A. Pengertian Tafa-ul
Akar kata tafa-ul
adalah fa’l. Menurut Kamus Mahmud Yunus,
makna fa’l adalah tanda akan
baik. Sedangkan tafa-ul adalah menenungi tanda akan baik, optimis. [1]
Dalam Qamus Idris Marbawy Fa’l berarti sempena. Sedangkan tafa-ul diartikan
mengambil sempena atau lawan tasya-um (menganggap sial)[2].
Sempena (bahasa melayu) artinya tanda
baik. Penggunaan istilah sempena untuk tafa-ul sering terdengar dalam
pembicaraan masyarakat Aceh sehari-hari. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah, fa’l :
Seseorang yang sakit mendengar orang lain berkata : “Hai salim (yang selamat)
atau seseorang yang membutuhkan sesuatu, mendengar orang lain berkata : “ Hai
wajid (mendapatkan sesuatu).[3]
Lalu orang sakit atau yang membutuhkan sesuatu itu terbersit dalam hatinya
mengharapkan kesembuhan atau mendapatkan harapannya, sebagaimana penjelasan
Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim.[4]
B. Pengertian dan macam-macam
tafa-ul dalam Islam
Berdasarkan
penulusuran dalam berbagai kitab fiqh, ditemukan beberapa contoh tafa-ul dalam
Islam, antara lain :
1.
memalingkan rida’ dalam khutbah shalat minta hujan sebagai tafa-ul
berobah keadaan. Berikut keterangan para ulama mengenai ini, antara lain :
a.
Berkata Ibrahim Bajury :
“Perkataan pengarang :
“memalingkan dst” (khatib memalingkan rida’nya pada khutbah shalat istisqa’)
artinya adalah hukumnya sunat untuk tafa-ul (berharap baik) berobah keadaaan
dari kesusahan kepada kemudahan, karena Rasulullah SAW mencintai tafa-ul yang
baik.”[5]
b.
Al-Bakri al-Damyathi mengatakan :
“Khatib memalingkan rida’nya pada saat ini
(pada saat khutbah shalat minta hujan) untuk tafa-ul berobah keadaan, demikian
yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.” [6]
c.
Berkata an-Nawawi :
“Hikmah memaling rida’ pada khutbah shalat minta hujan adalah
tafa-ul berobah keadaan kepada keadaan subur dan kelapangan.”[7]
Keterangan ulama ini sesuai dengan hadits Nabi SAW
di bawah ini :
1). Sabda Nabi SAW :
عَنْ
عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يوما خرج يستسقي ، قال : فحول
إلى الناس ظهره ، واستقبل القبلة يدعو ، ثم حول رداءه
Artinya : Dari ‘Abad ibn Tamim dari pamannya, beliau
berkata : “Aku melihat Nabi SAW suatu hari keluar untuk shalat istisqa’”.
Kemudian paman Ibn Tamim berkata lagi : “Nabi SAW membelakangkan manusia dan
menghadap qiblat sambil berdo’a. Kemudian memalingkan rida’nya.”(H.R.
Bukhari) [8]
2). Sabda Nabi
SAW :
استسقى رسول الله صلى الله عليه وسلم وحول رداءه ليتحول القحط
Artinya : Rasulullah SAW Shalat istisqa’,
pada saat itu memalingkan rida’nya supaya dapat berobah musim kemarau (H.R.
Darulquthny [9]
)
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalany hadits ini
diriwayat oleh Darulquthni dan al-Hakim dari jalan Ja’far bin Muhammad bin Ali
dari bapaknya dari Jabir dengan perawi-perawinya terpercaya. Namun Darulquthny
telah mentarjihkan keadaan hadits ini adalah mursal. [10]
2.
menengadahkan tangan dengan
belakang tangan menghadap ke atas dalam berdo’a setelah shalat minta hujan
sebagai tafa-ul berobah dari keadaan yang nyata kepada yang tersembunyi atau
isyarat turun hujan ke bumi sebagaimana keterangan Ibnu Hajar al-Asqalany di
bawah ini :
“Adapun sifat dua tangan
dalam berdo’a pada shalat Istisqa’, manakala Imam Muslim telah meriwayat dari
Tsabit dari Anas : “bahwa Rasulullah SAW setelah shalat istisqa’ maka mengisyarat dengan belakang dua telapak
tangannya kelangit.” dan Abu Daud dari
hadits Anas pula : “bahwa Rasulullah shalat istisqa’ seperti ini dan
menengadahkan tangannya serta menjadikan bathin tangan keduanya menghadap bumi
sehingga aku melihat putih ketiaknya” , maka berkata an-Nawawi : “Para ulama
mengatakan : “Sunnat pada setiap do’a untuk menghilangkan bala mengangkatkan
dua tangan dengan menjadikan belakang dua tangan mengahadap kelangit dan
apabila berdo’a meminta dan menghasilkan sesuatu menjadikan bathin dua
tangannya kelangit. Berkata lainnya : “Hikmah mengisyarah belakang dua tangan
pada shalat istisqa’ tidak pada selainnya adalah untuk tafa-ul memalingkan
keadaan yang nyata kepada yang tersembunyi sebagaimana dikatakan pada
memalingkan rida’ atau itu adalah isyarah kepada sifat yang di minta, yaitu
turun mendung (hujan) ke bumi.” [11]
Berdo’a dengan kaifiyat
seperti ini sesuai dengan hadits dari Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ
بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW setelah shalat istisqa’ maka mengisyarat dengan belakang dua telapak
tangannya kelangit.(H.R. Muslim)[12]
3.
tidak memecah tulang daging aqiqah
sebagai tafa-ul terhindar sang anak dari segala penyakit sebagaimana perkataan
al-Nawawi berikut :
“Tidak dipecah tulang
binatang aqiqah sebagai tafa-ul untuk keselamatan anak dari segala penyakit.”[13]
Al-Bakri al-Damyathi
mengatakan :
“Disunnatkan tidak memecahkan tulang
binatang aqiqah selama memungkinkan, baik oleh yang melakukan aqiqah maupun
pemakannya sebagai tafa-ul untuk keselamatan anggota tubuh anak.”[14]
Perintah tidak memecah tulang daging aqiqah ini berdasarkan perkataan
Aisyah r.a. :
بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتنان و عن الجارية شاة تقطع جدولا و لا
يكسر لها عظم
Artinya : Tetapi yang sunnah adalah
sebaiknya untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu
ekor kambing. Dipotong anggota badannya tetapi tidak pecahkan tulangnya. (H.R. al-Hakim, beliau
mengatakan, hadits ini shahih isnadnya)[15]
4.
memasak daging aqiqah dengan
sesuatu yang manis sebagai tafa-ul baik akhlak sang anak sebagaimana keterangan
al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhazzab :
“Jumhur ulama mengatakan dimasak daqing aqiqah dengan suatu yang
manis untuk tafa-ul manis akhlak anak, berdasarkan hadits dalam al-Shahih, Sesungguhnya Nabi SAW senantiasa
mencinta yang manis dan madu” [16]
Hadits dimaksud, dalam Bahasa Arab berbunyi :
sesuai dengan hadits :
أن النبي صلى الله عليه وسلم
كان يحب الحلوى والعسل
Artinya :
Sesungguhnya Nabi SAW senantiasa mencinta yang manis dan madu. (H.R.
Ahmad)[17]
Dalam Shahih
Bukhari berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يُحِبُّ الْحَلْوَاءَ وَالْعَسَلَ.
Artinya : Dari Aisyah r.a
berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW senantiasa mencinta yang manis dan madu (H.R.
