawab oleh Syafi’i dan ashabnya dan ulama-ulama lainnya.”[11]

b.      Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih karena hadits tersebut diposisikan kepada makna yang sesuai dengan maksud hadits lain. Misalnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang afdhal wudhu’ dilakukan tiga kali dengan mengikuti perbuatan Nabi SAW berdasarkan hadits Usman bin Affan berbunyi :
ان النبي صلعم توضأ ثلاثا ثلاثا
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu’ tiga kali, tiga kali.

dengan memposisikan maksud hadits shahih dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali dengan makna sebagai mubah saja, bukan suatu yang utama.[12] Dhahir hadits Ibnu Abbas yang telah beliau riwayat dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits ini adalah melakukan wudhu’ satu kali, satu kali merupakan amalan yang utama, mengingat itu merupakan amalan Nabi SAW, namun beliau mengesampingkan dhahir hadits ini dengan memposisikannya hanya sebagai perbuatan yang mubah dilakukan, bukan yang utama dengan berdalil kepada hadits Usman bin Affan di atas. Hadits Ibnu Abbas dimaksud juga telah diriwayat oleh al-Bukhari, berbunyi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً
Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau berkata : “Nabi SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali (H.R. Bukhari)[13]

c.     Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih, karena menurut beliau ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits shahih pertama. Misalnya hadits dari Rafi’ bin Khadiij, Rasulullah SAW bersabda :
أَسْفِرُوا بِالفَجْرِ، فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
Artinya : Kerjakanlah shalat Subuh saat pagi sedikit terang, karena itu lebih besar pahalanya (H.R. al-Turmidzi, hadits hasan shahih).[14]

Sementara itu ada sebuah hadits shahih dari ‘Aisyah r.a. , beliau berkata :
كن النساء من المؤمنات يصلين مع النبي الصبح ثم ينصرفن وهن متلفعات بمروطهن ما يعرفهن احد من الغلس
Artinya : Kaum perempuan mukminin shalat Subuh bersama Nabi SAW, kemudian mereka pulang dengan menutupi diri mereka dengan jubah mereka. Tidak seorangpun mengenal mereka karena masih gelap.(H.R. Bukhari dan Muslim)[15]

Dhahir hadits pertama bertentangan dengan hadits Aisyah, karena hadits pertama mengandung perintah shalat Subuh pada akhir waktu, sedangkan kandungan hadits Aisyah berisikan bahwa shalat Subuh lebih afdhal dilakukan pada awal waktu. Dalam mengomentari dua hadits ini, Imam Syafi’i mengatakan :
“Seandainya hadits tersebut (hadits pertama) bertentangan dengan hadits Aisyah, maka kami dan anda wajib berpegang pada hadits Aisyah, bukan yang lain.”

Kemudian Imam Syafi’i menjelaskan bahwa alasan beliau lebih berpegang kepada hadits Aisyah, karena kandungan hadits Aisyah lebih mendekati dengan Kitabullah.[16] Dengan demikian, hadits Aisyah lebih rajih di sisi beliau. Namun beliau dalam penjelasan akhir mengenai kedua hadits di atas berpendapat bahwa kedua hadits ini tidak saling bertentangan, dengan jalan memaknai “Asfiruu bil-fajr” dengan pengertian shalat Subuh pada saat fajar yang kedua sesudah nampak melintang (fajar saadiq)[17]. Namun berdasarkan uraian ini, dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i bisa saja meninggalkan beramal dengan sebuah hadits shahih, apabila beliau berpendapat ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits pertama.

d.      Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih, karena hadits tersebut mutlaq yang diqaidkan dengan hadits lain. Misalnya hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda :
وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ
Artinya : Jangan salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya. (H.R. Bukhari).[18]

