A.
Pendahuluan
Sudah menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia dan Aceh khususnya apabila
ada orang meninggal, maka dilakukan pembacaan shamadiyah. Biasanya pembacaan shamadiah ini
ditutup dengan mencicipi hidangan makanan yang disuguhi oleh ahli rumah sebagai
shadaqah ataupun menjamu tamu yang pahalanya diniatkan untuk keluarga yang
sudah meninggal dunia. Kebiasaan ini dilakukan hampir diseluruh desa dan kota di
Aceh. Pembacaan shamadiyah ini biasanya dipimpin oleh seorang ulama atau Teungku
yang dianggap paling shaleh di sebuah desa atau kawasan. Kebiasaan ini sudah
berlangsung lama secara turun temurun dan anggap sebagai sebuah amalan yang
diridhai Allah dan Rasul-Nya.
Shamadiyah adalah bacaan-bacaan yang minimal biasanya
dimulai dengan istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, membaca Surat al-Ikhlas,
al-Falaq, al-Nash dan Surat al-Fatihah, kemudian membaca tahlil (membaca
kalimat La ilaha illallah) dan ditutup dengan do’a dengan bermohon
mudah-mudahan bacaan-bacaan tersebut dapat bermanfaat bagi orang yang sudah
meninggal. Disebut dengan nama shamadiyah karena bacaan yang banyak dibaca
adalah Surat al-Ikhlash, sedangkan Surat al-Ikhlash ini disebut juga dengan
Surat al-Shamad sebab ada penyebutan lafazh al-shamad di dalamnya.[1] Di tanah Jawa shamadiyah
ini biasa disebut dengan tahlilan yang berarti membaca kalimat La ilaha illallah.
Disebut tahlilan karena diantara bacaan-bacaannya adalah kalimat tahlil.
Sebutan ini juga mulai digunakan sekarang oleh sebagian masyarakat Aceh,
terutama kawasan perkotaan.
Namun sayangnya, begitu masuk golongan baru Islam ke Indonesia dan
Aceh khususnya, kebiasaan-kebiasaan shamadiyah ini mulai diserang dengan
berbagai macam tudingan miring dan negatif. Golongan yang sering menyebut diri
mereka sebagai golongan pembaharuan, tajdid, anti bid’ah dan anti mazhab ini
mulai berfatwa bahwa pembacaan shamadiyah ini merupakan amalan bid’ah yang
dilarang agama dan merupakan amalan mungkar yang wajib dicegah oleh sebuah
pemerintah muslim. Untuk itu, penulis mencoba mendudukkan masalah ini dalam
posisi yang sebenarnya dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta
pendapat para ulama mu’tabar yang menjadi ikutan umat Islam dalam fatwa dan
ibadah dalam kehidupan beragama.
B.
Amalan-amalan yang bermanfaat bagi
orang yang sudah meninggal
Ada beberapa macam
amalan yang sering dilakukan umat Isman yang bermanfaat kepada mayat, antara
lain :
1.
Shadaqah dan do’a.
Telah terjadi ijmak ulama bermanfaat kedua amalan ini kepada
mayat. Berikut keterangan ulama mengenai ini, antara lain :
1). Dalam al-Fatawa al-Nawawi disebutkan :
“Sampai kepada
mayat pahala do’a dan shadaqah dengan ijmak ulama.”[2]
2). Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Shadaqah dan do’a bermanfa’at bagi
mayat, baik dilakukan oleh ahli waris atau lainnya karena ijmak Ulama”. [3]
Dalil doa bermanfat bagi mayat antara lain firman Allah Ta’ala
:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ
Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (Q.S.Al-Hasyr:
10)
Dalil shadaqah bermanfa’at bagi
mayat antara lain hadist yang berbunyi :
أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا
رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت
عنها ؟ قال نعم
Artinya : Seorang laki-laki
mendatangi Nabi SAW dengan berkata : “Ya
Rasulullah, sesungguhnya ibuku membiarkan dirinya tidak melakukan wasiat,
menurut dugaanku, kalau dia berkata, maka pasti bersadaqah, maka apakah ia
mendapat pahala kalau aku bersadaqah untuknya. Rasulullah menjawab :”Ya”. (H.R.
Muslim) [4]
Dalam
sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلا قَالَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ
عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ
أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا.
Artinya
: Dari
Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah
SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada mamfaatnya jika akan
bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu
berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa
aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (H.R.
Turmidzi)[5]
Selanjutnya
pada halaman ini juga, At-Turmidzi
berkata :
“Hadits
ini adalah hadits hasan dan seperti ini
berpendapat oleh ahli ilmu”.
Rasululullah SAW bersabda :
ان إمرأة من جهينة جائت الى نبي صلعم فقالت ان
أمي نذرت ان تحج ولم تحج حتى ماتت أفأحج عنها قال حجي عنها أريت لو كان على أمك
دين أقاضيتها أقضوا الله فالله أحق بالوفاء
ِArtinya : Sesungguhnva wanita dari
Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "sesungguhnya ibuku pernah
bernadzar untuk haji. dan tidak sempat melaksanakannya sehingga meninggal,
apakah aku harus menghajikannya?" Beliau bersabda, "Hajikanlah ia,
bagaimanap pendapatmu seandainva ibumu mempunyai hutang, apakah engkau wajib
membayarkannya. Maka bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak
dibayar.(H.R. Bukhari)[7]
3.
Ibadah puasa
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
Artinya : Barangsiapa meninggal,
sedangkan dia berhutang puasa, maka walinya menggantikannya. (H.R. Muslim)[8]
Adapun firman Allah
وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya : Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm :
39)
Diantara para ulama, ada yang menerangkan kepada kita bahwa ayat
ini ditakhshis dengan ijmak tersebut diatas, yakni masalah sadaqah dan
do’a. Berdasarkan ini, maka maksud ayat ini adalah selain sadaqah dan doa tidak
bermanfa’at apapun bagi seorang manusia kecuali hasil usahanya sendiri. Namun
kesimpulan ini tentunya bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang
menjelaskan bahwa pahala haji dan puasa yang dilakukan orang lain juga dapat
bermanfa’at bagi seseorang. Ada ulama yang mengatakan ayat pertama diatas (Q.S.al-Hasyr
: 10) menasakhkan ayat ini. Ada juga yang menta’wilkan dari dhahir makna ayat. Ta’wilnya
antara lain, ayat ini di pertempatkan bagi orang kafir. Ada juga yang mengartikan
ayat ini ″Tidak berhaq bagi manusia kecuali apa yang menjadi usahanya″.
Adapun apa yang diperbuat orang untuknya adalah semata-mata fadhal (kemurahan
hati), bukan haq.[9] Keterangan
serupa dengan yang terakhir ini juga telah dikemukakan oleh Ibnu Shalah, beliau
berkata :
“Nash tersebut (Q.S. al-Najm : 39) tidak membatalkan pendapat
yang mengatakan hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat. Karena
maksud ayat tersebut adalah tidak berhak dan tidak ada balasan baginya kecuali
menurut usahanya, maka tidak masuk dalam pengertian ayat tersebut perbuatan
tabaru’ (hadiah secara suka rela) dari pihak lain, berupa bacaan al-Qur’an
ataupun do’a”.[10]
Al-Qurthubi yang terkenal dengan
tafsirnya, Tafsir al-Qurthubi dalam al-Tazkirah[11] dalam menjelaskan
kedudukan ayat di atas, menyebut beberapa takwil yang dikemukakan oleh ulama,
yaitu sebagai berikut :
1). Ayat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas sudah dinasakh dengan
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ
بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya : Dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (Q.S. al-Thuur : 21)
Berdasarkan ayat ini, maka anak anak
yang mengikuti keimanan orang tuanya, akan mendapatkan syafa’at dari
orangtuanya kelak.
2). Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa ayat al-Najm : 39 di atas,
khusus berlaku atas orang kafir
3). Ayat
ini juga bermungkinan bermakna khusus pada amalan jahat. Buktinya amalan yang
baik, sebagai janji Allah, akan dibalas dengan sepuluh bandingan amalannya.
Jadi seseorang yang melakukan amalan baik, dia bukan hanya menerima pahala
sebagaimana amalannya, tetapi juga mendapat pahala tambahan sebagai kurnia
Allah sebagaimana firman-Nya :
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ
عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا
وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik,
Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S.
al-An’am : 160)
C.
Membaca Shamadiyah pada rumah
kematian dan dalil-dalilnya
Pada pendahuluan di atas sudah
dijelaskan bahwa pengertian membaca shamadiyah adalah membaca ayat-ayat
al-Qur’an dan zikir-zikir lainnya yang notabenenya juga merupakan ayat-ayat
al-Qur’an, kemudian berdo’a mudah-mudahan Allah menjadikan pahala bacaan-bacaan
tersebut bermanfaat bagi mayat. Pembacaan shamadiyah dengan pengertian ini
sangat dianjurkan dalam agama, karena hal itu merupakan amalan bermanfaat dan
pahalanya sampai kepada mayat. Adapun dalil-dalil
hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat, antara lain :
1.
Menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat termasuk dalam katagori do’a,
karena menghadiahkankan pahala bacaan al-Qur’an selalu diakhiri dengan membaca
do’a agar pahalanya sampai kepada mayat. Oleh karena itu, termasuk dalam maksud Q.S.
al-Mukmin : 60, berbunyi :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya : Dan Tuhanmu berfirman :
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.(Q.S.
al-Ghafir : 60)
2.