Bukhari)[18]
5.
menyiram kuburan dengan air
suci menyucikan dan sejuk sebagai tafa’ul mudah-mudahan dapat menyejukkan orang
dalam kuburan sebagaimana keterangan al-Bakri
al-Damyathi di bawah ini :
“Dan (disunnatkan)
menyiram kubur dengan air agar debu-debu
tanah tidak ditiup angin dan karena Nabi SAW melakukan demikian pada kubur
anaknya, Ibrahim sebagaimana diriwayatkan oleh Syafi`i. Dan juga pada kubur
Sa`ad sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Nabi SAW telah
memerintahkan dengannya pada kubur
Utsman bin Madzh`uun sebagaimana diriwayatkan oleh at-Turmidzi. Dan yang mustahab adalah air
tersebut suci lagi mensucikan dan sejuk, sebagai tafa`ul mudah-mudahan Allah menyejukkan kubur si mati
[19]
Perintah menyiram air ini
berdasarkan perbuatan Nabi SAW yang melakukan hal itu
pada kubur anak beliau Ibrahim sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi`i dan
juga pada kubur Sa`ad sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Nabi SAW juga telah memerintahkan menyiram
air pada kubur 'Utsman bin Madzh`uun sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bazar.[20]
6. Meniup/menghembus kepada si sakit ketika dijampi dengan "mu’awwizat" (Surat al-Nash dan al-Falaq). Menurut
Qadhi ’Iyadh, tindakan meniup/menghembus tersebut bisa jadi sebagai tafa-ul supaya penyakit hilang
dari si sakit sebagaimana lepasnya angin dari mulut orang yang melakukan
jampi-jampi.[21].
Perintah meniup/menghembus tersebut berdasarkan sabda Nabi SAW :
عن
عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا مرض أحد من أهله نفث عليه
بالمعوذات فلما مرض مرضه الذي مات فيه جعلت أنفث عليه وأمسحه بيد نفسه لأنها كانت
أعظم بركة من يدي
Artinya
: Dari Aisyah ra., beliau berkata: “Apabila ada salah seorang anggota keluarga
beliau yang sakit, beliau meniupkan kepadanya dengan membacakan "mu’awwizat".
Ketika beliau menderita sakit yang menyebabkan beliau wafat, aku juga meniupkan
kepada beliau dan mengusapkan dengan tangan beliau sendiri. Karena tangan
beliau tentu lebih besar berkahnya daripada tanganku” (H.R. Muslim)[22]
7. Rasulullah senang mengkanankan suatu perbuatan
sebagai tafa-ul mudah-mudahan termasuk dalam kelompok kanan. Ini telah disebut
oleh Ibnu Bathal dalam kitabnya, Syarah Shahih Bukhari.[23]
8. Rasulullah
SAW menyapu dengan tangan kanan beliau pada tempat sakit sebagian keluarga beliau
dengan membaca Surat
al-Nash dan al-Falaq. Menurut al-Thabari adalah merupakan tafa-ul untuk menghilangkan
penyakit tersebut.[24] Keterangan
bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan tindakan tersebut adalah hadits di bawah
ini :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ
يُعَوِّذُ بَعْضَ أَهْلِهِ يَمْسَحُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW mejampi
sebagian keluarga beliau dengan Surat
al-Nash dan al-Falaq seraya menyapu dengan tangan kanan beliau pada tempat
sakit. (H.R. Bukhari)[25]
9. Tafa-ul dengan nama yang
baik sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW pada ketika Suhail (bermakna mudah )
datang menemui beliau dengan mengatakan :
“Sungguh semoga mudah urusanmu”
[26]
Peristiwa ini
dapat disimak pada hadits berikut :
لَمَّا جَاءَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَقَدْ سَهُلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ
Artinya : Manakala Suhail bin ‘Amr
datang menemui Nabi SAW, Nabi SAW bersabda “Sungguh semoga mudah urusanmu” (H.R.
Bukhari)[27]
Al-Khuthabi mengatakan,
hadits di atas menjadi dalil tafa-ul dengan nama yang baik merupakan perbuatan
yang dianjurkan.[28]
10. Dan
banyak lagi contohnya yang tidak mungkin disebut dalam tulisan singkat ini.
Berikut ini hadits-hadits Nabi SAW yang menjelaskan mengenai tafa-ul
yang menjadi pembahasan kita dalam tulisan ini, antara lain :
1. Sabda Nabi SAW :
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا
وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Artinya : Tidak ada penularan
(tanpa kehendak Allah) dan tidak ada sial dan yang membuatku terkagum adalah
al-fa’lu. Para Sahabat bertanya : “Apa itu
al-fa’lu?” Rasulullah bersabda : “al-fa’lu yaitu kalimat yang baik.” (H.R. Bukhari) [29]
2. Sabda Nabi SAW :
لا عدوى ولا طيرة .
