Renungan

Sabtu, 30 Juli 2016

Beberapa Amalan Yang Dihukum oleh Imam al-Nawawi Dalam Kitabnya sebagai Bid’ah Tercela (bag 4)

10.        Menyedia makanan di rumah duka untuk mengumpulkan manusia
Imam al-Nawawi mengatakan :
وَأَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فيه شئ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ هَذَا كَلَامُ صَاحِبِ الشَّامِلِ وَيُسْتَدَلُّ لِهَذَا بِحَدِيثِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ " كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ " رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَيْسَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ
Adapun perbuatan ahli mayat menyediakan makanan dan mengumpulkan manusia atasnya, maka tidak pernah dinaqal sesuatupun tentangnya. Hal tersebut merupakan bid’ah tidak dianjurkan. Ini merupakan pernyataan pengarang kitab al-Syamil. Pendaliliannya ini dengan hadits Jarir bin Abdullah r.a., beliau berkata : “Kami menganggap berkumpul-kumpul pada rumah ahli mayat dan membuat makanan sesudah mengebumikannyya adalah termasuk ratapan. (H.R. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah dengan isnad shahih, tetapi pada riwayat Ibnu Majah tidak ada perkataan “sesudah mengebumikannya).[1]

Yang senada dengan pernyataan al-Nawawi di atas antara lain teks kitab I’anah al-Thalibin berbunyi :
 “Makruh bagi ahli mayat duduk untuk ta’ziah dan membuat makanan supaya berkumpul manusia dengan sebabnya, karena ada riwayat dari Ahmad dari jarir bin Abdullah al-Bajlii, beliau berkata :kami menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki meratap” [2]

      Pengarang kitab I’anah al-Thalibin juga mengutip perkataan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfatul Muhtaj li Syarah al-Minhaj :
 “Kebiasaan ahli mayat menyediakan makanan untuk mengundang manusia berkumpul kepadanya adalah termasuk bid’ah makruhah sama halnya juga memenuhi undangan itu karena hadits shahih dari Jarir r.a. :

كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
  Artinya : Kami menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki meratap.(H.R. Ibnu Majah [3] dan Ahmad[4])
     Jalan anggapan sebagai ratapan adalah unsur didalamnya sangat menonjol dengan urusan duka cita. Oleh karena itu, makruh berkumpul ahli mayat dengan qashad untuk dita’ziah tetapi seyoqyanya ahli mayat menggunakan waktunya untuk keperluannya, oleh karena itu, siapa yang dapat menjumpainya, maka dia menta’ziahkannya”. [5]

Patut menjadi catatan bahwa kutipan-kutipan di atas sering dijadikan rujukan oleh sebagian kelompok umat Islam yang anti sadaqah makan bersama di rumah duka. Sebenarnya kalau kita mau memahami teks di atas secara jernih dan cerdas, tentu kesimpulan yang dikemukakan oleh golongan anti sadaqah makan bersama di rumah duka tidaklah tepat, karena hadits Jarir r.a yang dijadikan sebagai dalil makruh menyediakan makanan tersebut menjelaskan alasan larangannya adalah karena hal itu termasuk ratapan dan mengungkitkan rasa duka cita. Jadi, kalau menyediakan makanan dengan niat supaya pahalanya sampai kepada mayat, tentu tidak termasuk dalam katagori ini, bahkan ahli rumah tentu akan merasa senang sebab ada harapan anggota keluarganya mendapat keringanan azab di alam kubur. Ibnu Hajar sendiri yang mengutip hadits di atas sebagai dalil larangan menyediakan makanan di rumah kematian menjelaskan kepada kita sebagaimana telah dikutip di atas :
“Jalan anggapan sebagai ratapan adalah unsur didalamnya sangat menonjol dengan urusan duka cita. Oleh karena itu, makruh berkumpul ahli mayat dengan qashad untuk dita’ziah”

Pemahaman bahwa Ibnu Hajar al-Haitamy berpendapat kalau menyediakan makanan dengan niat supaya pahalanya sampai kepada mayat dengan syarat tidak ada ratapan di dalammya tidak termasuk dalam katagori larangan berdasarkan hadits Jarir r.a. di atas, secara tegas dapat dipahami dari teks fatwa Ibnu Hajar dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah berbunyi :
 Ditanyai Ibnu Hajar dari ta’ziah yang dilakukan di negeri Yaman yang kadang-kadang dilakukannya oleh yang bukan ahli warisnya, kemudian dia menuntut rujuk kepada ahli warisnya dan kadang-kadang dilakukan oleh ahli waris kemudian dia merujuk kepada ahli waris lainnya. Apa hukumnya ?. Beliau menjawab dengan katanya :  “Menyediakan makanan untuk orang ta’ziah jika mengarah kepada maksiat seperti meratap adalah haram secara mutlak dan jika tidak ada yang demikian itu, maka jika dilakukan oleh yang bukan ahli waris tanpa izin ahli waris maka boleh dilakukannya dan tidak dapat merujuk kepada ahli waris karena yang dia itu melakukannya secara sukarela (tabaru’), demikian pula apabila dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa izin yang lain, maka tidak dapat merujuk sesuatupun kepada lainnya”.[6]

Dengan memperhatikan keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah ini dan ‘illah (alasan hukum) yang dipahami dari hadits Jarir r.a, maka amalan menyuguhkan makanan untuk orang yang melakukan ta’ziah pada rumah kematian termasuk amalan bid’ah makruhah sebagaimana telah disebut oleh al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Abu Bakar ad-Dimyathi (pengarang kitab I’anah al-Thalibin) dan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj adalah apabila terdapat unsur-unsur ratapan dalam amalan itu dan menyebabkan kembali duka cita yang berlebihan. Karena itu, Apabila tidak terdapat unsur ratapan dan duka cita yang berlebihan, maka ini termasuk perbuatan yang diredhai Allah. Hal ini karena ia termasuk perbuatan pemberian sadaqah dengan niat menyampaikan pahalanya kepada mayat yang merupakan sunnah dalam agama dengan ijmak ulama.
11.        Menghiasi masjid dan mashaf al-Qur’an
Dalam kitabnya, Tahzib al-Asmaa’ wal-Lughat, Imam al-Nawawi mengatakan :
وللبدع المكروهة امثلة كزخرفة المساجد و تزويق المصاحف
Bid’ah makruhah ada beberapa contoh, antara lain menghiasi masjid dan mashhaf.[7]
       Dalam kitab lain, beliau mengatakan :
يُكْرَهُ زَخْرَفَةُ الْمَسْجِدِ وَنَقْشُهُ وَتَزْيِينُهُ لِلْأَحَادِيثِ الْمَشْهُورَةِ  وَلِئَلَّا تَشْغَلَ قَلْبَ الْمُصَلِّي وَفِي سُنَنِ الْبَيْهَقِيّ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (ابْنُوا الْمَسَاجِدَ وَاِتَّخِذُوهَا جَمًّا) وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ (نَهَانَا أَوْ نُهِينَا أَنْ نصلى فِي مَسْجِدٍ مُشْرِفٍ) قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْجَمُّ الَّتِي لَا شُرَفَ لَهَا
Makruh menghiasi, mengukir dan memperindah masjid, karena hadits-hadits yang masyhur dan agar tidak melalaikan hati orang shalat. Dalam Sunan al-Baihaqi dari Anas dari Nabi SAW bersabda : “Bangunlah Masjid dan jadikannya al-jam (sederhana). Dari Ibn Umar ; Rasulullah melarang kami atau kami dilarang shalat dalam masjid yang megah. Abu Ubaid mengatakan : al-jam adalah tidak ada kemegahan.[8]

