10.
Menyedia
makanan di rumah duka untuk mengumpulkan manusia
Imam
al-Nawawi mengatakan :
وَأَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ
النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فيه شئ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ
هَذَا كَلَامُ صَاحِبِ الشَّامِلِ وَيُسْتَدَلُّ لِهَذَا بِحَدِيثِ جَرِيرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ " كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ
إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
" رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ
وَلَيْسَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ
Adapun
perbuatan ahli mayat menyediakan makanan dan mengumpulkan manusia atasnya, maka
tidak pernah dinaqal sesuatupun tentangnya. Hal tersebut merupakan bid’ah tidak
dianjurkan. Ini merupakan pernyataan pengarang kitab al-Syamil. Pendaliliannya
ini dengan hadits Jarir bin Abdullah r.a., beliau berkata : “Kami menganggap
berkumpul-kumpul pada rumah ahli mayat dan membuat makanan sesudah
mengebumikannyya adalah termasuk ratapan. (H.R. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu
Majah dengan isnad shahih, tetapi pada riwayat Ibnu Majah tidak ada perkataan
“sesudah mengebumikannya).[1]
Yang
senada dengan pernyataan al-Nawawi di atas antara lain teks kitab I’anah
al-Thalibin berbunyi :
“Makruh bagi ahli mayat duduk untuk ta’ziah
dan membuat makanan supaya berkumpul manusia dengan sebabnya, karena ada
riwayat dari Ahmad dari jarir bin Abdullah al-Bajlii, beliau berkata : “kami
menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah
menguburkannya termasuki meratap” [2]
Pengarang
kitab I’anah al-Thalibin juga mengutip perkataan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam
Tuhfatul Muhtaj li Syarah al-Minhaj :
“Kebiasaan ahli mayat
menyediakan makanan untuk mengundang manusia berkumpul kepadanya adalah
termasuk bid’ah makruhah sama halnya juga memenuhi undangan itu karena hadits
shahih dari Jarir r.a. :
كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
Artinya : Kami menganggap bahwa berkumpul
kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki
meratap.(H.R. Ibnu Majah [3]
dan Ahmad[4])
Jalan anggapan sebagai
ratapan adalah unsur didalamnya sangat menonjol dengan urusan duka cita. Oleh
karena itu, makruh berkumpul ahli mayat dengan qashad untuk dita’ziah tetapi
seyoqyanya ahli mayat menggunakan waktunya untuk keperluannya, oleh karena itu,
siapa yang dapat menjumpainya, maka dia menta’ziahkannya”. [5]
Patut
menjadi catatan bahwa kutipan-kutipan di atas sering dijadikan rujukan oleh sebagian
kelompok umat Islam yang anti sadaqah makan bersama di rumah duka. Sebenarnya
kalau kita mau memahami teks di atas secara jernih dan cerdas, tentu kesimpulan
yang dikemukakan oleh golongan anti sadaqah makan bersama di rumah duka tidaklah
tepat, karena hadits Jarir r.a yang dijadikan sebagai dalil makruh menyediakan
makanan tersebut menjelaskan alasan larangannya adalah karena hal itu termasuk
ratapan dan mengungkitkan rasa duka cita. Jadi, kalau menyediakan makanan
dengan niat supaya pahalanya sampai kepada mayat, tentu tidak termasuk dalam
katagori ini, bahkan ahli rumah tentu akan merasa senang sebab ada harapan
anggota keluarganya mendapat keringanan azab di alam kubur. Ibnu Hajar sendiri
yang mengutip hadits di atas sebagai dalil larangan menyediakan makanan di
rumah kematian menjelaskan kepada kita sebagaimana telah dikutip di atas :
“Jalan anggapan sebagai ratapan adalah unsur didalamnya sangat
menonjol dengan urusan duka cita. Oleh karena itu, makruh berkumpul ahli mayat
dengan qashad untuk dita’ziah”
Pemahaman
bahwa Ibnu Hajar al-Haitamy berpendapat kalau menyediakan makanan dengan niat
supaya pahalanya sampai kepada mayat dengan syarat tidak ada ratapan di
dalammya tidak termasuk dalam katagori larangan berdasarkan hadits Jarir r.a.
di atas, secara tegas dapat dipahami dari teks fatwa Ibnu Hajar dalam kitab
beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah berbunyi :
“ Ditanyai
Ibnu Hajar dari ta’ziah yang dilakukan di negeri Yaman yang kadang-kadang
dilakukannya oleh yang bukan ahli warisnya, kemudian dia menuntut rujuk kepada
ahli warisnya dan kadang-kadang dilakukan oleh ahli waris kemudian dia merujuk
kepada ahli waris lainnya. Apa hukumnya ?. Beliau menjawab dengan katanya
: “Menyediakan makanan untuk orang
ta’ziah jika mengarah kepada maksiat seperti meratap adalah haram secara mutlak
dan jika tidak ada yang demikian itu, maka jika dilakukan oleh yang bukan ahli
waris tanpa izin ahli waris maka boleh dilakukannya dan tidak dapat merujuk
kepada ahli waris karena yang dia itu melakukannya secara sukarela (tabaru’),
demikian pula apabila dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa izin yang lain,
maka tidak dapat merujuk sesuatupun kepada lainnya”.[6]
Dengan
memperhatikan keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Kubra
al-Fiqhiyah ini dan ‘illah (alasan hukum) yang dipahami dari hadits Jarir r.a,
maka amalan menyuguhkan makanan untuk orang yang melakukan ta’ziah pada rumah
kematian termasuk amalan bid’ah makruhah sebagaimana telah disebut oleh al-Nawawi
dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Abu Bakar ad-Dimyathi (pengarang kitab I’anah
al-Thalibin) dan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj adalah apabila
terdapat unsur-unsur ratapan dalam amalan itu dan menyebabkan kembali duka cita
yang berlebihan. Karena itu, Apabila tidak terdapat unsur ratapan dan duka cita
yang berlebihan, maka ini termasuk perbuatan yang diredhai Allah. Hal ini
karena ia termasuk perbuatan pemberian sadaqah dengan niat menyampaikan
pahalanya kepada mayat yang merupakan sunnah dalam agama dengan ijmak ulama.