ويعجبني الفأل . قال قيل : وما الفأل ؟ قال : الكلمة الطيبة
Artinya : Tidak ada penularan
(tanpa kehendak Allah) dan tidak ada sial dan yang membuatku terkagum adalah
al-fa’lu. Ada
yang bertanya : “Apa itu al-fa’lu?” Rasulullah bersabda : “al-fa’lu yaitu
kalimat yang baik.” (H.R. Muslim) [30]
Menurut Imam an-Nawawi dalam mensyarah hadits di atas dan beberapa hadits
riwayat muslim yang senada dengan hadits di atas, mengatakan bahwa termasuk
dalam contoh tafa-ul adalah tafa-ul orang sakit dengan apa yang didengarnya
seperti sisakit mendengar ada orang yang mengatakan : : “Hai salim” (yang
selamat) atau orang lagi membutuhkan sesuatu, lalu mendengar ada orang yang
berkata : “Hai wajid” (yang mendapati kebutuhannya). Maka terbersit dalam
hatinya mengharap kesembuhan atau mendapatkan kebutuhannya. [31]
3. Sabda
Rasulullah SAW :
لا عدوى
ولا طيرة وأحب الفأل ،
قالوا يا رسول الله : وما الفأل ؟ قال : الكلمة الطيبة
هذا حديث حسن صحيح
Artinya : Tidak ada penularan (kecuali atas kehendak Allah) dan tidak
ada sial dan aku menyukai fa’l. Mereka bertanya : Hai Rasulullah apa itu fa’l. Rasulullah menjawab : “kalimat
yang baik”.hadits ini adalah hasan shahih.(H.R. Turmidzi) [32]
Tiga buah hadits di atas menjelaskan tafa-ul dalam bentuk perkataan. Lalu
bagaimana dengan tafa-ul dalam bentuk perbuatan ?. Tafa-ul dalam bentuk
perbuatan dianjurkan dengan diqiyaskan kepada tafa-ul dalam bentuk perkataan.
Kalau tafa-ul dalam bentuk perkataan saja dianjurkan dalam Islam, tentunya
tafa-ul dalam bentuk perbuatan lebih patut dan lebih layak disyari’atkan.
Karena perkataan yang baik pada tafa-ul dalam bentuk perkataan merupakan simbol
harapan kebaikan, maka demikian juga perbuatan yang baik juga dapat menjadi
simbol harapan kebaikan orang melakukan tafa-ul. Penjelasan seperti ini telah
diisyaratkan oleh al-Muhallab, salah seorang Tabi’in, beliau berkata :
”Memaling rida’ (dalam khutbah shalat istisqa’) merupakan tafa-ul untuk
memalingkan keadaan yang ada (kesukaran). Apakah tidak kamu memeperhatikan
bahwa Nabi SAW mengagumi tafa-ul yang baik apabila mendengan suatu perkataan ?
Maka bagaimana lagi kalau melihat sebuah perbuatan ?. Padanya dalil menggunakan
tafa-ul dalam beberapa perkara (maksudnya : ada dalam bentuk perkataan dan ada
juga dalam bentuk perbuatan).”[33]
Pengqiyasan tersebut di atas didukung pula
oleh mutlaqnya maksud hadits Nabi SAW yaitu :
و كان يعجبه الفأل الحسن
Saiyidina Ali dan Ibnu Mas’ud
telah menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa Rasullulah SAW malakukan tayaamun
(mengkanan-kanankan dalam perbuatannya) pada wudhu’nya adalah atas jalan
tafa-ul dengan ashab al-yamin (kelompok orang yang berada dipihak kanan)
yaitu ahli syurga.[35].
Tayamun di sini tentunya merupakan suatu perbuatan, bukan perkataan.