12.        Memasang lampu-lampu secara berlebihan pada malam-malam tertentu dalam masjid.

Imam al-Nawawi mengatakan :
مِنْ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا يُفْعَلُ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْبُلْدَانِ مِنْ إيقَادِ الْقَنَادِيلِ الْكَثِيرَةِ الْعَظِيمَةِ السَّرَفِ فِي لَيَالٍ مَعْرُوفَةٍ مِنْ السَّنَةِ كَلَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ فَيَحْصُلُ بِسَبَبِ ذَلِكَ مَفَاسِدُ كثيرة منها مضاهات الْمَجُوسِ فِي الِاعْتِنَاءِ بِالنَّارِ وَالْإِكْثَارِ مِنْهَا وَمِنْهَا إضَاعَةُ الْمَالِ فِي غَيْرِ وَجْهِهِ وَمِنْهَا مَا يترب عَلَى ذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْمَسَاجِدِ مِنْ اجتماع الصِّبْيَانِ وَأَهْلِ الْبَطَالَةِ وَلَعِبِهِمْ وَرَفْعِ أَصْوَاتِهِمْ وَامْتِهَانِهِمْ الْمَسَاجِدَ وَانْتِهَاكِ حُرْمَتِهَا وَحُصُولِ أَوْسَاخٍ فِيهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَفَاسِدِ الَّتِي يَجِبُ صِيَانَةُ الْمَسْجِدِ مِنْ أَفْرَادِهَا
Termasuk bid’ah mungkar apa yang dilakukan pada kebanyakan negeri-negeri yakni menyalakan lampu yang banyak, besar serta berlebihan pada malam tertentu seperti malam nisfu Sya’ban, sehinggga dengan sebab itu memunculkan mafasid yang banyak. Mafasid tersebut antara lain menyerupai kaum Majusi dalam hal mengutamakan api dan memperbanyaknya, membuang harta dengan sia-sia pada bukan tempatnya. Mafasid yang lain adalah terjadinya hal-hal yang buruk pada masjid berupa berkumpulnya anak-anak dan pembuat kebatilan dalam masjid dengan bermain-main, bersuara keras dan  berbuat kasar dalam masjid, menghilangkan kehormatan masjid, mendatangkan kotoran dalam masjid dan lain-lain dari mafasid-mafasid yang semestinya wajib dipelihara masjid dari jenisnya.[9]





[1] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. V, Hal. 290
[2] Abu Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 145
[3] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 538, No. Hadits : 1612
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muassasah Qurthubah, Juz. II, Hal. 204, No. Hadits : 6905
[5] Abu Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 146. Dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj, kutipan ini dalam Juz. III, Hal. 207 (dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani,, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir)
[6] Ibnu Hajar Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 32
[7] Al-Nawawi, Tahziib al-Asmaa’ wal-Lughat, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Juz I Qism II, Hal. 22
[8] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 208
[9] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 205

Kamis, 28 Juli 2016

Beberapa Amalan Yang Dihukum oleh Imam al-Nawawi Dalam Kitabnya sebagai Bid’ah Tercela (bag.3)

7.    Bid’ah pada khutbah Jum’at
Dalam kitabnya, Raudhah al-Thalibin, al-Nawawi mengatakan :
يُكْرَهُ فِي الْخُطْبَةِ أُمُورٌ ابْتَدَعَهَا الْجَهَلَةُ. مِنْهَا: الْتِفَاتُهُمْ فِي الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ، وَالدَّقُّ عَلَى دَرَجِ الْمِنْبَرِ فِي صُعُودِهِ، وَالدُّعَاءُ إِذَا انْتَهَى إِلَى صُعُودِهِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ. وَرُبَّمَا تَوَهَّمُوا أَنَّهَا سَاعَةُ الْإِجَابَةِ، وَهَذَا جَهْلٌ، فَإِنَّ سَاعَةَ الْإِجَابَةِ إِنَّمَا هِيَ بَعْدَ جُلُوسِهِ، كَمَا سَيَأْتِي - إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى وَمِنْهَا: الْمُجَازَفَةُ فِي أَوْصَافِ السَّلَاطِينِ فِي الدُّعَاءِ لَهُمْ. وَأَمَّا أَصْلُ الدُّعَاءِ لِلسُّلْطَانِ، فَقَدْ ذَكَرَ صَاحِبُ الْمُهَذَّبِ وَغَيْرُهُ  أَنَّهُ مَكْرُوهٌ. وَالِاخْتِيَارُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ مُجَازَفَةٌ فِي وَصْفِهِ، وَلَا نَحْوُ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ بِصَلَاحِ وُلَاةِ الْأَمْرِ.وَمِنْهَا: مُبَالَغَتُهُمْ فِي الْإِسْرَاعِ فِي الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ.
Beberapa perkara bid’ah yang dilakukan orang-orang bodoh yang makruh dilakukan dalam khutbah, antara lain pertama ; berpaling dalam khutbah kedua, kedua ; mengetuk  tangga mimbar dan berdoa ketika menaikinya hingga sampai sebelum duduk. Kadang-kadang diwahamkan ini merupakan sa’at ijabah do’a. Ini kebodohan, sesungguhnya sa’at ijabah hanyasanya sa’at setelah duduknya sebagaimana nanti pembahasannya insya Allah, ketiga ; Mengatakan tanpa batasan sifat-sifat sulthan dalam berdoa bagi mereka. Adapun asal doa bagi sulthan, pengarang al-Muhazzab dan lainnya telah menyebut hukumnya makruh. Menurut pendapat yang terpilih, sesungguhnya itu tidak mengapa selama tidak ada mujazafah (mengatakan tanpa batasan) dalam mensifatinya dan tidak ada yang seumpamanya. Sesungguhnya itu dianjurkan berdoa untuk kebaikan para pemimpin. Keempat ; terlalu cepat membaca khutbah kedua.[1]

Ibnu Hajar al-Haitami juga menjelaskan dalam kitabnya, Tuhfah al-Muhtaj makruh berpaling kanan, kiri dan belakang dalam khutbah karena ini adalah bid’ah, mengetuk tangga mimbar dan berdoa ketika menaikinya hingga sampai sebelum duduk. Dalam kitab ini, al-Haitami juga menyebut dhaif pendapat al-Ghazali yang mengatakan sunnah mengetuk tangga mimbar untuk mengisyaratkan kepada manusia ijabah  do’a pada waktu ini. Al-Syarwani dalam hasyiahnya atas al-Tuhfah mengutip ‘ibarat al-Nihayah dan al-Mughni menyebutkan makruh perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh khatib-khatib bodoh, yakni isyarah dengan tangan dan lainnya, berpaling dalam khutbah kedua, mengetuk tangga ketika menaikinya dengan pedang atau kakinya dan berdoa ketika menaikinya hingga sampai sebelum duduk. Adapun pendapat al-Baidhawi yang mengatakan berhenti sejenak pada setiap anak tangga lalu mendoakan pertolongan Allah adalah gharib dan dhaif.[2] Selanjutnya al-Syarwani mengutip al-Mughni menyebutkan termasuk yang berpendapat sebagaimana pendapat al-Ghazali di atas adalah Ibnu Abdissalam dan Syeikh ‘Imaduddin, namun bedanya Ibnu Abdissalam mengatakan dianjurkan, sedangkan Syeikh ‘Imaduddin mengatakan tidak mengapa.[3]

8.    Tidak menyukai melaksanakan akad nikah dan memulai bergaul suami isteri pada bulan Syawal
Dalam Shahih Muslim terdapat hadits berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تستحب أن تدخل نسائها فِي شَوَّالٍ
Artinya : Dari Aisyah r.a., beliau berkata : Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku? (Perawi) berkata, Aisyah r.a. dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal. (H.R. Muslim)[4]

Mengomentari hadits di atas, Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan sebagai berikut :
 فِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيجِ وَالتَّزَوُّجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ وَاسْتَدَلُّوا بِهَذَا الْحَدِيثِ وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ والرفع
Dalam hadits ini menunjukkan dianjurkan menikahkan, menikah dan memulai berhubungan suami isteri  dalam bulan Syawal. Sahabat kita menashkan dianjurkannya dan mereka menggunakan hadits ini sebagai dalilnya. Tujuan Aisyah dengan hadits ini untuk menolak tradisi Jahiliyah dan yang menjadi khayalan sebagian awam hari ini yang beranggapan dibenci menikah dan menikahkan dan mulai bergaul suami isteri pada bulan Syawal. Ini adalah bathil dan tidak ada asal baginya. Ini merupakan peninggalan Jahiliyah dimana  mereka menganggap sial pada nama Syawal, yakni syawal asal kata dari isyalah, bermakna mengangkat.[5]

Ibnu katsir mengatakan :
وفي دخوله صلى الله عليه وسلم بعائشة رضي الله عنها في شوال ردّ لما يتوهمه بعض الناس من كراهية الدخول بين العيدين خشية المفارقة بين الزوجين
Dalam hal memulai berhubungan suami isteri Nabi SAW dengan Aisyah r.a. pada bulan Syawal, itu dipahami tertolak waham sebagian manusia membenci memulai berhubungan suami isteri pada saat antara dua hari raya (Aidil Fitri dan Aidil Adzha), karena menguatirkan terjadi perceraian antara suami isteri.[6]

9.    Makmum Membaca “iyyaka na’budu waiyyaka nastangiin” ketika mendengar imam membaca kalimat tersebut.

Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
قَدْ اعْتَادَ كَثِيرٌ مِنْ الْعَوَامّ أَنَّهُمْ إذَا سَمِعُوا قِرَاءَةَ الْإِمَامِ إِيَّاكَ نعبد واياك نستعين قالوا إياك نعبد واياك نستعين وَهَذَا بِدْعَةٌ مَنْهِيٌّ عَنْهَا
Sungguh telah menjadi tradisi kebanyakan ‘awam, mereka apa bila mendengar bacaan imam shalatnya “iyyaka na’budu waiyyaka nastangiin” lantas mereka mengatakan “iyyaka na’budu waiyyaka nastangiin” juga. Ini merupakan bid’ah yang terlarang.[7]





[1] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami,  Juz. II, Hal. 32-33
[2] Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 462
[3] Al-Syarwani, Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 462
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 1039, No. 1423
[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurrthubah, Juz. IX, Hal. 298
[6] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 571
[7] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.IV, Hal. 15

Selasa, 26 Juli 2016

Beberapa Amalan Yang Dihukum oleh Imam al-Nawawi Dalam Kitabnya sebagai Bid’ah Tercela (bag.2)

3.    Membaca Surat al-An’am pada raka’at terakhir shalat Tarawih pada malam ke tujuh Ramadhan.
Dalam al-Fatawa, Imam al-Nawawi ditanya tentang hukum membaca Surat al-An’am pada raka’at terakhir shalat Tarawih pada malam ketujuh Ramadhan. Beliau menjawab :
هذا الفعل المذكور ليس بسنة، بل هو بدعة مكروهة، ولكراهتها أسباب: منها إِيهام كونها سنةً، ومنها تطويل الأخيرة على الأولى وانما السنة تطويل الأولى ، ومنها التطويل على المأمومين، وإنما السنة التخفيف، ومنها هذه القراءة هَذْرَمتها ومنها المبالغة في تخفيف الركعات قبلها، وغير ذلك من الأسباب، ولم يثبت نزولُ الأنعام دفعةً واحدة، ولا دلالة فيه لو ثبت لهذا الفعل، فينبغي لكل مصلٍّ اجتنابُ هذا الفعل، وينبغي إشاعةُ إنكارِ هذا، فقد ثبتت الأحاديث الصحيحة في النهي عن محْدثاتِ الأمور، وأن كل بدعة ضلالة، ولم يُنقل هذا الفعل عن أحد من السلف وحاشاهم، والله أعلم.
Perbuatan yang disebut  ini tidaklah sunnah, akan tetapi bid’ah makruhah. Makruhnya karena beberapa sebab antara lain ; mewahamkan keadaannya sunnah, memanjangkan raka’at pertama atas kedua  sedangkan yang sunnah memanjang raka’at pertama, berat atas makmum karena panjang sedangkan yang sunnah meringankan, ini bacaan tergesa-gesa, terlalu meringankan raka’at sebelumnya, dan lain-lain. Tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan turun Surat al-An’am sekaligus, seandaipun ada tidak ada petunjuk yang menunjukkan kepada perbuatan ini. Karena itu, seyogyanya yang melakukan shalat menjauhi perbuatan ini dan menyiarkan pengingkaran ini. Telah shahih hadits yang melarang dari perbuatan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Tidak dikutip perbuatan ini dari seorangpun dari para ulama salaf dan selain mereka. Wallahua’lam.[1]

Al-Suyuthi juga telah menyebut tercelanya amalan ini dalam kitab beliau, al-Amr bil Itba’ wan-Nahyu  ‘an  al-ibtida’. Senada dengan Imam al-Nawawi, al-Suyuthi  menjelaskan hadits yang menjelaskan Surat al-An’am turun sekaligus adalah dha’if dan seandainyapun hadits itu shahih, maka tidak ada petunjuk dianjurkan membaca Surat al-An’am pada raka’at terakhir shalat Tarawih pada malam ke tujuh Ramadhan. Menurut al-Suyuthi, bid’ah amalan ini karena beberapa faktor, antara lain :
a.       Mengkhususkan Surat al-An’am. Ini mewahamkan yang sunnah hanya Surat al-An’am, tidak yang lain.
b.      Mengkhususkan pada shalat Tarawih
c.       Memberatkan kepada makmum karena panjang
d.      Memendekkan raka’at pertama.[2]

4.        Mengelilingi kuburan Nabi, menyapu dengan tangan dan menciumnya.
Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
لَا يَجُوزُ أَنْ يُطَافَ بِقَبْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُكْرَهُ إلْصَاقُ الظُّهْرِ وَالْبَطْنِ بِجِدَارِ الْقَبْرِ قَالَهُ أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَلِيمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالُوا وَيُكْرَهُ مَسْحُهُ بِالْيَدِ وَتَقْبِيلُهُ بَلْ الْأَدَبُ أَنْ يَبْعُدَ مِنْهُ كَمَا يَبْعُدُ مِنْهُ لَوْ حَضَرَهُ فِي حَيَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي قَالَهُ الْعُلَمَاءُ وَأَطْبَقُوا عَلَيْهِ وَلَا يُغْتَرُّ بِمُخَالَفَةِ كَثِيرِينَ مِنْ الْعَوَامّ وَفِعْلِهِمْ ذَلِكَ. فإِنَّ الِاقْتِدَاءَ وَالْعَمَلَ إنَّمَا يَكُونُ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَأَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ وَلَا يُلْتَفَتُ إلَى مُحْدَثَاتِ الْعَوَامّ وَغَيْرِهِمْ وَجَهَالَاتِهِمْ
Tidak boleh mengelilingi kubur Nabi SAW dan makruh melengketkan punggung dan perut atas dinding kubur sebagaimana penjelasan Abu Ubaidillah al-Hulaimi dan lainnya. Mereka mengatakan, makruh menyapu dengan tangan dan menciumnya, bahkan adabnya menjauhi hal itu sebagaimana menjauhi darinya ketika hidup beliau SAW. Inilah yang benar yang telah dikatakan oleh para ulama dan mereka sepakat atasnya. Karena itu, jangan tertipu dengan menyalahi kebanyakan orang awam dan perbuatan mereka. Yang diikuti dan diamalkan hanya yang bersandarkan kepada hadits shahih dan pendapat para ulama dan jangan berpaling kepada bid’ah orang awam dan lainnya serta orang-orang bodoh dari mereka.[3]

Selanjut al-Nawawi mengatakan,
من خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ فى البركة، فهو من جهالته وغفلته، لأن البركة إنما هى فيما وافق الشرع، و كيف يبتغى الفضل في مخالفة الصواب.
 Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwa menyapu kuburan dengan tangan dan perbuatan yang seumpamanya lebih berkah, maka ini disebabkan kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syariat. Bagaimana mungkin keutamaan boleh diraih dengan menyelisihi kebenaran?.[4]

Dalam kitabnya, al-Jauhar al-Munaddham fi Ziyarah al-Qabri al-Syarif al-Nabawi al-Makram, Al-Haitami menjelaskan pernyataan al-Nawawi menyebutkan ada kesepakatan ulama terhadap makruh menyapu kuburan Nabi SAW dan menciumnya telah dikritisi oleh Ibn Jama’ah dan lainnya. Hal ini karena menurut Imam Ahmad, perbuatan tersebut termasuk dalam katagori tidak mengapa dan juga dikritisi dengan sebab ada pendapat al-Muhib al-Thabari dan Ibn Abi al-Shaif yang berpendapat boleh (jawaz) mencium kuburan nabi dan menyapunya dan atasnya amalan para ulama shalihin serta pernyataan al-Subki bahwa tidak boleh menyapu kuburan nabi tidak termasuk dalam ijmak ulama. Menjawab kritikan ini, al-Haitami mengatakan, nafi pada kalam Ahmad boleh jadi bermakna nafi haram dan bisa juga bermakna nafi makruh, akan tetapi makna pertama lebih rajih sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Karena itu kalam Ahmad  di atas tidak berarti menafikan makruh sebagaimana disebut oleh al-Nawawi. Adapun perkataan al-Thabari, “atasnya (jawaz) amalan para ulama shalihin”, dipahami bahwa makruh termasuk dalam katagori jawaz juga, sehingga tidak betentangan antara keduanya, bahkan dhahir perkataan al-Thabari ini bermakna makruh, karena beliau beristidlal dengan amalam para ulama, yang semestinya beliau menggunakan istilah “istihbab”(dianjurkan), tapi malah berpaling kepada perkataan “jawaz”. Sedangkan perkataan al-Subki “tidak boleh menyapu kuburan nabi tidak termasuk dalam ijmak ulama”  maksudnya pada awalnya, sehingga tidak menafikan terjadi ijmak sesudah berlalu zaman ikhtilaf. [5]

5.    Mengutamakan Wuquf di Jabalrahmah
Imam al-Nawawi mengatakan :
(وَأَمَّا) مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ الْعَوَامّ مِنْ الِاعْتِنَاءِ بِالْوُقُوفِ عَلَى جَبَلِ الرَّحْمَةِ الَّذِي هُوَ بِوَسَطِ عَرَفَاتٍ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ وَتَرْجِيحِهِمْ لَهُ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ أَرْضِ عَرَفَاتٍ حَتَّى رُبَّمَا تُوُهِّمَ مِنْ جَهَلَتِهِمْ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ الْوُقُوفُ إلَّا فِيهِ فَخَطَأٌ ظَاهِرٌ وَمُخَالِفٌ لِلسُّنَّةِ وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِمَّنْ يُعْتَمَدُ فِي صعود هذاالجبل فَضِيلَةً يَخْتَصُّ بِهَا بَلْ لَهُ حُكْمُ سَائِرِ أَرْضِ عَرَفَاتٍ غَيْرِ مَوْقِفِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Adapun apa yang masyhur di kalangan awam lebih mementingkan wuquf di jabalrahmah yang berada di tengah-tengah tanah ‘Arafah sebagaimana penjelasan sebelumnya dan mengutamakannya atas lainnya dari tanah ‘Arafah, sehingga dapat menimbulkan waham dari orang-orang bodoh bahwa tidak sah wuquf kecuali padanya, ini merupakan kesalahan yang nyata dan menyalahi sunnah. Tidak ada pernah seorangpun dari ulama yang menjadi pegangan menyebutkan ada fadhilah khusus mendaki gunung ini, bahkan hukumnya sama saja dengan bagian lain dari tanah ‘Arafah kecuali tanah tempat wuquf Nabi SAW.[6]

