Renungan

Minggu, 04 Januari 2015

Jihar shalawat dan salam sesudah azan

Menjadi kebiasaan di Aceh dan di Indonesia pada umumnya pada masjid-masjid,  muazzin membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW secara jihar. Ini sudah menjadi tradisi dari dulu sampai sekarang. Ada teman yang bertanya, apakah amalan menjihar shalawat dan salam sesudah azan ini ada tuntunan dari ajaran Islam? Apakah pada zaman salafusshalih ada dilakukan?
Jawab
1.        Abu Abdurrahman al-Harary (lahir 1328 H) dalam kitabnya, Sharih al-Bayan mengutip perkataan al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Wasail fi Musamirah al-Awail, beliau mengatakan, yang pertama sekali menambah shalawat dan salam atas Nabi SAW setiap sesudah azan pada menara-menara masjid adalah pada zaman Sulthan al-Manshur al-Hajji bin al-Asyraf Sya’ban bin Husein bin al-Nashir Muhammad bin al-Manshur al-Qalawuun dengan perintah Muhtashib Najmuddin al-Thambadi. Itu terjadi pada bulan Sya’ban tahun 791 H. Namun demikian sebelum itu, sudah pernah terjadi pada masa Sulthan Shalahuddin bin Ayyub mengucapkan dengan jihar  “Assalamu ‘ala al-Rasulillah” pada setiap malam sebelum azan fajar di negeri Mesir dan Syam. Itu terus berlajut sampai tahun 767 H. Kemudian dengan perintah al-Muhtasib Shalahuddin al-Barallusi ditambah dengan mengatakan “al-Shalatu  wassalamu ‘alaika Ya Rasulallah” . Kemudian pada tahun 791 dijadikan bacaan tersebut pada setiap setelah azan.[1] Al-Shakhawi (w. 902 H) seorang ahli hadits terkenal dalam kitabnya, al-Qaul al-Badi’, mengatakan,  para muazzin telah mendatangkan shalawat dan salam atas Rasulullah SAW setelah azan shalat yang lima kecuali Subuh dan Jum’at, waktu Subuh dan Jum’at dilakukan sebelum azan dan kecuali waktu Magrib, pada waktu magrib tidak dilakukannya karena sempit waktu. Permulaan terjadi ini adalah pada masa al-Nashir Shalahuddin Yusuf bin Ayyub dengan sebab perintahnya. Sebagian ahli mengatakan perintah Shalahuddin bin Ayyub tersebut pada azan Isya malam Jum’at.[2]
Dengan demikian dapat dijelaskan di sini bahwa jihar shalawat dan salam atas Nabi SAW  sesudah azan merupakan perkara baru yang tidak ada pada masa Nabi SAW dan sahabatnya dan juga belum ada pada masa salafusshalih sesudahnya.
2.        Hukum jihar  shalawat dan salam sesudah azan
Adapun hukum menjihar shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan adalah dianjurkan dan mendapat pahala apabila dilakukan. Ini dapat dipahami dari mutlaq hadits Nabi SAW antara lain :
a.    Dari Abdullah bin Amr bin Ash, sesungguhnya beliau mendengar Nabi SAW bersabda :
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ،
ArtinyA : Apabila kamu mendengar muazzin, maka katakanlah apa yang dia katakan, kemudian bershalawatlah atasku. (H.R. Muslim)[3]

b.    Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ ذَكَرَنِي فَلْيُصَلِّ عَلَيَّ
Artinya : Barangsiapa yang menyebutku, maka hendaknya bershalawat atasku. (H.R. Abu Ya’la)[4]

Kalau ada yang mengatakan amalan ini tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sahabatnya, maka jawabannya adalah ini juga tidak ada larangan melakukannya. Karena masuk dalam keumuman atau mutlaq anjuran bershalawat dan salam atas Nabi SAW, maka masuklah dalam katogori bid’ah hasanah. Diantara ulama yang memasukannya dalam katagori bid’ah hasanah adalah al-Shakhawi dalam kitab beliau,  al-Qaul al-Badi’.[5]
Catatan
Ibnu Hajar al-Haitamy telah memuji kitab al-Qaul al-Badi’ karya al-Shakhawi ini dalam muqaddimah kitabnya, al-Dar al-Mandhud, beliau mengatakan, kitab al-Qaul al-Badi’ merupakan sebuah kitab yang sangat bagus sistimatikanya, rapi penempatan masalahnya, lebih patut diutamakannya dan lebih teliti karena tahqiq dan rinci.[6]








[1] Abu Abdurrahman al-Harary, Sharih al-Bayan, Penerbit : Qism al-Dirasaati wal Abhatsi fi Jam’iah al-Masyari’ al-Khariyah al-Islamiyah, Juz. I, Hal. 290-291
[2] Al-Shakhawi, al-Qaul al-Badi’, Muassisah  al-Riyan, Juz. I, Hal. 376
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 288, No : 384
[4] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. 578
[5] Al-Shakhawi, al-Qaul al-Badi’, Muassisah  al-Riyan,  Juz. I, Hal. 377
[6] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Dar al-Mandhud, Dar al-Minhaj, Hal. 34

1 komentar:

  1. Maaf Tgk. tp bagaimana jika ada masbuq, apakah itu bisa dkatakan mengganggu org lain sholat?
    Mohon Pencerahannya Tgk.
    Terimakasih.

    BalasHapus