Senada dengan hadits riwayat
al-Hakim di atas adalah riwayat yang disebut dalam kitab Musnad Ahmad, yaitu :
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يحب
الفال الحسن ويكره الطيرة
Artinya : Rasulullah SAW mencinta tafa-ul yang baik dan membenci
anggapan sial (H.R. Ahmad)[36]
Khathib Syarbaini dalam dua kitab
beliau, Iqnaq dan Mughni al-Muhtaj telah menjadikan hadits ini sebagai dalil
tafa-ul dalam bentuk perbuatan, yaitu memalingkan rida’ dalam khutbah shalat
Istisqa’.[37]
Berdasarkan penjelasan di atas ini pulalah para ulama sebagaimana tersebut
sebelum ini, memfatwakan disyari’atkan tafa-ul dalam bentuk perbuatan
sebagaimana disyari’atkannya dalam bentuk perkataan sebagaimana beberapa contoh
yang telah disebut di atas.
Berdasarkan makna tafa-ul secara bahasa, dalil-dalil dan contoh-contoh
tafa-ul di atas, menurut hemat penulis, maka tafa-ul pada syara’ kurang lebih
adalah harapan akan
datang kebaikan atau rahmat yang disebabkan oleh perkataan atau perbuatan
tertentu. Namun demikian, ada juga ulama yang mengartikan bahwa tafa-ul itu
terbagi kepada tafa-ul pada sesuatu yang menggembirakan dan tafa-ul pada
sesuatu yang tidak menyenangkan. Kebiasaannya, maknanya adalah pada sesuatu
yang tidak menyenangkan.[38]
Berdasarkan pengertian yang kedua ini, maka tafaul yang dianjurkan adalah
tafa-ul pada sesuatu yang menggembirakan.
C. Perbedaan Tafa-ul dengan Tasya-um
Tasya-um sering diterjemahkan sebagai menganggap
sial sesuatu. Prof. Mahmud Yunus dalam kamusnya, Kamus Arab-Indonesia memberi
makna ; sial, malang, celaka. Tindakan tasya-um dilarang dalam agama,
karena melakukan tasya-um berarti berburuk sangka kepada Allah SWT tanpa
sebab yang pasti. Tasya-um berbeda dengan tafa-ul, karena tafa-ul
merupakan tindakan berbaik sangka kepada Allah SWT. Al-Hafidh Ibnu Hajar
al-Asqalany, salah seorang ahli hadits terkenal mengatakan :
” Tasya-um merupakan
tindakan berburuk sangka kepada Allah SWT tanpa sebab yang pasti. Sedangkan
tafa-ul adalah tindakan berbaik sangka kepada Allah SWT. Orang yang beriman
diperintahkan untuk berbaik sangka kepada Allah pada setiap keadaan.” [39]
Tasya-um ini oleh orang Arab menyebutnya juga
sebagai al-thiyarah atau al-tathaiyur. Perkataan al-tathaiyur
berasal dari kata al-thiyarah yang asal maknanya adalah burung. Tasya-um
disebut dengan al-thiyarah adalah karena orang-orang Arab pada zaman
Jahiliyah apabila mau berangkat ke suatu tempat karena suatu kebutuhan, apabila
melihat burung terbang di samping kanannya, maka mereka merasa gembira karena
kepergiannya itu dianggap ada keberuntungan. Sebaliknya, kalau burung tersebut
terbang sebelah samping kirinya, maka dianggap sebagai sial (tasya-um)
dan mereka menunda keberangkatannya.[40]
Untuk lebih memahami pengertian
tasya-um, maka berikut ini beberapa contoh tasya-um yang disebut
oleh ulama kita, antara lain :
1. Tidak menziarahi
orang sakit pada Hari Sabtu karena menganggap sebagai hari sial dan dapat
menyebabkan kematian kepada sisakit[41]
2. Tidak melakukan
musafir pada bulan shafar karena menganggap bulan shafar merupakan bulan sial,
menganggap sial Hari Rabu dan hari-hari lemah pada akhir musim dingin dan tidak
melakukan pernikahan pada bulan Syawal karena bulan Syawal dianggap sebagai
bulan sial.[42]
3. Menganggap sial
bilangan (angka).[43]
4. Orang Arab pada zaman
Jahiliyah apabila mau berangkat ke suatu tempat karena suatu kebutuhan, apabila
melihat burung terbang di samping kanannya, maka mereka merasa gembira karena
kepergiannya itu dianggap ada keberuntungan. Sebaliknya, kalau burung tersebut
terbang sebelah samping kirinya, maka dianggap sebagai sial (tasya-um)
dan mereka menunda keberangkatannya sebagaimana disebut di atas.