Selanjutnya al-Nawawi menjelaskan bahwa Ibn Jarir al-Thabari, al-Mawardi dalam al-Hawi dan al-Bandaniji berpendapat sunnah qashad wuquf di jabalrahmah. Alasan mereka karena jabalrahmah merupakan tempat wuquf para nabi ‘alaihimussalam. Namun beliau menolak pendapat ini, beliau mengatakan pendapat mereka ini tidak ada dasar sama sekali, tidak ada hadits shahih dan juga tidak ada hadits dhaifpun yang mendukungnya, maka yang benar adalah mengutamakan tempat wuquf Nabi SAW.[7]
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj juga mengatakan hal yang sama, bahwa bid’ah mengutamakan Jabalrahmah sebagai tempat wuquf. Al-Syarwani dalam mengomentari pendapat al-Haitami ini mengutip dari kitab al-Mughni, mengatakan tidak ada fadhilah mendaki Jabalrrahmah sebagaimana tersebut dalam al-Majmu’, meskipun Ibn Jarir, al-Marizi dan al-Bandaniji mengatakan itu adalah tempat wuquf para anbiya.[8]

6.    Pergi ke arafah sebelum masuk waktu ibadah wuquf.
Setelah menjelaskan tidak masuk seseorang ke ‘Arafah kecuali dalam waktu wuquf, yakni setelah tergelincir matahari dan setelah shalat Dhuhur dan ‘Asar secara jamak, dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab Imam al-Nawawi mengatakan :
(وَأَمَّا) مَا يَفْعَلُهُ مُعْظَمُ النَّاسِ فِي هَذِهِ الْأَزْمَانِ مِنْ دُخُولِهِمْ أَرْضَ عَرَفَاتٍ قَبْلَ وَقْتِ الْوُقُوفِ فَخَطَأٌ وَبِدْعَةٌ وَمُنَابَذَةٌ لِلسُّنَّةِ
Adapun apa yang dilakukan kebanyakan manusia pada zaman ini yakni memasuki tanah ‘Arafah sebelum waktu wuquf adalah kesalahan dan bid’ah serta bertentangan dengan sunnah.[9]

Namun Dalam kitab al-Idhah, al-Nawawi menyebut bid’ah memasuki ‘Arafah bukannya sebelum tergelincir matahari, tetapi memasuki ‘Arafah pada hari kedelapan Zulhijjah. Dalam kitab ini beliau menyebut banyak perbuatan sunnah yang luput karenanya, antaranya shalat di Mina, mabit di Mina, berjalan dari Mina ke Namirah, turun di Namirah, khutbah dan shalat sebelum memasuki ‘Arafah dan lainnya.[10]
Senada dengan perkataan al-Nawawi dalam al-Majmu’, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fathul Jawad menyebutkan bid’ah memasuki ‘Arafah sebelum tergelincir matahari.[11]





[1] Al-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 31
[2] Al-Suyuthi, al-Amr bil Itba’ wan-Nahyu  ‘an  al-ibtida’, Dar Ibn al-Qayyim, Pakistan, Hal. 192
[3] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 257
[4] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 257-258
[5] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham fi Ziyarah al-Qabri al-Syarif al-Nabawi al-Makram, Hal. 157-158
[6] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 135
[7] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 135
[8] Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 108
[9] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 114
[10] Al-Nawawi, al-Idhah fi Manasik al-Hajj, (dicetak bersama Hasyiah al-Idhah lil Haitami), Darul Hadits, Beirut, Hal. 307
[11] Ibnu Hajar al-Haitami, Fathul Jawad, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 513