Renungan

Jumat, 26 Desember 2014

Hukum konsumsi kopi luwak

Kopi luwak merupakan biji kopi yang kerap menjadi konsumsi luwak. Luwak adalah hewan sejenis musang yang memiliki kegemaran memakan ayam, kopi, dan juga makanan lainnya. Biji kopi yang menjadi kotoran luwak inilah yang disebut kopi luwak.
Sebelum kita menjawab hukum mengkonsumsikan kopi luwak ini, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menjelaskan bahwa biji-bijian yang ditelan hewan  kemudian dikeluarkan baik dengan cara dimuntahkan ataupun dikeluarkan melalui anus bersama kotorannya, rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
1.    Mutanajjis (benda bernajis,bukan najis)  bila ketika keluar biji tersebut masih baik, bila ditanam akan tumbuh, maka cukup disucikan dengan dibersihkan kotoran-kotoran yang menempel padanya kemudian dicuci dengan air, maka biji tersebut menjadi suci dan dapat dimakan
2.    Najis, bila telah hancur atau busuk, bila ditanam tidak akan tumbuh lagi. Najis tidak dapat disucikan lagi dan tidak boleh dikonsumsi.
Rincian di atas merupakan kesimpulan dari nash kitab-kitab karya ulama mu’tabar berikut ini:
1.    Dalam kitab Majmu' Syarah al-Muhazzab karya Imam al-Nawawi disebtukan :
قال أصحابنا رحمه الله إذا أكلت البهمية حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابتها باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن يجب غسل ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاء لها فما تغير الى الفساد فصار كما لو ابتلع نواة وخرجت فأن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابتها قد زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضى حسين والمتولى والبغوى وغيرهم
Sahabat kami r.a. berkata, ‘Ketika binatang menelan sebuah biji, lalu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka harus dilihat dari kerasnya biji itu. Kalau kerasnya biji itu tetap dalam arti ketika biji itu ditanam lantas tumbuh, maka hukum biji itu suci. Tetapi wajib dicuci permukaan biji itu karena bersentuhan dengan najis. Karena, meskipun biji itu merupakan makanan binatang itu, tetapi biji tersebut tidak  menjadi rusak. Ini sama halnya dengan biji yang ditelan binatang, lalu keluar dari duburnya, maka bagian dalam bijinya adalah suci dan suci kulit bijinya dengan dibasuh. Tetapi jika kekerasan biji itu hilang artinya ketika biji ditanam tidak tumbuh, maka hukum biji itu najis.’ Demikian disebutkan secara rinci. Begitulah dikatakan Qadhi Husein, al-Mutawalli, al-Baghawi, dan ulama lain.”[1]

2.        Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Ramli disebutkan :.

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا ، وَيُحْمَلُ كَلَامُ مَنْ أَطْلَقَ نَجَاسَتَهُ عَلَى مَا إذَا لَمْ يَبْقَ فِيهِ تِلْكَ الْقُوَّةِ .وَمَنْ أَطْلَقَ كَوْنَهُ مُتَنَجِّسًا عَلَى بَقَائِهَا فِيهِ كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الرَّوْثِ ، وَقِيَاسُهُ فِي الْبَيْضِ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ صَحِيحًا بَعْدَ ابْتِلَاعِهِ بِحَيْثُ تَكُونُ فِيهِ قُوَّةُ خُرُوجِ الْفَرْخِ أَنْ يَكُونَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا .  
 “Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis. Karena itu, dapat  difahami bahwa pendapat yang menyebutkan kenajisannya secara mutlaq kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara itu, pendapat yang menyebut secara mutlaq sebagai mutanajjis kemungkinan dalam kondisi tetap, sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Yang serupa dengan biji-bijian adalah pada  telur, maka jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis bukan najis.”[2]

3.        Dalam Fathul Mu`in karya Zainuddin al-Malibari disebutkan :
ولو راثت أو قاءت بهيمة حبا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس يغسل ويؤكل، وإلا فنجس
“Seandainya seekor binatang mengeluarkan kotoran atau memuntahkan biji-bijian, jika biji itu tersebut masih keras sekira kalau ditanam masih tumbuh, maka hukumnya adalah mutanajjis yang dapat dibasuh dan kemudian dimakan, tetapi jika tidak keras lagi, maka najis.”[3]

4.        Dalam Nihayatuz Zain karya al-Nawawi al-Bantani disebutkan :
نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا
“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis[4]

Berdasarkan keterangan-keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan  bahwa mengkonsumsikan kopi luwak, hukumnya dapat dirincikan sebagai berikut :
1.      Apabila biji kopi luwak itu berasal dari kotoran binatang, dimana keadaannya sudah rusak dan tidak keras lagi, maka mengkonsumsinya adalah haram, karena biji tersebut najis.
2.      Ukuran rusak biji tersebut adalah apabila ditanam tidak mau tumbuh lagi
3.      Sebaliknya, apabila biji kopi tersebut masih utuh dan keras dalam arti apabila ditanam masih bisa tumbuh, maka biji kopi tersebut mutanajjis. Dengan demikian, apabila dicuci dengan air, maka hukumnya adalah suci dan dapat dimakan. Hal ini karena biji kopi tersebut sama dengan biji batu yang ditelan binatang kemudian dikeluarkan lewat anus.

Dalil pendapat ini adalah karena tidak ada keterangan dari dalil syara’ yang mengharamkannya. Karena itu, berlakukan qaidah fiqh berbunyi :
الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang mengharamkannya.”[5]

Qaidah fiqh ini didasarkan kepada dalil syara’ sebagai berikut :
1.        Firman Allah Q.S. al-Baqarah : 29 berbunyi :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya : Dia (Allah) yang telah menjadikan untukmu semua apa yang ada di bumi. (Q.S. al-Baqarah : 29)

2.        Dari Abu al-Darda’ beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلَالٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنَ اللَّهِ عَافِيَتَهُ ; فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabnya maka adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka haram dan apa yang didiamkan-Nya, maka dimaafkan. Untuk itu, terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatupun.” (H.R. al-Bazar dan al-Thabrani dengan isnad hasan dan rijal terpercaya)[6]

Adapun kotoran binatang yang telah dinyatakan najis oleh syara’ adalah apabila kotoran itu hancur dan sudah rusak akibat proses penghancuran oleh alat pencernaan makanan dalam lambung. Sedangkan biji kopi luwak ini apabila tidak rusak alias masih keras, maka lebih cenderung sama dengan biji batu yang ditelan binatang dan kemudian dikeluarkan sebagai kotorannya.

Catatan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dalam fatwanya No. 07 Tahun 2010 menetapkan sebagai berikut :
1.      Kopi luwak adalah mutanajjis, bukan najis
2.      Kopi luwak adalah halal setelah disucikan
3.      Mengkonsumsikan kopi luwak adalah boleh
4.      Memproduksikan dan memperjualbelikan kopi luwak adalah boleh



[1] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 591
[2] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, hal. 240
[3] Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin, Dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 82
[4] al-Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain , Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Hal. 50
[5] Al-Suyuthi, al-Asybah wan Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 43
[6] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 171, No. 794

Kamis, 18 Desember 2014

Kisah Ibnu Malik bersama Ibnu Mu’thi

Kitab Alfiyah merupakan sebuah kitab yang sangat populer di kalangan penuntut ilmu Bahasa Arab dalam dunia Islam, sehingga tidak heran kalau banyak bermunculan syarah dan hasyiah-nya oleh ulama-ulama besar sesudahnya. Kitab Alfiyah ini merupakan hasil karya gemilang dari Ibnu Malik dalam ilmu Nahwu. Nama lengkap beliau adalah al-Imam Abu Abdullah Muhammad Jamal al-Din bin Abdullah bin Malik  al-Tha’iy al-Syafi’i  al-Jayany. Lahir di Jayan, sebuah kota di Andulusia. Beliau wafat di Syria pada tahun 672  H dalam usia 75 (tujuh puluh lima) tahun.[1]  Ada satu kisah menarik mengenai perjalanan beliau dalam mengarang kitab Alfiyah ini. Dikisahkan ketika Ibnu Malik menulis nadham dalam Alfiyah dan sampailah pada nadham :
فائقة ألفية ابن معطي
“(Kitab Alfiyah yang aku tulis ini) mengungguli kitab Alfiyah karya  Ibnu Mu'thi"[2]

Setelah menulis penggalan nadham tersebut beliau tak bisa lagi melanjutkan menulis nadhamnya, sehingga pada  suatu malam beliau mimpi bertemu dengan seseorang : Orang itu bertanya pada beliau :
"Aku dengar kamu mengarang kitab Alfiyah dalam ilmu nahwu"  Beliau menjawab : "Iya benar". Orang itu bertanya lagi : "Sampai pada nadham mana engkau menulisnya?"
Ibnu Malik menjawab : "Sampai pada 'fa'iqatan...."  "Apa yang menyebabkanmu tidak menyempurnakannya?" tanya orang itu. Beliau menjawab : "Sudah beberapa hari aku tidak bisa melanjutkan menulis nadham". Orang itu berkata lagi : "Apa kamu ingin menyempurnakannya?" "Tentu" jawab Ibnu Malik. Orang itu berkata : "Orang yang masih hidup bisa saja mengalahkan seribu orang yang sudah mati".Terperangah dengan perkataan itu, Ibnu Malik bertanya : "Apakah anda  Ibnu Mu'thi?" "Betul" jawab orang itu.
Ibnu Malik merasa malu kepada beliau. Begitu pagi harinya, jatuhlah lembaran tersebut, maka setelah itu beliau menambahkan kalimat pujian pada Imam Ibnu Mu'thi dalam nadhamnya sebagai rasa penyesalan dan penghormatan pada beliau, nadham yang beliau tambahkan :
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
“Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah”
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
“Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat..”[3]