11.
Menghiasi masjid dan mashaf al-Qur’an
Dalam
kitabnya, Tahzib al-Asmaa’ wal-Lughat, Imam al-Nawawi mengatakan :
وللبدع المكروهة
امثلة كزخرفة المساجد و تزويق المصاحف
Bid’ah makruhah ada beberapa contoh, antara lain menghiasi masjid
dan mashhaf.[7]
Dalam kitab lain, beliau
mengatakan :
يُكْرَهُ زَخْرَفَةُ الْمَسْجِدِ وَنَقْشُهُ وَتَزْيِينُهُ
لِلْأَحَادِيثِ الْمَشْهُورَةِ وَلِئَلَّا
تَشْغَلَ قَلْبَ الْمُصَلِّي وَفِي
سُنَنِ الْبَيْهَقِيّ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (ابْنُوا الْمَسَاجِدَ وَاِتَّخِذُوهَا جَمًّا) وَعَنْ
ابْنِ عُمَرَ (نَهَانَا أَوْ نُهِينَا أَنْ نصلى فِي مَسْجِدٍ مُشْرِفٍ) قَالَ
أَبُو عُبَيْدٍ الْجَمُّ الَّتِي لَا شُرَفَ لَهَا
Makruh menghiasi, mengukir dan memperindah masjid, karena hadits-hadits
yang masyhur dan agar tidak melalaikan hati orang shalat. Dalam Sunan al-Baihaqi
dari Anas dari Nabi SAW bersabda : “Bangunlah Masjid dan jadikannya al-jam
(sederhana). Dari Ibn Umar ; Rasulullah melarang kami atau kami dilarang shalat
dalam masjid yang megah. Abu Ubaid mengatakan : al-jam adalah tidak ada
kemegahan.[8]
12.
Memasang lampu-lampu secara berlebihan pada malam-malam tertentu
dalam masjid.
Imam al-Nawawi mengatakan :
مِنْ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا يُفْعَلُ فِي كَثِيرٍ مِنْ
الْبُلْدَانِ مِنْ إيقَادِ الْقَنَادِيلِ الْكَثِيرَةِ الْعَظِيمَةِ السَّرَفِ فِي
لَيَالٍ مَعْرُوفَةٍ مِنْ السَّنَةِ كَلَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ فَيَحْصُلُ
بِسَبَبِ ذَلِكَ مَفَاسِدُ كثيرة منها مضاهات الْمَجُوسِ فِي الِاعْتِنَاءِ
بِالنَّارِ وَالْإِكْثَارِ مِنْهَا وَمِنْهَا إضَاعَةُ الْمَالِ فِي غَيْرِ
وَجْهِهِ وَمِنْهَا مَا يترب عَلَى ذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْمَسَاجِدِ مِنْ
اجتماع الصِّبْيَانِ وَأَهْلِ الْبَطَالَةِ وَلَعِبِهِمْ وَرَفْعِ أَصْوَاتِهِمْ
وَامْتِهَانِهِمْ الْمَسَاجِدَ وَانْتِهَاكِ حُرْمَتِهَا وَحُصُولِ أَوْسَاخٍ
فِيهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَفَاسِدِ الَّتِي يَجِبُ صِيَانَةُ الْمَسْجِدِ
مِنْ أَفْرَادِهَا
Termasuk bid’ah mungkar apa yang dilakukan pada kebanyakan
negeri-negeri yakni menyalakan lampu yang banyak, besar serta berlebihan pada
malam tertentu seperti malam nisfu Sya’ban, sehinggga dengan sebab itu memunculkan
mafasid yang banyak. Mafasid tersebut antara lain menyerupai kaum Majusi dalam
hal mengutamakan api dan memperbanyaknya, membuang harta dengan sia-sia pada
bukan tempatnya. Mafasid yang lain adalah terjadinya hal-hal yang buruk pada
masjid berupa berkumpulnya anak-anak dan pembuat kebatilan dalam masjid dengan
bermain-main, bersuara keras dan berbuat
kasar dalam masjid, menghilangkan kehormatan masjid, mendatangkan kotoran dalam
masjid dan lain-lain dari mafasid-mafasid yang semestinya wajib dipelihara
masjid dari jenisnya.[9]
[1]
Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. V, Hal. 290
[2] Abu Bakar
ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II,
Hal. 145
[3] Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 538, No. Hadits :
1612
[4] Ahmad bin
Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muassasah Qurthubah, Juz. II,
Hal. 204, No. Hadits : 6905
[5] Abu
Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang , Juz. II, Hal.
146. Dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj, kutipan ini dalam Juz. III,
Hal. 207 (dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani,, Mathba’ah Mushtafa Muhammad,
Mesir)
[6]
Ibnu Hajar Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut , Juz. II, Hal. 32
[7] Al-Nawawi, Tahziib
al-Asmaa’ wal-Lughat, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Juz I Qism II, Hal. 22
[8]
Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 208
[9]
Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 205