Renungan

Senin, 03 Maret 2014

Kualitas Riwayat Fatimah binti Rasulullah SAW Tidak Berhaid dan Bernifas



Dari semenjak masa kanak-kanak, kita sering disuguhi cerita bahwa Fatimah binti Rasulullah SAW selalu dalam keadaan suci alias tidak pernah berhaid dan bernifas. Cerita ini juga sering kita dengar pada zaman sekarang dari mulut-mulut penda’i-penda’i dan mubaligh-mubaligh kita. Dalam kitab-kitab ulama terdahulu, kita jumpai pernyataan bahwa Fatimah bin Rasulullah SAW tidak berdarah haid dan nifas antara lain dalam kitab al-Fatawa al-Dhahiriyah li Hanafiyah sebagaimana telah dikutip al-Munawy dalam Faidhul Qadir, kemudian beliau mengutip hadits yang disebut dalam kitab Zakha-ir al-‘Uqbaa karya al-Muhib al-Thabary (hadits pertama di bawah ini).[1] Namun al-Munawy sendiri dalam kitab beliau yang lain, yaitu Ittihaf al-Saa-il bimaa li Fathimah min al-Manaqib telah mengutip keterangan Ibnu al-Jauzi dan al-Suyuthi yang menyatakan hadits ini adalah maudhu’ sebagaimana terlihat dalam kutipan kami pada hadits pertama di bawah ini. Ulama lain yang mengisyaratkan bahwa Fatimah bin Rasulullah SAW tidak berdarah haid dan nifas adalah Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Haditsiyah dengan tanpa menjelaskan rujukan sumbernya.[2]
Sekarang mari kita perhatikan kualitas riwayat-riwayat tersebut, yaitu :
1.    Riwayat dari Ummu Salim:
انها حوراء آدمية طاهرة مطهرة لا تحيض ولا يرى لها دم في طمث ولا في ولادة
Artinya : Sesungguhnya Fatimah itu bidadari dari anak Adam suci menyucikan, tidak pernah berhaid dan tidak pernah dilihat ada darah pada masa kotor dan pada masa wiladahnya.

Al-Munawi menjelaskan bahwa hadits ini telah diriwayat oleh al-Hakim dan Ibnu ‘Asakir dari riwayat Ummu Salim isteri Abu Thalhah, namun hadits ini maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Jauzi dan al-Suyuthi.[3] Dalam al-Laala-i al-Mashnu’ah riwayat Ibnu ‘Asakir dari Ummu Salim ini berbunyi :
لم تر فاطمة بنت رسول الله صلعم دما قط في حيض ولا نفاس وكانت يصب عليها من ماء الجنة وذالك ان رسول الله صلعم لما اسرى به دخل الجنة واكل من فاكهة الجنة وشرب من ماء الجنة فنزل من ليلته فوقع على خديجة فحملت بفاطمة فكان حمل فاطمة من ماء الجنة
Artinya : Tidak pernah dilihat Fatimah binti Rasulullah SAW berdarah sama sekali baik  haid maupun nifas. Beliau lahir dari air syurga. Yang demikian terjadi manakala Rasulullah SAW melakukan isra’ beliau memasuki syurga dan memakan buah-buahan dan minum minuman syurga, kemudian Rasulullah SAW kembali pada malamnya lalu berhubungan intim dengan Khadijah, maka Khadijah mengandung Fatimah. Karena itu, kandungan Fatimah (Fatimah dalam kandungan ibunya) adalah dari air surga.[4]

Hadits ini jelas dinilai maudhu’ karena Fatimah lahir sebelum terjadi peristiwa isra’ dengan ijmak ulama,[5] sedangkan riwayat di atas menyebutkan bahwa Fatimah dikandungi ibunya setelah Rasulullah SAW kembali dari perjalanan isra’. 

