Di antara dalil yang sering kali menjadi andalan kaum
Mujassimah adalah firman Allah Ta’ala berbunyi :
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ
الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ
يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17)
Artinya : Apakah
kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,
atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan
mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana
(akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Q.S. al-Mulk : 16-17)
Kaum Mujassimah mengatakan, ayat ini secara tegas
menjelaskan kepada kita bahwa Allah itu bertempat di langit. Kenapa kita tidak
mau beriman dengat ayat ini ?.
Bantahan
Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami kemukakan pada
bagian (1) tulisan ini sebelumnya, baik ayat-ayat al-Qur’an, hadist Nabi maupun
dalil akal yang bersifat qath’i, maka kita beryakinan bahwa Allah Ta’ala
mustahil bertempat di langit maupun pada sesuatu tempat. Karena itu, semua
nash-nash syara’ yang dhahirnya menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bertempat wajib
dipahami dengan makna yang menyucikan Allah dari sifat-sifat baharu tersebut. Karena
itu, Qadhi ‘Iyadh mengatakan :
لا خلاف
بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقتدهم أن الظواهر الواردة
بذكر الله تعالى في السماء كقول الله تعالى ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الارض ونحوه ليست على ظاهرها
“Tidak diperselisihkan di antara
kaum Muslimin, baik ahli fikih, ahli hadis, para teoloq bahwa dhahir-dhahir
nash yang datang menyebut Allah di langit seperti firman Allah: “Apakah kamu
merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu?” dan yang semisalnya itu tidak diartikan secara dhahirnya.”[1]
Dalam mengomentari riwayat budak perempuan yang ditanya
Rasulullah SAW kepadanya di mana Allah, Imam al-Nawawi berkomentar sebagai
berikut :
هَذَا
الْحَدِيثُ مِنْ أحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَفِيهَا مَذْهَبَانِ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُمَا
مَرَّاتٍ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ أَحَدُهُمَا الْإِيمَانُ بِهِ مِنْ غَيْرِ
خَوْضٍ فِي مَعْنَاهُ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَتَنْزِيهِهِ عَنْ سِمَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ وَالثَّانِي تَأْوِيلُهُ بِمَا
يَلِيقُ بِهِ
“Hadis ini termasuk hadis-hadis
shifat. Tentangnya ada dua aliran (penafsiran), telah lewat berulang kali
keterangan tentangnya dalam Kitabul Iman, Aliran pertama : mengimaninya tanpa
membincangkan maknanya dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala tidak ada sesuatu
yang menyerupai-Nya, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk. Aliran kedua :
menta’wilkannya dengan memaknainya sesuai manka yang layak bagi-Nya.”[2]
Apabila kaum Mujassimah mengatakan wajib memahami ayat di
atas dengan makna dhahirnya, maka dapat kita kemukakan di sini bahwa banyak
sekali nash-nash syara’, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi dimana makna
dhahirnya justru bertentangan dengan makna dhahir ayat di atas. Lalu apakah
kita harus memaknainya dengan makna dhahirnya?. Jawabnya tentu tidak sama
sekali. Berikut ini nash-nash syara’ yang dhahirnya menunjukkan bahwa Allah
Ta’ala tidak hanya bertempat di langit, antara lain :
1.
FirmanAllah berbunyi :
وَهُوَ اللهُ فِي السَمَواتِ وَ
الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَ يَعْلَمُ مَا تَكْسِبُوْنَ.َ
Artinya : Dan Dialah Allah di langit
maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu
lahirkan dan mengatahui apa yang kaum usahakan. (Q.S. al-An’am : 3)
Seandainya kaum Mujassimah mengatakan wajib mengartikan
nash-nash syara’ tentang sifat Allah secara dhahir, maka pastilah ia akan
merobohkan akidahnya sendiri, sebab dhahir ayat ini mengandung makna bahwa Allah
itu berada di langit dan bumi, bukan hanya di langit saja sebagaimana akidah
mereka. Padahal tidak seorangpun dari umat Islam yang mengatakan bahwa Allah bertempat
di langit dan di bumi. Maha Suci Allah dari bertempat di langit dan di bumi.
