Renungan

Sabtu, 29 Agustus 2015

Hukum mewakilkan haji karena takut naik kenderaan



nn: apakah boleh jika haji diwakilkan krn alasan takut/naik kendaraan (harta ada)
Jawab :
1.    Mewakilkan ibadah haji bagi orang yang sudah tidak mampu duduk atas kenderaan diperbolehkan dengan syarat ketidakmampuan itu karena suatu suatu sebab seperti sudah sangat tua, sakit dan lain-lain yang tidak dapat diharapkan sembuh lagi. Hal ini berdasarkan keterangan sebagai berikut :
a.       hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas berbunyi :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ، أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ، فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ
Artinya : (Seorang perempuan bertanya), Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hambanya di dalam perkara haji telah didapati oleh bapakku yang dalam keadaan sangat tua, beliau tidak sanggup untuk duduk di atas kendaraan, bolehkah aku menghajikan atas namanya?", beliau menjawab: Artinya: "iya" (H.R. al-Bukhari)[1]

b.      Dalam kitab al-Muhazzab disebutkan :
وتجوز النيابة في حج الفرض في موضعين: أحدهما في حق الميت إذا مات وعليه حج والدليل عليه حديث بريدة والثاني في حق من لا يقدر على الثبوت على الراحلة إلا بمشقة غير معتادة كالزمن والشيخ الكبير
“Dibolehkan menggantikan haji fardhu pada dua tempat, yakni salah satunya pada haq mayat apabila telah meninggal dunia, dimana atasnya ada kewajiban haji. Dalilnya hadits Buraidah. Dan yang kedua, pada haq orang-orang yang tidak mampu duduk atas kenderaan kecuali dengan sangat kesukaran yang tidak bisa secara normal seperti orang yang sakit menahun dan sudah sangat tua.”[2]

c.       Imam al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin menjelaskan :
يجوز أن يحج عن الشخص غيره إذا عجز عن الحج بموت أو كسر أو زمانة أو مرض لا يرجى زواله، أو كان كبيرا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة أصلا أو لا يثبت إلا بمشقة شديدة
“Dibolehkan menghajikan seseorang untuk orang lain apabila tidak mampu dari berhaji dengan sebab mati, remuk tulang, penyakit menahun dan sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh atau karena sebab ketuaan yang menyebabkan tidak mampu duduk atas kenderaan sama sekali atau tidak mampu kecuali dengan sangat kesukaran.”[3]

2.        Adapun sekedar takut naik kenderaan karena faktor jiwa, maka menurut hemat kami, maka hajinya tidak boleh diganti kepada orang lain. Karena ketakutan tersebut hanya merupakan waham semata dari yang bersangkutan saja dan kalaupun itu dapat dianggap suatu penyakit, maka penyakit tersebut bisa saja sembuh suatu saat, karena bukan penyakit yang tidak dapat diharapkan sembuh. Berdasarkan ini, maka kewajiban haji tetap melekat pada badan orang tersebut. Hal ini karena pada asalnya ibadah haji adalah ibadah badaniah yang dipundakkan kepada badan seorang mukallaf.




[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 132, No. 1513
[2] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (dicetak bersama al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab), Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VII, Hal. 95
[3] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Beirut, Juz. III, Hal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar