7. Nash Imam Syafi’i menyukai satu azan shalat Jum’at
فَالْأَمْرُ الذي على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى
اللَّهُ عليه وسلم أَحَبُّ إلى
Apa yang
diamalkan pada masa Rasulullah masih hidup lebih aku sukai (daripada melakukan
adzan dua kali di hari Jum’at).
Nash dari Imam Syafi’i ini lengkapnya adalah
sebagai berikut :
قال أَخْبَرَنِي
الثِّقَةُ عَنْ الزُّهْرِيِّ
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ الْأَذَانَ كَانَ
أَوَّلُهُ لِلْجُمُعَةِ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
فَلَمَّا كَانَتْ خِلَافَةُ عُثْمَانَ وَكَثُرَ النَّاسُ أَمَرَ عُثْمَانَ
بِأَذَانٍ ثَانٍ فَأُذِّنَ بِهِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ.(قَالَ:
الشَّافِعِيُّ) وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ عُثْمَانُ أَحْدَثَهُ
وَيَقُولُ أَحْدَثَهُ مُعَاِيَةُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.(قَالَ:
الشَّافِعِيُّ) وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَحَبُّ إلَيَّ
Imam Syafi’i berkata,
memberitahu kepadaku seorang yang terpercaya, dari al-Zuhri dari Sayyib bin
Yazid bahwa pada awalnya azan Jum’at adalah ketika imam duduk atas mimbar pada
masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Manakala pemerintahan khilafah Usman
dan banyaklah manusia, maka Usman memerintah manusia azan untuk yang kedua kalinya, maka diazanlah azan yang
kedua kali dan tetaplah berlaku yang demikian itu. Syafi’i berkata,
sesungguhnya Itha’ mengingkari bahwa Usmanlah yang mendatangkan kali pertama
azan yang kedua kali, ‘Itha’ mengatakan, sebenarnya yang mendatangkan azan kedua
adalah Mu’awiyah. Walluhua’lam. Syafi’i berkata, siapapun yang mendatangkan
pertama sekali azan yang kedua itu, apa yang diamalkan pada masa Rasulullah lebih
aku sukai.[1]
Berita yang diriwayat oleh Imam Syafi’i di atas juga telah tersebut dalam
kitab Shahih al-Bukhari sebagai berikut :
السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ
أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ
وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ
عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ
عَلَى ذَلِكَ.
Saib bin Yazid berkata: Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar r.a , dan Umar
r.a, azan di hari Jum’at pada awalnya hanyalah ketika Imam duduk di atas
mimbar. Pada saat Ustman bin Affan r.a. menjabat sebagai khalifah dan manusia
sudah semakin banyak, beliau pun memerintahkan orang-orang untuk
mengumandangkan azan yang ketiga. Azan tersebut dilakukan di atas zaura’
(sebuah tempat di pasar Kota Madinah) dan tetaplah itu berlaku. (H.R.
Bukhari).[2]
Adapun yang dimaksud dengan azan ketiga dalam hadis di atas adalah azan
pertama yang dikumandangkan di atas zaura’ pada masa kekhalifahan Usman bin
Affan. Sementara itu azan kedua adalah azan pada saat khatib duduk di atas
mimbar dan azan satu lagi adalah iqamah yang dikumandangkan sesaat menjelang
didirikannya shalat Jum’at.
Gagasan yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin
Affan pada dasarnya berbeda dengan praktek pada masa Rasulullah SAW dan dua
khalifah sebelumnya, yang hanya mengumandangkan
azan shalat Jum’at satu kali saja yaitu azan pada saat khatib naik mimbar,
namun praktek ini diterima oleh semua kalangan umat Islam pada ketika itu. Ini terbukti
dengan ada ungkapan perawi diujung riwayat tersebut : “tsabata al-amr ‘ala
zalika”. Ungkapan tersebut menurut Ibn Hajar al-Asqalani
mempunyai pengertian bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Usman bin Affan
diterima secara baik oleh umat Islam di seluruh negeri pada saat itu.[3] Dalam
kata lain keputusan tersebut telah menjadi konsensus di kalangan sahabat. Kalau
memang apa yang digagas dan dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan tersebut
dipatuhi dan tidak seorangpun di antara sahabat dan ulama yang ada pada saat
itu menentang keputusan beliau, maka ketetapan itu bisa dianggap sebagai ijmak
sukuti yang harus dipatuhi dan diikuti oleh segenap umat Islam.
