Renungan

Jumat, 04 Desember 2015

Hak khiyar dalam jual beli

Pertanyaan dari Muhammad :
: Tgk Alizar yg Mulia, saya contoh kan pd masalah ini saya, jd saya membeli kambing dgn hrga 2,5 jt, namun yg saya beri uang baru 1,5 jt, sisa 1 jt lg. Yg mnjadi prtanyaan apakah saya bsa brsambung.....
membatalkan pembelian tsb?? pd msalah ini ada 2 kemungkinan,
prtama jika akad sdh dilakukan apakah bsa saya membatalkan pembelian tsb? dan bagaimanakah uang yg sudah saya berikan sbesar 1,5jt tsb??
yg kedua, apabila akad blm dilakukan, tp uang panjar 1,5 jt tsb sdh saya berikan kpd penjual, apakah saya bisa membatalkan pembelian tsb? dan bagaimanakah dgn uang yg sudah saya berikan sgb panjar tsb
yg ketiga, apabila akad sudah dilakukan, dan uang pnjar 1,5jt tsb sdh saya brikan, namun kambing tsb tdk saya ambil dulu dri penjual, apakah disitu ada terkena biaya pelihara utk penjual kmbing tsb?

Jawab :
1.     Dalam fiqh, Apabila akad sudah dilakukan, namun masih ada kemungkinan khiyar (hak membatalkan akad) dgn syarat antara lain, ternyata kambing itu aib (tidak sesuai dengan yg disepakati) ini namanya khiyar aib. Atau setelah akad, kedua pelaku akad masih dalam majelis akad.(khiyar majelis) ataupun ada disyaratkan dalam akad bahwa bahwa jual beli itu berlaku atau tidak , dilihat dulu setelah  berlalu 3 hari. (khiyar syarat)
2.     Apabila syarat 2 membatalkan akad di atas (hak khiyar) tidak ada pada kasus di atas, maka dapat dijawab sebagai berikut :
a.       Pertanyaan pertma; jawabannya tidak bisa dibatalkan.
b.      Kalau akad belum dilakukan , tentu tidak ada yg harus dibatalkan, karena akad memang tidak ada. Uang panjar tersebut wajib dikembalikan, karena sipenjual tidk berhak atas uang tersebut.

c.       Pertanyaan ke 3, jawabannya : karena kambing itu sudah menjadi milik sipembeli, maka tentunya kewajiban biaya pemeliharan jatuh atas sipembeli dan kalau sipenjual memintanya tentu wajib di berikan kpd sipenjual tsb. 

Selasa, 08 September 2015

Perbedaan mazhab Asy’ari dan al-Maturidy (bag. 1)



Berikut ini adalah tulisan yang kami rangkum dari kitab Syarah Risalah Masail al-Ikhtilaf baina al-Asy’arah wal- Maturidiyah karangan Ibnu al-Kamal Pasya (873-940 H) dengan syarahnya oleh Said Fudah (Penerbit : Dar al-Fatah). Dalam muqaddimah syarah kitab tersebut dijelaskan, bahwa Ibnu al-Kamal Pasya seorang ulama terkenal pada zaman Daulah Usmaniyah Turki. Beliau hidup semasa dengan Imam al-Suyuthi.
Adapun perbedaan mazhab Asy’ari dan al-Maturidy berdasarkan tulisan di atas antara lain:
1.        Masalah sifat Takwin
a.       Imam al-Maturidi mengatakan, al-takwin adalah sifat Allah yang azali dan berdiri pada zat-Nya sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain. Al-Takwin bukan al-mukawwan (yang dijadikan). Al-Takwin ta’alluq dengan al-mukawwan, yakni alam dan bagian-bagiannya pada waktu wujudnya. Ini sebagaimana iradah dan qudrah Allah Ta’ala yang azali ta’alluq dengan yang diiradah-Nya dan dan maqdurat-Nya. Menurut al-Maturidi al-Takwin bukanlah sifat af’al (perbuatan), tetapi sifat zat yang bersumber perbuatan darinya. Bukan sifat af’al, karena disepakati (al-Asya’ri dan al-Maturidy) bahwa sifat af’al adalah baharu, sedangkan Allah mustahil bersifat dengan sifat baharu.
b.      Imam al-Asy’ari mengatakan, al-Takwin adalah sifat yang baharu yang tidak berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menurut al-Asy’ari al-Takwin adalah sifat af’al (perbuatan), bukan sifat  zat yang azali. Sifat af’al adalah baharu seperti takwin dan iijad, yang ta’alluq kepada wujud alam dengan firman Allah, “kun”. Menjadikan dan meniadakan sesuatu pada waktu ada dan tidak ada sesuatu (tanjizi hadits) merupakan hukum qudrah menurut al-Asy’ari dan merupakan hukum al-Takwin menurut al-Maturidy.
Alhasil terjadi khilaf pada dua ta’alluq, yakni shuluhil qadim dan tanjizi hadits, apakah keduanya kembali kepada satu sifat, yakni qudrah ataukah kembali kepada dua sifat, yakni shuluhil qadim kembali kepada qudrah dan tanjizi hadits kembali kepada al-takwin. Al-Asya’ri berpendapat kepada pendapat pertama, sedangkan al-Maturidy berpendapat kepada pendapat kedua.

2.        Masalah mendengar kalam Allah
a.    Imam al-Maturidi mengatakan, kalam Allah Ta’ala tidak dapat didengar, yang didengar hanya sesuatu yang menunjuki atasnya.
b.    Imam al-Asy’ari mengatakan, kalam Allah Ta’ala dapat didengar sebagaimana hikayah Allah dari Nabi Musa.
Sepakat Imam al-Maturidi dan Imam al-Asy’ari bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan kalam nafsi, yakni kalam yang tidak berhuruf dan suara. Perbedaan muncul ketika membicarakan apakah kalam Allah itu dapat didengar atau tidak. Imam al-Maturidi tidak memaknai secara mutlaq al-masmu’ (yang didengar) kecuali dengan syarat bersambung dengan indra pendengaran dimana manusia bersifat dengannya. Menurut beliau, yang dapat bersambung dengan indra pendengaran manusia hanya suara, sedangkan kalam Allah Ta’ala diyakini tidak berhuruf dan tidak bersuara. Adapun yang dapat didengar hanyalah suara yang menunjuki kepada kalam Allah Ta’ala yang qadim yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Adapun Imam al-Asya’ri tidak mensyaratkan penyebutan lafazh al-masmu’ (yang didengar) secara mutlaq adanya keharusan bersambung diri al-masmu’ dengan indra pendengaran, tetapi bisa saja dengan bersambung dengan yang menunjuki kepada al-masmu’ atau dengan idrak (alat menangkap al-masmu’) yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat.
Al-hasil Imam al-Maturidi dan Imam al-Asy’ari sepakat bahwa indra pendengaran manusia tidak mungkin bersambung dengan kalam Allah. Perbedaannya Imam al-Maturidi tidak menggunakan lafazh al-masmu’ terhadap yang didengar dengan perantaran suara yang menunjuki kepada al-masmu’ atau terhadap idrak (alat penangkapan) yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat. Sedangkan Imam al-Asy’ari berpendapat kalam Allah Ta’ala bisa dikatakan al-masmu’ , meski dengan perantaran suara yang menunjuki kepada al-masmu’ atau terhadap idrak yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat. Dengan demikian, ini adalah khilaf penamaannya saja (khilaf lafzhi).

3.        Masalah Allah Ta’ala bersifat dengan sifat hikmah
a.    Imam al-Maturidi berpendapat bahwa Allah sebagai pencipta alam ini bersifat dengan sifat hikmah, baik hikmah itu bermakna ilmu atau bermakna al-ihkaam (menjadikan hikmah)
b.    Imam al-Asy’ari mengatakan, seandainya hikmah bermakna ilmu, maka itu kembali kepada sifat ilmu. Sedangkan ilmu disepakati merupakan sifat Allah yang qadim yang berdiri pada zat Allah Ta’ala. Namum seandainya hikmah itu bermakna al-ihkaam, maka itu sifat baharu,  yang kembali kepada sifat takwin. Sedangkan sifat takwin adalah sifat baharu yang tidak berdiri pada zat Allah Ta’ala.
Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan dua imam ini, apakah Allah bersifat dengan takwin atau tidak, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya dan apakah dinamakan Allah dengan dengan nama al-hakim adalah majaz atau hakikat. Al-Maturidi yang berpendapat Allah bersifat dengan sifat takwin, mengatakan al-hikmah adalah lazim dari sifat takwin. Karena itu, kalau sifat takwin qadim, maka hikmah juga qadim dan pula penamaan Allah dengan sifat al-hakim adalah hakikat pada lughat menurut al-Maturidi. Sedangkan isytiqaq (akar kata) dari al-hakim adalah hikmah, maka sahlah diitsbat hikmah kepada Allah Ta’ala.
Adapun Imam al-Asy’ari mengatakan, seandainya hikmah itu bermakna al-ihkaam, maka ini kembali kepada af’al Allah Ta’ala. Dengan demikian, al-hikmah adalah sifat af’al, bukan sifat zat sebagaimana sifat takwin yang baharu dan tidak berdiri pada zat Allah Ta’ala yang qadim. 

Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 2)


Minggu, 30 Agustus 2015

Berjama’ah mengikuti imam yang berbeda mazhab



Berikut pendapat ulama tentang hukum mengikuti imam yang berbeda mazhab dalam furu’ fiqh
1.      Berkata Zainuddin al-Malibary :
Tidak sah mengikuti imam yang di i’tiqadkan batal shalatnya, artinya imam mendatangkan perbuatan yang membatalkan shalat pada i’tiqad makmum, misalnya pengikut Syafi’i mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah wudhu’, pen.)[1]

2.      ‘Ibarat Nihayah :
Kalau imam meninggalkan basmalah, maka pengikut Syafi’i tidak sah mengikutinya”.[2]

3.       Berkata An-Nawawi :
Kalau pengikut Syafi’i berjama’ah mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah berwudhu’, pen.) atau berbekam, menurut pendapat al-ashah (pendapat yang kuat) sah jama’ahnya dalam hal berbekam dan  tidak sah dalam hal menyentuh kemaluan, karena i’tibar i’tiqad makmum.” Selanjutnya Jalaluddin al-Mahalli mengatakan bahwa pendapat yang kedua (muqabil ashah, pen.) adalah sebaliknya (yaitu tidak sah dalam berbekam dan sah dalam menyentuh kemaluan, pen.) karena i’tibar i’tiqad imam yang diikutinya, yaitu berbekam dapat meruntuhkan wudhu’ dan menyentuh kemaluan tidak meruntuhkannya.[3]

4.       Berkata Umairah :
Pendapat muqabil ashah adalah pendapat yang telah dikemukakan oleh al-Qafal. Al-Qafal mengemukakan alasannya bahwa imam yang bermazhab Hanafi tala’ub (bermain-main) dalam hal berbekam dan seumpamanya, maka tidak terjadi padanya niat yang benar, berbeda halnya dengan kasus menyentuh kemaluan. Berkata al-Asnawi mudah-mudahan ini adalah yang benar”. [4]

5.      Berkata pengarang Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad :
Sah mengikuti imam yang berbeda mazhab, apabila makmum mengetahui bahwa imam mendatangkan hal-hal yang wajib di sisi makmum, demikian juga jika ia tidak tahu. Oleh karena itu, kalau imam meninggalkan sesuatu yang wajib pada i’tiqad makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya menurut pendapat Syaikhaini (Nawawi dan Rafi’i, pen.). menurut Al-Qufal sah. Berkata Imam Subki; pendapat yang di tashih oleh Syaikhain adalah pendapat kebanyakan ulama, tetapi pendapat Al-Qufal lebih dekat kepada dalil dan perbuatan Salaf”. [5]

6.      Berkata Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madni :
Namun demikian, kalau imam itu orang yang punya wilayat, maka dalam at-Tuhfah berpendapat sah mengikutinya karena kuatir terjadi  fitnah, tetapi bukan pada Shalat Jum’at”.[6]

7.      Berkata Imam An-Nawawi dalam Majmu’ :
Dhabitnya adalah shalat imam sah pada i’tiqadnya, tidak sah pada i’tiqad makmum atau sebaliknya (sah pada i’tiqad makmum, tidak sah pada i’tiqad imam, pen.), karena berbeda pendapat pada furu’. Dalam hal ini ada empat pendapat, pertama pendapat al-Qufaal, sah secara mutlaq, karena i’tibar i’tiqad imam. Kedua pendapat Abu Ishaq al-Asfirayaini, tidak sah secara mutlaq, karena meskipun didatangkan apa yang kita syaratkan dan wajibkan, toh imam tidak mengi’tiqadkan wajib, maka sama seperti tidak mendatangkannya. Ketiga : kalau imam mendatangkan syarat-syarat yang kita i’tibar untuk sah shalat, maka sah mengikutinya. Kalau imam meninggalkan salah satunya atau kita meragukannya, maka tidak sah. Keempat kalau dipastikan imam meninggalkan sesuatu yang kita syaratkan, maka tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka sah. Pendapat terakhir ini adalah yang lebih sahih dan pendapat ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Maruzy, Syaikh Abu Hamid al-Asfirayaini, al-Bandaniji, al-Qadhi Abu at-Thaib dan kebanyakan ulama”.[7]

