Pernyataan
di atas, yaitu “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku” adalah perkataan
Imam Syafi’i yang sangat sering dikutip oleh sebagian umat Islam. Dengan mempedomani
perkataan Imam Syafi’i ini, apabila menemukan sebuah hadits shahih, mereka
langsung (tanpa mendalami kemungkinan-kemungkinan lain dalam memahami hadits
tersebut) menisbahkan kandungan zhahir hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i,
dengan alasan setiap hadits yang shahih sanadnya, maka itu adalah pendapat
Syafi’i, padahal Imam Syafi’i sendiri terlepas dari penisbatan itu sendiri. Untuk
ini, penulis tergerak hati mencoba membahas masalah perkataan Imam Syafi’i ini
dengan memperhatikan pendapat dan komentar para ulama mengenai masalah ini.
Sumber
periwayatan perkataan “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”
Perkataan Imam Syafi’i di atas,
terdapat dalam kitab-kitab karya ulama antara lain :
a.
Dalam
Kitab Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”
karya Imam al-Subki disebutkan :
سألت وفقك الله
عن قول امامنا الشافعي رضي الله عنه إذا صح الحديث فهو مذهبي
"وهو قول مشهور عنه لم
يختلف الناس في انه قاله وروي عنه معناه ايضا بالفاظ مختلفة
Artinya
: Engkau (Tajul al-Subki, anak dari Imam al-Subki) menanyakan – Semoga Allah
memberikan taufiq bagimu – tentang perkataan Imam kita Syafi’i r.a. “Apabila
shahih hadits, maka itulah mazhabku”. Perkataan tersebut adalah perkataan yang
masyhur dari beliau dan tidak terjadi perbedaan pendapat manusia bahwa
perkataan tersebut diriwayat dari beliau. Telah diriwayat juga dari beliau
perkataan yang semakna dengannya dengan lafazh yang berbeda. [1]
b.
Dalam
al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab disebutkan :
صَحَّ عَنْ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ
اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا قَوْلِي: وَرُوِيَ عَنْهُ إذَا صَحَّ
الْحَدِيثُ خِلَافَ قَوْلِي فَاعْمَلُوا بِالْحَدِيثِ وَاتْرُكُوا قَوْلِي أَوْ
قَالَ فَهُوَ مَذْهَبِي وَرُوِيَ هَذَا الْمَعْنَى بِأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ
Artinya :
Telah shahih dari Syafi’i r.h. sesungguhnya beliau mengatakan : “ Apabila
kalian dapatkan dalam kitabku khilaf sunnah Rasulullah SAW, maka katakanlah
dengan sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku dan telah diriwayat pula
“Apabila shahih hadits khilaf dengan pendapatku, maka amalkan hadits dan
tinggalkan pendapatku atau Imam Syafi’i berkata : “ maka itulah mazhabku dan
telah diriwayat perkataan dengan makna ini dengan lafazh-lafazh yang berbeda.[2]
c. Dalam Nihayah
al-Muhtaj disebutkan :
فَقَدْ صَحَّ
أَنَّهُ قَالَ: إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
Artinya : Maka sesungguhnya telah shahih bahwasanya Imam Syafi’i
pernah mengatakan : Apabila shahih
hadits,maka itulah mazhabku. [3]
d.
Dalam
Kitab Manaqib al-Syafi’i, karangan al-Baihaqi disebutkan Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal mengatakan, ayahku mengatakan, telah mengatakan kepada kami oleh Syafi’i
:
اذا صح عندكم
الحديث عن النبي صلعم فقولوا حتى اذهب اليه
Artinya
: Apabila di sisimu shahih hadits dari Nabi SAW, maka katakanlah sehingga aku
berpendapat berdasarkan hadits itu.[4]
Apakah ada
pendapat Imam Syafi’i yang bertentangan dengan hadits shahih
Dhahir perkataan Imam Syafi’i, “Apabila
shahih hadits, maka itulah mazhabku” atau yang semakna dengannya menunjukkan
bahwa Imam Syafi’i sangat mementingkan hadits Nabi SAW dan beliau menempatkan
posisi hadits dalam istinbath hukum dalam posisi yang semestinya, sehingga
tidak heran banyak ulama memuji Syafi’i karena sikap beliau tersebut, bahkan
beberapa ulama yang datang sesudahnya menyatakan bahwa tidak ada satupun
pendapat Syafi’i yang meninggalkan hadits shahih atau bertentangan dengannya.
