Renungan

Senin, 27 Oktober 2014

Sunnah Membaca Basmallah di Tengah Surat dalam Shalat

Membaca basmalah tetap disunahkan meskipun membaca al-Qur'an bukan pada ayat pertama tetapi di tengah-tengahnya, ini baik dalam di luar shalat maupun di dalam shalat. Dalam Fathul Muin, Zainuddin al-Malibary mengatakan :
تسن التسمية لتلاوة القران و لو من اثناء سورة فى صلاة او خارجها و لغسل و تيمم و ذبح
Disunnahkan membaca basmalah ketika membaca al-Qur'an meskipun berada di tengah-tengah surat baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Sunnah juga ketika mandi, tayamum dan menyembelih”[1]

Dalam Kitabusshalah kitab Fathul Muin juga, Zainuddin al-Malibarry bahkan menegaskan bahwa kesunnahan membaca basmallah ketika mulai membaca di tengah-tengah surat merupakan nash dari Imam Syafi’i. Perkataan al-Malibarry tersebut adalah :
ويسن لمن قرأها من أثناء السورة البسملة نص عليه الشافعي
“Sunnah membaca basmallah bagi orang-orang yang membacanya pada tengah-tengah surat. Ini merupakan nash Imam Syafi’i.”[2]
                                                                                                                               
Fatwa di atas didasarkan kepada sabda Nabi SAW berbunyi : 
كل أمر ذي بال لايبدأ فيه ببسم الله فهو أقطع
Artinya : Sesuatu pekerjaan yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah adalah buntung, yakni tidak ada hasilnya. (H.R. Abu Daud)

Imam al-Nawawi setelah mengatakan meriwayat hadits ini dalam kitab Sunan Abu Daud, beliau mengatakan bahwa beliau telah meriwayat juga hadits ini dari kitab al-Arba’in karya al-Hafizh Abd al-Qadir al-Rahawy, kemudian al-Nawawi mengatakan, hadits ini kualitasnya hasan.[3]



[1] Zainuddin al-Malibarry, Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 44
[2] Zainuddin al-Malibarry, Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 149
[3] Al-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Singapura, Hal. 103

Minggu, 26 Oktober 2014

Hewan Sembelihan pada Aqiqah

Dalam kitab al-Muhazzab, Syeikh al-Syairazi menjelaskan bahwa aqiqah dengan menyembelih hewan untuk menyambut kelahiran anak, hukumnya adalah sunnah berdasarkan hadits Nabi SAW dari Buraidah berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عن الحسن والحسين عليهما السلام
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW telah melakukan aqiqah untuk Hasan a.s. dan Husein a.s. (H.R. al-Nisa-i)

dan perintah aqiqah itu tidak wajib karena bersandarkan kepada riwayat Abdurrahman bin Abi Sa’id dari bapaknya berkata, sesungguhnya Nabi SAW ditanyai mengenai aqiqah, maka beliau bersabda :
ومن ولد له ولد فاحب أن ينسك له فليفعل
Artinya : Barangsiapa yang mempunyai anak, maka ia menyukai melakukan ibadah untuk anaknya, maka lakukanlah. (H.R. Abu Daud dan Baihaqi)

Perintah melakukan melakukan aqiqah dalam hadits di atas disangkutkan kepada menyukai/mencintai, karena itu menunjukkan kepada tidak wajib. Alasan lain yang menunjukkan kepada tidak wajib adalah karena aqiqah merupakan menumpah darah yang bukan karena jinayat dan nazar, maka ia sama halnya dengan hukum qurban.
Adapun yang sunnah disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Sunnah ini berdasarkan hadits Nabi SAW riwayat Ummu Kurz berbunyi :
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن العقيقة فقال للغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
Artinya : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang aqiqah, beliau sabda : untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama keduanya dan untuk anak perempuan seekor kambing.(H.R Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah.)

Alasan lain kenapa anak laki-laki lebih banyak adalah karena aqiqah disyari’atkan untuk menunjukkan kegembiraan lahir anak, sedangkan kegembiraan dengan muncul anak laki-laki lebih besar. Karena itu, penyembelihan untuk anak laki-laki lebih patut di lebih banyak. Adapun apabila disembelih untuk anak laki hanya satu ekor kambing, maka itu diperbolehkan juga, karena bersandar kepada hadits Nabi SAW riwayat dari Ibnu Abbas berkata :
عق رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الحسن والحسين عليهما السلام كبشا كبشا
Artinya : Rasulullah SAW pernah melakukan aqiqah untuk Hasan .a.s dan Husein a.s. masing-masing satu ekor kambing.(H.R. Abu Daud)