Dhahir hadits ini dilarang meminang pinangan orang lain sehingga peminangnya meninggalkannya dengan mencakup keadaan dimana sang perempuan yang dilamar tersebut menolak atau tidak menolaknya. Namun Imam Syafi’i tidak mengamalkan mutlaq dari dhahir hadits tersebut dengan memposisikan larangan pada hadits tersebut apabila perempuan yang dilamar tidak menolaknya. Pemahaman beliau ini didasarkan pada hadits Fatimah binti Qiis berkata :
ان زوجها طَلَّقَهَا فَأَمَرَهَا رسول الله صلعم أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابن أُمِّ مكتوم وقَالَ إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ: أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْم خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ، لا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ،َ فقَالَ: انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ فِيه خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
Artinya : Sesungguhnya suaminya mentalaqnya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya ber’iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum. Beliau bersabda : “Kalau sudah halal, beritahu aku.” Ketika aku sudah halal, aku berkata kepada Rasulullah SAW : “Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm telah meminangku.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Abu Jahm tidak pernah meletak tongkatnya dari pundaknya, sedangkan Mu’awiyah miskin tidak berharta. Karena itu, nikahilah dengan dengan Usamah bin Zaid.” Fatimah binti Qiis mengatakan : “Aku tidak menyukainya.” Kemudian Rasulullah SAW mengulangi lagi : “Nikahilah Usamah bin Zaid.” Akupun menikahi Usamah bin Zaid, Allah memberikan kebaikan kepadanya dan akupun bahagia bersamanya.[19]

Dalam kisah yang tersebut dalam hadits ini, menurut pemahaman Imam Syafi’i, Rasulullah SAW melamar Fatimah binti Qiis untuk Usamah bin Zaid, karena beliau tahu bahwa Fatimah binti Qiis sudah menolak lamaran Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Karena itu, Imam Syafi’i memposisikan hadits larangan meminang pinangan orang lain di atas, selama pinangan tersebut tidak ditolak oleh perempuan yang dilamar.[20]
e.       Imam Syafi’i juga bisa saja meninggalkan mengamalkan zhahir hadits shahih, karena faktor lain seperti hadits tersebut merupakan ‘am yang dikhususkan dengan maksud hadits lain yang sifatnya khusus.

Lalu bagaimana konteks perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”
Dengan menyimak uraian-uraian di atas, maka dapat dipastikan, tidak boleh bagi seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu dengans serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i hanya dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”, tetapi penisbatan kandungan hadits shahih tersebut kepada mazhab Syafi’i haruslah terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam dan konverehensif dan ini tentunya yang mampu melakukannya hanyalah seorang mujtahid juga atau setidak-tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan mendekati kemampuan seorang mujtahid.
Tidak boleh dengan serta merta mengklaim kandungan hadits shahih sebagai mazhab Syafi’i hanya dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku” disebabkan seorang mujtahid, termasuk dalam hal ini Imam Syafi’i bisa saja mengesampingkan pengamalan sebuah makna dhahir dari sebuah hadits shahih karena ada dalil lain yang lebih rajih untuk diamalkan di sisinya sebagaimana contoh-contoh yang telah dikemukakan sebelum ini.
Mengomentari perkataan Imam Syafi’i di atas, dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
“Perkataan Imam Syafi’i ini bukanlah maknanya bahwa setiap orang yang melihat hadits shahih dapat mengatakan “Ini mazhab Syafi’i”, lalu mengamalkan dhahirnya. Tetapi ini hanyalah diposisikan pada orang-orang mencapai martabat ijtihad dalam mazhab sesuai dengan sifat-sifatnya yang terdahulu atau mendekati martabat ijtihad. Persyaratannya adalah kuat dugaannya bahwa Syafi’i Rhm tidak pernah menemukan hadits ini atau tidak mengetahui sahnya. Hal ini hanya dapat terpenuhi sesudah meneliti semua kitab-kitab Syafi’i dan lainnya yaitu kitab-kitab pengikut-pengikutnya yang mengambil ilmu dari beliau dan kitab-kitab lainnya yang serupa dengan keduanya. Persyaratan ini merupakan persyaratan yang sukar dan sedikit orang-orang mempunyai sifat seperti ini. Para ulama mensyaratkan hal-hal yang telah kami sebutkan, karena Syafi’i Rhm banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau melihat dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya.[21]