Karena itu, para ulama Islam, baik salaf maupun khalaf tidak memahami ayat di
atas secara dhahirnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan para ulama tafsir
sepakat menolak pemahaman kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala
berada pada setiap tempat dengan mendasarkan kepada ayat ini. Selanjutnya Ibnu
Katsir mengatakan setelah terjadi kesepakatan tersebut, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mentakwilnya,
yang lebih shahih dari tafsir-tafsir itu adalah Yang diseru itu adalah Allah
yang disembah, diesakan dan diakui ketuhanannya oleh orang-orang yang ada di
langit dan di bumi.[3]
2.
Firman
Allah SWT:
وهُوَ مَعَكمْ أَيْنَما كُنتُم.
Artinya
: Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada. (Q.S. Al-Hadid : 4)
dan ayat:
وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالكُمْ
Artinya : Dan Allah
bersama kamu dan Dia
sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Q.S. Muhammad : 35)
Lafadz Allah adalah nama untuk zat bukan sifat. Jadi apabila
dimaknai secara dhahir sebagaimana doktrin kaum Mujassimah, maka ayat ini
menunjukkan bahwa Allah berada di bumi bersama manusia. Karenanya, di sini
tidak ada jalan lain selain mentakwilkan ayat di atas dan mengatakan bahwa dhahir
ayat ini bukan yang dimaksud. Ibnu Katsir mengatakan tafsir Q.S al-Hadid : 4
ini adalah Allah selalu melihat dan menyaksikan segala perbuatan kamu dimana
saja kamu berada, baik di darat mapun di laut, malam atau siang, di rumah-rumah
atau di gurun.[4] Sedangkan dalam menafsirkan Q.S. Muhammad :
35, Ibnu Ktasir mengatakan pada ayat ini merupakan kabar gembira dengan
pertolongan dan kemenangan atas musuh. [5]
Jadi maksud kedua ayat di atas bukan dalam arti zat Allah ada bersama mereka,
tetapi yang ada beserta mereka itu hanya
ilmu serta bashar Allah dan pertolongan serta anugerah kemenangan.
3.
Allah SWT berfirman :
فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ (83) وَأَنْتُمْ
حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ (84) وَ نحْنُ أَقْرَبُ إلَيْهِ مِنْكُم و لكن
لاَ تُبْصِرُوْنَ. (85)
Artinya : Maka
mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu, tetapi kamu tidak
melihat (Q.S. al-Wâqi’ah : 85)
Ayat
ini menjelaskan tentang seseorang yang sedang menghadapi sakratul maut dan di
sekelilingnya ada keluarga atau teman-teman dekatnya yang sedang
mengerumuninya, di mana jaraknya sangat dekat dengannya, akan tetapi Allah
menegaskan: “Kami lebih dekat kepadanya dari kamu” . Jika ayat ini harus
dimaknai secara dhahir tanpa menta’wilkannya, maka akan bermakna Allah berada di bumi di sisi hamba
yang sedang dalam keadaan sakratul maut itu. Dan itu artinya, Allah Ta’ala tidak berada di
langit sebagai yang diyakini kaum Mujassimah. Karena itu, ayat-ayat yang
seperti ini yang makna dhahirnya menunjukkan kepada bahwa Allah bertempat, baik
bertempat di langit maupun di bumi harus dimaknai dengan makna lain yang sesuai
dengan keagungan Allah dan kesucian-Nya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, makna “Kami”
pada ayat ini adalah para malaikat Kami.[6]
Ini sama halnya dengan seorang presiden yang mengatakan “Kami telah membangun
jalan-jalan di negara kami”, tentu maknanya bukan berarti seorang presiden
langsung berada di jalan-jalan memegang peralatan membangun jalan, tetapi
maksudnya adalah pembangunan jalan itu atas perintah sang presiden.