Catatan
Nama lengkap Ibnu Mu’thi adalah al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Mu’thi al-Zawawy al-Magribi. Lahir di Magribi, menetap dalam masa yang lama di negeri Syam (Syria), kemudian melakukan perjalanan ke Mesir sehingga beliau wafat pada 628 H, umur beliau ketika itu 64 (enam puluh empat) tahun dan dikebumikan dekat kubur Imam Syafi’i di Mesir.[4]





[1] Al-Khudhari, Hasyiah ‘ala Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah. Al-Haramain, Juz. I, Hal. 7
[2] Ibnu Malik , Alfiyah, Syirkah Bankul Indah, Surabaya, Hal. 2
[3] Ibnu Hamdum bin al-Haj, Hasyiah Ibnu Hamdun ‘ala Syarh Alfiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 23
[4] Ibnu Hamdum bin al-Haj, Hasyiah Ibnu Hamdun ‘ala Syarh Alfiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 23

Sabtu, 06 Desember 2014

Allah Bukan di Langit (Bag. 3) {Bantahan terhadap syubhat-syubhat kaum Mujassimah yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit)


Dalil lain yang sering dijadi sebagai argumentasi kaum Mujassimah adalah hadits dalam Shahih Muslim berbunyi :
قَالَ: وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Artinya : Mu’awiyah ibn al-Hakam al-Salamy berkata : “Aku memiliki seorang budak perempuan yang mengembala kambing-kambingku disekitar Uhud dan Jawaniyah. Pada suatu hari aku saksikan seekor serigala menyambar seekor kambing gembalaannya, karena aku seorang anak Adam (manusia biasa) maka aku menyesalinya seperti mereka juga menyesalinya. Hanya saja aku menempelengnya dengan sekali tempelengan, kemudian aku mendatangi Rasulullah SAW, aku menyesali perbuatanku. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah perlu aku merdekakan dia?” Beliau bersabda, “Bawa dia kemari!” Maka aku bawa ia menghadap beliau. Beliau bertanya kepadanya, “Di mana Allah?” Ia menjawab, “Di langit.” Siapa aku?, lanjut Nabi. ‘Engkau Rasulullah’, jawabnya. Maka Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Sesungguhnya ia seorang mukiminah.”(H.R. Muslim)[1]

Kaum Mujasssimah mengatakan, hadits ini dengan gamblang menjelaskan kepada kita bahwa Allah berada di langit sesuai dengan pengakuan budak perempuan dalam kisah hadits ini dan Rasulullah SAW sendiri mengakui keimanannya dengan sebab pengakuan tersebut. Selanjutnya mereka mereka mengatakan, dengan demikian i’tiqad bahwa Allah berada di langit merupakan i’tiqad yang haq.
Bantahan :
Perlu menjadi catatan bagi kita bahwa dalam bidang pokok-pokok akidah (keyakinan) tidak dibolehkan kecuali ditegakkan di atas pondasi dan dasar yang qath’i (pasti dan tidak mengandung ta’wil  atau kesamaran). Karena itu, Allah berfirman dalam al-Qur’an :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (keyakinan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(Q.S. al-Isra’ : 36)

Ini berbeda dengan masalah-masalah furû’iyah (fiqh praktis/amaliyah) dimana para ulama membolehkan membangun kesimpulan mengenainya berdasarkan dalil-dalil dhanniyah (dugaan yang tidak sampai kepada yakin). Kami kira semua orang akan mudah memahami ini, karena tidak mungkin sebuah kesimpulan yang bersifat qath’i dibangun hanya dari dalil yang bersifat dhanni.  
Hadits ahad hanya bernilai dhanni, tidak qath’i
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayat oleh satu orang atau lebih, tetapi tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Jumhur ulama Islam menjelaskan kepada kita bahwa hadits ahad ini tidak bersifat qath’i, tetapi hanya dhanni. Berikut ini sejumlah penjelasan dari ulama-ulama kita, antara lain :
1.        Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan gelar Imam al-Haramain mengatakan dalam kitabnya :
وخبر الواحد لا يعقب العلم
“Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)”[2]

Dalam kitab karya beliau yang lain, beliau mengatakan :
والاحاد وهو الذي يوجب العمل ولا يوجب العلم لاحتمال الخطأ فيه
“Ahad adalah yang mewajibkan amal dan tidak mewajibkan ilmu (keyakinan), karena ada kemungkinan salah padanya.”[3]

2.        Zakariya al-Anshari mengatakan :
واما مظنون الصدق فخبرالواحد وهو مالم ينته الى التواتر
“Adapun yang dhan benar, maka itu adalah hadits ahad, yakni yang tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.”[4]

3.        Imam al-Nawawi mengatakan :
فَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ

“Maka pendapat yang pegangan jumhur kaum Muslimin, baik sahabat, Tabi’in maupun ulama-ulama sesudah mereka, ahli hadits, fuqaha dan ahli ushul adalah hadits ahad dari orang yang terpercaya menjadi hujjah dari segala hujjah syara’ yang mewajibkan amal dengannya, tetapi tidak memfaedahkan ilmu (keyakinan).”

Selanjutnya beliau menjelaskan :
وذهب بعض المحدثين إلى أن الاحاد التي في صحيح البخاري أو صحيح مسلم تفيد العلم دون غيرها من الاحاد ؟ وقد قدمنا هذا القول وإبطاله في الفصول
“Sebagian Ahli Hadis berpendapat bahwa hadis Ahâd yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim memberikan kepastian informasi, tidak hadis Ahâd dalam selain keduanya. Dan telah kami paparkan panjang lebar bukti kebatilan pendapat ini dalam beberapa pasal sebelumnya…..”[5]

4.        Al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr mengatakan :
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ فِي خَبَرِ الْوَاحِدِ الْعَدْلِ هَلْ يُوجِبُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِيعًا أَمْ يُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَالَّذِي عَلَيْهِ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْهُمْ أَنَّهُ يُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورُ أَهْلِ الْفِقْهِ وَالنَّظَرِ وَلَا يُوجِبُ الْعِلْمَ عِنْدَهُمْ إِلَّا مَا شَهِدَ بِهِ عَلَى اللَّهِ وَقَطَعَ الْعُذْرُ بِمَجِيئِهِ قَطْعًا وَلَا خلاف فيه
“Para ulama kami (Malikiyah) dan selainnya berselisih pendapat tentang hadis ahad yang adil, apakah ia memberikan kepastian ilmu (keyakinan) dan menjadi dasar pengamalan atau hanya pengamalan saja? Menurut mayoritas ulama ia hanya menentukan amal saja tidak memberikan kesimpulan ilmu pasti. Ini adalah pendapat Syafi’i dan jumhûr Ahli Fiqh dan Teologi. Menurut mereka tidaklah memberikan kepastian ilmu kecuali yang dikuatkan dari Allah dan memutus semua uzur, sebab ia telah datang dari jalur pasti yang tidak diperselisihkan lagi.”[6]

Berdasar keterangan ulama –ulama besar kita di atas, nyatalah bagi kita bahwa bahwa hadits ahad yang bernilai dhanni ini tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah. Ketidakhujjahan tersebut dikarenakan kemungkinan adanya kesalahan, kealpaan, pemalsuan bisa saja terjadi, sedangkan akidah sebagaimana dimaklumi dibangun atas dasar keyakinan dan kepastian.[7]
Hadits al-jariah (budak perempuan) di atas adalah hadits ahad
Hadits al-jariah ini sebagaimana telah dikutip di atas merupakan hadits riwayat Imam Muslim melalui jalur ‘Atha’ bin Yasar dari Mu’awiyah bin al-Salamy. Hadits ini tidak diriwayat oleh Imam al-Bukhari. Hadits ini merupakan hadits ahad yang riwayatnya tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Dengan demikian, tingkat kebenaran hadits ini tidak sampai tingkatan keyakinan, tetapi hanya tingkatan dhan saja. Karena itu, sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka hadits ini tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah, karena keyakinan dalam bidang akidah harus dibangun berdasarkan dalil yang pasti/yakin, tidak boleh hanya dengan argumentasi yang nilainya hanya dhan saja. Lagi pula hadits ini meskipun shahih sanadnya, tetapi makna dhahirnya bertentangan dengan aqidah yang sudah menjadi ijmak ulama bahwa Allah tidak bertempat dan tidak mempunyai arah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 1 (satu) tulisan ini.
Perlu menjadi catatan kita bahwa hadits al-jariah ini datang dalam kebanyakan  riwayat lainnya dengan mempunyai redaksi yang berbeda dengan riwayat Muslim di atas. Riwayat-riwayat itu antara lain :
1.        Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ibnu Juraij, ia berkata, Athâ’ mengabarkan kepadaku :
فَسَأَلَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ وَأَنَّ الْمَوْتَ وَالْبَعْثَ حَقٌّ؟ قَالَتْ: نَعَمْ وَأَنَّ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ حَقٌّ؟  قَالَتْ: نَعَمْ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: أَعْتِقْ أَوْ أَمْسِكْ
Artinya : Nabi SAW menanyakan kepada budak perempuan itu, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau beriman bahwa kematian dan kebangkitan setelah kematian haq?” Ia menjawab, “Ya. Nabi SAW  bertanya lagi, ”Apakah engkau beriman bahwa surga dan nereka itu haq?”Ia menjawab, ”Ya.”Maka setelah selesai, Nabi SAW bersabda, “Merdekakan atau tahan dia”(H.R. Abdurrazzaq)[8]