2.    Rasulullah SAW bersabda :
ابنتي فاطمة حوراء آدمية لم تحض ولم تطمث  وانما سماها فاطمة لان الله فطمها ومحبيها من النار
Artinya : Anakku, Fatimah adalah bidadari dari anak Adam, tidak pernah berhaid dan tidak pernah kotor, hanyasanya dinamai dengan Fatimah karena Allah menjauhkannya dan orang yang mencintainya dari api neraka.

Riwayat ini telah disebut oleh Muhib al-Thabary (w.694 H) dalam kitab manaqibnya, Zakha-ir al-‘Uqbaa. Dalam kitab ini disebutkan hadits ini diriwayat oleh al-Ghatsany dari Ibnu Abbas.[6] Ibnu Hajar al-Haitamy menyebut hadits ini dalam kitab beliau, al-Shawaiq al-Muhriqah tanpa komentar apapun terhadap kualiatas riwayatnya, namun dalam kitab ini pentakhrijnya tertulis al-Nisa-i, bukan al-Ghatsany.[7] Khatib al-Baghdadi juga telah menyebut riwayat ini dalam kitabnya, Tarikh al-Baghdadi, beliau mengatakan, dalam isnad hadits ini tidak hanya satu  orang yang tidak dikenal dan haditsnya tidak tsaabit (tidak shahih).[8] Pernyataan Khatib al-Baghdadi ini juga telah disebut dalam kitab al-Laala-i al-Mashnu’ah karya al-Suyuthi.[9] Al-Zahabi dalam Talkhis Kitab al-Maudhu’at mengatakan, isnadnya terdiri dari orang-orang dhalim dan orang-orang yang tidak dikenal.[10] Ibnu al-Jauzi telah memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits maudhu’ dalam kitabnya, al-Maudhu’aat.[11]

Catatan :
Kitab Zakha-ir al-‘Uqbaa karya Muhib al-Thabary merupakan sebuah kitab yang menguraikan biografi dan kelebihan-kelebihan ahlul bait, namun sayang dalam kitab ini banyak memuat hadits hadits maudhu’ dan dhaif. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Shakawy sebagaimana telah dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitabnya, al-Shawaiq al-Muhriqah, beliau mengatakan :
اعْلَم أَنه أَشَارَ فِي خطْبَة هَذَا الْكتاب إِلَى بعض حط على ذخائر العقبى فِي مَنَاقِب ذَوي الْقُرْبَى للْإِمَام الْحَافِظ الْمُحب الطَّبَرِيّ بِأَن فِيهِ كثيرا من الْمَوْضُوع وَالْمُنكر فضلا عَن الضَّعِيف ثمَّ نقل عَن شَيْخه الْحَافِظ الْعَسْقَلَانِي أَنه قَالَ فِي حق الْمُحب الطَّبَرِيّ إِنَّه كثير الْوَهم فِي عزوه للْحَدِيث مَعَ كَونه لم يكن فِي زَمَنه مثله
“Ketahuilah al-Shakhawy telah mengisyarahkan dalam khutbah kitab ini (kitab manaqib ahlul Bait karangan al-Shakhawy) kepada sebagian pembahasan atas kitab Zakha-ir al-‘Uqbaa fi Manaqib Zawil Qurbaa karya Imam al-Hafizh al-Muhib al-Thabary dimana di dalam kitab tersebut banyak terdapat riwayat-riwayat maudhu’ dan mungkar serta dha’if. Kemudian al-Shakhawy mengutip dari gurunya, al-Hafizh al-Asqalany bahwasanya beliau pernah berkata perihal al-Muhib al-Thabary, bahwa beliau ini banyak waham dalam menyandarkan suatu hadits, disamping itu beliau memang tidak ada orang yang sebanding beliau pada`masanya.”[12]

3.    Dari Asmaa, beliau mengatakan : (ِِِAsmaa binti Amiis)
قبلت اي ولدت فاطمة بالحسن فلم ار لها دما فقلت يا رسول الله: إني لم أر لفاطمة دما في حيض ولا نفاس فقال أما علمت أن ابنتي طاهرة مطهرة لا يرى لها دم في طمث ولا ولادة

Artinya : Aku turut membantu Fatimah melahirkan Hasan, aku tidak melihat pada Fatimah darah sedikitpun, maka aku mengatakan, Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat Fatimah berdarah haid dan nifas, Rasulullah berkata : “Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya anakku selalu dalam keadaan suci dan disucikan, tidak pernah dilihat darah padanya, baik darah kotoran maunpun wiladah.”