4.
Allah SWT berfirman:
وَ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسانَ وَ
نَعْلَمُ ما تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَريدِ.
Artinya : Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Q.S. Qâf : 16)
Apakah dengan ayat ini kita akan mengatakan bahwa Allah
berada dalam salah anggota tubuh kita? Jawabnya tentu tidak. Tidak seorangpun
seorang yang beriman dan berakal sehat mengatakan seperti itu. Karena itu, ayat
ini tidak mungkin dipahami secara dhahir. Para Ahli tafisr menafsirkan firman
Allah : “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” dengan para
malaikat lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya atau maksud “Kami”
tersebut adalah ilmu Kami supaya tidak lazim ittihat dan hulul.[7]
5.
Ketika Nabi Ibrahim a.s. didhalimi kaumnya, beliau berkata
sebagaimana yang diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya :
إنِّيْ ذاهِبٌ إلى رَبِّيْ
سَيَهْدِينِ.
Artinya : Dan Ibrahim berkata:
“Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk
kepadaku.” (Q.S. ash-Shâffât : 99)
Nabi Ibrahim as. tidak hidup di langit dan beliau juga tidak
hendak pergi ke langit untuk menjumpai Allah, lalu setelah itu beliau kembali
lagi ke muka bumi. Apabila ayat seperti ini harus ditafsirkan secara makna
dhahirnya sebagaimana dakwaan kaum Mujassimah, maka tentu ayat ini akan
bermakna bahwa Nabi Ibrahim a. s. hendak pergi ke langit menghadap tuhannya di sana.
Tentu penafsiran seperti ini tidak pernah dikemukakan oleh siapapun dari umat
Islam yang sehat akalnya. Para mufassir menerangkan bahwa kata-kata yang
diucapkan Nabi Ibrahim a.s. itu adalah pada saat beliau hendak berhijrah. Beliau akan pergi menuju tempat yang
diperintah Allah untuk berhijrah ke sana. Atau menuju tempat yang beliau dapat
beribadah kepada Allah di sana.[8]
6.
Firman Allah Q.S al-Baqarah : 115, berbunyi :
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Artinya : Kemana saja
kamu menghadap, maka di sana zat Allah (Q.S. al-Baqarah : 115)
Dhahir ayat ini menunjukkan bahwa Allah ada di mana
kita menghadap. Artinya apabila yang kita hadap itu rumah, maka di rumah itu
ada Allah, apabila yang kita hadap ka’bah, maka di ka’bah itu ada Allah, na’udzubillah
‘an zalik. Lalu apakah kita harus memaknai ayat ini dengan makna dhahirnya
?. Jawabnya, tentu tidak sama sekali dan tidak ada umat Islam yang sehat
akalnya yang menafsirkan demikian. Imam al-Razi, ahli tafsir dari kalangan
Ahlussunnah wal Jama’ah menjelaskan dalam tafsir beliau, Mafatih al-Ghaib bahwa salah satu kemungkinan makna wajhullah
pada ayat ini adalah bermakna arah
yang dihadap pada waktu shalat, yakni qiblat. Diidhafah wahj kepada
Allah adalah seperti idhafah bait kepada Allah (baitullah) dan naaqah
(unta) kepada Allah (naaqatullah). Idhafah seperti ini, maksudnya
adalah idhafaf bil-khlaq wal-ijaad ‘ala sabilil tasyrif (menyandarkan
penciptaannya untuk memuliakannya).[9]
7.
Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إذا كان أحدكم يصلي فلا يبصق قبل وجهه
فإن الله قبل وجهه إذا صلى .