Berdasarkan pengertian tafa-ul
dan tasya-um di atas, dapat dipahami sebagai berikut :
1. Tafa-ul adalah
harapan datang sebuah kebaikan. Sedangkan tasya-um adalah anggapan sial
sesuatu.
2. Tafa-ul berbaik
sangka kepada Allah SWT. Sedangkan tasya-um adalah berburuk sangka
kepada Allah SWT
3. Tafa-ul dianjurkan
dalam Islam. Sedangkan tasya-um dilarang.
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
Hidakarya, Jakarta, Hal. 306
[2]
Idris Marbawy, Qamus Idris Marbawy, Bangkul Indah, Surabaya , Juz.I I, Hal. 75
[3]
Ar-Razy, Mukhtar al-Shihah, Darul Fikri, Beirut , Hal. 447
[4] An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar
Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut ,
Juz. XIV, Hal. 219
[5] Ibrahim Bajury, Hasyiah al-Bajury,
al-Haramain, singapura, Juz. I, Hal. 233
[6] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 264
[7] An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin,
dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. I, Hal. 317
[9]
Darulquthni, Sunan al-Darulquthni, Darul ma’rifah, Beirut , Juz. II, Hal. 66
[10]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut , Juz. II, Hal. 499
[12] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 62, No. Hadits 896
[13] An-Nawawi, Minhaj al-Thalibin,
dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. IV, Hal. 256
[14] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 336
[15] Al-Hakim, al-Mustadrak,
Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 266, No. Hadits : 7595
[16] An-Nawawi, Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. VIII, Hal. 322
[17] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad,
Maktabah Syamilah, Juz. XXXX, Hal. 366, No Hadits : 24316
[18] Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 100, No. Hadits : 5431
[19] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 119
[20] Zakariya al-Anshari, Asnaa
al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 328
[21] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath
al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 197
[22] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 1723, No. Hadits : 2192
[23] Ibnu Bathal, Syarah Shahih
Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 262
[24] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath
al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 207
[25] Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 172, No. Hadits : 5743
[26] Al-Khuthabi, Ma’alim al-Sunan,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 330
[27] Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 255
[28] Al-Khuthabi, Ma’alim al-Sunan,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 330
[29] Bukhari, Shahih Bukhari,
Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 139, No. Hadits : 5776
[30]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan , Indonesia ,
Juz. IV, Hal. 1746, No. Hadits : 2224
[31]
An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut , Juz. XIV, Hal. 219
[32] Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi,
Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 85, No. Hadits : 1664
[33]
Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz.
III, Hal. 10
[34] Al-Hakim, al-Mustadrak,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 86, No. Hadits : 89
[35] Ibnu Bathal, Syarah Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 262
[36] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin
Hanbal, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 322, No. Hadits : 8374
[37]
Khathib Syarbaini, al-Iqnaq, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 305 dan Mughni al-Muhtaj, Maktabah
Syamilah, Juz. IV, Hal. 179
[38]
Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 377
[39]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 215
[40] Al-Sanady, Hasyiah al-Sanady ‘ala
Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, I, Hal. 77
[41] Ibnu Hajar al-Haitamy, Al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyah, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 31
[42] Isma’il Haqqi bin Mustafa al-Istambuly
al-Hanafy, Tafsir Ruh al-Bayan, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
325
[43] Dr Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir,
Maktabah Syamilah, Juz. XXVII, Hal. 162
Assalamualaikum tgk, saya setiap tahun sekali atau ada suatu peristiwa yang mana menurut saya itu suatu keadaan/hal yang menggembirakan maka untuk sarna bersyukur, saya memotong rambut saya menjadi pendek, atau plontos, apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam tafaul?
BalasHapusThank you for nice information. Please visit our web:
BalasHapusGhozi
Ghozi
thank you for nice information ; UMJ Modern
BalasHapus