Al-Muhib al-Thabary (w.694 H) telah menyebut hadits ini dalam kitab manaqibnya, Zakha-ir al-‘Uqbaa pada masalah “Menyebut kesucian Fatimah dari wanita anak Adam” pada Hal. 90 dengan pentakrijnya Imam Ali bin Musa al-Rizha.[13]
Asmaa dalam riwayat di atas adalah Asmaa binti ‘Amiis sebagaimana tertulis dalam kitab Nur al-Abshar karangan al-Syablanji yang juga menyebut riwayat di atas dengan riwayat dari Asmaa binti ‘Amiss.[14] Al-Zahabi menjelaskan bahwa Asmaa binti ‘Amiis ini salah seorang sahabat Nabi yang pernah hijrah ke negeri Habsyah bersama suaminya, Ja’far. Kemudian meninggalkan negeri Habsyah berangkat ke Madinah pada Tahun ketujuh Hijrah untuk ikut bersama kaum Muhajirin di Madinah.[15] Memperhatikan keterangan di atas, maka pada Tahun ketiga Hijrah, pada waktu lahir Sayyidina Hasan, Asmaa binti ‘Amiis masih berada di Habsyah alias tidak berada di negeri Madinah, jadi bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa Asmaa binti ‘Amiis turut membantu kelahiran Sayyidina Hasan r.a, sedangkan Sayyidina Hasan r.a. sebagaimana dimaklumi lahir pada bulan Sya’ban atau pertengahan Ramadhan Tahun ketiga Hijrah.[16] Berdasarkan penjelasan ini dapat dipastikan bahwa riwayat yang dinisbah kepada Asmaa binti ‘Amiis ini juga maudhu’ alias palsu sebagaimana riwayat lain yang tersebut pada nomor 1 dan 2 di atas.

 



[1] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 421
[2] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 119
[3] Al-Munawi, Ittihaf al-Saa-il bimaa li Fathimah min al-Manaqib, Maktabah al-Qur’an, Kairo, Hal. 90
[4] Al-Suyuthi, al-Laala-i al-Mashnu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 395
[5] Al-Suyuthi, al-Laala-i al-Mashnu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 395
[6] Muhib al-Thabary al-Makky, Zakha-ir al-‘Uqbaa, Hal. 65
[7] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Shawaiq al-Muhriqah, Hal. 141
[8] Khatib al-Baghdadi, Tarikh al-Baghdadi wa Zuyuluhu, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 328,
[9] Al-Suyuthi, al-Laala-i al-Mashnu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Hal. 400
[10] Al-Zahabi, Talkhis Kitab al-Maudhu’at, Maktabah al-Rusyd, Riyadh, Hal. 150
[11] Ibnu al-Jauzi, al-Maudhu’aat, Maktabah al-Tadmutayah, Juz II, Hal. 225
[12] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Shawaiq al-Muhriqah, Hal. 199                                                                
[13] Muhib al-Thabary al-Makky, Zakha-ir al-‘Uqbaa, Hal. 90
[14] Al-Syablanji, Nur al-Abshar, Maktabah Taufiqiyah, Hal. 242
[15] Al-Zahabi, Sirr al-Nubala’, Bait al-Afakar al-Dauliyah, Hal. 1089
[16] Al-Zahabi, Sirr al-Nubala’, Bait al-Afakar al-Dauliyah, Hal. 1428

1 komentar: