Menjadi
kebiasaan di Aceh dan di Indonesia pada umumnya pada masjid-masjid, muazzin membaca shalawat dan salam atas Nabi
SAW secara jihar. Ini sudah menjadi tradisi dari dulu sampai sekarang. Ada
teman yang bertanya, apakah amalan menjihar shalawat dan salam sesudah azan ini
ada tuntunan dari ajaran Islam? Apakah pada zaman salafusshalih ada dilakukan?
Jawab
1.
Abu
Abdurrahman al-Harary (lahir 1328 H) dalam kitabnya, Sharih al-Bayan mengutip
perkataan al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Wasail fi Musamirah al-Awail,
beliau mengatakan, yang pertama sekali menambah shalawat dan salam atas Nabi
SAW setiap sesudah azan pada menara-menara masjid adalah pada zaman Sulthan
al-Manshur al-Hajji bin al-Asyraf Sya’ban bin Husein bin al-Nashir Muhammad bin
al-Manshur al-Qalawuun dengan perintah Muhtashib Najmuddin al-Thambadi. Itu
terjadi pada bulan Sya’ban tahun 791 H. Namun demikian sebelum itu, sudah
pernah terjadi pada masa Sulthan Shalahuddin bin Ayyub mengucapkan dengan
jihar “Assalamu ‘ala al-Rasulillah”
pada setiap malam sebelum azan fajar di negeri Mesir dan Syam. Itu terus
berlajut sampai tahun 767 H. Kemudian dengan perintah al-Muhtasib Shalahuddin
al-Barallusi ditambah dengan mengatakan “al-Shalatu wassalamu ‘alaika Ya Rasulallah” .
Kemudian pada tahun 791 dijadikan bacaan tersebut pada setiap setelah azan.[1] Al-Shakhawi (w. 902 H) seorang ahli hadits terkenal dalam kitabnya, al-Qaul al-Badi’, mengatakan, para muazzin telah mendatangkan shalawat dan salam
atas Rasulullah SAW setelah azan shalat yang lima kecuali Subuh dan Jum’at,
waktu Subuh dan Jum’at dilakukan sebelum azan dan kecuali waktu Magrib, pada
waktu magrib tidak dilakukannya karena sempit waktu. Permulaan terjadi ini
adalah pada masa al-Nashir Shalahuddin Yusuf bin Ayyub dengan sebab
perintahnya. Sebagian ahli mengatakan perintah Shalahuddin bin Ayyub tersebut
pada azan Isya malam Jum’at.[2]
Dengan demikian dapat dijelaskan di sini bahwa jihar shalawat dan
salam atas Nabi SAW sesudah azan
merupakan perkara baru yang tidak ada pada masa Nabi SAW dan sahabatnya dan
juga belum ada pada masa salafusshalih sesudahnya.
2.
Hukum jihar shalawat dan
salam sesudah azan
Adapun hukum
menjihar shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan adalah dianjurkan dan
mendapat pahala apabila dilakukan. Ini dapat dipahami dari mutlaq hadits Nabi SAW
antara lain :
a.
Dari
Abdullah bin Amr bin Ash, sesungguhnya beliau mendengar Nabi SAW bersabda :
إِذَا سَمِعْتُمُ
الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ،
ArtinyA : Apabila
kamu mendengar muazzin, maka katakanlah apa yang dia katakan, kemudian bershalawatlah
atasku. (H.R. Muslim)[3]
b. Dari Anas bin
Malik, Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ ذَكَرَنِي فَلْيُصَلِّ
عَلَيَّ
Artinya : Barangsiapa
yang menyebutku, maka hendaknya bershalawat atasku. (H.R. Abu Ya’la)[4]
Kalau ada yang mengatakan amalan ini
tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sahabatnya, maka jawabannya adalah ini juga
tidak ada larangan melakukannya. Karena masuk dalam keumuman atau mutlaq anjuran
bershalawat dan salam atas Nabi SAW, maka masuklah dalam katogori bid’ah
hasanah. Diantara ulama yang memasukannya dalam katagori bid’ah hasanah adalah
al-Shakhawi dalam kitab beliau, al-Qaul
al-Badi’.[5]
Catatan
Ibnu Hajar al-Haitamy telah memuji
kitab al-Qaul al-Badi’ karya al-Shakhawi ini dalam muqaddimah kitabnya, al-Dar
al-Mandhud, beliau mengatakan, kitab al-Qaul al-Badi’ merupakan sebuah kitab yang
sangat bagus sistimatikanya, rapi penempatan masalahnya, lebih patut
diutamakannya dan lebih teliti karena tahqiq dan rinci.[6]
[1] Abu
Abdurrahman al-Harary, Sharih al-Bayan, Penerbit : Qism
al-Dirasaati wal Abhatsi fi Jam’iah al-Masyari’ al-Khariyah al-Islamiyah, Juz.
I, Hal. 290-291
[2] Al-Shakhawi, al-Qaul
al-Badi’, Muassisah al-Riyan, Juz.
I, Hal. 376
[3] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 288, No : 384
[4] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. 578
Maaf Tgk. tp bagaimana jika ada masbuq, apakah itu bisa dkatakan mengganggu org lain sholat?
BalasHapusMohon Pencerahannya Tgk.
Terimakasih.