Hadits ini juga telah diriwayat oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya,[9] al-Haitsami mengatakan, hadits riwayat Ahmad ini rijalnya shahih.[10]
2.        Hadits diriwayat dari Abu Hurairah r.a :
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ أَعْجَمِيَّةٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ عتق رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " أَيْنَ اللَّهُ؟ " فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا إِلَى السَّمَاءِ بِأُصْبُعِهَا السَّبَّابَةِ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " مَنْ أَنَا؟ " فَأَشَارَتْ بِأُصْبُعِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَإِلَى السَّمَاءِ ; أَيْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ: " أَعْتِقْهَا".
Artinya : Sesungguhnya seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dengan seorang budak perempuan hitam ‘ajamiah, dia berkata kepada Rasulullah SAW, : “Ya Rasulullah, sesungguhnya  ada kewajiban atasku memerdekakan  seorang budak perempuan yang beriman.” Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Dimana Allah ?” maka budak itu mengisyaratkan dengan kepalanya ke langit serta telunjuknya. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan pertanyaan : “Siapa saya ?”, budak itu mengisyaratkan dengan telunjuknya kepada Rasulullah SAW dan kepada langit, maksudnya “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Merdekakan dia” (H.R. Ahmad, al-Bazar dan al-Thabrani dalam al-Ausath. Rijalnya terpercaya) [11]

3.        Hadits dari Abu Salamah dari Syarid berkata :
 أتيت النبي صلعم فقلت: إنَّ عَلى أُمِّيْ رَقَبَةً وإنَّ عِنْدِي جارِيَةً سَوْداءَ نُوْبِيَّةً، أَفَتُجْزِئُ عَنْها ؟ قال: أدع بها! فقال: أَتَشْهَدِيْنَ أنْ لا إله إلا اللهُ ؟ قالت: نعم. قال: أَعْتِقْهَا فَإنَّها مُؤْمِنَةٌ!
Artinya : Aku mendatangi Nabi SAW dan berkata, ’Sesungguhnya atas ibuku kewajiban memerdekakan budak sahaya, dan aku punya seorang budak perempuan berkulit hitam dari suku Nubi, apakah ia memadai ? Nabi SAW  bersabda, ’Bawa dia ke mari!’ (setelah ia didatangkan) Nabi SAW bertanya kepadanya, ’Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Ia menjawab, ’Ya.’ Maka Nabi SAW bersabda “Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang wanita mukminah!.”(H.R. al-Darimi)[12]

4.        Dari Syarid ibn Suwaid al-Tsaqafi, ia berkata:
.قلت يا رسول الله ، إنَّ أُمِّي أَوْصَتْ أنْ نُعْتِقَ عَنها رَقَبَةً وعندي جارِيَةٌ سَوْدَاءُ، قال: أُدْعُ بِها! فَجَاءتْ ، فقال: مَنْ رَبُّكَ ؟ قالت: اللهُ. قال: مَنْ أنَا؟ قالت: أنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قال: أعتقها فإنها مؤمنة
Artinya : ِAku mengatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku berwasiat agar kami memerdekakan budak dan aku punya seorang budak sahaya berkulit hitam. Nabi SAW bersabda, ‘Panggil dia!’ Lalu dia datang, maka Nabi SAW bertanya, ‘Siapa Tuhanmu? Ia berkata, ‘Allah.’ Nabi SAW  bertanya lagi, ‘Siapa aku?’ ia menjawab, ‘Engkau adalah Rasul Allah.’ Nabi SAW bersabda memerintah, ‘Merdekakan dia karena sesungguhnya dia seorang wanita mukminah.’”(H.R. Ibnu Hibban [13] dan al-Baihaqi[14])
5.        Dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah :
أَنَّ رَجُلًا مِنْ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم في جَارِيَةٍ لَهُ سَوْدَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، أفأعتق هذه؟ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم: أَتَشْهَدِينَ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: أَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: أَتُوقِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم: فَأَعْتِقْهَا إذًا.
Artinya : Sesungguhnya ada seorang dari Anshar datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa seorang budak berkulit hitam, lalu ia berkata, “Hai Rasulullah, atasku ada kewajiban memerdekakan budak mukmin, apakah aku dapat memerdekakan si ini ?. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW melanjutkan, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Ia pun menjawab, “Ya.” Nabi SAW bersabda lagi, “Apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?“ Ia menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Merdekakan dia.”(H.R. Malik)[15]
Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Tamhîd, syarah al-Muwaththa’ mengomentari  hadits ini bahwa dhahir riwayatnya adalah mursal, namun didapat dianggap bersambung sebab Ubaidillah berjumpa dengan sejumlah sahabat Nabi SAW.[16]
Dari beberapa hadits ini saja sudah terlihat kepada kita terdapat perbedaan redaksi satu sama lain yang tidak dapat dikompromikan. Dalam hadits riwayat Muslim Nabi SAW menanyakan “dimana Allah” dan budak itu menjawab : “di langit”, sedangkan dalam riwayat Abdurrazaq perkataan “dimana Allah” dan “di langit” tidak ditemui, demikian juga dalam riwayat Malik, al-Darimi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi, yang ada justru  kesaksian bahwa Tuhan adalah Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah dan seterusnya. Adapun dalam riwayat Ahmad, al-Bazar dan al-Thabrani, dhahirnya budak perempuan tersebut adalah bisu, karena budak itu beberapa kali menjawab pertanyaan Rasulullah SAW dengan isyarat, tidak dengan ucapan langsung.
Pernyataan ahli hadits yang menjelaskan  bahwa hadits al-jariah banyak terjadi perbedaan redaksinya dapat disimak antara lain :
1). Al-Baihaqi mengatakan :
قَدْ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مُقَطَّعًا مِنْ حَدِيثِ الْأَوْزَاعِيِّ وَحَجَّاجٍّ الصَّوَّافِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ دُونَ قِصَّةِ الْجَارِيَةِ، وَأَظُنُّهُ إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنَ الْحَدِيثِ لِاخْتِلَافِ الرُّوَاةِ فِي لَفْظِهِ. وَقَدْ ذَكَرْتُ فِي كِتَابِ الظِّهَارِ مِنَ السُّنَنِ مُخَالَفَةَ مَنْ خَالَفَ مُعَاوِيَةَ بْنَ الْحَكَمِ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ
“Imam Muslim telah meriwayatkannya dengan memotong (tidak keseluruhan)dari hadis  al Auza’i dan Hajâj ash Shawwâf dari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah. Mungkin ia meninggalkan penyebutannya dalam hadis itu disebabkan perselisihan para perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab al-Sunan pada bab al-Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibn Hakam dalam redaksi hadis.”[17]

2). Dalam Kasyf al-Astar disebutkan :
قَالَ الْبَزَّارُ: وَهَذَا قَدْ رُوِيَ نَحْوُهُ بِأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ.
 “Al-Bazar mengatakan, “Ini (hadits al-jariah) telah diriwayatkan hadits serupa dengannya dengan redaksi yang berbeda-beda.”[18]

3). Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mengomentari hadits al-jariah ini, mengatakan :
وَفِي اللَّفْظِ مُخَالَفَةٌ كَثِيرَةٌ
”Pada redaksinya banyak terjadi perbedaan.” [19]

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami kalau sebagian ahli hadits menganggap hadits al-jariah di atas adalah muththarib (goyang) matannya, karena datang redaksinya dalam beberapa jalur yang berbeda satu sama lainnya. sedangkan hadits muttharib adalah dha’if. Al-Muhaddits al-Kautsary (Lahir : 1296 H) dan diikuti oleh  Sayyed Hasan al-Saqaf (ahli hadits kontemporer) telah menyebutkan secara tegas bahwa hadits ini muththarib.[20] Al-Muhaddits al-Fazha’i  al-Idhamy al-Syafi’i  (w. 1376 H) menjelaskan kepada kita bahwa redaksi “dimana Allah” dan “di langit” pada hadits jariah tersebut bukanlah ucapan Rasulullah SAW, tetapi hanya merupakan ucapan sebagian perawi (riwayat bil-makna) yang tersalah dalam pengungkapannya. Argumentasi yang dikemukakan al-Idhamy, karena kaum musyrik Arab tidak keluar dari keadaan mereka sebagai orang musyrik, padahal mereka juga mengi’tiqad bahwa Allah di langit. Sesungguhnya yang dapat mengeluarkan mereka dari syirik adalah pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah sebagaimana terdapat dalam riwayat lain mengenai kisah al-jariah ini.[21] Dalil bahwa seseorang tidak terlepas dari syirik sehingga ada pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah adalah hadits Nabi SAW berbunyi :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah (H.R. al-Thabrani dengan rijal terpercaya)[22]

Dalam riwayat lain berbunyi :
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka naik saksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. (Muttafaqun ‘alaihi)
Al-Suyuthi mengatakan hadits ini bernilai mutawatir.[23] Al-Munawi juga mengatakan hadits ini mutawatir, karena telah diriwayat oleh lima belas orang sahabat Nabi SAW.[24]
Alhasil hadits al-jariah ini tidak dapat menjadi hujjah, karena hadits ini dha’if menurut sebagian ahli hadits. Kalaupun hadits ini shahih, maka juga tidak dapat menjadi hujjah, karena hadits ini adalah hadits ahad. Hadits ahad meskipun shahih tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini.
Pemahaman hadits al-jariah yang benar
Seandainya hadits al-jariah ini dapat dijadikan hujjah (sekali lagi seandainya dapat dijadikan hujjah), maka panafsirannya juga tidak sebagaimana dhahir redaksinya sebagaimana dakwaan kaum Mujassimah. Hal ini karena penafsiran secara dhahir bertentangan dengan ijmak ulama yang mengatakan bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan arah dan demikian juga bertentangan dengan sharih ayat al-Qur’an dan dalil syara’ lainnya sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian (1) tulisan ini. Berikut ini penjelasan para ulama mengenai pengertian hadits ini, antara lain :
1.    Imam an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, berkata:
هذا الحديث من أحاديث الصفات وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الايمان: أحدهما : الايمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شئ وتنزيهه عن سمات المخلوقات، والثاني : تأويله بما يليق به ، فمن قال بهذا قال: كان المراد امتحانُها هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة وليس ذلك لانه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة، بل ذلك لان السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين، أو هي من عبدة الاوثان العابدين للاوثان التي بين أيديهم فلما قالت في السماء علم أنها موحدة وليست عابدة للاوثان.
“Hadis ini termasuk hadis-hadis sifat. Tentangnya ada dua aliran (penafsiran), telah lewat berulang kali keterangan tentangnya dalam Kitabul Iman, Pertama : Mengimaninya tanpa menelusuri maknanya dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala  tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk. Kedua : menta’wilkannya dengan makna yang layak bagi-Nya. Dan batangsiapa yang mengikuti pendapat ini mengatakan bahwa maksud kandungan hadits ini adalah menguji si budak wanita itu apakah ia mengesakan Allah dengan mengakui bahwa Zat Maha Pencipta, Mengatur semesta alam dan yang Maha Berbuat segala sesuatu adalah hanya Allah? Dan Dialah yang apabila seorang pendo’a memanggil-Nya ia menghadap langit, seperti jika ia shalat menghadap Ka’bah. Yang demikian bukan dikarenakan Allah dibatasi di langit sebagaimana Dia tidak dibatasi di arah Ka’bah, akan tetapi karena langit adalah kiblat para pendo’a sebagaimana ka’bah kiblat shalat, atau dia (budak perempuan itu) adalah penyembah patung yang berada di depan para penyembahnya. Dan ketika ia mengatakan: Dia di langit, Nabi SAW memaklumi bahwa dia seorang yang mengesakan Allah bukan penyembah patung.”[25]
2.      Qadhi ‘Iyadh mengatakan :
 لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقتدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقول الله تعالى ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الارض ونحوه ليست على ظاهرها
“Tidak diperselisihkan di antara kaum Muslimin, baik ahli fikih, ahli hadis, para teoloq, ahli pikir dan pengikut di antara mereka bahwa dhahir-dhahir nash yang datang menyebut Allah di langit seperti firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu?” dan yang semisalnya itu tidak diartikan secara dhahirnya.”[26]

