Disunnahkan memancang dahan/ranting kayu yang basah di kuburan
muslim sebagaimana fatwa para ulama Syafi’iyah, karena itu dapat meringankan
azab berdasarkan hadits shahih. Namun ada pertanyaan dari seorang pembaca blog
ini bagaimana jawaban agama terhadap kebiasaan di sebagian daerah di Aceh,
dimana pada waktu-waktu tertentu ada kebiasaan keluarga mayat untuk
membersihkan rumput-rumput atau pohon kayu lainnya supaya kuburan nampak bersih
dan tidak bersemak. Berikut ini mari
kita simak pendapat-pendapat ulama yang berkenaan dengan masalah ini, yakni
antara lain:
1. Qalyubi mengatakan dalam kitabnya
sebagai berikut :
وَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِ مَالِكِهِ أَخْذُهُ مَا دَامَ
رَطْبًا لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمَيِّتِ بِهِ، وَإِذَا جَفَّ جَازَ لِكُلِّ أَحَدٍ
أَخْذُهُ، وَلَوْ كَانَ مَنْ وَقَفَ عَلَيْهِ لِجَرَيَانِ الْعَادَةِ بِهِ
“Tidak boleh
atas bukan pemilik dahan kurma itu mengambilnya selama ia masih basah karena
masih tersangkut hak mayat padanya dan apabila sudah kering, maka dibolehkan
mengambilnya bagi siapa saja, meskipun diwaqafkan kayu tersebut atas mayat
tersebut, karena berlaku adat dengan demikian.[1]
2.
Dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan :
ويحرم
أخذ شئ منهما ما لم يبيسا لما في أخذ الأولى من تفويت حق
الميت.....
“Haram mengambil sesuatu
dari keduanya selama keduanya itu kering, karena dalam hal mengambil yang
pertama (mengambil dahan kurma) ada menghilangkan hak mayat.
Dalam
mengomentari perkataan pengarang Fathul Mu’in di atas, pengarang I’anah al-Thalibin
menjelaskan sebagai berikut :
(قوله:
ويحرم أخذ شئ منهما) أي من الجريدة الخضراء، ومن نحو الريحان الرطب.وظاهره أنه
يحرم ذلك مطلقا، أي على مالكه وغيره.
وفي النهاية: ويمتنع على غير مالكه أخذه من على القبر قبل يبسه،
فقيد ذلك بغير مالكه.
وفصل ابن قاسم بين أن يكون قليلا كخوصة أو خوصتين، فلا يجوز
لمالكه أخذه، لتعلق حق الميت به، وأن يكون كثيرا فيجوز له أخذه.
“(Perkataan pengarang :
Haram mengambil sesuatu dari keduanya), yakni pelepah kurma yang masih basah
dan tumbuh-tumbuhan harum yang masih basah. Dhahirnya haram demikian itu secara
mutlaq, yakni atas pemiliknya dan lainnya. Namun dalam kitab al-Nihayah
disebutkan, terlarang atas bukan pemiliknya mengambilnya dari atas kuburan
sebelum kering, dengan dikaitkan yang demikian itu dengan bukan pemiliknya.
Ibnu Qasim membedakan antara yang sedikit seperti sehelai atau dua helai daun,
maka tidak boleh sipemilik mengambilnya dan antara yang banyak, maka boleh
mengambilnya.”[2]
3.
Ibnu
Hajar al-Haitamy mengatakan :
وَيَحْرُمُ
أَخْذُ ذَلِكَ كَمَا بَحَثَ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْوِيتِ حَقِّ الْمَيِّتِ
وَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَا حُرْمَةَ فِي أَخْذِ يَابِسٍ أَعْرَضَ عَنْهُ لِفَوَاتِ
حَقِّ الْمَيِّتِ بِيُبْسِهِ
“Haram mengambil itu (dahan kurma) sebagaimana
pembahasannya , karena menghilangkan hak mayat . Dhahirnya tidak diharamkan
mengambil yang sudah kering yang sudah dibiarkannya karena telah hilang hak
mayat dengan sebab keringnya.” [3]
Syarwani dalam
mengomentari perkataan al-Haitamy di atas, menjelaskan sebagai berikut :
وَ (قَوْلُهُ وَيَحْرُمُ أَخْذُ ذَلِكَ) أَيْ عَلَى غَيْرِ مَالِكِهِ
نِهَايَةٌ وَمُغْنِي قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر مِنْ الْأَشْيَاءِ الرَّطْبَةُ
يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ الْبِرْسِيمِ وَنَحْوِهِ مِنْ جَمِيعِ النَّبَاتَاتِ
الرَّطْبَةِ وَقَوْلُهُ م ر عَلَى غَيْرِ مَالِكِهِ أَيْ أَمَّا مَالِكُهُ فَإِنْ
كَانَ الْمَوْضُوعُ مِمَّا يُعْرَضُ عَنْهُ عَادَةً حَرُمَ عَلَيْهِ أَخْذُهُ
لِأَنَّهُ صَارَ حَقًّا لِلْمَيِّتِ وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا لَا يُعْرَضُ عَنْ
مِثْلِهِ عَادَةً لَمْ يَحْرُمْ سم عَلَى الْمَنْهَجِ
“(Dan
perkataan pengarang : Haram mengambil itu) yakni atas bukan pemiliknya,
demikian kitab Nihayah dan Mughni. Ali Syibran al-Malusi mengatakan, perkataan
al-Ramli : “dari sesuatu yang basah” termasuk rumput-rumput dan yang seumpama
dengannya berupa semua tumbuh-tumbuhan yang basah dan perkataan al-Ramli :
“atas bukan pemiliknya” yakni adapun pemiliknya jika yang diletak itu sesuatu
yang dibiarkan (tidak dipeduli orang) pada kebiasaan, maka haram atasnya
mengambilnya, karena itu menjadi hak mayat dan jika banyak yang tidak dibiarkan
yang sebanding dengannya pada kebiasaan, maka tidak haram mengambilnya,
demikian Ibnu Qasim ‘ala Minhaj.”[4]
4.
Khatib Syarbaini mengatakan :
وَلَا يَجُوزُ
لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ مِنْ عَلَى الْقَبْرِ قَبْلَ يُبْسِهِ لِأَنَّ صَاحِبَهُ لَمْ
يُعْرِضْ عَنْهُ إلَّا عِنْدَ يُبْسِهِ لِزَوَالِ نَفْعِهِ الَّذِي كَانَ فِيهِ
وَقْتَ رُطُوبَتِهِ وَهُوَ الِاسْتِغْفَارُ
“Tidak
boleh atas selain pemilik dahan kurma itu mengambilnya dari atas kubur sebelum
keringnya, karena pemiliknya belum membiarkannya kecuali sesudah kering dengan
sebab hilang manfaatnya yang ada sewaktu basah, yakni istighfar.” [5]
5.
Al-Bujarumi mengatakan :
وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ إنْ كَانَ الشَّيْءُ الْأَخْضَرُ
قَلِيلًا كَخُوصَةٍ أَوْ خُوصَتَيْنِ مَثَلًا لَا يَجُوزُ لَهُ أَخْذُهُ وَهُوَ
أَخْضَرُ لِأَنَّهُ صَارَ حَقًّا لِلْمَيِّتِ فَحُرِّمَ أَخْذُهُ، أَمَّا إذَا
كَانَ كَثِيرًا فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْأَخْذُ مِنْهُ؛ فَيَجُوزُ لِمَنْ وَضَعَ
خُوصًا كَثِيرًا مَثَلًا عَلَى قَبْرٍ الْأَخْذُ مِنْهُ لِيَضَعَهُ عَلَى قَبْرٍ
آخَرَ وَهَكَذَا، وَهَذَا كُلُّهُ فِيمَا إذَا كَانَ الْخُوصُ مَثَلًا أَخْضَرَ
لَمْ يَيْبَسْ وَكَانَ الْآخِذُ لَهُ مَالِكَهُ.
“Kesimpulannya, apabila sesuatu yang basah itu
sedikit seperti sehelai daun atau dua helai, maka tidak boleh atas pemiliknya
mengambilnya, sedangkan sesuatu itu masih basah, karena masih menjadi hak
mayat, karena itu haram mengambilnya. Adapun apabila banyak, maka dibolehkan.
Karena itu, dibolehkan bagi orang-orang yang meletakkan semisal helai yang
banyak atas kubur mengambilnya untuk meletaknya atas kuburan yang lain dan
seterusnya. Ini semua dalam hal semisal helai daun itu masih basah dan tidak kering serta yang
mengambilnya adalah pemiliknya.”[6]
Kesimpulannya
1.
Bagi yang bukan pemilik dahan kayu yang ditancap atas kuburan itu haram
mengambilnya selama dahan kayu itu masih basah. Adapun apabila sudah kering,
maka dibolehkan mengambilnya oleh siapapun
2.
Bagi pemiliknya yang menancapkan kayu tersebut dengan tujuan
bermanfaat bagi mayat dibolehkan mengambilnya, meskipun masih basah apabila
kayu yang ditancap itu banyak. Adapun apabila sedikit, maka tetap haram.
3.
Adapun mengenai rumput-rumput atau kayu basah lainnya yang tumbuh
sendiri di atas kuburan, maka menurut hemat kami, apabila sipemilik tanah
kuburan atau yang menguasainya seandainya dalam membiarkan kayu tersebut karena
bertujuan bermanfaat bagi mayat, maka hukumnya berlaku sebagaimana halnya hukum
pemilik kayu yang menancapkan dengan sengaja kayu tersebut di atas kuburan
dengan segala rinciannya. Adapun apabila sipemilik tanah atau yang menguasainya
tidak meniatkan apa-apa dalam hal membiarkan rumput dan kayu lainnya yang
tumbuh di atas kuburan, maka tidak mengapa menghilangkannya secara mutlaq. Hal ini
karena tidak ada alasan hukum (‘illah) yang terdapat dalam kasus kayu yang
ditancap secara sengaja di atas kuburan. Namun demikian, sebaiknya rumput-rumput
dan kayu basah lainnya yang tumbuh sendiri tetap dibiarkannya di atas kuburan
karena itu dapat bermanfaat bagi mayat, tetapi apabila memang rumput-rumput dan
kayu tersebut dapat menghalang orang-orang berziarah ke kuburan atau membuat
orang-orang enggan ke kuburan, maka sebaiknya
dapat dihilangkan rumput dan kayu tersebut sesuai dengan kemaslahatannya. (Penjelasan
point ke-3 ini merupakan pemahaman murni dari kami yang da’if dalam bidang ilmu
agama. Karena itu, kami berharap kritikan dan masukan dari para pakar dan ulama-ulama
kita apabila memang kesimpulan kami ini salah)
[1] Qalyubi, Hasyiah
al-Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz.
I, Hal. 351
[2] Al-Bakry
al-Damyathi , I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II,
Hal. 119-120
[3] Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak pada hamisy Hawasyi
al-Syrawani), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 197
[4]
Syarwani, Hawasyi
al-Syrawani ‘ala Tufah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 197
[5] Khatib
Syarbaini, al-Iqna’, (dicetak dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala
al-Khatib), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 570
[6]
Al-Bujarumi, Hasyiah
al-Bujairumi ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II,
Hal. 570-571