Hadits riwayat Ibnu Abbas dari
Nabi SAW :
أَنَّهُ
مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا
يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ
الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ
جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا بِنِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ
وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُ
أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Nabi
SAW pernah melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya dua
mayat ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa
karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya, sedang yang lainnya ia
dahulu suka mengadu domba”. Kemudian beliau meminta pelepah kurma yang masih
basah dan dibelahnya menjadi dua. Setelah itu beliau menancapkan salah satunya
pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya
bersabda: “Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering”.(H.R.
Bukhari[12]
dan Muslim[13])
Al-Qurthubi mengatakan :
“Ulama kita mengatakan,
kalau kayu saja dapat meringankan azab kubur (bermanfaat kepada mayat), maka
apalagi bacaan al-qur’an yang dilakukan oleh seorang mukmin.”[14]
Jalan pendalilian lain dengan hadits di atas adalah pelepah
kurma tersebut selama masih dalam keadaan basah selalu bertasbih. Jadi kalau
dengan pembacaan tasbih oleh sepotong kayu dapat bermanfaat bagi mayat, tentu
pembacaan al-Qur’an oleh manusia yang beriman lebih patut bermanfaat bagi
mayat. Pendalilian ini telah dikemukakan oleh para ulama sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Hafidh Waliuddin al-Iraqi.[15]
Pohon kayu beserta segala yang ada di dalam bumi ini selalu bertasbih kepada
Allah sesuai dengan firman-Nya dalam
Q.S. al-Isra’ : 44, berbunyi :
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ
السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ
بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا
غَفُورًا
Artinya : Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak
ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun.(Q.S. al-Isra’ : 44)
3.
Menghadiahkan pahala kepada mayat termasuk
sadaqah, karena sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta. Sadaqah bisa saja dalam
bentuk tahlil, tasbih dan lainnya.
Sedangkan sadaqah dapat bermanfaat
bagi mayat dengan ijmak ulama sebagaimana dijelaskan di atas. Keterangan
bahwa sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta adalah hadits Nabi SAW riwayat
Huzaifah berbunyi :
كل معروف صدقة
Artinya : Setiap yang ma’ruf adalah sadaqah (H.R.
Muslim)[16]
Dan
hadits Nabi SAW riwayat Abu Zar berbunyi :
ان بكل تسبيحة
صدقة وكل تكبيرة صدقة وكل تحميدة صدقة و كل تحليلة صدقة
Artinya : Sesungguhnya setiap tasbih adalah sadaqah, setiap takbir
sadaqah, setiap tahmid sadaqah dan setiap tahlil adalah sadaqah. (H.R.
Muslim)[17]
Pendalilian ini telah disebut oleh al-Qurthubi
dalam al-Tazkirah[18]
4. Hadits dari Abu
Sa'id Al Khudri r.a., beliau berkata :
أَنَّ رَهْطًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ انْطَلَقُوا فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا حَتَّى نَزَلُوا بِحَيٍّ مِنْ
أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ فَلُدِغَ
سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ شَيْءٌ
فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ قَدْ نَزَلُوا
بِكُمْ لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ فَقَالُوا
يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ فَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
لَا يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ
نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّي لَرَاقٍ وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ
فَلَمْ تُضَيِّفُونَا فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا
فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنْ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ فَجَعَلَ يَتْفُلُ
وَيَقْرَأُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى لَكَأَنَّمَا نُشِطَ
مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي مَا بِهِ قَلَبَةٌ قَالَ فَأَوْفَوْهُمْ
جُعْلَهُمْ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اقْسِمُوا فَقَالَ
الَّذِي رَقَى لَا تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا
فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا
لَهُ فَقَالَ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا
لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
Artinya : Sesungguhnya
sekelompok sahabat Nabi SAW berkunjung ke salah satu suku Arab. Tetapi mereka
tidak mau menghormati sahabat-sahabat Nabi SAW tersebut. Ketika itu, pemimpin
suku tadi disengat oleh kalajengking. Mereka telah mengusahakan mengobatinya ,
tetapi tidak manjur sedikitpun. Sebagian mereka berkata, kalau kalian
mendatangi kelompok yang pernah mengunjungi kamu, mudah-mudahan disisi sebagian
mereka ada sesuatu yang dapat mengobatinya. Karena itu, datangilah mereka.
Mereka bertanya kepada para sahabat Nabi SAW : "Hai kelompok itu,
sesungguhnya pemimpin kami telah disengat kalajengking dan kami telah
mengobatinya, tetapi tidak bermanfaat sedikitpun. Apakah di antara kalian ada
yang membawa obatnya". Para sahabat
Nabi SAW itu menjawab: “Ya, demi Allah
kami dapat menjampinya. Tetapi berhubung kami pernah minta kalian jamu, namun
kamu tidak menjamu kami, maka apa yang akan kami lakukan haruslah mendapatkan
upah atau imbalan". Akhirnya mereka melakukan negoisasi dengan menyediakan
imbalan berupa seekor kambing. Salah seorang sahabat Nabi SAW maju ke depan dan
meniup dengan ludahnya dan membaca Alhamdulillahhirabbil’alamin, maka sembuhlah
pemimpin suku tersebut seolah-olah dia bangkit dari ikatan tali dan berjalan
dengan melakukan gerakan, sambil berkata, “Tunaikanlah upah mereka sebagaimana
telah kalian janjikan dengan mereka”. Berkata sebagian sahabat Nabi SAW,
bagikanlah kambing itu !. Tetapi sahabat yang menjampi tadi berkata,
"Kita belum bisa menerimanya begitu saja sehingga kita mendatangi
Rasulullah SAW dan mengabarinya apa yang telah terjadi, lalu kita tunggu apa
yang diperintahkannya. Maka Para sahabat Nabi SAW menghadap Rasulullah SAW dan
mengabarinya, maka Rasulullah SAW bersabda : “Tidak tahukah kamu ,bahwasannya
Alhamdulillahhirabbil’alamin itu merupakan jampi?. Maka bagilah kambing
itu dan berikan untukku satu bagian".(H.R. Bukhari)[19]
Hadits ini menceritakan bahwa Sahabat
Nabi SAW pernah menjampi-jampi orang kena sengat kalajengking dengan Surat al-Fatihah dan Nabi
SAW mentaqrirkannya (mengakuinya). Jadi, kalau ayat al-Qur’an bermanfa’at untuk
pengobatan sakit karena kena sengat kalajengking, tentunya untuk mayat lebih patut
bermanfa’at.
5. Sabda Nabi SAW
:
من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم له مثله وكان له
لعدد من فيه حسنات
Artinya :
Barang siapa yang memasuki pekuburan dengan membaca Surat Yasin, maka akan diringankan orang
dalam pekuburan itu sebanding dengannya
dan baginya sejumlah kebaikan (H.R. Abu Bakar Abdul Aziz)[20]
6. Sabda Nabi SAW
:
من زار قبر والديه كل جمعة أو أحدهما فقرأ عندهما يس والقرآن الحكيم غفر له
بعدد كل آية وحرف
Artinya :
Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau keduanya pada
setiap Jum’at dengan membaca Yasin dan al-Qur’an al-Hakim, maka akan
diampuninya sebanding setiap ayat dan huruf.(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ady)[21]
7. Imam
al-Nawawi dalam al-Azkar, mengatakan :
وروينا
في سنن البيهقي بإسناد حسن، أن ابن عمر استحبَّ أن يقرأ على القبر بعد الدفن أوّل
سورة البقرة وخاتمتها
Artinya : Kami
meriwayatkan didalam Sunan al-Baihaqi dengan sanad yang hasan,
bahwa Ibnu ‘Umar menganjurkan agar dibacakan awal surah al-Baqarah dan
mengkhatamkannya diatas kubur setelah pemakaman.[22]
Ibnu Umar adalah seorang sahabat Nabi. Pendapat seorang sahabat dalam
hal-hal yang bersifat ta’abbudi, hukumnya sama dengan hadits marfu’, karena
seorang sahabat tidak mungkin mengatakan sesuatu yang gaib, bukan suatu fatwa
yang mungkin dihasilkan dengan ijtihad kecuali beliau sendiri pernah mendengar
dari Nabi SAW. Karena itu perkataan Ibnu Umar ini menjadi dalil bahwa membaca
al-Qur’an bermanfaat bagi mayat. Dalam kitab Syarh al-Baiquniyah disebutkan :
“Kedudukan keadaan
setiap berita yang disandarkan kepada Sahabat merupakan hadits mauquf adalah
apabila dalam masalah yang memungkinkan dipikir dengan akal, karena itu, jika
secara dhahir tidak ada padanya dimungkinkan ijtihad (dipikir dengan akal),
maka berita itu dihukum marfu’.[23]
D. Pendapat para ulama mengenai hukum hadiah pahala bacaan al-Qur’an bagi
mayat
Dr Wahbah Zuhaili berasal dari Timur Tengah,
seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah yang terkenal di dunia Islam saat ini
mengatakan bahwa para ulama mazhab empat berpendapat bahwa bacaan al-Qur’an
bermanfaat bagi mayat, yakni pendapat ulama Hanafiyah, Hanabilah, Mutaakhirin
Syafi’iyah dan Malikiyah dengan catatan apabila dilakukannya dihadapan mayat
atau dengan dido’akan setelah membacanya, meskipun berada di kejauhan.[24] Sekarang mari kita simak pernyataan
ulama-ulama mazhab empat berikut ini :
1.
Ibnu
al-Abidin dari kalangan ulama Hanafiyah :
“ Pendapat yang dipegang oleh mutaakhirin ulama Syafi’iyah adalah sampai
pahala bacaan al-Qur’an bagi mayat apabila dilakukan dihadapan mayat atau
dido’akan setelah membacanya, meskipun dalam posisi yang jauh, karena kedudukan
bacaan itu menurunkan rahmat dan barkah dan sedangkan do’a sesudahnya
diharapkan menjadi maqbul. Maksudnya, yang menjadi maksud bermanfaat bagi mayat
dengan bacaan bacaan bukan sampai diri pahala baginya (tetapi yang sebanding
dengan pahala, pen). Karena itu, mereka memilih dalam do’a dengan mendo’akan :
“Ya Allah sampaikan yang sebanding dengan pahala yang aku bacakan kepada
sipulan.” Adapun menurut kita (mazhab Hanafi), yang sampai itu adalah diri
pahalanya.[25]
2.
Mashur al-Bahuti al-Hanbali, seorang
ulama terkenal dari kalangan mazhab Hanbali mengatakan :
“Amalan apa saja berupa
do’a, istighfar, shalat, puasa, haji, bacaan al-Qur’an dan lainnya yang
dilakukan oleh seorang muslim dan dijadikan pahalanya bagi mayat muslim atau
yang masih hidup, maka itu bermanfaat bagi mayat. Ahmad bin Hanbal berkata :
“Sampai kepada mayat setiap kebaikan, karena ada nash tentangnya.” Telah
disebut hal itu oleh al-Majd dan lainnya sehingga seandainya dihadiahkan kepada
Nabi SAW , maka itu dibolehkan dan sampai pahalanya kepada beliau.[26]
3.
Terjadi khilaf pendapat dikalangan
Malikiyah mengenai hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat. Al-Dusuqi
menjelaskan kepada kita, ada tiga pendapat yang berkembang dalam Mazhab Maliki,
yaitu pertama, sampai secara mutlaq, kedua ; tidak sampai secara mutlaq, ketiga
; sampai jika dibaca di depan kuburan.[27]
Namun ulama mutaakhirin dari Malikiyah lebih cenderung berpendapat sampai
hadiah pahala bacaan al-Qur’an. Syekh Ahmad al-Dardir mengatakan :
“Tetapi ulama
mutakhirin berpendapat tidak mengapa membaca al-Qur’an dan zikir dengan
menjadikan pahalanya bagi mayat dan dapat pahala baginya insya Allah dan itu merupakan
mazhab ulama shaleh dari ahli kasyaf.”[28]
Pendapat ulama
mutaakhirin Malikiyah ini juga merupakan pendapat Ibnu Rusyd dan imam-imam
besar dalam mazhab Maliki lainnya. Dalam kitab Hasyiah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh
al-Kabir disebutkan :
“Ibnu Hilal dalam
al-Nawazil-nya mengatakan : “Pendapat yang telah diifta’ oleh Ibnu Rusyd dan
berjalan kepadanya bukan hanya satu orang dari imam-imam dari Andalusia,
sesungguhnya mayat dapat manfaat dengan sebab membaca al-Qur’an al-Karim dan
sampai kepada mayat manfaatnya serta dapat pahalanya apabila diberikan
sipembaca pahalanya kepada mayat. Dengan hal ini telah berlaku amalan kaum
muslimin di timur dan di barat. Mereka melakukan hal itu secara terus menerus
mulai dari zaman dahulu.[29]
Menurut hemat
kami, perbedaan pendapat dikalangan Malikiyah ini adalah apabila hadiah pahala
bacaan al-Qur’an itu tidak disertai dengan berdoa supaya diberikan semisal atau
sebanding pahala yang didapati oleh pembacanya. Karena kalau disertai dengan
doa tersebut, maka sudah menjadi ijmak ulama bahwa do’a bermanfaat bagi mayat
sebagaimana dijelaskan sebelum ini. Memposisikan perbedaan pendapat di kalangan
Malikiyah ini sebagaimana penjelasan tersebut juga sesuai dengan penjelasan Dr.
Wahbah Zuhaili di atas.
4.
Pendapat ulama Syafi’iyah :
a.
Berkata Ibnu Shalah :
“Sepatutnya dipastikan (jazam) bermanfa’at
dengan mengatakan allahumma ausil tsawaba ma qara’tuhu, artinya yang semisal
dengannya, maka itulah maksudnya” [30]
b. Imam an-Nawawi dalam al-Azkar mengatakan :
“Dan para ulama telah berbeda pendapat
mengenai sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada si mati). Maka pendapat yang masyhur daripada mazhab
Syafi`i dan sekumpulan ulama bahwasanya pahala bacaan al-Quran tersebut tidak
sampai kepada si mati. Imam Ahmad bin Hanbal serta sekumpulan ulama yang lain
dan sekumpulan ashab Syafi`i (yakni para ulama mazhab Syafi`i) berpendapat
bahawa pahala tersebut sampai. Maka (pendapat) yang terpilih adalah si pembaca
al-Quran tersebut hendaklah berdoa setelah bacaannya : "Ya Allah
sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si polan."[31]
c.
Berkata Ibnu Hajar Haitamy :
“ Tidak sepatutnya berdo’a untuk
orang lain yang masih hidup atau untuk mayat dengan pahala orang berdo’a atau
pahala orang lain yang mengizinkan baginya, karena sesungguhnya pahala manusia
tidak dapat berpindah kepada orang lain dengan sebab do’a. Maka doa yang
demikian menyalahi kejadian dan oleh sebab itu terlarang. Adapun do’a dengan
menghasilkan yang semisal (yang sebanding) demikian pahala, bagi orang lain
adalah (laa baksa bihi) dibolehkan, karena itu termasuk do’a bagi saudara yang
muslim untuk mendhahirkan ghaib dan hadits-hadits menunjukkan diterimanya
dengan ini dan lainnya, sedangkan padanya tidak ada mahzur (sesuatu yang
mencegah), maka tidak ada satu aspekpun untuk pelarangannya. Bahkan kalau orang
yang berdo’a menyebut “pahala” dimana maksudnya adalah semisal pahala, tidak
terlarang pula, karena menyembunyi perkataan “misal” pada yang seperti ini
dibolehkan, masyhur dan banyak terjadi”[32]
Memperhatikan ketiga pernyataan ulama Syafi’iyah di atas, nyatalah bahwa
bahwa pendapat yang menjadi pegangan dikalangan Syafi’iyah adalah bacaan
al-Qur’an bermanfaat bagi mayat. Adapun qaul masyhur dari Syafi’i sebagaimana
telah dikutip oleh Imam al-Nawawi di atas, pada hakikatnya juga berpendapat
bahwa bacaan al-Qur’an bermanfaat bagi mayat, namun dengan syarat apabila
bacaan al-Qur’an dibaca di depan kuburan atau disertai dengan doa sesudahnya
sebagaimana akan dijelaskan pada bab “Bantahan terhadap syubhat-syubhat” sesudah
ini.
Berdasarkan keterangan-keterangan ulama
empat mazhab di atas, maka dapat disimpulkan pendapat bahwa bacaan al-Qur’an apabila
disertai dengan do’a mudah-mudahan Allah memberikan pahala bacaan tersebut
sebagaimana pahalanya diterima oleh sipembacanya merupakan pendapat yang
disepakati para ulama mazhab empat, karena hal itu termasuk dalam katagori
do’a. Perbedaan pendapat dikalangan mereka terjadi hanya pada menghadiahkan
diri pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat, ulama Hanabilah, Hanafiyah, sebagian
ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat sampai pahalanya kepada mayat,
sedangkan Imam Syafi’i dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat tidak sampai
pahalanya.
E. Bantahan terhadap beberapa syubhat tentang pembacaan
shamadiyah
Syubhat
Pertama :
Ada sebagian orang menentang pendapat sampai hadiah pahala
bacaan al-Qur’an kepada mayat dengan berargumentasi dengan hadits riwayat
Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا
من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya : Apabila
meninggal seorang manusia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang
mau berdo’a untuknya. (H.R. Muslim)[33]
Bantahan
Perlu dicatat bahwa hadits ini hanya
membicarakan amalan orang yang sudah meninggal. Sedangkan bacaan al-Qur’an yang
menjadi pembahasan kita merupakan amalan orang masih hidup, dimana orang yang
masih hidup mendo’akan sebagaimana pahala bacaan ayat al-Qur’an didapatinya
supaya juga diberikan Allah kepada orang yang sudah meninggal. Berkata Ibnu
Shalah dalam Fatawanya :
“Demikian juga hadits tersebut (hadits di
atas) tidak menunjukkan batal pendapat yang mengatakan sampai hadiah pahala
bacaan, karena hadits tersebut mengenai amalan simati. Sedangkan ini (hadiah
pahala) merupakan amalan orang lain”[34]
Penafsiran hadits ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
a.
Seseorang yang sudah meninggal, maka pahala
amalannya semua terputus kecuali tiga yang disebut dalam hadits. Yang terputus
di sini bukan amalannya, tetapi pahala amalan, karena amalan seseorang apabila
dia meninggal akan terputus tanpa kecuali.[35]
b.
Tiga yang dikecualikan tersebut adalah amalan
orang sudah meninggal, yaitu Pertama, sadaqah jariah, yakni waqaf yang
dilakukan pada saat seseorang masih hidup. Pahalanya akan terus mengalir
meskipun orang itu sudah meninggal. Kedua, ilmu yang bermanfaat, yakni
ilmu yang pernah diberikan kepada orang lain tatkala dia masih hidup dan akan
terus mengalir pahalanya kepada orang tersebut, meskipun dia sudah meninggal
dunia sepanjang ilmu itu masih dimanfaatkan orang. Ketiga, anak shaleh yang
mau berdo’a kepadanya, yakni anak yang shaleh yang merupakan hasil usaha
bimbingannya pada waktu dia masi hidup.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
hadits ini tidak relevan dengan masalah menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an.
Syubhat Kedua
:
Dalil lain yang biasa dibawa oleh orang-orang
yang menentang pendapat sampai
hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat adalah Q.S. al-Baqarah : 286, yaitu :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Artinya : Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Q.S. al-Baqarah : 268)
Bantahan :
Ayat ini hanya menjelaskan kepada kita bahwa
setiap orang melakukan sebuah amalan, maka pahala amalannya itu menjadi hak
orang yang melakukannya itu. Artinya tidak bisa kita yang melakukannya, orang
lain yang mendapatkannya. Namun karena ini menjadi hak orang yang melakukan
amalan tersebut, maka dapat saja dia menghadiahkannya untuk orang lain dalam
pengertian mendo’akan supaya orang lain juga mendapat pahala yang sama dengan
pahala yang didapatinya. Ayat ini tidak boleh dipahami bahwa seseorang yang
sudah meninggal dunia tidak dapat memperoleh pahala dari amalan orang lain,
karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan ijmak ulama sebagaimana uraian
di atas bahwa telah terjadi ijmak ulama, sadaqah, do’a dan ibadah haji
bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal.
Syubhat Ketiga :
Sebagian mereka berargumentasi dengan mengutip
firman Allah Q.S. al-Najm : 39, berbunyi :
وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya : Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm :
39)
Bantahan :
Berargumentasi dengan ayat ini sudah
dibantah pada penjelasan sebelum ini, yaitu pada bab “Amalan-amalan yang
bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal.”
Syubhat Ke empat :
Mungkin karena kehabisan argumentasi, kelompok penentang pendapat sampai hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat sering
mengatakan kira-kira begini : “Yang sering menghadiahkan pahala bacaan
al-Qur’an kepada mayat di Indonesia dan Aceh khususnya adalah pengikut Mazhab
Syafi’i, padahal Imam Syafi’i sendiri mengatakan : “Pahala bacaan al-Qur’an
tidak sampai kepada mayat”.
Bantahan
Perkataan Imam Syafi’i yang mereka maksudkan
itu adalah sebagaimana disebut dalam kitab al-Fatawa karangan Imam al-Nawawi :
“Terjadi khilaf ulama mengenai pahala bacaan al-Qur’an. Ahmad dan
sebagian ashhab Syafi’i mengatakan sampai pahala tersebut kepada mayat. Syafi’i
dan kebanyakan ulama mengatakan tidak sampai.”[36]
Dalam
Syarah Muslim, Imam al-Nawawi mengatakan :
“Yang
masyhur dari mazhab Syafi’i tidak sampai pahala qira-ah kepada mayat”.[37]
Argumentasi mereka ini kita bantah bahwa qaul yang masyhur dari syafi’i tersebut di atas
diposisikan apabila membaca al-Qur’an tidak dihadapan mayat atau dengan tidak
mendo’akannya. Pemahaman ini berdasarkan amalan yang diriwayat dari Imam Syafi’i,
bahwa beliau sendiri pernah berziarah ke makam Imam al-Laits bin bin Sa’ad dan
pada saat itu beliau membaca zikir dan al-Qur’an al-Karim. Muhyiddin
Abdusshamad telah mengutip riwayat ini dari Kitab
al-Dzakirah al-Tsaminah Halaman 64.[38]
Imam Syafi’i sendiri juga pernah menyatakan pendapat yang bersesuaian dengan
riwayat di atas sebagaimana dikutip oleh al-Nawawi, yaitu :
“Dianjurkan
membaca sesuatu dari al-Qur’an pada kuburan dan jika dengan khatam, maka itu
lebih baik.”[39]
Al-Nawawi juga telah mengutip perkataan Imam
Syafi’i di atas dalam kitab beliau, al-Azkar.[40]
Adapun dalil pemahaman bahwa qaul Imam Syafi’i tersebut di atas diposisikan
apabila membaca al-Qur’an dengan tidak mendo’akannya sesudahnya, adalah karena pembacaan al-Qur’an yang disertai
dengan doa termasuk dalam katagori do’a supaya bacaan al-Qur’an yang sudah
dibaca dapat bermanfaat bagi mayat. Sedangkan do’a bermanfaat bagi mayat dengan
ijmak ulama. Tentu Imam Syafi’i tidak mungkin mengingkari ijmak ulama ini.
