Renungan

Jumat, 28 Februari 2014

Imam menjihar atau membaca secara sirr kalimat sanjungan dalam qunut ?



Sebagaimana dimaklumi dari kitab-kitab fiqh, tsana’ (sanjungan) dalam qunut adalah zikir yang dimulai dari  Fa innaka taqzhi” sampai dengan “wa atuubu ilaika”, lengkapnya sebagai berikut :
فإنك تقضي ولا يقضى عليك، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ فلك الحمد على ما قضيت أستغفرك وأتوب إليك
namun sering muncul pertanyaan dari sebagian masyarakat, apakah imam shalat membaca ucapan sanjungan dalam qunut tersebut secara jihar atau sirr (cukup didengar telinga sendiri) ?. Pertanyaan ini muncul karena melihat kebanyakan imam shalat di Aceh membaca ucapan sanjungan dalam qunut dalam shalat Subuh atau pada witir dalam bulan Ramadhan secara sirr. Sementara itu, ada sebagian kecil santri-santri dayah Aceh yang kritis berpendapat imam hendaknya membaca ucapan sanjungan tersebut secara jihar.
Menjawab pertanyaan ini, mari kita simak keterangan-keterangan ulama yang mu’tabar dari kalangan Syafi’iyah sebagai berikut :
1.        Disebut dalam Tuhfah al-Muhtaj :
(وَ) الصَّحِيحُ (أَنَّهُ) إذَا جَهَرَ بِهِ الْإِمَامُ (يُؤَمِّنُ الْمَأْمُومُ) جَهْرًا (لِلدُّعَاءِ) لِلِاتِّبَاعِ ....الخ (وَيَقُولُ الثَّنَاءُ) سِرًّا وَهُوَ الْأَوْلَى وَأَوَّلُهُ أَنَّك تَقْضِي إلَخْ أَوْ يَسْكُتُ مُسْتَمِعًا لِإِمَامِهِ أَوْ يَقُولُ أَشْهَدُ
“Menurut pendapat shahih, sesungguhnya apabila imam menjiharkan qunut, maka makmum mengatakan “amin” secara jihar untuk do’a, karena mengikuti Nabi…dst, dan makmum mengucapkan sanjungan secara sirr, ini lebih utama. Awal dari ucapan sanjungan adalah : “innaka taqzhi …dst” atau diam mendengar imamnya atau mengatakan “Asyhadu”.[1]

Dari keterangan Tuhfah al-Muhtaj di atas, dapat dipahami apabila imam shalat menjihar qunut, maka makmum membaca ‘amiin” untuk do’a yang dibaca imam, sedangkan dalam hal ucapan sanjungan, maka makmum membaca sanjungan secara sirr (ini lebih utama) atau diam mendengar bacaan imam ataupun mengatakan “asyhadu”. Perkataan pengarang Tuhfah al-Muhtaj “diam mendengar imamnya” menunjukkan bahwa qunut yang dibaca imam secara jihar di atas adalah mencakup ucapan sanjungan, karena tidak bermakna perkataan pengarang tersebut seandainya ucapan sanjungan dibaca imam secara sirr. Al-hasil keterangan di atas, menjelaskan kepada kita bahwa imam dalam qunut shubuh sunnah membaca qunut, termasuk ucapan sanjungan secara jihar. Kesimpulan ini lebih tegas dapat dipahami dari keterangan-keterangan di bawah ini.

2.    Dalam Nihayah al-Muhtaj disebutkan :
(وَ) أَنَّهُ (يَقُولُ الثَّنَاءَ) سِرًّا وَهُوَ مِنْ فَإِنَّك تَقْضِي إلَى آخِرِهِ، أَوْ يَسْتَمِعُ لَهُ لِأَنَّهُ ثَنَاءٌ وَذِكْرٌ لَا يَلِيقُ بِهِ التَّأْمِينُ وَالْمُشَارَكَةُ أَوْلَى كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ، وَالثَّانِي يُؤَمِّنُ فِيهِ أَيْضًا، وَإِذَا قُلْنَا بِمُشَارَكَتِهِ فِيهِ فَفِي جَهْرِ الْإِمَامِ بِهِ نَظَرٌ، يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ: يُسِرُّ بِهِ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِمَّا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ، وَيُحْتَمَلُ وَهُوَ الْأَوْجَهُ الْجَهْرُ بِهِ كَمَا إذَا سَأَلَ الرَّحْمَةَ أَوْ اسْتَعَاذَ مِنْ النَّارِ وَنَحْوِهَا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ وَيُوَافِقُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ وَلَا يُؤَمِّنُ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوعِ.
“Sesungguhnya makmum membaca sanjungan secara sirr, yaitu mulai dari “fainnaka taqzhi” sampai akhirnya atau mendengar bacaan imam, karena itu adalah sanjungan dan zikir yang tidak layak dibacakan amin. Namun musyarakah dengan imam (membaca ucapan sanjungan sebagaimana imam membacanya) lebih utama  sebagaimana dalam al-Majmu’. Pendapat yang kedua, makmum juga membaca amin. Apabila kita berpendapat dengan pendapat musyarakah makmum dengan imam, maka dalam hal jihar imam ucapan sanjungan ada tinjauan ; ada kemungkinan dikatakan imam membaca secara sirr sebagaimana zikir-zikir yang musyarakah lainnya dan ada kemungkinan imam membaca secara jihar, ini merupakan pendapat yang kuat sebagaimana imam berdoa meminta rahmat atau selamat dari api neraka dan seumpama lainnya. Maka imam menjiharkan ucapan sanjungan itu dan makmum musyarakah dengan imam serta tidak membaca amin sebagaimana al-Nawawi mengatakannya dalam al-Majmu’.[2]

3.        Dalam Hasyiah Qalyubi disebutkan :
قَوْلُهُ: (وَأَنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ) أَيْ فِي الْجَهْرِيَّةِ وَالسِّرِّيَّةِ وَلَوْ قَضَاءً كَصُبْحٍ أَوْ وَتْرٍ نَهَارًا بِأَنْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ وَهُوَ فِيهِ أَوْ قَبْلَهُ، وَشَمَلَ الْقُنُوتُ الدُّعَاءَ وَالثَّنَاءَ وَلِلنَّازِلَةِ وَغَيْرِهِ وَهُوَ كَذَلِكَ
“Perkataan pengarang : “Sesungguhnya imam menjiharkan qunut” maksudnya pada shalat jihar dan shalat sirr, meskipun shalat itu qadha seperti Subuh atau shalat witir pada siang hari, yakni pada saat setelah terbit matahari, imam dalam shalat atau sebelum siang. Qunut tersebut mencakup do’a dan sanjungan dan juga mencakup qunut nazilah dan lainnya. Hal itu memang demikian.”[3]

4.        Dalam Hasyiah Umairah disebutkan :
قَوْلُ الْمَتْنِ: (وَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ) أَيْ حَتَّى بِالثَّنَاءِ
“Perkataan matan “Sesungguhnya imam menjiharkan qunut” maksudnya termasuk ucapan sanjungan.”[4]

Kesimpulan
Imam apabila menjiharkan qunut, maka sunnah menjihar semua do’a atau zikir yang ada dalam qunut, termasuk ucapan sanjungan. Pada waktu imam membaca ucapan sanjungan secara jihar, maka makmum membaca juga ucapan sanjungan tersebut secara sirr (ini lebih utama) atau diam mendengar bacaan sanjungan imam atau membaca “asyhadu”.


[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 67
[2] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 507
[3] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 158
[4] ‘Umairah, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 158

