Sebagaimana
dimaklumi dari kitab-kitab fiqh, tsana’ (sanjungan) dalam qunut adalah zikir yang
dimulai dari “Fa innaka taqzhi”
sampai dengan “wa atuubu ilaika”, lengkapnya sebagai berikut :
فإنك تقضي ولا يقضى عليك، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ،
وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ فلك
الحمد على ما قضيت أستغفرك وأتوب إليك
namun sering muncul
pertanyaan dari sebagian masyarakat, apakah imam shalat membaca ucapan
sanjungan dalam qunut tersebut secara jihar atau sirr (cukup didengar telinga
sendiri) ?. Pertanyaan ini muncul karena melihat kebanyakan imam shalat di Aceh
membaca ucapan sanjungan dalam qunut dalam shalat Subuh atau pada witir dalam bulan Ramadhan secara sirr.
Sementara itu, ada sebagian kecil santri-santri dayah Aceh yang kritis berpendapat
imam hendaknya membaca ucapan sanjungan tersebut secara jihar.
Menjawab
pertanyaan ini, mari kita simak keterangan-keterangan ulama yang mu’tabar dari
kalangan Syafi’iyah sebagai berikut :
1.
Disebut
dalam Tuhfah al-Muhtaj :
(وَ)
الصَّحِيحُ (أَنَّهُ) إذَا جَهَرَ بِهِ الْإِمَامُ (يُؤَمِّنُ الْمَأْمُومُ) جَهْرًا
(لِلدُّعَاءِ) لِلِاتِّبَاعِ ....الخ (وَيَقُولُ الثَّنَاءُ) سِرًّا وَهُوَ الْأَوْلَى
وَأَوَّلُهُ أَنَّك تَقْضِي إلَخْ أَوْ يَسْكُتُ مُسْتَمِعًا لِإِمَامِهِ أَوْ يَقُولُ
أَشْهَدُ
“Menurut pendapat shahih,
sesungguhnya apabila imam menjiharkan qunut, maka makmum mengatakan “amin” secara
jihar untuk do’a, karena mengikuti Nabi…dst, dan makmum mengucapkan sanjungan
secara sirr, ini lebih utama. Awal dari ucapan sanjungan adalah : “innaka taqzhi
…dst” atau diam mendengar imamnya atau mengatakan “Asyhadu”.[1]
Dari keterangan
Tuhfah al-Muhtaj di atas, dapat dipahami apabila imam shalat menjihar qunut, maka
makmum membaca ‘amiin” untuk do’a yang dibaca imam, sedangkan dalam hal ucapan
sanjungan, maka makmum membaca sanjungan secara sirr (ini lebih utama) atau diam
mendengar bacaan imam ataupun mengatakan “asyhadu”. Perkataan pengarang Tuhfah
al-Muhtaj “diam mendengar imamnya” menunjukkan bahwa qunut yang dibaca
imam secara jihar di atas adalah mencakup ucapan sanjungan, karena tidak
bermakna perkataan pengarang tersebut seandainya ucapan sanjungan dibaca imam
secara sirr. Al-hasil keterangan di atas, menjelaskan kepada kita bahwa imam
dalam qunut shubuh sunnah membaca qunut, termasuk ucapan sanjungan secara jihar.
Kesimpulan ini lebih tegas dapat dipahami dari keterangan-keterangan di bawah
ini.
2.