Kesimpulan
  1. kalau dipastikan imam shalat itu meninggalkan sesuatu yang i’tiqad wajib oleh makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka makmum sah mengikutinya. Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi
  2. boleh mengikuti imam yang meninggalkan sesuatu yang kita i’tiqad wajib pada bukan shalat jum’at apabila imam itu seorang yang mempunyai wilayat, karena kuatir timbul fitnah
  3. Ada pendapat dikalangan mazhab Syafi’i yaitu pendapat al-Qfal dan didukung oleh al-Subki berpendapat boleh mengikuti imam yang berbeda mazhab meskipun imam itu meninggalkan salah satu yang wajib menurut i’tiqad makmum.









                                                                               


[1] . Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 41
[2]. Al-Bakry ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 41
[3]. Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 229)
[4] . Umairah, Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, 229
[5] .Ibnu Ziyad, Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad, dicetak pada hamisy Bughyatul Murtasyidin, Usaha keluarga, Hal. 99
[6] . Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 70
[7] . An-Nawawi, al-Majmu’ al-Syarah al-Muhazzab, Dar al-Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 248

Sabtu, 29 Agustus 2015

Hukum mewakilkan haji karena takut naik kenderaan



nn: apakah boleh jika haji diwakilkan krn alasan takut/naik kendaraan (harta ada)
Jawab :
1.    Mewakilkan ibadah haji bagi orang yang sudah tidak mampu duduk atas kenderaan diperbolehkan dengan syarat ketidakmampuan itu karena suatu suatu sebab seperti sudah sangat tua, sakit dan lain-lain yang tidak dapat diharapkan sembuh lagi. Hal ini berdasarkan keterangan sebagai berikut :
a.       hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas berbunyi :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ، أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ، فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ
Artinya : (Seorang perempuan bertanya), Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hambanya di dalam perkara haji telah didapati oleh bapakku yang dalam keadaan sangat tua, beliau tidak sanggup untuk duduk di atas kendaraan, bolehkah aku menghajikan atas namanya?", beliau menjawab: Artinya: "iya" (H.R. al-Bukhari)[1]

b.      Dalam kitab al-Muhazzab disebutkan :
وتجوز النيابة في حج الفرض في موضعين: أحدهما في حق الميت إذا مات وعليه حج والدليل عليه حديث بريدة والثاني في حق من لا يقدر على الثبوت على الراحلة إلا بمشقة غير معتادة كالزمن والشيخ الكبير
“Dibolehkan menggantikan haji fardhu pada dua tempat, yakni salah satunya pada haq mayat apabila telah meninggal dunia, dimana atasnya ada kewajiban haji. Dalilnya hadits Buraidah. Dan yang kedua, pada haq orang-orang yang tidak mampu duduk atas kenderaan kecuali dengan sangat kesukaran yang tidak bisa secara normal seperti orang yang sakit menahun dan sudah sangat tua.”[2]

c.       Imam al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin menjelaskan :
يجوز أن يحج عن الشخص غيره إذا عجز عن الحج بموت أو كسر أو زمانة أو مرض لا يرجى زواله، أو كان كبيرا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة أصلا أو لا يثبت إلا بمشقة شديدة
“Dibolehkan menghajikan seseorang untuk orang lain apabila tidak mampu dari berhaji dengan sebab mati, remuk tulang, penyakit menahun dan sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh atau karena sebab ketuaan yang menyebabkan tidak mampu duduk atas kenderaan sama sekali atau tidak mampu kecuali dengan sangat kesukaran.”[3]

2.        Adapun sekedar takut naik kenderaan karena faktor jiwa, maka menurut hemat kami, maka hajinya tidak boleh diganti kepada orang lain. Karena ketakutan tersebut hanya merupakan waham semata dari yang bersangkutan saja dan kalaupun itu dapat dianggap suatu penyakit, maka penyakit tersebut bisa saja sembuh suatu saat, karena bukan penyakit yang tidak dapat diharapkan sembuh. Berdasarkan ini, maka kewajiban haji tetap melekat pada badan orang tersebut. Hal ini karena pada asalnya ibadah haji adalah ibadah badaniah yang dipundakkan kepada badan seorang mukallaf.




[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 132, No. 1513
[2] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (dicetak bersama al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab), Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VII, Hal. 95
[3] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Beirut, Juz. III, Hal. 12