Demikian penjelasan Syeikh al-Syairazi dalam kitab al-Muhazzab.[1]
Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab menjelaskan bahwa hadits Buraidah di atas diriwayat oleh al-Nisa-i dengan isnad shahih. Adapun hadits kedua, yaitu hadits riwayat Abdurrahman bin Abi Sa’id dari bapaknya telah diriwayat oleh Abu Daud dan Baihaqi dengan dua jalur sanad. Kedua jalur tersebut dha’if, namun Baihaqi mengatakan hadits ini kuat karena datang dari dua jalur. Adapun hadits Ummu Kurz telah diriwayat oleh Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah. Turmidzi mengatakan, hadits ini shahih. Sedangkan hadits Ibnu Abbas di atas telah diriwayat oleh Abu Daud dengan isnad shahih.[2]
Menurut mazhab Syafi’i dibolehkan juga aqiqah dengan unta dan lembu/kerbau sebagaimana halnya aqiqah dengan kambing. Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
مَذْهَبُنَا جَوَازُ الْعَقِيقَةِ بِمَا تَجُوزُ بِهِ الْأُضْحِيَّةُ مِنْ الابل والبقر والغنم وبه قال أنس ابن مَالِكٍ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ
“Mazhab kita (mazhab Syafi’i) boleh aqiqah dengan hewan-hewan yang dibolehkan pada qurban, yakni unta, lembu dan kambing. Pendapat ini juga merupakan pendapat Anas bin Malik dan Malik bin Anas.”[3]

Dalam mengomentari perkataan pengarang al-Minhaj, Qalyubi mengatakan :
قَوْلُهُ: (بِشَاتَيْنِ) وَأَفْضَلُ مِنْهُمَا ثَلَاثٌ وَمَا زَادَ إلَى سَبْعٍ ثُمَّ بَعِيرٌ ثُمَّ بَقَرَةٌ وَكَالشَّاتَيْنِ سَبُعَانِ مِنْ نَحْوِ بَدَنَةِ فَأَكْثَرَ، وَتَجُوزُ مُشَارَكَةُ جَمَاعَةٍ سَبْعَةٍ فَأَقَلَّ فِي بَدَنَةٍ أَوْ بَقَرَةٍ سَوَاءٌ كَانَ كُلُّهُمْ عَنْ عَقِيقَةٍ أَوْ بَعْضُهُمْ عَنْ أُضْحِيَّةٍ أَوْ لَا، وَلَا كَمَا مَرَّ
“Perkataan pengarang : (dengan dua ekor kambing), yang lebih utama dari itu adalah tiga ekor atau lebih dari itu sampai tujuh ekor, kemudian unta, kemudian lembu. Sama dengan dua ekor kambing sepertujuh dari seumpama seekor unta atau lebih. Dibolehkan berkongsi jama’ah tujuh orang atau kurang pada seekor unta atau lembu, baik semuanya untuk aqiqah atau sebagiannya untuk qurban ataupun tidak  semuanya untuk aqiqah dan tidak sebagiannya untuk qurban sebagaimana yang telah lalu.”[4]
                     
              Berdasarkan dari dhahir nash-nash kitab fiqh Syafi’i di atas, dapat dipahami bahwa kebolehan aqiqah dengan unta dan lembu ini, karena diqiyaskan kepada hewan-hewan yang disembelih pada qurban, karena sebagaimana dimaklumi bahwa hukum aqiqah banyak disamakan dengan dengan qurban pada syara’.



[1] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (Dicetak dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab), Maktabah al-Irsyad, Jeddah,  Juz. VIII, Hal. 406
[2] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah,  Juz. VIII, Hal. 407
[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah,  Juz. VIII, Hal. 431
[4] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 255

Sabtu, 25 Oktober 2014

Kembali untuk membaca takbir setelah membaca Fatihah dalam shalat ‘Aid.

kepseksmpislamalaziziyah@: imam shalat hari raya tidak takbir sebelum fatihah.dan teringat teringat sesudah membaca bismillah fatihah dan ia kembali membaca fatihah.apakakah sah shalatnya.kalau sah tlg referensinya kitab pa tgk
18 Oct 14, 07:20 PM

Jawab :
tidak disunnatkan kembali lagi, namun apabila kembali juga , maka tidak batal shalat, karena ini hanya pada rukun qauli, bukan rukun fi'li.
Dalam I’anah al-Thalibin disebutkan (Juz. I/262 Cet. Thaha Putra-Semarang) :
فإن شرع فيها قبل التكبيرات فإن كانت تلك القراءة التعوذ أو السور قبل الفاتحة لم تفت.وإن كانت الفاتحة فاتت لفوات محلها فلا يسن العود إليها، فإن عاد إليها قبل الركوع عامدا عالما لا تبطل صلاته، أو بعد الركوع بأن ارتفع ليأتي بها بطلت صلاته.