Dalam Nihayah al-Muhtaj disebutkan
:
(وَ)
أَنَّهُ (يَقُولُ الثَّنَاءَ) سِرًّا وَهُوَ مِنْ فَإِنَّك تَقْضِي إلَى آخِرِهِ، أَوْ
يَسْتَمِعُ لَهُ لِأَنَّهُ ثَنَاءٌ وَذِكْرٌ لَا يَلِيقُ بِهِ التَّأْمِينُ وَالْمُشَارَكَةُ
أَوْلَى كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ، وَالثَّانِي يُؤَمِّنُ فِيهِ أَيْضًا، وَإِذَا قُلْنَا
بِمُشَارَكَتِهِ فِيهِ فَفِي جَهْرِ الْإِمَامِ بِهِ نَظَرٌ، يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ:
يُسِرُّ بِهِ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِمَّا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ، وَيُحْتَمَلُ وَهُوَ
الْأَوْجَهُ الْجَهْرُ بِهِ كَمَا إذَا سَأَلَ الرَّحْمَةَ أَوْ اسْتَعَاذَ مِنْ النَّارِ
وَنَحْوِهَا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ وَيُوَافِقُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ وَلَا
يُؤَمِّنُ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوعِ.
“Sesungguhnya makmum membaca sanjungan secara sirr,
yaitu mulai dari “fainnaka taqzhi” sampai akhirnya atau mendengar bacaan imam,
karena itu adalah sanjungan dan zikir yang tidak layak dibacakan amin. Namun musyarakah
dengan imam (membaca ucapan sanjungan sebagaimana imam membacanya) lebih
utama sebagaimana dalam al-Majmu’. Pendapat
yang kedua, makmum juga membaca amin. Apabila kita berpendapat dengan pendapat musyarakah
makmum dengan imam, maka dalam hal jihar imam ucapan sanjungan ada tinjauan ;
ada kemungkinan dikatakan imam membaca secara sirr sebagaimana zikir-zikir yang
musyarakah lainnya dan ada kemungkinan imam membaca secara jihar, ini merupakan
pendapat yang kuat sebagaimana imam berdoa meminta rahmat atau selamat dari api
neraka dan seumpama lainnya. Maka imam menjiharkan ucapan sanjungan itu dan
makmum musyarakah dengan imam serta tidak membaca amin sebagaimana al-Nawawi
mengatakannya dalam al-Majmu’.[2]
3.
Dalam Hasyiah Qalyubi
disebutkan :
قَوْلُهُ: (وَأَنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ) أَيْ فِي الْجَهْرِيَّةِ
وَالسِّرِّيَّةِ وَلَوْ قَضَاءً كَصُبْحٍ أَوْ وَتْرٍ نَهَارًا بِأَنْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ
وَهُوَ فِيهِ أَوْ قَبْلَهُ، وَشَمَلَ الْقُنُوتُ الدُّعَاءَ وَالثَّنَاءَ وَلِلنَّازِلَةِ
وَغَيْرِهِ وَهُوَ كَذَلِكَ
“Perkataan pengarang : “Sesungguhnya imam menjiharkan
qunut” maksudnya pada shalat jihar dan shalat sirr, meskipun shalat itu qadha
seperti Subuh atau shalat witir pada siang hari, yakni pada saat setelah terbit
matahari, imam dalam shalat atau sebelum siang. Qunut tersebut mencakup do’a
dan sanjungan dan juga mencakup qunut nazilah dan lainnya. Hal itu memang
demikian.”[3]
4.
Dalam Hasyiah Umairah disebutkan :
قَوْلُ الْمَتْنِ: (وَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ) أَيْ حَتَّى بِالثَّنَاءِ
“Perkataan
matan “Sesungguhnya imam menjiharkan qunut” maksudnya
termasuk ucapan sanjungan.”[4]
Kesimpulan
Imam apabila menjiharkan
qunut, maka sunnah menjihar semua do’a atau zikir yang ada dalam qunut,
termasuk ucapan sanjungan. Pada waktu imam membaca ucapan sanjungan secara
jihar, maka makmum membaca juga ucapan sanjungan tersebut secara sirr (ini
lebih utama) atau diam mendengar bacaan sanjungan imam atau membaca “asyhadu”.
[1] Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir,
Juz. II, Hal. 67
[2] Al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 507
[3] Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I,
Hal. 158
[4]
‘Umairah, Hasyiah
Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I,
Hal. 158