Dengan demikian, sebagai berbaik sangka kita kepada ulama sekaliber Imam
Syafi’i, maka qaul Imam Syafi’i tersebut di atas diposisikan apabila membaca
al-Qur’an dengan tidak mendo’akannya sesudahnya.
Bersambung ke bag. 2
[1]
Ahmad Shawi, Tafsir al-Shawi ‘ala Jalalain, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 364
[2]
An-Nawawi,
al-Fatawa, Hal. 47
[3] Zainuddin al-Malibary, Fathul
Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. III, Hal. 219
[4]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia,
Juz. II, Hal. 696, No. Hadits : 1004
[6] Dr
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 550
[7] Ibnu
Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir,
Hal. 146
[8] Imam
Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia,
Juz. II, Hal. 803, No. Hadits : 153
[10] Ibnu
Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 42
[11]
Al-Qurthubi, al-Tazkirah, Maktabah Dar al-Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal.
289-291
[12]
Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 95-96,
No. Hadits : 1361
[13]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia,
Juz. I, Hal. 240-241, No. Hadits : 292
[14]
Al-Qurthubi, Tazkirah, Darul Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal. 276
[15]
Waliuddin al-Iraqi, al-Ajwabah al-Mardhiyah, Maktabah al-Tau’iyah
al-Islamiyah, Hal. 63
[16]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia,
Juz. II, Hal. 697, No. Hadits : 1005
[17]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia,
Juz. II, Hal. 697, No. Hadits : 1006
[18]
Al-Qurthubi, al-Tazkirah, Maktabah Dar al-Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal.
277-279
[19]
Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 133,
No. Hadits : 5749
[20]
Al-Shakawy, al-Ajwabah al-Mardhiah, Darul Rayyah, Riyadh, Juz. I, Hal. 169
[21]
Al-Shakawy, al-Ajwabah al-Mardhiah, Darul Rayyah, Riyadh, Juz. I, Hal. 171
[22]
Al-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Hal. 147
[23]
Muhammad al-Zarqani, Syarh al-Baiquniyah, dicetak pada hamisy
Syarh ‘Athiyah al-Ajhuriyah ‘ala Syarh
al-Baiquniyah, al-Haramain, Singapura, Hal. 53
[24] Dr
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 551
[25]
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar , Maktabah
Syamilah, Juz. II, Hal. 243
[26]
Mashur
al-Bahuti al-Hanbali, al-Raudh al-Murabbi’ Syarh Zaad al-Mustaqni’,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 192
[27]
Syekh al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 423
[28]
Ahmad
al-Dardir, al-Syarh al-Kabir, dicetak bersama Hasyiah al-Dusuqi
‘ala al-Syarh al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 423
[29]
Syekh al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 423
[30] Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin,
dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal.
222
[31]
An-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Hal. 150
[32] Ibnu Hajar Haitamy, Fatawa al-Kubra
al-fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz IV, Hal. 20
[33]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia,
Juz. III, Hal. 1255, No. Hadits : 1631
[34]
Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 43
[35]
Lihat Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal.
157
[36]
An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 47
[37]
Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah
at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 220-221
[38]
Muhyiddin Abdusshamad, al-Hujjaj al-Qathi’ah fi Shihah al-Mu’taqidaat
wal-Amaliyaat al-Nahdliyah, Khalista, Surabaya, Hal. 166.
[39]An-Nawawi,
Riyadhusshalihin, Dar Ibnu al-Jauzy, Hal. 363
[40]
Al-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Hal. 147
Yang ber argumen tidaksampaipahala samadiah(bacaan alquran)untuk orangmati...suruhdia matidulu..entar kutakirimdoa...kalaungaksampai suruhtelponcepat
BalasHapusBagaimana Kalau Bapak yang Mati duluan terus Bapak minta ijin sebentar pulang untuk mengabarkan nya kepada ummat yang masih hidup apakah dosa2 Bapak terhapus dengan doa2 yang dikirimkan.
Hapus