Sekarang
kembali kepada masalah nash Imam Syafi’i di atas. Ada dua kemungkinan maknanya,
yakni: Pertama, Imam Syafi’i lebih menyukai azan satu kali
sebagaimana halnya berlaku pada masa Nabi SAW, baik itu dalam kondisi umat
Islam sudah banyak sebagaimana kondisi umat Islam hari ini maupun dalam kondisi
umat Islam yang masih sedikit sebagaimana pada masa Nabi SAW. Ini dhahir nash. Kedua, Imam Syafi’i lebih
menyukai azan satu kali apabila kondisi umat Islam masih sedikit sebagaimana
pada masa Nabi SAW. Namun apabila kondisi umat Islam sudah banyak, maka azan
dua kali lebih disukai, karena ‘illah hukumnya sudah berubah. Ini perlu ta’wil.
Lalu
pengertian yang mana yang lebih cocok ? mengingat Imam Syafi’i ini seorang
ulama yang ketinggian ilmunya tidak diragukan lagi dalam dunia Islam. Jawabannya
adalah apabila kita menempat nash Imam Syafi’i di atas berlaku secara dhahirnya
nash tersebut, yakni berlaku mutlaq sebagaimana kemungkinan makna pertama di
atas, maka kita telah menempatkan posisi Imam Syafi’i sebagai orang yang
menolak ijmak dan konsensus para sahabat Nabi pada masa Khalifah Usman. Berdasarkan
ini, maka pilihan kepada makna yang kedua, yakni Imam Syafi’i lebih menyukai
azan satu kali apabila kondisi umat Islam masih sedikit sebagaimana pada masa
Nabi SAW merupakan alternatif makna yang dipahami dari nash Imam Syafi’i
tersebut dan lebih tepat dan sesuai dengan kapasitas Imam Syafi’i sebagai
seorang ulama besar dalam dunia Islam. Lagi pula pemahaman tersebut merupakan
upaya kompromi (al-jam’u wal taufiq) yang dapat menghindarkan terjadi
pertentangan antara dua nash. Dalam kitab Ghayatul Wushul disebutkan :
ان
العمل بالمتعارضين اولى من الغاء احدهما
Sesunguhnya mengamalkan
dua nash yang saling bertentangan lebih baik dari membatalkan salah satunya.[4]
Dengan
demikian, maka nash Imam Syafi’i di atas tidaklah tepat apabila digunakan untuk
menolak anjuran azan dua kali pada shalat Jum’at. Karena nash terrsebut
sebagaimana dijelaskan sebelum ini harus dipertempatkan dalam hal apabila
kondisi umat Islam sedikit yang tidak sukar mengumpulkannya dalam masjid untuk
shalat Jum’at. Pemahaman ini diambil supaya nash Imam Syafi’i tersebut tidak
bertentangan dengan praktek yang dilakukan oleh Usman bin Affan dan disetujui
oleh umat Islam ketika itu, sedangkan mereka itu adalah para salafusshalih yang
maenjadi ikutan kita dalam beragama.
Catatan
Menurut
Ibnu Hajar al-Asqalani pengingkaran ‘Itha’ adalah lemah, karena beliau ini
tidak bertemu dengan Usman bin Affan. Karena itu, riwayat yang mengatakan
penambahan azan terjadi pada masa Usman bin Affan lebih diutamakan dari riwayat
yang mengingkarinya.[5]
[1] Syafi’i, al-Um,
Dar al-Wifa, Juz. II, Hal. 389
[2] Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 9, No . 916
[3] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. II, Hal.
394
[4] Zakaria
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang,
Hal. 141
[5] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. II, Hal.
395
Pak bagaimana hukumnya jika seperti ini :
BalasHapusA. Di selimut yg besar terkena sedikit najis, namun tidak tahu persis letaknya dimana. Kemudian saya lupa dan membiarkannya, setelah itu ada handuk saya yg basah mengenai selimut itu, apakah handuk saya menjadi najis dg terkenanya ke selimut itu walau tidak tau persis dimana najis yg ada pada selimut berada?
B. Jika saya sudah membersihkan najis, lalu setelah beberapa saat saya ragu apakah saya melepaskan ikatan rambut saya sebelum membersihkan najis atau sesudah membersihkan najis, berhubung rambut saya basah dan tangan saya sudah memegang najis lalu mengering dan belum sempat dicuci. Tapi saya tidak yakin apakah sebelum memegang najis atau sesudahnya saya melepaskan ikatan rambut saya yg basah, apa bisa dikatakan rambut saya kena najis?
C. Jika kucing saya setelah menjilati pantatnya yg ada kotorannya lalu menjilati bulunya, dibiarkan saja tanpa dicuci, apakah setelah berminggu2 bulunya itu suci kembali? Karena kelihatannya sudah tida ada illah di bulu kucing itu
D. Apakah ketika saya sedang buntu tidak tau harus bertanya kepada siapa mengenai permasalahan agama, bolehkah saya sementara waktu mengambil pendapat imam yg lain (misal dalam masalah najis) berhubung madzhab syafii begitu ketat dalam bab najis, sedangkan masalah saya mengenai najis belum terjawab, saya org yg bodoh dalam masalah agama pak, saya memang mengaji tapi bersama org tua saya ke pengajian, dan biasanya membahas kitab seperti riyadhu solihin, mukhtarol hadits, tafsir, bukan masalah fiqih pak.
E. Jika kuku kaki saya sakit dan sering mengeluarkan darah dan nanah dg sendirinya, dan selalu basah dg cairan2 jika setelah pergi ke wc, apakah tidak mengapa jika mukena saya terkena darah dari kuku kaki itu lalu saya menggunakan mukena itu untuk sholat? Lalu kaki saya tsb sering terdapat darah dan nanah yg mengering dan mengendap, apakah tidak mengapa jika wudhu membiarkan darah kering itu tetap ada, pernah saya mencongkelnya setiap wudhu, tp lama2 kaki saya jadi parah, dan ibu saya memarahi saya.
Pak ustad mohon dijawab pertanyaan2 saya.
1. utk soal A dan B , hukumnya tidak bernajis, karena tidak dihukum najis kecuali ada dalilnya. ragu2 tidak bisa menetap najis dengannya.
Hapus2. najis dgn sebab kucing seperti jilatannya, sedangkan dia barusan makan bangkai atau yg sejenisnya seperti kasus yg sdr sebutkan itu di maafkan, karena kucing makhluq yg selalu bersama manusia padda biasanya. jadi sukarr menghindarinya. nabi saw pernah menjelaskan kepada kita ttg di maafkan jilatan kucingg
3. mengikuti mazhab lain boleh saja, asal tidak talfiq. seperti berwudhu' dlm mazhab syafi'i, tetapi masalah najis mengikuti mazhab lain. ini talfiq yg dilarang.
4. masalah E, jika itu menyebabkan bertambah parah sakit kukunya, maka tidak mengapa dibiarkan saja tdk perlu di congkel2 lagi kuku sdr itu, namun darahnya atau nanah tetap tdk boleh kena kain yg sdr pake. solusi kalau mau shalat balut aja dgn perban kuku sdr. ini kalau memang darah/nanahnya bisa mengenai kain ygg dipake.
wassalam
BalasHapusAssalamu'alaikum Guru yg lon muliakan.
Sebagaimana kita ketahui zaman ini tidak ada org yg mampu membangun suatu mazhab secara mandiri krn ketidakmampuan mencukupi syarat2 utk menjadi mujtahid muthlak.
Bolehkah membangun mazhab kolektif sebagai alternatif, misal imam fulan melengkapi syarat a sampe h, imam fulen memenuhi syarat i sampai p dan imam fulin dari syarat q sampai z sehingga terpenuhi semua syaratnya oleh 3 imam utk satu mazhab?
insya allah akan kami bahas masalah ini dlm posting khusus. karena masalah banyak sekalai perlu ada tinjauan nya.
Hapuswassalam
Syukran Guru
Hapusalhamdulillah , sdh kami bahas dlm link berikut :
Hapushttp://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2016/08/apa-itu-ijtihad-kolektif.html
mudah2an bermanaat
wassalam
Assalamualaikum bapa yang semoga diberkahi Allah dalam setiap aktivitas harian bapa.
BalasHapusBapa darah pada daging termasuk najis, namun apabila saya memasak lalu masih tersisa sedikit darah berwarna merah pias pada air basuhan daging itu bagaimana hukumnya, apakah dimafu? Saya sudah mencuci beberapa kali namun selalu saja tersisa warna merah pias pada air bekas mencucinya.
Maaf bapa ada pertanyaan lanjutan, apakah tidak mengapa saya mencuci dagingnya itu dibiarkan disimpan di wadah, lalu saya cuci diguyur pake gayung, berulang-ulang seperti itu, tapi selalu saja ada sisa air yg berwarna merah namun pucat. Apakah ini dimafu?
BalasHapus