Ini dapat disimak dari pernyataan antara lain :
a.
Ahmad
bin Hanbal mengatakan :
“Aku
tidak pernah melihat seseorang yang melebihi Syafi’i dalam mengikuti atsar”[5]
b.
Ibnu
Khuzaimah pernah ditanyai :
“Apakah
engkau mengetahui sunnah Rasulullah SAW tentang halal dan haram yang tidak
disebut Syafi’i dalam kitabnya, Ibnu Khuzaimah menjawab : “Tidak”.[6]
Namun demikian, sebagai manusia biasa yang tidak bersifat dengan
ma’shum, tentu kita tidak boleh beri’tiqad bahwa Imam Syafi’i tidak mungkin
bersalah, karena sifat tersebut hanya dipunyai oleh Nabi dan Rasul utusan Allah
Ta’ala. Karena itu, Abu Syamah, guru dari Imam al-Nawawi mengatakan :
“Sesusungguhnya
Syafi’i membangun mazhabnya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW
serta nadhar shahih yang merujuk kepada keduanya. Namun beliau tentu tidak
ma’shum dari lupa.”[7]
Apakah setiap
hadits yang shahih sanadnya merupakan mazhab Syafi’i ?
Dapat
dipastikan jawaban pertanyaan di atas adalah tidak semua zhahir makna hadits
yang telah dinyatakan shahih sanadnya oleh ahli hadits merupakan mazhab
Syafi’i, meskipun harus diakui dan memang begitulah adanya bahwa semua hukum
fiqh dalam mazhab Syafi’i didasarkan kepada hadits shahih atau hasan (hadits
maqbul). Pernyataan bahwa tidak setiap zhahir makna hadits shahih merupakan
mazhab Syafi’i dibuktikan dengan sebagai berikut :
a.
Kadang-kadang
Imam Syafi’i tidak mengamalkan zhahir makna dari hadits shahih, karena hadits
tersebut dinyatakan mansukh (dihapus). Misalnya hadits yang disebut dalam kitab
Shahih al-Bukhari berbunyi :
أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ
Artinya : Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya(H.R.Bukhari).[8]
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak
mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh.
Al-Subki menjawab pertanyaan Abu Walid yang mengatakan bahwa hadits “Yang
membekam dan yang dibekam terbuka puasanya” adalah shahih, mengatakan :
“Ditolak
perkataan Abu Walid tersebut dengan penjelasan bahwa Syafi’i meninggalkan
hadits tersebut, padahal hadits itu shahih, karena hadits itu mansukh di
sisinya dan beliau sendiri telah menjelaskannya.[9]
Contoh lain hadits riwayat Muslim berbunyi :
الْوُضُوءُ
مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Artinya
: berwudhu’ karena makan sesuatu yang disentuh api.(H.R.Muslim) [10]
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak
mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh.
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Jawaban dari
hadits-hadits mereka (hadits-hadits wajib berwudhu’ dengan sebab makan sesuatu
yang disentuh api), sesungguhnya hadits itu mansukh, seperti ini telah dijawab
oleh Syafi’i dan ashabnya dan ulama-ulama lainnya.”[11]
b.
Kadang-kadang
Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih karena hadits
tersebut diposisikan kepada makna yang sesuai dengan maksud hadits lain.
Misalnya Imam
Syafi’i berpendapat bahwa yang afdhal wudhu’ dilakukan tiga kali dengan
mengikuti perbuatan Nabi SAW berdasarkan hadits Usman bin Affan berbunyi :
ان النبي صلعم توضأ ثلاثا ثلاثا
Artinya
: Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu’ tiga kali, tiga kali.
