Renungan

Kamis, 28 Agustus 2014

Mencabut pohon yang tumbuh atau yang ditancap di kuburan



Disunnahkan memancang dahan/ranting kayu yang basah di kuburan muslim sebagaimana fatwa para ulama Syafi’iyah, karena itu dapat meringankan azab berdasarkan hadits shahih. Namun ada pertanyaan dari seorang pembaca blog ini bagaimana jawaban agama terhadap kebiasaan di sebagian daerah di Aceh, dimana pada waktu-waktu tertentu ada kebiasaan keluarga mayat untuk membersihkan rumput-rumput atau pohon kayu lainnya supaya kuburan nampak bersih dan tidak bersemak.  Berikut ini mari kita simak pendapat-pendapat ulama yang berkenaan dengan masalah ini, yakni antara lain:
1.    Qalyubi mengatakan dalam kitabnya sebagai berikut :
وَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِ مَالِكِهِ أَخْذُهُ مَا دَامَ رَطْبًا لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمَيِّتِ بِهِ، وَإِذَا جَفَّ جَازَ لِكُلِّ أَحَدٍ أَخْذُهُ، وَلَوْ كَانَ مَنْ وَقَفَ عَلَيْهِ لِجَرَيَانِ الْعَادَةِ بِهِ
“Tidak boleh atas bukan pemilik dahan kurma itu mengambilnya selama ia masih basah karena masih tersangkut hak mayat padanya dan apabila sudah kering, maka dibolehkan mengambilnya bagi siapa saja, meskipun diwaqafkan kayu tersebut atas mayat tersebut, karena berlaku adat dengan demikian.[1]

2.    Dalam kitab Fathul  Mu’in disebutkan :
ويحرم أخذ شئ منهما  ما لم يبيسا لما في أخذ الأولى من تفويت حق الميت.....
“Haram mengambil sesuatu dari keduanya selama keduanya itu kering, karena dalam hal mengambil yang pertama (mengambil dahan kurma) ada menghilangkan hak mayat.

Dalam mengomentari perkataan pengarang Fathul Mu’in di atas, pengarang I’anah al-Thalibin menjelaskan sebagai berikut :
(قوله: ويحرم أخذ شئ منهما) أي من الجريدة الخضراء، ومن نحو الريحان الرطب.وظاهره أنه يحرم ذلك مطلقا، أي على مالكه وغيره. وفي النهاية: ويمتنع على غير مالكه أخذه من على القبر قبل يبسه، فقيد ذلك بغير مالكه. وفصل ابن قاسم بين أن يكون قليلا كخوصة أو خوصتين، فلا يجوز لمالكه أخذه، لتعلق حق الميت به، وأن يكون كثيرا فيجوز له أخذه.
“(Perkataan pengarang : Haram mengambil sesuatu dari keduanya), yakni pelepah kurma yang masih basah dan tumbuh-tumbuhan harum yang masih basah. Dhahirnya haram demikian itu secara mutlaq, yakni atas pemiliknya dan lainnya. Namun dalam kitab al-Nihayah disebutkan, terlarang atas bukan pemiliknya mengambilnya dari atas kuburan sebelum kering, dengan dikaitkan yang demikian itu dengan bukan pemiliknya. Ibnu Qasim membedakan antara yang sedikit seperti sehelai atau dua helai daun, maka tidak boleh sipemilik mengambilnya dan antara yang banyak, maka boleh mengambilnya.”[2]

3.    Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
وَيَحْرُمُ أَخْذُ ذَلِكَ كَمَا بَحَثَ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْوِيتِ حَقِّ الْمَيِّتِ وَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَا حُرْمَةَ فِي أَخْذِ يَابِسٍ أَعْرَضَ عَنْهُ لِفَوَاتِ حَقِّ الْمَيِّتِ بِيُبْسِهِ
“Haram mengambil itu (dahan kurma) sebagaimana pembahasannya , karena menghilangkan hak mayat . Dhahirnya tidak diharamkan mengambil yang sudah kering yang sudah dibiarkannya karena telah hilang hak mayat dengan sebab keringnya.” [3]
Syarwani dalam mengomentari perkataan al-Haitamy di atas, menjelaskan sebagai  berikut :
وَ (قَوْلُهُ وَيَحْرُمُ أَخْذُ ذَلِكَ) أَيْ عَلَى غَيْرِ مَالِكِهِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر مِنْ الْأَشْيَاءِ الرَّطْبَةُ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ الْبِرْسِيمِ وَنَحْوِهِ مِنْ جَمِيعِ النَّبَاتَاتِ الرَّطْبَةِ وَقَوْلُهُ م ر عَلَى غَيْرِ مَالِكِهِ أَيْ أَمَّا مَالِكُهُ فَإِنْ كَانَ الْمَوْضُوعُ مِمَّا يُعْرَضُ عَنْهُ عَادَةً حَرُمَ عَلَيْهِ أَخْذُهُ لِأَنَّهُ صَارَ حَقًّا لِلْمَيِّتِ وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا لَا يُعْرَضُ عَنْ مِثْلِهِ عَادَةً لَمْ يَحْرُمْ سم عَلَى الْمَنْهَجِ
“(Dan perkataan pengarang : Haram mengambil itu) yakni atas bukan pemiliknya, demikian kitab Nihayah dan Mughni. Ali Syibran al-Malusi mengatakan, perkataan al-Ramli : “dari sesuatu yang basah” termasuk rumput-rumput dan yang seumpama dengannya berupa semua tumbuh-tumbuhan yang basah dan perkataan al-Ramli : “atas bukan pemiliknya” yakni adapun pemiliknya jika yang diletak itu sesuatu yang dibiarkan (tidak dipeduli orang) pada kebiasaan, maka haram atasnya mengambilnya, karena itu menjadi hak mayat dan jika banyak yang tidak dibiarkan yang sebanding dengannya pada kebiasaan, maka tidak haram mengambilnya, demikian Ibnu Qasim ‘ala Minhaj.”[4]

4.    Khatib Syarbaini mengatakan :
وَلَا يَجُوزُ لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ مِنْ عَلَى الْقَبْرِ قَبْلَ يُبْسِهِ لِأَنَّ صَاحِبَهُ لَمْ يُعْرِضْ عَنْهُ إلَّا عِنْدَ يُبْسِهِ لِزَوَالِ نَفْعِهِ الَّذِي كَانَ فِيهِ وَقْتَ رُطُوبَتِهِ وَهُوَ الِاسْتِغْفَارُ
“Tidak boleh atas selain pemilik dahan kurma itu mengambilnya dari atas kubur sebelum keringnya, karena pemiliknya belum membiarkannya kecuali sesudah kering dengan sebab hilang manfaatnya yang ada sewaktu basah, yakni istighfar.” [5]

5.    Al-Bujarumi mengatakan :
وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ إنْ كَانَ الشَّيْءُ الْأَخْضَرُ قَلِيلًا كَخُوصَةٍ أَوْ خُوصَتَيْنِ مَثَلًا لَا يَجُوزُ لَهُ أَخْذُهُ وَهُوَ أَخْضَرُ لِأَنَّهُ صَارَ حَقًّا لِلْمَيِّتِ فَحُرِّمَ أَخْذُهُ، أَمَّا إذَا كَانَ كَثِيرًا فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْأَخْذُ مِنْهُ؛ فَيَجُوزُ لِمَنْ وَضَعَ خُوصًا كَثِيرًا مَثَلًا عَلَى قَبْرٍ الْأَخْذُ مِنْهُ لِيَضَعَهُ عَلَى قَبْرٍ آخَرَ وَهَكَذَا، وَهَذَا كُلُّهُ فِيمَا إذَا كَانَ الْخُوصُ مَثَلًا أَخْضَرَ لَمْ يَيْبَسْ وَكَانَ الْآخِذُ لَهُ مَالِكَهُ.
“Kesimpulannya, apabila sesuatu yang basah itu sedikit seperti sehelai daun atau dua helai, maka tidak boleh atas pemiliknya mengambilnya, sedangkan sesuatu itu masih basah, karena masih menjadi hak mayat, karena itu haram mengambilnya. Adapun apabila banyak, maka dibolehkan. Karena itu, dibolehkan bagi orang-orang yang meletakkan semisal helai yang banyak atas kubur mengambilnya untuk meletaknya atas kuburan yang lain dan seterusnya. Ini semua dalam hal semisal helai daun itu  masih basah dan tidak kering serta yang mengambilnya adalah pemiliknya.”[6]

Kesimpulannya
1.      Bagi yang bukan pemilik dahan kayu yang ditancap atas kuburan itu haram mengambilnya selama dahan kayu itu masih basah. Adapun apabila sudah kering, maka dibolehkan mengambilnya oleh siapapun
2.      Bagi pemiliknya yang menancapkan kayu tersebut dengan tujuan bermanfaat bagi mayat dibolehkan mengambilnya, meskipun masih basah apabila kayu yang ditancap itu banyak. Adapun apabila sedikit, maka tetap haram.
3.      Adapun mengenai rumput-rumput atau kayu basah lainnya yang tumbuh sendiri di atas kuburan, maka menurut hemat kami, apabila sipemilik tanah kuburan atau yang menguasainya seandainya dalam membiarkan kayu tersebut karena bertujuan bermanfaat bagi mayat, maka hukumnya berlaku sebagaimana halnya hukum pemilik kayu yang menancapkan dengan sengaja kayu tersebut di atas kuburan dengan segala rinciannya. Adapun apabila sipemilik tanah atau yang menguasainya tidak meniatkan apa-apa dalam hal membiarkan rumput dan kayu lainnya yang tumbuh di atas kuburan, maka tidak mengapa menghilangkannya secara mutlaq. Hal ini karena tidak ada alasan hukum (‘illah) yang terdapat dalam kasus kayu yang ditancap secara sengaja di atas kuburan. Namun demikian, sebaiknya rumput-rumput dan kayu basah lainnya yang tumbuh sendiri tetap dibiarkannya di atas kuburan karena itu dapat bermanfaat bagi mayat, tetapi apabila memang rumput-rumput dan kayu tersebut dapat menghalang orang-orang berziarah ke kuburan atau membuat orang-orang enggan  ke kuburan, maka sebaiknya dapat dihilangkan rumput dan kayu tersebut sesuai dengan kemaslahatannya. (Penjelasan point ke-3 ini merupakan pemahaman murni dari kami yang da’if dalam bidang ilmu agama. Karena itu, kami berharap kritikan dan masukan dari para pakar dan ulama-ulama kita apabila memang kesimpulan kami ini salah)



[1] Qalyubi, Hasyiah al-Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 351
[2] Al-Bakry al-Damyathi , I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 119-120
[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syrawani), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 197
[4] Syarwani, Hawasyi al-Syrawani ‘ala Tufah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 197
[5] Khatib Syarbaini, al-Iqna’, (dicetak dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 570
[6] Al-Bujarumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 570-571

Jumat, 22 Agustus 2014

Kewajiban Taat Kepada Pemimpin



Kewajiban taat kepada hukum, baik hukum yang merupakan nash dari syara’ maupun hukum-hukum produk  pemerintah adalah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah karut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya. KKN, ketidakpihakan penguasa kepada rakyat kecil, kedekatan pemerintah dengan dunia barat, seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan pemerintah yang sah, dari yang sekadar demonstrasi, hingga yang berujud pemberontakan fisik. Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia ini telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada pemerintahnya. 

Kewajiban Ta’at kepada Hukum (Nash Syara’)
Berikut beberapa nash yang mewajibkan ta’at kepada hukum syara’, yaitu antara lain :
1.        Firman Allah Q.S. al-Nisa’ : 59, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin di antara kamu.(An-Nisa’: 59)

2.        Firman Allah Q.S. al-Maidah : 44, berbunyi :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44)

Kewajiban Ta’at kepada Hukum Produk Pemerintah yang Sah Selama Hukum itu tidak Bertentangan dengan Syara’

Kewajiban taat kepada hukum produk pemerintah merupakan manivestasi dari kewajiban taat kepada pemerintah. Karena hukum produk pemerintah pada prinspnya dibuat dalam rangka kemaslahatan rakyat. Karena itu, dalam Islam banyak dalil-dalil yang menjelaskan kepada kita wajib mematuhi hukum-hukum yang mengatur kemaslahatan ummat selama produk hukum tersebut tidak bertentangan dengan nash syara’. Dalil-dalil itu antara lain :
1.        Sabda Rasulullah SAW berbunyi :
من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله، ومن أطاع الأمير فقد أطاعني ومن عصى الأمير فقد عصاني
Artinya : Siapa saja yang taat kepadaku, maka berarti dia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah mendurhakai Allah. Siapa saja yang taat kepada amir, maka berarti dia telah mentaatiku. Dan siapa saja yang durhaka kepada amir, maka berarti dia durhaka kepadaku. (HR. Bukhari[1] dan Muslim[2])

2.        Sabda Rasulullah saw:
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية، فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Artinya : Setiap orang muslim itu wajib untuk mendengar dan mentaati dalam perkara-perkara yang dia senangi atau pun yang dia benci. tetapi jika dia diperintahkan untuk mengerjakan perbuatan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan mentaati (amir tersebut). (HR. Muslim)[3]

3.        Diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa beliau berkata:

إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَ أَطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
Artinya : Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat). (H.R. Muslim)[4]

Kewajiban Ta’at kepada Pemerintah yang sah, Meski Pemerintah itu Dhalim

Kewajiban ta’at kepada pemerintah yang sah, meskipun pemerintah itu dhalim dapat diperhatikan dalam beberapa hadits berikut ini :
1.        Dari Ibnu Abbas c, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
Artinya : Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliah (HR. al-Bukhari)[5]

2.        Sabda Nabi SAW berbunyi :
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
Artinya : Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.(HR. Muslim)[6]

Hikmah Ta’at kepada Pemerintah yang Sah
1.      terciptanya tertib hukum/kepastian hukum
2.      terciptanya kehidupan yang tertib
3.      mencegah terjadinya main hakim sendiri.
4.      menolak kemudharatan yang lebih besar
5.      terciptanya perlindungan kepada rakyat
6.      dapat mencegah secara dini ancaman-ancaman luar terhadap keutuhan negara.





[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 50, No. Hadits : 2957
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1466, No. Hadits : 1835
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1469, No. Hadits : 1839
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 448, No. Hadits : 648
[5] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 47, No. Hadits : 7054
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1476, No. Hadits : 1847