“Seandainya seseorang telah masuk dalam qiraah sebelum takbir, jika qiraah itu membaca ta’awuzz atau surat-surat sebelum membaca fatihah, maka tidak luput takbir itu, tetapi jika qiraah itu adalah fatihah, maka luputlah sunnah membaca takbir karena luput tempat takbir, maka tidak disunnatkan kembali membacanya. Dan jika kembali kepada membaca takbir sebelum ruku’ secara sengaja dan mengetahui, maka tidak batal shalatnya atau sesudah ruku’ dengan cara mengangkatkan kepalanya lagi untuk membaca takbir kembali, maka batallah shalatnya.”

Jumat, 03 Oktober 2014

Qurban dengan Hewan Betina



Qurban merupakan salah satu amalan sunnah dalam Islam. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala berbunyi :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
Artinya : Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap bahimatul an’am (binatang ternak) yang telah direzkikan Allah kepada mereka” (QS. Al-Hajj : 34).

Adapun  mengenai jenis kelamin binatang ternak yang diqurban itu boleh jantan dan boleh juga betina. Al-Syairazi salah seorang ulama Syafi’iyah terkenal mengatakan :
ويجوز فيها الذكر والانثى لما روت أم كرز عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قال (على الغلام شاتان وعلى الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو أناثا) وإذا جاز ذلك في العقيقة بهذا الخبر دل على جوازه في الاضحية ولان لحم الذكر أطيب ولحم الانثى أرطب
“Boleh berqurban dengan yang jantan dan betina karena riwayat Ummu Kurz dari Nabi SAW beliau bersabda : “"Anak laki-laki hendaklah diaqiqah dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan seekor kambing. Tidak mengapa bagi kalian memilih yang jantan atau betina dari kambing tersebut." Jika dibolehkan jantan dan betina dalam aqiqah berdasarkan hadits di atas, maka ini menunjukkan boleh juga dalam hal qurban. Dan juga karena daging kambing jantan lebih enak, sedangkan kambing betina lebih basah."[1]

Hadits Ummu Kurz di atas telah diriwayat oleh Abu Daud, al-Turmidzi, al-Nisa-i, Ibnu Majah dan lainnya. Imam al-Nawawi mengatakan, hadits tersebut kualitasnya hasan.[2]
Fatwa ulama yang senada dengan ini dapat kita simak antara lain :
1.        Imam al-Nawawi dalam kitab beliau, Majmu’ Syarah al-Muhazzab :
يَصِحُّ التَّضْحِيَةُ بِالذَّكَرِ وَبِالْأُنْثَى بِالْإِجْمَاعِ
“Sah berqurban dengan jantan dan betina secara ijmak ulama.”[3]

2.        Dalam kitab Mughni al-Muhtaj disebutkan :
ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺫﻛﺮ ﻭﺃﻧﺜﻰ ﺃﻯ ﺍﻟﺘﻀﺤﻴﺔ ﺑﻜﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ
“Boleh berqurban dengan jantan dan betina secara ijmak ulama.”[4]

3.        Imam al-Ramli mengatakan :
ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺫﻛﺮ ﻭﺃﻧﺜﻰ ﻭﺧﻨﺜﻰ ﻟﻜﻦ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﻟﻮ ﺑﻠﻮﻥ ﻣﻔﻀﻮﻝ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﺃﻓﻀﻞ
“Boleh qurban jantan dan betina, tetapi jantan lebih utama menurut pendapat yang dhahir, meskipun jantan itu bentuknya kurang bagus.”[5]

Berdasarkan keterangan Imam al-Ramli di atas, meskipun yang jenis kelamin betina sah dijadikan qurban, namun yang jantan lebih utama dijadikan sebagai hewan qurban. Hal ini mengingat yang jantan lebih baik dagingnya dan lebih mahal, sedangkan kita disyariatkan agar memilih hewan sebaik mungkin untuk  qurban. Sehingga pahalanya lebih besar. Allah berfirman :
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Artinya : Barang siapa yang mengagungkan syiar Allah maka itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Q.S. al-Hajj : 32)



[1] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (dicetak dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab), Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VIII, Hal. 364
[2] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VIII, Hal. 364
[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VIII, Hal. 369
[4] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 379
[5] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 133