Artinya : Jika seorang dari kamu
shalat maka janganlah ia meludah di arah wajahnya, sebab sesungguhnya Allah
berada di sisi wajahnya jika ia shalat. (H.R. Bukhari[10]
dan Muslim[11])
Dalam riwayat lain dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi,
Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ رَبَّهُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ القِبْلَةِ، فَلاَ يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ،
وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ
Artinya : Sesungguhnya Tuhan
seseorang itu di antaranya dan qiblat, maka janganlah meludahi salah seorang
kamu pada arah qiblat, tetapi di kiri atau di bawah dua tumitnya. (H.R.
Bukhari)[12]
Apakah dengan dhahir kedua hadits ini, kita akan mengatakan
bahwa Allah berada di antara orang yang shalat dan qiblatnya? Tentu hanya orang gila dan bodoh yang berani
mengatakan seperti itu. Karena tidak seorangpun dari orang-orang yang beriman
dan berakal sehat yang mengi’tiqad seperti itu. Karena itu, para ulama tidak
memaknai kedua hadits tersebut dengan makna dhahirnya. Dalam mengomentari kedua
hadits ini, al-Khuthabi mengatakan menghadap seseorang ke arah qiblat
mengisyaratkan qashadnya itu adalah tuhannya, maka seolah-olah tuhannya itu ada
di antaranya dan qiblatnya, karena yang menjadi qashadnya adalah tuhannya.
Tafsir lain mengatakan maksudnya adalah kebesaran tuhan dan pahala-Nya.[13]
Ibnu Hajar al-Asqalani ahli hadis terkenal mengatakan,
dalam hadis ini terdapat bantahan atas orang yang menganggap bahwa Allah
bersemayam di atas arsy-Nya dengan Zatnya. Argumentasinya seandainya hadits ini
boleh ditakwil dengan makna yang layak dengan kesucian Allah, tentu kebolehan
takwil itu juga dapat berlaku untuk ayat yang dhahirnya bermakna Allah
bersemayam di atas arasy.[14]
8.
Dari Abu Musa al Asy’ari bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الذى تدعونه أقرب إلى أحدكم من عنق
راحلة أحدكم.
Artinya : Tuhan yang kamu seru itu
lebih dekat daripada seorang dari kamu kepada leher kendaraannya. (H.R.
Muslim)[15]
Hadits ini tentunya bukan bermakna zat Allah berada di suatu
tempat yang lebih dekat kepada penunggang unta dari pada leher unta. Imam
al-Nawawi mengatakan, hadits ini bermakna kiyasan (majaz). Tujuan ucapan hadits
itu adalah memastikan Allah mendengar
doa hambanya.[16]
9.
Dari Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Umar bahwa
Rasulullah SAW jika telah mengendarai kendarannya untuk pergi bermusafir beliau
berdoa :
اللهم أنت الصاحب في السفر والخليفة
في الاهل
Artinya : Ya Allah, Engkaulah teman
dalam perjalanan dan khalifah/pengganti yang mengurus keluarga. (H.R. Muslim)[17]
Siapapun
jelas mengatakan tidak mungkin maksud hadits ini bahwa Rasullulah SAW berdoa
agar Allah menjadi teman dalam perjalanan dengan arti bahwa zat Allah berada di
bumi dalam perjalanan bersama beliau dan juga menjadi teman yang berada di
sekitar keluar beliau yang di tinggalkan. Akan tetapi maksudnya hanyalah pertolongan
dan rahmat Allah selalu menyertai beliau dalam perjalanan serta keluarga beliau
yang ditinggalkan.
Sebenarnya banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits
Nabi SAW yang dhahirnya bermakna Allah berada bukan hanya di langit, tetapi
juga di bumi, namun para ulama Islam
sepakat memahami nash-nash syara’ tersebut tidak dengan makna dhahirnya, tetapi
mentakwilnya sesuai dengan kesucian dan keagungan Allah SWT. Seandainya kaum Mujassimah tetap
ngotot memaknai ayat-ayat yang
menyatakan secara zahir bahwa Allah berada di langit dan menolak menakwilkannya
dengan takwil yang sesuai dengan kemahasucian Allah SWT, maka kita minta mereka
bersikap jujur dan obyektif memaknai nash-nash syara’ yang kita sebutkan di
atas yang menegaskan bahwa Allah tidak di langit. Bukankah nash-nash syara’ yang
kita sebutkan itu secara dhahir menentang ayat-ayat yang mereka jadi dalil
bahwa Allah berada dilangit? Jika mereka
metakwikannya dengan takwil tertentu,
maka kita katakan, “Apa yang membenarkan
mereka mentakwilkan nash-nash yang itu dan menolak takwil pada Q.S. al-Mulk :16-17 ini ?”