Sabtu, 22 Februari 2014

Silsilah Keturunan Nabi Muhammad SAW ke atas



Dalam kitab Nurul Yaqin karya Khuzari Bek dijelaskan sebagai berikut :
1.      Nabi Muhammad SAW anak Abdullah dari isterinya Aminah binti Wahab al-Zahriyah al-Quraisyiyah.
2.      Abdullah anak dari Abdul Muthallib dari isterinya Fatimah bin ‘Amr al-Makhzumiyah al-Quraisyiyah. Abdul Muthallib ini merupakan seorang tokoh besar Quraisy yang menjadi rujukan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan kepentingan-kepentingan orang-orang Quraisy.
3.      Abdul Muthallib anak dari Hasyim dari isterinya Salma binti Amr al-Najariyah al-Khuzrajiyah.
4.      Hasyim anak dari Abdul Manaf dari isterinya Atikah binti Murrah al-Salamiyah.
5.      Abdul Manaf anak dari Qushai dari isterinya Hayy binti Halil Khuza’iyah. Pada zaman jahiliyah, dari nenek moyangnya sampai kepada Qushai dipercaya sebagai orang yang menutupi Ka’bah, memberi makanan dan minuman orang-orang yang naik haji yang disebut dengan al-rifadah dan nadawah (tidak sempurna suatu rapat suku kecuali dilakukan dirumahnya) serta Liwa’ (yang menaikan bendera menyatakan perang). Manakala Qushai mendekati ajalnya, maka beliau mempercayai kedudukannya itu pada salah satu anaknya, yaitu Abdul Dar, namun rupanya Bani Abdul Manaf enggan membiarkan kedudukan tersebut pada paman mereka, mereka juga ingin merebutnya sehingga hampir terjadi pertumpahan darah ketika itu. Kemudian muncullah seorang yang arif dan bijaksana melakukan perundingan antara dua pihak yang menghasilkan kesepakatan bahwa kepada Bani Abdul Manaf diberikan hak saqayah (memberikan minuman) dan rifadah dan itu berlaku sampai kepada Abbas bin Abdul Muthallib, kemudian kepada Bani Abbas sesudahnya. Adapun penutup Ka’bah (hijabah) tetap diberikan haknya kepada Bani Abdul Dar sampai sekarang. Sedangkan Liwa’ juga tetap berada pada tangan Bani Abdul Dar sampai Islam membatalkannya dan menjadikannya sebagai hak dan wewenang khalifah Islam. Demikian juga hak nadawah.
6.      Qushai anak dari Kilab dari isterinya Fatimah binti Sa’ad dari Yaman dari suku Azdasyu-uniyah.
7.      Kilab anak dari Murrah dari isterinya Hindun binti Sariir dari Bani Fihr bin Malik.
8.      Murrah anak dari Ka’ab dari isterinya wahsyiyah binti Syaiban dari Bani Fihr juga.
9.      Ka’ab anak Luai dari isterinya Ummu Ka’ab Mariyah binti Ka’ab dari suku Qudha’ah.
10.  Luai anak Ghalib dari isterinya Ummu Luai Salma binti Amr al-Khuza’i.
11.  Ghalib anak dari Fihr dari isterinya Ummu Ghalib Laila binti Sa’ad dari suku Huzail. Fihr inilah yang disebut dengan Quraiys. Suku Quraisy ada dua belas qabilah, yaitu Bani Abdul Manaf, Bani Abdul Dar, Bani Asad bin Abd Uzza bin Qushai, Bani Zahrah bin Kilab, Bani Makhzum bin Yaqzah bin Murrah, Bani Tiim bin Murrah, Bani ‘Adi Ibnu Ka’ab, Bani Sahm bin Hashish bin Amr bin Ka’ab, Bani Amir Ibn Luai, Bani Tiim bin Ghalib, Bani al-Harits bin Fihr dan Bani Muhaarib bin Fihr.
12.  Fihr anak dari Malik dari isterinya Jandalah binti al-Jarb dari suku Jurhum.
13.  Malik anak dari al-Nazhr dari isterinya Atikah binti Adwan dari suku Qiis Ailan
14.  Al-Nazhr anak dari Kinanah dari isterinya Barrah binti Mur binti Idd.
15.  Kinanah anak dari Khuzaimah dari isterinya ‘Awanah binti Sa’ad dari suku Qiis Ailan.
16.  Khuzaimah anak dari Mudrikah dari isterinya Salma binti Aslam dari suku Qudha’ah.
17.  Mudrikah anak dari Ilyas dari isterinya al-Khandaf. Khandaf ini seorang wanita perkasa dan mulia yang sering dijadikan sebagai contoh bagi orang Arab Jahiliyah.
18.  Ilyas anak Muzhar dari isterinya al-Rubab binti Jandah bin Ma’ad
19.  Muzhar anak dari Nazaz dari isterinya Saudah binti ‘Ak
20.  Nazaz anak dari Ma’ad dari isterinya Ma’anah binti Jausyam dari suku Jurhum
21.  Ma’ad anak dari Adnan.

Silsilah keturunan Rasulullah SAW sampai kepada Adnan ini merupakan nasab Rasulullah SAW yang disepakati shahih di sisi ulama tarikh dan ulama hadits. Adapun silsilah di atasnya, maka tidak ada riwayat yang shahih tentangnya. Namun telah terjadi ijmak ulama bahwa silsilah keturunan Rasulullah SAW sampai kepada Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam.[1]

Catatan :
Kitab Nurul Yaqin merupakan kitab sejarah kehidupan Rasulullah SAW yang banyak dipergunakan sebagai kitab pegangan di dayah-dayah dan pesantren Aceh, Indonesia  dan Asia Tenggara pada umumnya.


[1] Khuzhari Bek, Nurul Yaqin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 3-5

Jumat, 14 Februari 2014

Menurut Imam al-Nawawi, tidak boleh mengatakan : “Rasulullah bersabda” pada hadits dha’if.



Banyak sekali kita jumpai dalam kitab-kitab yang berisi nasehat, fadhailul amal dan kisah-kisah tauladan yang memuat hadits hadits dha’if dengan menyebut secara mutlaq (tanpa menjelaskan kedha’ifannya) “Rasulullah bersabda……….dst”. Bahkan ucapan itu sangat sering kita temui pada zaman sekarang pada mulut-mulut mubaligh-mubaligh kita tanpa memperduli apakah hadits tersebut shahih atau dha’if. Untuk menjawab persoalan ini, mari kita perhatikan perkataan Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab sebagai berikut :
قَالَ الْعُلَمَاءُ الْمُحَقِّقُونَ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمْ إذَا كَانَ الْحَدِيثُ ضَعِيفًا لَا يُقَالُ فِيهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ فَعَلَ أَوْ أَمَرَ أَوْ نَهَى أَوْ حَكَمَ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ صِيَغِ الْجَزْمِ: وَكَذَا لَا يُقَالُ فِيهِ رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَوْ قَالَ أَوْ ذَكَرَ أَوْ أَخْبَرَ أَوْ حَدَّثَ أَوْ نَقَلَ أَوْ أَفْتَى وَمَا أَشْبَهَهُ: وَكَذَا لَا يُقَالُ ذَلِكَ فِي التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ فِيمَا كَانَ ضَعِيفًا فَلَا يُقَالُ في شئ مِنْ ذَلِكَ بِصِيغَةِ الْجَزْمِ: وَإِنَّمَا يُقَالُ فِي هَذَا كُلِّهِ رُوِيَ عَنْهُ أَوْ نُقِلَ عَنْهُ أَوْ حُكِيَ عَنْهُ أَوْ جَاءَ عَنْهُ أَوْ بَلَغَنَا عَنْهُ أَوْ يُقَالُ أَوْ يُذْكَرُ أَوْ يُحْكَى أَوْ يُرْوَى أَوْ يُرْفَعُ أَوْ يُعْزَى وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ صِيَغِ التَّمْرِيضِ وَلَيْسَتْ مِنْ صِيَغِ الْجَزْمِ: قَالُوا فَصِيَغُ الْجَزْمِ مَوْضُوعَةٌ لِلصَّحِيحِ أَوْ الْحَسَنِ وَصِيَغُ التَّمْرِيضِ لِمَا سِوَاهُمَا. وَذَلِكَ أَنَّ صِيغَةَ الْجَزْمِ تَقْتَضِي صِحَّتَهُ عَنْ الْمُضَافِ إلَيْهِ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُطْلَقَ إلَّا فِيمَا صَحَّ وَإِلَّا فَيَكُونُ الْإِنْسَانُ فِي مَعْنَى الْكَاذِبِ عَلَيْهِ وَهَذَا الْأَدَبُ أَخَلَّ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَجَمَاهِيرُ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ بَلْ جَمَاهِيرُ أَصْحَابِ الْعُلُومِ مُطْلَقًا مَا عَدَا حُذَّاقَ الْمُحَدِّثِينَ وَذَلِكَ تَسَاهُلٌ قَبِيحٌ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ كَثِيرًا فِي الصَّحِيحِ رُوِيَ عَنْهُ وَفِي الضَّعِيفِ قَالَ وَرَوَى فلان وهذا حيد عن الصواب
 “Ulama ahli tahqiq dari ahli hadits dan lainnya mengatakan, apabila hadits itu dha’if, maka jangan dikatakan “Rasulullah SAW bersabda, memperbuat, memerintah, melarang, menetapkan hukum” dan ucapan-ucapan lain yang bermakna pasti (jazam). Demikian juga tidak dikatakan Abu Hurairah telah meriwayat, mengatakan, menyebut, mengabarkan, menghadits, mengutip, berfatwa dan lainnya. Demikian juga tidak dikatakan hal itu pada Tabi’in dan orang-orang sesudah mereka pada berita-berita dha’if. Jadi, tidak dikatakan hal itu dengan lafazh pasti. Tetapi dikatakan pada semua ini, “diriwayatkan darinya, dikutip darinya, dihikayah darinya, datang darinya, dikatakan, disebutkan, dihikayahkan, diriwayatkan, disampaikan darinya, dinisbahkan”, dan lain-lain dari lafazh-lafaz mengandung makna cacat yang bukan lafazh pasti. Ahli tahqiq dari ahli hadits mengatakan, lafazh pasti diposisikan untuk hadits shahih atau hasan, sedangkan lafazh cacat diperuntukan bagi selain keduanya. Hal ini karena lafazh pasti mengindikasikan sah hadits tersebut datang dari orang sandaran hadits itu, maka tidak sepatutnya disebut suatu hadits secara mutlaq kecuali hadits itu dalam keadaan shahih. Jika tidak, maka manusia itu sama dengan berbuat dusta atasnya. Ini merupakan adab yang telah dicederai oleh pengarang, kebanyakan fuqaha ashab kita dan lainnya, bahkan kebanyakan ahli-ahli ilmu secara mutlaq selain ahli-ahli hadits yang tajan pemikirannya. Ini merupakan kelalaian yang keji, mereka banyak mengatakan pada hadits sahih, “diriwayatkan darinya”, sedangkan pada hadits dha’if, mereka katakan, “telah meriwayat oleh sipulan” . Ini menyimpang dari kebenaran.”[1]






[1] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 104