Kesimpulan
1.      Tidak boleh bagi seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu dengan serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i.
2.      Penisbatan kandungan sebuah hadits shahih kepada mazhab Syafi’i haruslah terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam dan konverehensif dengan membaca semua kitab-kitab Syafi’i dan pengikut-pengikut beliau dan ini tentunya yang mampu melakukannya hanyalah seorang mujtahid juga atau setidak-tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan mendekati kemampuan seorang mujtahid, sehingga memunculkan dugaan yang kuat bahwa Imam Syafi’i tidak mengemukakan suatu pendapat sesuai dengan hadits shahih tersebut karena beliau tidak pernah menemukan hadits tersebut atau tidak mengetahui sahnya.
3.      Imam Syafi’i banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau jumpai dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya










[1] Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 85
[2] Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 104
[3] Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (dicetak bersama Hasyiah Ali Syibran al-Malusi dan Hasyiah al-Rasyidi), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 50
[4] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i,  Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 476
[5] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i,  Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 471
[6] Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 88
[7] Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 101
[8] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 33.
[9] Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 91-92
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 272, No. Hadits : 351
[11] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 68
[12] Imam Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. X, Hal. 42
[13] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 43, No. Hadits : 157
[14] Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 223, No. Hadits : 154
[15] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508, No. Hadits : 1024
[16] Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 284
[17] Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 290
[18] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 15, No. Hadits : 5142
[19] Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 309-310
[20] Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 310-311
[21] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 105

7 komentar:

  1. assalamu'alaikum...Tgk
    Bagaimanakah pemahaman:
    ITTIBA'..TAQLID dan TALFIQ
    Wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya Allah, ini kami coba bahas secara khusus

      wassalam

      Hapus
  2. assalamu'alaikum Tgk
    Kiban Tgk pertanyaan saya..?
    Soalnya saya tanya ama orang lain jawabannya singkat2 aja,kurang terperinci
    Wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. orang yang membedakan antara ittiba' dengan taqlid mengatakan bahwa ittiba' adalah mengikuti pendapat ulama dengan menngetahui dalilnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat ulama tanpa diketahui dalilnya. menurut hemat kami pembedaan ini kurang tepat, karena kalau seseorang mengetahui dalil dan memahami cara pendaliliannya, meskipun dengan bantuan seorang ulama, maka dia sudah masuk dalam ijtihad secara mandiri, sehingga dia tidak disebut lagi sebagai seorang muttabi' (yang ittiba'). kalau dia itu mengetahui dalilnya, tetapi tidak mengetahui cara pendaliliannya, sehingga disebut dalil atau tidak disebut, baginya sama saja. maka ini pada hakikatnya adalah taqlid, karena dia tidak mampu memahami dalil yang diketahuinya itu. karena itu, menurut kami ittiba' dengan pengertian di atas termasuk dalam katagori taqlid

      2. talfiq adalah mencampurkan dua pendapat imam mazhab dalam satu paket ibadah atau lainnya sehingga muncul sebuah paket ibadah atau lainnya yang sama-sama tidak diakui dalam masing2 mazhab tersebut. misalnya seseorang berwudhu' dengan menyapu sebagian kepala dgn ,mengikuti mazhab syafi'i, kemudian kena najis anjing, tetapi dia shalat terus tanpa lebih dahulu menyamak najis anjing tsb dengan alasan mengikuti mazhab malik yang berpendapat tidak wajib samak najis anjing. shalatnya ini tidak sah berdasarkan dua mazhab tsb, tidak sah berdasarkan mazhab syafi'i karena najis anjing dan tidak sah berdasarkan mazhab malik, karena tidak menyapu seluruh kepala.
      wassalam

      Hapus
  3. Assalamu"alaikum..prnah dngr Dr tmn ,bhwa TDK prlu wudhu lg,jika trsentuh istri tanpa sengaja,krn udah muhrimnya..mhon diluruskan,syukron..

    BalasHapus
    Balasan
    1. sdh pernah kami bahas pada :
      http://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/06/bersentuhan-dengan-isteri-membatalkan.html
      wassalam

      Hapus
  4. Ass...tlg tgk jelaskan secara mendetil tentang cara menghitung zakat tijarah

    BalasHapus