Tafsir yang Benar Q.S. al-Mulk : 16-17
Setelah kita tetapkan dengan keyakinan yang pasti bahwa
Allah tidaklah mungkin berada di suatu tempat, baik di langit maupun di bumi
ataupun di suatu yang lain yang bernama tempat, maka para ulama berusaha
menafsirkan Q.S. al-Mulk : 16-17 sesuai dengan kemahasucian dan keagungan-Nya. Diantara
tafsir ayat di atas adalah bahwa apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang
kekuasaan-Nya Maha Agung lagi Dahsyat dan itu tidak menunjukkan bahwa Allah
berada dan bertempat di langit. Sebab orang-orang Arab jika hendak mengagungkan
sesuatu perkara biasa mensifatinya dengan sesuatu yang tinggi. Karena itu, kira-kira
makna ayat itu adalah : “Apakah kamu merasa aman terhadap Zat Yang Maha Agung
dan Maha Kuasa yang dapat mengguncangkan bumi dan mengirimkan badai batu yang dapat
membinasakan kamu ?”[18]
Syair-syair klasik orang-orang Arab membuktikan bahwa mereka
terbiasa jika hendak mengagungkan sesuatu perkara mensifatinya dengan sesuatu
yang tinggi, seperti bait syair yang digubah pujanggga kenamaan Arab di masa
jahiliyah, ’Antarah ibn Syaddâ al-Absi:
مقامك في جو السماء مكانه * وباعي
قصير عن نوال الكواكب
“Kedudukanmu di awang-awang langit
tempatnya * sedangkan lenganku pendek tuk menggapai bintang gemintang.”[19]
Akhthal salah seorang penyair terkenal pada zaman Bani
Umayyah juga menggubah bait syair berbunyi:
بنو دارم عند السماء وأنتم * قذى
الارض أبعد بينما بين ذلك
”Suku Bani Dârim di langit sedangkan
kamu* debu bumi, duhai alangkah jauhnya antara keduanya.”[20]
Atau
bisa jadi yang dimaksud dengannya adalah para malaikat yang dikirim Allah untuk
menurunkan azab-Nya, sebab tempat para malaikat di langit,[21]
[1] Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 34
[2]
Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 33
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 215
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 43
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VII, Hal. 299
[6]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 35
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VII, Hal. 371-372
[8] Al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 97
[9] Imam al-Razi, Mafatih
al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 307-308
[10] Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90, No. hadits : 406
[11] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 388, No Hadits : 547
[12]
Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90, No. hadits : 405
[13]
Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508
[14]
Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508
[15]
Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 2077, No Hadits : 2704
[16] Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. XVII, Hal. 43
[17]
Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 978, No Hadits : 1342
[18] Lihat Tafsir
al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 216
[20] Mahdi Muhammad
Nashiruddin, Syarah Dewan al-Akhthal, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Hal. 221
[21] Lihat Khatib
Syarbaini, Tafsir Siraj al-Munir, Juz. IV, Hal. 344
Masya Allah..jazakumullah khoiron saudaraq atas ilmunya. kita orang awam ini banyak dibingungkan dg dakwah2 mereka di media sosial.kita harus merapat kepada ulama2 yg sanad ilmunya jelas.
BalasHapusTerima kasih ilmunya. Makin mantap hatik
BalasHapusBantahan nya Gak nyambung, penulis perlu Belajar lagi
BalasHapus