3.      Al-Hafidh Ibnu al-Jauzy dalam mengomentari hadits ini, mengatakan :
.قلت : قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا تحويه السماء والارض ولا تضمه الاقطار وإنما عرف بإشارتها تعظيم الخالق عندها .
“Aku berkata, ‘Telah tetap di kalangan para ulama bahwa Allah Ta’ala tidak dirangkum oleh langit dan bumi dan tidak pula dihimpun oleh penjuru, akan tetapi dikenali-Nya dengan isyarat budak perempuan itu kearah langit karena pengagungan Zat Maha Pencipta.”[27]

            Jadi, isyarat budak perempuan itu bahwa Allah di langit bukan bermakna sesungguhnya, tetapi hanya sebagai ungkapan pengagungan kepada Allah Ta’ala sebagaimana syair-syair klasik orang-orang Arab telah membuktikan bahwa mereka terbiasa jika hendak mengagungkan sesuatu perkara mensifatinya dengan sesuatu yang tinggi, seperti bait syair yang digubah pujanggga kenamaan Arab di masa jahiliyah, ’Antarah ibn Syaddâ al-Absi:
مقامك في جو السماء مكانه * وباعي قصير عن نوال الكواكب
“Kedudukanmu di awang-awang langit tempatnya * sedangkan lenganku pendek tuk menggapai bintang gemintang.”[28]

Akhthal salah seorang penyair terkenal pada zaman Bani Umayyah juga menggubah bait syair berbunyi:
بنو دارم عند السماء وأنتم * قذى الارض أبعد بينما بين ذلك
”Suku Bani Dârim di langit sedangkan kamu* debu bumi, duhai alangkah jauhnya antara keduanya.”[29]

4.  Membantah Ibnu Zafil yang berpendapat Allah berada di langit, Imam al-Subki dalam kitabnya al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni Zafîl mengatakan :
أقول: أما القول: فقوله صلعم للجارية  "أين الله ؟" قالت: "في السماء" وقد تكلم الناس عليه قديما وحديثا والكلام عليه معروف ولا يقبله ذهن هذا الرجل
ِAku berkata ‘Adapun ucapannya: Sabda Nabi SAW kepada si budak perempuan, ‘Di mana Allah?’ dan jawabannya, ‘Di langit.’ Ketahulilah bahwa para ulama sejak dahulu hingga sekarang telah banyak membicarakan hadis tersebut. Pembicaraan tentangnya sangat ma’ruf, dan akan orang ini (Ibnu Zafil) tidak menerimanya.”[30]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits al-jariah tersebut tidak boleh ditafsirkan menurut makna dhahirnya, akan tetapi wajib diserahkan maksudnya kepada Allah Ta’ala tanpa menelusuri maknanya dengan mengi’tiqad bahwa Allah maha suci dari mempunyai tempat dan arah (mazhab tafwidh). Atau menafsirkannya sesuai dengan sifat yang layak bagi kemahasucian Allah Ta’ala sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang telah kita kemukakan di atas.

Bersambung ke bag. 4




[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 381, No hadits : 537
[2] Al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khaniji, Mesir, Hal. 419
[3] Al-Juwaini, al-Warqaat, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqaat), Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 19
[4] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 97
[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 187-188
[6] Ibnu Abd al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 7
[7] Lihat al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 188
[8] Abdurrazzaq, Mushannaf Abdurrazzaq, Maktabah Syamilah, Juz. IX, hal. 175
[9] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Maktabah Syamilah, Juz. XXV, Hal. 19, No. Hadits 15743
[10] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 23
[11] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 23-24, No Hadits 42
[12] Al-Darimi, Sunan al-Darimi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1514, No. hadits : 2393
[13] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 418, No. 189
[14] Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 638, No. 15272
[15] Imam al-Malik, al-Muwatha’, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 405, No. 2731
[16] Ibnu Abd al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 114
[17] Al-Baihaqi, al-Asmaa wal-Shifat, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 325
[18] Al-Haitsami, Kasyf al-Astar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 14
[19] Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkish al-Habiir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 448
[20] Hasan al-Saqaf,  Syarah Aqidah al-Thahawiyah,  Dar al-Imam al-Rawas,  Beirut, Hal. 357
[21] Al-Fazha’i  al-Idhamy al-Syafi’i, al-Barahin al- Sathi’ah, al-Mathba’ah al-Sa’adah,  Hal. 263
[22] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25.
[23] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal.2250
[24] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 188
[25] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 33-34
[26] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 34
[27] Ibnu al-Jauzy, Daf’u Syubah, Dar al-Imam al-Rawaas, Beirut, Hal. 189
[28] Al-Khatib al-Tabrizy, Syarah Diwan ’Antarah, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 35
[29] Mahdi Muhammad Nashiruddin, Syarah Dewan al-Akhthal, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 221
[30] Imam al-Subki, al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni Zafîl, Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Kairo, Hal. 82-83