Sebagian
ajaran Salek Buta yang kita dapati dalam masyarakat Aceh antara lain :
1.
Kaum
Salek Buta mengatakan, dalam shalat harus mengi’tiqadkan bahwa yang melakukan shalat
itu adalah Allah sendiri. Hal ini menurut mereka, dipahami dari firman Allah
Ta’ala berbunyi :
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ
اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Artinya
: Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan
yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri.(Q.S. al-Nisa’ : 79)
Mereka mengatakan, perbuatan melakukan
shalat merupakan perbuatan kebajikan, karena itu dapat dipahami bahwa perbuatan
melakukan shalat datang dari Allah sesuai dengan firman Allah di atas. Kemudian
mereka menyimpulkan kalau perbuatan melaku shalat datang dari Allah, maka tentu
Allah-lah yang melakukan shalat tersebut.
Bantahan terhadap syubhat di atas
1). I’tiqad semacam ini jelas dan terang merupakan
i’tiqad ittihad dan hulul yang sangat dimurkai oleh ulama-ulama Ahlusunnah wal
Jama’ah. I’tiqad semacam ini sama halnya dengan i’tiqad kaum Nashara yang
menganggap Allah menyatu dengan Nabi Isa atau dengan Nabi Isa dan Ibunda
beliau, Maryam, bedanya kalau kaum Nashara hanya mengkhususkan kepada Nabi Isa
atau Nabi Isa dan Maryam, sedangkan salek buta itu mengin’tiqadkan Allah hulul
bersama semua makhluq. Dari sisi ini, maka kaum Salek Buta ini lebih keji dari
kufurnya kaum Nashara. Padahal Allah telah mencela kaum Nashara ini dengan
firman-Nya :
لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ
الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ
مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ
قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ
وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (73)
Artinya : Sesungguhnya telah
kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah al-Masih
putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil,
sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang orang yang mengatakan:
"Bahwasanya Allah yang ketiga dari yang tiga", padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa
yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.(Q.S. al-Maidah : 72-73)
Berikut
ini keterangan dari ulama yang mu’tabar yang menjadi ikutan dikalangan
Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai iqtiqad ittihad dan hulul, yakni antara
lain :
a. Al-Suyuthi mengatakan :
« Para ulama dan para sufi muhaqqiqiin
senantiasa menjelaskan batal pendapat yang mengi’tiqadkan hulul dan ittihad dan
merekapun memberitahukan fasidnya serta mengingatkan kesesatannya.»
b. Imam Fakruddin al-Razy
mengatakan dalam kitab beliau, al-Mahshul fi Ushuluddin :
« Allah
Ta’ala tidak mungkin menyatu dengan lainnya. Karena pada ketika menyatu, jika
kekal dan maujud kedua-duanya, maka keduanya itu dua, bukan satu dan jika kedua-duanya
tidak ada, maka tidak disebut menyatu, bahkan terjadi yang ketiga. Dan jika
tidak ada salah satunya dan kekal yang lain, maka tidak disebut menyatu, karena
yang tidak ada tidak akan menyatu dengan yang maujud.»
c. Berkata Qadhi ‘Iyadh :
« Ijmak
kaum Muslimin atas kufur ahli hulul dan orang-orang yang mendakwakan hulul
Allah Ta’ala pada seseorang, seperti perkataan sebagian orang yang mendakwakan
dirinya sebagai sufi, kaum kebatinan, Nashara dan al-Qaramithah.»
Tiga kutipan para ulama di atas
disebutkan dalam kitab al-Hawi lil Fatawa karangan Imam al-Suyuthi.[1]
d. Syeikh Abd al-Wahab al-Sya’rani
seorang sufi yang terkenal dengan kitabnya, al-Mizan al-Kubra mengutip
perkataan Ibnu Arabi dalam kitabnya, al-Yawaqit al-Jawahir sebagai
berikut :
« Ibnu
Arabi mengatakan dalam bab ketiga dari kitab al-Futuhaat, sesungguhnya tidak
ada sesuatupun dari Allah (zat dan sifat-Nya) pada seseorang dan tidak boleh
yang demikian itu dari segala tinjauan. Dalam Bab al-Asrar, Ibnu Arabi
mengatakan, tidak boleh bagi seorang ‘Arif mengatakan, Aku adalah Allah,
meskipun dia sudah sampai setinggi-tinggi derajat kedekatan dengan Allah.
Jauhlah hai ‘Arif dari ini perkataan, jauhkanlah.»[2]
Alhasil
bagaimanapun kedekatan seorang hamba dengan tuhannya, itu tidak menjadikan
hamba sebagai tuhan dan juga sebaliknya tuhan sebagai hamba. Bahkan Ibnu Arabi
sendiri yang sering dijadikan hujjah untuk
kebatilan mereka ini membantah secara tegas i’tiqad penyatuan makhluq
dengan Khaliqnya.
2). Menjadikan kandungan Q.S.
al-Nisa’ : 79 sebagai dalil kebatilan mereka tersebut sangat tidaklah tepat, karena
ayat ini bukan membicarakan perbuatan yang bersifat ikhtiyar/usaha seperti
perbuatan melakukan shalat dan lainnya, tetapi hanya kejadian-kejadian di dunia
ini yang bersifat bukan ikhtiyar seperti sakit, bencana alam dan lain-lain
sebagaimana telah dijelaskan al-Khazin dalam tafsirnya. Ahli tafsir yang sangat
terkenal di dunia Islam ini berargumentasi dalam Bahasa Arab kalau ingin
menyebut melakukan suatu perbuatan ta’at atau maksiat yang berbentuk ikhtiyar dengan
menggunakan perkataan ِ"ashabaِ" maka dikatakan, ِ"ashabtahaِ" (kamu melakukannya), bukan ِ"ashabaka "(sesuatu
menimpamu). perbedaan keduanya, yang pertama dhamir mukhathab sebagai fa’il
(subjek), sedangkan kedua dhamir mukhathab sebagai maf’ul bihi (objek).
jadi kalau dhamir mukhathab sebagai maf’ul bihi (objek)
sebagaimana pada ayat ini, maka bermakna kejadian bukan ikhtiyar seperti sakit
dan bencana.[3] Jadi kesimpulannya, kandungan Q.S. al-Nisa’ : 79 di atas tidaklah tepat
sebagai dalil kebatilan kaum Salek Buta di atas.
3). Seandainya kita terima (sekali
lagi seandainya kita terima) bahwa maksud Q.S. al-Nisa’ : 79 di atas termasuk
juga perbuatan ikhtiyar sebagaimana dakwaan kaum Salek Buta, maka menyandarkan
perbuatan ikhtiyar yang baik kepada Allah Ta’ala bukan berarti penyandaran tersebut
merupakan penyandaran perbuatan kepada pelakunya sebagai usahanya. Akan tetapi
hanya merupakan penyandaran suatu perbuatan kepada pencipta perbuatan itu (al-ijaad),
bukan usaha (al-iktisab). Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala
berbunyi :
وَمَا رَمَيْتَ
إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Artinya : Dan
bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar. (Q.S. al-Anfal :17)
Dalam ayat ini, Allah dari satu sisi menisbahkan perbuatan melempar
kepada Muhammad dengan firman-nya ‘ketika kamu melempar”, akan tetapi di
sisi lain menapikannya dengan firman-nya ‘bukanlah kamu yang melempar”, dan
menisbahkan kepada Allah sendiri dengan firman-nya ”tetapi Allah-lah yang melempar”.
Karena itu, dhahir ayat ini bertentangan, akan tetapi tentu kita mengimani bahwa
ayat-ayat al-Qur’an tidak ada yang saling bertentangan. Dengan demikian, penisbatan perbuatan melempar kepada Muhammad
dengan firman-Nya ‘ketika kamu melempar” adalah penisbatan perbuatan
kepada pelakunya sebagai usaha, sedangkan penisbatan perbuatan melempar kepada
Allah sendiri dengan firman-Nya ”tetapi
Allah-lah yang melempar” adalah penisbatan penciptaan perbuatan pelemparan
tersebut. Jadi, yang dinafikan Allah dengan firman-Nya ‘bukanlah kamu yang
melempar” adalah penisbatan penciptaan perbuatan melempar kepada Muhammad. Penisbatan
perbuatan ikhtiyar kepada Allah sebagai penisbatan penciptaan perbuatan adalah sesuai
dengan firman Allah berbunyi :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ
وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.(Q.S Al-Shaaffaat : 96)
4). Penafsiran Q.S. al-Nisa’ : 79 model
kaum Salek Buta ini telah membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk dalam
hal penciptaan perbuatan. Ini dipahami dari pernyataan mereka bahwa perbuatan
melakukan shalat datang dari Allah, karena perbuatan melakukan shalat merupakan
kebaikan, padahal sebagai orang yang beriman dengan rukun iman yang enam, kita
diajarkan tentang keimanan yang baik dan yang buruk datang dari Allah Ta’ala. Jadi
bukan hanya perbuatan yang baik saja yang datang dari qudrah dan iradah Allah
Ta’ala, tetapi perbuatan buruk atau jahat juga datang dari qudrah dan iradah
Allah Ta’ala. Ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya berbunyi :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ
يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya : Dan kalau Allah menghendaki,
niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Q.S.
An-Nahl : 93)
5). Lalu bagaimana penafsiran yang benar firman
Allah Ta’ala Q.S. al-Nisa’ : 79 ini ?. Untuk itu mari kita simak penafsiran ulama
tafsir yang berkompenten dalam ilmu tafsir al-Qur’an, antara lain :
a. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa
pengertian “Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah”
adalah merupakan anugerah, karunia, kasih sayang dan rahmat dari Allah.
Sedangkan pengertian “dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari
dirimu sendiri” adalah dari pihak dan amal kamu. Selanjutnya Ibnu Katsir
dalam menegaskan pengertian ayat di atas mengutip perkataan al-Saddi, Hasan
Basri, Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid yang mengatakan, “maka dari dirimu sendiri”,
pengertianya adalah “dengan sebab dosamu”. Ibnu Katsir juga mengutip
perkataan Qatadah yang mengatakan, “maka dari dirimu sendiri”, pengertianya
adalah “siksaan bagimu hai anak Adam dengan sebab dosamu.”[4]
b. Dalam
Tafsir al-Khazin disebutkan, "maka dari Allah” pengertiannya adalah “dari karunia Allah untukmu” dan sebagai ihsan
untukmu dan “maka dari dirimu sendiri”, pengertiannya adalah “dari pihak
dirimu dan dengan sebab dosa yang diusahakan oleh dirimu yang menyebabkan itu.”
Kemudian al-Khazin menyimpulkan bahwa makna “maka dari dirimu sendiri”, adalah
siksaan karena dosamu hai anak Adam sebagaimana telah berkata Qatadah. al-Khazin
juga mengutip perkataan Al-Kalabi yang maksudnya senada dengan yang dikemukakan
Qatadah di atas.[5]
Berdasarkan
penafsiran yang dikemukakan oleh ahli tafsir dan para ulama dari kalangan
Tabi’in di atas jelaslah bahwa maksud ayat di atas adalah kira-kira : " Apa
saja kebaikan (dalam bentuk bukan perbuatan ikhtiyar) yang kamu peroleh adalah
dari Allah, dan apa saja keburukan (juga dalam bentuk bukan perbuatan ikhtiyar)
yang menimpamu, maka itu dari Allah juga, namun Allah menimpa keburukan itu
atasmu karena balasan atas dosa-dosa yang kamu perbuat.” Penafsiran seperti ini
harus dijadikan sebagai penafsiran yang benar, karena telah disepakati bahwa
baik dan buruk, semuanya datang dari Allah Ta’ala sebagaimana dalil-dalil yang
telah kami kemukakan di atas. Berdasarkan ini, maka menyandarkan keburukan
kepada manusia (perkataan “maka dari dirimu sendiri”) merupakan majaz (kiasan, bukan makna sebenarnya). Yakni pada
hakikatnya, keburukan itu disandarkan kepada qudrah dan iradah Allah, tetapi di
sini disandarkan kepada usaha manusia yang merupakan sebab ada siksaan Allah
Ta’ala dengan jalan majaz. Dalam ilmu bayan disebut majaz isnad, yakni isnad
sesuatu kepada sebabnya. Penjelasan majaz pada ayat ini sesuai dengan yang
telah dikemukakan oleh Syeikh Ahmad al-Shawi dalam tafsirnya, Hasyiah ‘ala
Tafsir al-Jalalain[6] dan al-Khazin dalam tafsirnya.[7]
[1] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal.
130-134
[2] Abd al-Wahab
al-Sya’rani, al-Yawaqit al-Jawahir, Hal. 58
[4] Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz.
II, Hal. 320
[6] Ahmad
al-Shawi, Hasyiah ‘ala Tafsir al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 231-232
Tidak ada komentar:
Posting Komentar