Kalau ulama-ulama besar
melakukan qiyas dalam perkara ibadah, apakah kita harus mendengar pendapat
Wahabi Salafi yang menolak qiyas dalam ibadah secara mutlaq ? Berikut ini
contoh-contoh qiyas yang dilakukan para ulama dalam perkara ibadah, yakni
sebagai berikut :
1. Imam Syafi’i mengqiyaskan najis babi kepada anjing dalam hal kewajiban
membasuh bekas jilatannya sebanyak tujuh kali, salah satunya dicampur dengan
tanah. Dalam al-Um, beliau mengatakan :
فَقُلْنَا فِي الْكَلْبِ بِمَا أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَكَانَ الْخِنْزِيرُ إنْ لَمْ يَكُنْ فِي شَرٍّ
مِنْ حَالِهِ لَمْ يَكُنْ فِي خَيْرٍ مِنْهَا فَقُلْنَا بِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ،
Kami berpendapat pada anjing dengan apa yang
diperintah Rasulullah SAW. Adapun babi seandainya tidak buruk keadaannya,
tetapi tidak ada kebaikan darinya. Karena itu, aku berpendapat tentang babi
dengan qiyas kepada anjing.[1]
2.
Imam Malik berpendapat
diulangi kembali shalat wajib yang telah dilakukan dalam Ka’bah apabila masih
dalam waktunya dengan mengqiyaskan kepada shalat ke arah bukan qiblat.
وَبَلَغَنِي
عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ صَلَّى الْمَكْتُوبَةَ فِي الْكَعْبَةِ؟
قَالَ: يُعِيدُ مَا كَانَ فِي الْوَقْتِ، وَقَالَ مَالِكٌ: وَهُوَ مِثْلُ مَنْ
صَلَّى إلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ يُعِيدُ مَا كَانَ فِي الْوَقْتِ.
Telah sampai padaku dari Malik bahwa beliau ditanyai tentang seseorang yang
shalat wajib dalam ka’bah. Jawab beliau : mengulangi kembali dalam waktu,
karena itu serupa dengan orang shalat kepada bukan arah kiblat, yang diulangi
kembali dalam waktu.[2]
3. Ahmad bin Hanbal mengqiyaskan masalah
memandikan dan shalat jenazah atas orang yang mati dibunuh pembajak laut kepada orang yang mati syahid. Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal bertanya kepada ayahnya,
Ahmad bin Hanbal:
من قتله اللصوص
يغسل و يصلى عليه؟ قال اذا قتل في المعركة فهو بمنزلة الشهيد الا ان يحمل وبه رمق
Orang yang terbunuh oleh pembajak laut, apakah dimandikan
dan dishalati? Ahmad bin Hanbal menjawab : apabila terbunuh dalam
perkelahiannya maka hukumnya sama dengan orang syahid kecuali dia mampu menanggungnya
(tidak mati seketika itu juga), kemudian mati setelah itu.[3]
4. Menurut mazhab Syafi’i dan sekelompok ulama boleh melakukan shalat sunnat yang
mempunyai sebab seperti shalat tahiyyat al-masjid, sujud tilawah dan syukur,
shalat hari raya dan shalat gerhana pada waktu makruh. Dalilnya qiyas kepada
qadha shalat sunnat dhuhur sesudah shalat ‘ashar yang dilakukan Nabi SAW. Seterusnya
Imam Nawawi mengatakan :
وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ
وَمُوَافِقُوهُ بِأَنَّهُ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَضَى سُنَّةَ الظُّهْرِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَهَذَا صَرِيحٌ فِي قَضَاءِ
السُّنَّةِ الْفَائِتَةِ فَالْحَاضِرَةُ أَوْلَى
Imam Syafi’i dan yang setuju dengannya berhujjah dengan
hadits shahih bahwa Nabi SAW mengqadha shalat sunnat dhuhur setelah shalat ashar.
Ini sharih pada masalah qadha shalat sunnat yang luput, maka shalat sunnat yang
hadhir (shalat ada’) lebih patut dilakukan.[4]
5.
Menurut Abu Hanifah, al-Tsury dan al-Auzha’i, faaqid
al-thahuraini (yang tidak menemukan air dan tanah) tidak wajib shalat sehingga
menemukan air atau tanah, namun apabila sudah menemukannya wajib qadha. Argumentasinya
qiyas kepada puasa perempuan berhaid yang tidak wajib melakukan shalat, namun
wajib qadha apabila sudah hilang penghalangnya, yakni apabila sudah suci. Dalam
al-Mughni disebutkan :
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ،
وَالثَّوْرِيُّ، وَالْأَوْزَاعِيُّ: لَا يُصَلِّي حَتَّى يَقْدِرَ، ثُمَّ يَقْضِيَ؛
لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَا تُسْقِطُ الْقَضَاءَ، فَلَمْ تَكُنْ وَاجِبَةً،
كَصِيَامِ الْحَائِضِ.
Abu Hanifah, al-Tsury dan
al-Auzha’i mengatakan tidak melakukan shalat sehingga dia mampu, kemudian
mengqadhanya, karena shalat adalah ibadah yang tidak menggugurkan qadha. Karena
itu tidak wajib seperti halnya puasa perempuan berhaid.[5]
6.
Imam al-Nawawi, salah
seorang ulama terkenal bermazhab Syafi’i pernah mengqiyaskan shalat Jum’at
kepada shalat Dhuhur dalam hal sunnat shalat qabliyah, beliau mengatakan :
وَأَمَّا السُّنَّةُ قَبْلَهَا
فَالْعُمْدَةُ فِيهَا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمَذْكُورُ فِي
الْفَرْعِ قَبْلَهُ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ
صَلَاةٌ وَالْقِيَاسُ عَلَى الظُّهْرِ
Adapun shalat
sunnat sebelum Jum’at, yang menjadi pegangannya adalah hadits Abdullah bin
Maghfal yang telah disebutkan pada furu’ sebelumnya ; “Pada setiap dua azan itu
adalah shalat” dan dengan mengqiyaskan kepada shalat dhuhur.[6]
7. Ibnu al-Rusyd, tokoh ulama dari Mazhab Maliki menjelaskan bahwa jumhur
ulama berpendapat bahwa aib seperti buta dan pecah betis tidak memadai untuk
binatang qurban dengan mengqiyaskan kepada aib-aib yang disebut dalam hadits,
yaitu pincang, buta sebelah, sakit berat dan sangat kurus. Beliau mengatakan :
فان الجمهور على ان ما كان
اشد من هذه العيوب المنصوص عليها فهي احرى ان تمتع الاجزاء
Sesungguhnya Jumhur ulama
berpendapat lebih patut tidak memadai
qurban pada aib-aib ini yang lebih besar aibnya dibanding aib-aib yang disebut
dalam nash syara’.[7]
8. Imam al-Nawawi mengatakan telah terjadi ijmak ulama wajib qadha shalat
yang ditinggalkan dengan cara sengaja. Sandaran ijmak ini menurut beliau adalah
dengan mengqiyaskan kepada kewajiban qadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan
dengan sebab sengaja bersetubuh dan juga mengqiyaskan kepada qadha shalat yang
ditinggalkannya secara lupa. Logikanya, kalau secara lupa wajib qadha, tentu
yang secara sengaja lebih patut diwajibkannya. Dalam al-al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, beliau mengatakan :
وَمِمَّا
يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الْقَضَاءِ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ أَمَرَ الْمُجَامِعَ فِي نَهَارِ
رَمَضَانَ أَنْ يَصُومَ يَوْمًا مَعَ الْكَفَّارَةِ أَيْ بَدَلَ الْيَوْمِ الَّذِي
أَفْسَدَهُ بِالْجِمَاعِ عَمْدًا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ
وَرَوَى أَبُو دَاوُد نَحْوَهُ وَلِأَنَّهُ إذَا وَجَبَ الْقَضَاءُ عَلَى
التَّارِكِ نَاسِيًا فَالْعَامِدُ أَوْلَى
Termasuk dalil wajib qadha shalat yang ditingggalkan secara sengaja adalah hadits
Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW memerintah orang yang bersetubuh pada
siang Ramadhan berpuasa satu hari disamping membayar kifarat. Artinya sebagai
ganti hari puasa yang dibatalkan dengan sebab bersetubuh secara sengaja. Hadits
ini riwayat al-Baihaqi dengan isnad baik dan juga telah diriwayat oleh Abu Daud
dengan seumpamanya. Dalil lain, karena apabila wajib qadha atas yang meninggalkannya
dalam keadaan lupa, maka meninggalkannya dalam sengaja lebih patut wajib qadha.[8]
9.
Ibnu Qudamah salah seorang ulama besar dalam
mazhab Hanbali menolak pendapat yang mengatakan boleh menyapu sebagian anggota
tayamum. Argumentasi beliau dengan mengqiyaskan
kepada membasuh anggota wudhu’. Dalam al-Mughni, beliau mengatakan :
فَيَجِبُ تَعْمِيمُهُمَا، كَمَا
يَجِبُ تَعْمِيمُهُمَا بِالْغَسْلِ؛ لِقَوْلِهِ : فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Maka wajib menyapu seluruh wajah dan tangan sebagaimana
wajib membasuh seluruh wajah dan tangan dalam berwudhu’ karena firman Allah :
Basuhlah wajah dan tanganmu sampai dua siku-siku.[9]
Ulasan yg baik Teungku.
BalasHapusSEdikit saran, kpn dibahas zikir dan doa usai sholat, sesuai urutan yg benar. Kalau bisa disertakan teks doanya yg lengkap Ustad, baik doa sendiri-sendiri atau doa untuk berjamaah. Utk bisa diamalkan saya pribadi. Makasih sblmnya Tengku!
Salam dari Ari (Payakumbuh)