dengan
memposisikan maksud hadits shahih dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali dengan makna sebagai mubah
saja, bukan suatu yang utama.[12]
Dhahir hadits Ibnu Abbas yang telah beliau riwayat dalam kitab Ikhtilaf
al-Hadits ini adalah melakukan wudhu’ satu kali, satu kali merupakan amalan
yang utama, mengingat itu merupakan amalan Nabi SAW, namun beliau
mengesampingkan dhahir hadits ini dengan memposisikannya hanya sebagai
perbuatan yang mubah dilakukan, bukan yang utama dengan berdalil kepada hadits
Usman bin Affan di atas. Hadits Ibnu Abbas dimaksud juga telah diriwayat oleh
al-Bukhari, berbunyi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: تَوَضَّأَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً
Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau
berkata : “Nabi SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali (H.R. Bukhari)[13]
c. Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari
hadits shahih, karena menurut beliau ada hadits shahih lain yang lebih rajih
dibandingkan hadits shahih pertama. Misalnya hadits dari Rafi’ bin Khadiij,
Rasulullah SAW bersabda :
أَسْفِرُوا بِالفَجْرِ، فَإِنَّهُ
أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
Artinya : Kerjakanlah
shalat Subuh saat pagi sedikit terang, karena itu lebih besar pahalanya (H.R.
al-Turmidzi, hadits hasan shahih).[14]
Sementara itu
ada sebuah hadits shahih dari ‘Aisyah r.a. , beliau berkata :
كن النساء من
المؤمنات يصلين مع النبي الصبح ثم ينصرفن وهن متلفعات بمروطهن ما يعرفهن احد من
الغلس
Artinya
: Kaum perempuan mukminin shalat Subuh bersama Nabi SAW, kemudian mereka pulang
dengan menutupi diri mereka dengan jubah mereka. Tidak seorangpun mengenal
mereka karena masih gelap.(H.R. Bukhari dan Muslim)[15]
Dhahir hadits pertama
bertentangan dengan hadits Aisyah, karena hadits pertama mengandung perintah
shalat Subuh pada akhir waktu, sedangkan kandungan hadits Aisyah berisikan
bahwa shalat Subuh lebih afdhal dilakukan pada awal waktu. Dalam mengomentari
dua hadits ini, Imam Syafi’i mengatakan :
“Seandainya
hadits tersebut (hadits pertama) bertentangan dengan hadits Aisyah, maka kami dan
anda wajib berpegang pada hadits Aisyah, bukan yang lain.”
Kemudian Imam Syafi’i
menjelaskan bahwa alasan beliau lebih berpegang kepada hadits Aisyah, karena
kandungan hadits Aisyah lebih mendekati dengan Kitabullah.[16]
Dengan demikian, hadits Aisyah lebih rajih di sisi beliau. Namun beliau dalam
penjelasan akhir mengenai kedua hadits di atas berpendapat bahwa kedua hadits
ini tidak saling bertentangan, dengan jalan memaknai “Asfiruu bil-fajr” dengan pengertian
shalat Subuh pada saat fajar yang kedua sesudah nampak melintang (fajar saadiq)[17]. Namun
berdasarkan uraian ini, dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i bisa saja
meninggalkan beramal dengan sebuah hadits shahih, apabila beliau berpendapat
ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits pertama.
d.
Kadang-kadang
Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari hadits shahih, karena hadits
tersebut mutlaq yang diqaidkan dengan hadits lain. Misalnya hadits dari Ibnu
Umar, Rasulullah SAW bersabda :
وَلاَ يَخْطُبَ
الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ
يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ
Artinya :
Jangan salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya sehingga peminang
sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya. (H.R. Bukhari).[18]
Dhahir hadits
ini dilarang meminang pinangan orang lain sehingga peminangnya meninggalkannya
dengan mencakup keadaan dimana sang perempuan yang dilamar tersebut menolak
atau tidak menolaknya. Namun Imam Syafi’i tidak mengamalkan mutlaq dari dhahir
hadits tersebut dengan memposisikan larangan pada hadits tersebut apabila
perempuan yang dilamar tidak menolaknya. Pemahaman beliau ini didasarkan pada
hadits Fatimah binti Qiis berkata :
ان زوجها طَلَّقَهَا فَأَمَرَهَا رسول الله صلعم أَنْ تَعْتَدَّ
فِي بَيْتِ ابن أُمِّ مكتوم وقَالَ إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي، قَالَتْ: فَلَمَّا
حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ: أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْم
خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أَمَّا
أَبُو جَهْمٍ، فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ، لا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ،َ فقَالَ:
انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ فِيه خَيْرًا،
وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
Artinya :
Sesungguhnya suaminya mentalaqnya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya ber’iddah di
rumah Ibnu Ummi Maktum. Beliau bersabda : “Kalau sudah halal, beritahu aku.”
Ketika aku sudah halal, aku berkata kepada Rasulullah SAW : “Mu’awiyah bin Abu
Sufyan dan Abu Jahm telah meminangku.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Abu Jahm
tidak pernah meletak tongkatnya dari pundaknya, sedangkan Mu’awiyah miskin
tidak berharta. Karena itu, nikahilah dengan dengan Usamah bin Zaid.” Fatimah
binti Qiis mengatakan : “Aku tidak menyukainya.” Kemudian Rasulullah SAW
mengulangi lagi : “Nikahilah Usamah bin Zaid.” Akupun menikahi Usamah bin Zaid,
Allah memberikan kebaikan kepadanya dan akupun bahagia bersamanya.[19]
Dalam kisah yang tersebut dalam hadits ini, menurut
pemahaman Imam Syafi’i, Rasulullah SAW melamar Fatimah binti Qiis untuk Usamah
bin Zaid, karena beliau tahu bahwa Fatimah binti Qiis sudah menolak lamaran Mu’awiyah
bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Karena itu, Imam Syafi’i memposisikan hadits
larangan meminang pinangan orang lain di atas, selama pinangan tersebut tidak
ditolak oleh perempuan yang dilamar.[20]
e.
Imam
Syafi’i juga bisa saja meninggalkan mengamalkan zhahir hadits shahih, karena faktor
lain seperti hadits tersebut merupakan ‘am yang dikhususkan dengan maksud hadits
lain yang sifatnya khusus.
Lalu bagaimana konteks perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih
hadits, maka itulah mazhabku”
Dengan
menyimak uraian-uraian di atas, maka dapat dipastikan, tidak boleh bagi
seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu dengans
serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i hanya dengan
mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka
itulah mazhabku”, tetapi penisbatan kandungan hadits shahih tersebut kepada
mazhab Syafi’i haruslah terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang
mendalam dan konverehensif dan ini tentunya yang mampu melakukannya hanyalah
seorang mujtahid juga atau setidak-tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan
mendekati kemampuan seorang mujtahid.
Tidak
boleh dengan serta merta mengklaim kandungan hadits shahih sebagai mazhab
Syafi’i hanya dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila
shahih hadits, maka itulah mazhabku” disebabkan seorang mujtahid, termasuk
dalam hal ini Imam Syafi’i bisa saja mengesampingkan pengamalan sebuah makna
dhahir dari sebuah hadits shahih karena ada dalil lain yang lebih rajih untuk
diamalkan di sisinya sebagaimana contoh-contoh yang telah dikemukakan sebelum
ini.
Mengomentari
perkataan Imam Syafi’i di atas, dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam al-Nawawi
mengatakan :
“Perkataan Imam Syafi’i ini bukanlah maknanya bahwa setiap orang
yang melihat hadits shahih dapat mengatakan “Ini mazhab Syafi’i”, lalu
mengamalkan dhahirnya. Tetapi ini hanyalah diposisikan pada orang-orang
mencapai martabat ijtihad dalam mazhab sesuai dengan sifat-sifatnya yang
terdahulu atau mendekati martabat ijtihad. Persyaratannya adalah kuat dugaannya
bahwa Syafi’i Rhm tidak pernah menemukan hadits ini atau tidak mengetahui
sahnya. Hal ini hanya dapat terpenuhi sesudah meneliti semua kitab-kitab
Syafi’i dan lainnya yaitu kitab-kitab pengikut-pengikutnya yang mengambil ilmu
dari beliau dan kitab-kitab lainnya yang serupa dengan keduanya. Persyaratan
ini merupakan persyaratan yang sukar dan sedikit orang-orang mempunyai sifat
seperti ini. Para ulama mensyaratkan hal-hal yang telah kami sebutkan, karena
Syafi’i Rhm banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau
melihat dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa
hadits tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun
lainnya.[21]
Kesimpulan
1.
Tidak
boleh bagi seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu
dengan serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i.
2.
Penisbatan
kandungan sebuah hadits shahih kepada mazhab Syafi’i haruslah terlebih dahulu
dengan melakukan kajian-kajian yang mendalam dan konverehensif dengan membaca
semua kitab-kitab Syafi’i dan pengikut-pengikut beliau dan ini tentunya yang
mampu melakukannya hanyalah seorang mujtahid juga atau setidak-tidaknya orang
tersebut mempunyai kemampuan mendekati kemampuan seorang mujtahid, sehingga
memunculkan dugaan yang kuat bahwa Imam Syafi’i tidak mengemukakan suatu
pendapat sesuai dengan hadits shahih tersebut karena beliau tidak pernah
menemukan hadits tersebut atau tidak mengetahui sahnya.
3.
Imam
Syafi’i banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau jumpai
dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits
tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya
[1] Al-Subki, Ma’na
Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah
Qurthubah, Hal. 85
[2] Imam al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 104
[3] Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj,
(dicetak bersama Hasyiah Ali Syibran al-Malusi dan Hasyiah al-Rasyidi), Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 50
[4] Al-Baihaqi, Manaqib
al-Syafi’i, Maktabah Dar
al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 476
[5]
Al-Baihaqi, Manaqib
al-Syafi’i, Maktabah Dar
al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 471
[6]
Al-Subki, Ma’na
Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah
Qurthubah, Hal. 88
[7]
Al-Subki, Ma’na
Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah
Qurthubah, Hal. 101
[8] Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 33.
[9]
Al-Subki, Ma’na
Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah
Qurthubah, Hal. 91-92
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 272, No. Hadits : 351
[11]
Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 68
[12] Imam Syafi’i,
al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. X, Hal. 42
[13]
Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 43, No. Hadits : 157
[14]
Al-Turmidzi, Sunan
al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 223, No. Hadits : 154
[15] Al-Manawi, Faidh
al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508, No. Hadits : 1024
[16]
Imam Syafi’i, al-Risalah,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 284
[17]
Imam Syafi’i, al-Risalah,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 290
[18] Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 15, No. Hadits : 5142
[19] Imam Syafi’i, al-Risalah,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 309-310
[20]
Imam Syafi’i, al-Risalah,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 310-311
[21]
Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 105
assalamu'alaikum...Tgk
BalasHapusBagaimanakah pemahaman:
ITTIBA'..TAQLID dan TALFIQ
Wassalam
insya Allah, ini kami coba bahas secara khusus
Hapuswassalam
assalamu'alaikum Tgk
BalasHapusKiban Tgk pertanyaan saya..?
Soalnya saya tanya ama orang lain jawabannya singkat2 aja,kurang terperinci
Wassalam
1. orang yang membedakan antara ittiba' dengan taqlid mengatakan bahwa ittiba' adalah mengikuti pendapat ulama dengan menngetahui dalilnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat ulama tanpa diketahui dalilnya. menurut hemat kami pembedaan ini kurang tepat, karena kalau seseorang mengetahui dalil dan memahami cara pendaliliannya, meskipun dengan bantuan seorang ulama, maka dia sudah masuk dalam ijtihad secara mandiri, sehingga dia tidak disebut lagi sebagai seorang muttabi' (yang ittiba'). kalau dia itu mengetahui dalilnya, tetapi tidak mengetahui cara pendaliliannya, sehingga disebut dalil atau tidak disebut, baginya sama saja. maka ini pada hakikatnya adalah taqlid, karena dia tidak mampu memahami dalil yang diketahuinya itu. karena itu, menurut kami ittiba' dengan pengertian di atas termasuk dalam katagori taqlid
Hapus2. talfiq adalah mencampurkan dua pendapat imam mazhab dalam satu paket ibadah atau lainnya sehingga muncul sebuah paket ibadah atau lainnya yang sama-sama tidak diakui dalam masing2 mazhab tersebut. misalnya seseorang berwudhu' dengan menyapu sebagian kepala dgn ,mengikuti mazhab syafi'i, kemudian kena najis anjing, tetapi dia shalat terus tanpa lebih dahulu menyamak najis anjing tsb dengan alasan mengikuti mazhab malik yang berpendapat tidak wajib samak najis anjing. shalatnya ini tidak sah berdasarkan dua mazhab tsb, tidak sah berdasarkan mazhab syafi'i karena najis anjing dan tidak sah berdasarkan mazhab malik, karena tidak menyapu seluruh kepala.
wassalam
Assalamu"alaikum..prnah dngr Dr tmn ,bhwa TDK prlu wudhu lg,jika trsentuh istri tanpa sengaja,krn udah muhrimnya..mhon diluruskan,syukron..
BalasHapussdh pernah kami bahas pada :
Hapushttp://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/06/bersentuhan-dengan-isteri-membatalkan.html
wassalam
Ass...tlg tgk jelaskan secara mendetil tentang cara menghitung zakat tijarah
BalasHapus