Renungan

Rabu, 27 Desember 2017

Keterangan Ulama Mengenai Hukum LGBT

Pengertian LGBT
Mengingat istilah LGBT ini sudah umum dipahami masyakat kita, maka di sini penulis menyebut pengertian LGBT secara singkat saja, yakni :
1.    L (Lesbian) adalah Lesbi atau lesbian merupakan istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, atau emosional
2.    G (Gay) adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan merujuk kepada orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual, yakni yang mengarah pilihan orientasi seksnya kepada sesama pria.
3.    B (Biseksual), Istilah ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus. 
4.    T (Transgender) adalah orang yang mengadopsi peran dan nilai-nilai lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya seseorang yang secara biologis perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki dengan juga sebaliknya.  Waria adalah salah satu contoh kategori ini karena memenuhi ciri-ciri kelompok tersebut.
Perilaku LGBT Menurut Syari’at
-     Hukum Perilaku Gay
Para ulama telah menyebut nash-nash yang menjelaskan bahwa telah terjadi ijmak ulama perilaku liwath (gay) merupakan perbuatan maksiat dalam skala dosa besar. Berikut ini keterangan ulama mengenai ini, yakni sebagai berikut :
1.    Ibnu Qudamah mengatakan, ijmak ahli ilmu atas haram liwath, sesungguhnya Allah telah mencelanya dalam kitab-Nya dan menyatakan aib perbuatannya dan Rasul-Nya juga mencelanya. Selanjut beliau mengatakan, terjadi perbedaan riwayat dari Imam Ahmad. Salah satu riwayat dari Ahmad berpendapat pelaku liwath dirajam, baik pernah kawin maupun tidak. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Abdullah bin Ma’mar, al-Zuhri, Abi Hubaib, Rabi’ah, Malik, Ishaq dan salah satu pendapat Syafi’i. Pendapat lain dari Ahmad adalah hukumannya seperti zina. Pendapat juga dikatakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, ‘Itha’, al-Hasan, al-Nakh’i, Qatadah, al-Auzha’i, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Abu Tsur dan pendapat yang masyhur dari Imam Syafi’i. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar al-Siddiq r.a. pernah memerintah membakar pelaku liwath. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu al-Zubair. Sedangkan al-Hakam dan Abu Hanifah berpendapat tidak ada hudud atas pelaku liwath, karena itu bukan tempat persetubuhan. Karenanya serupa dengan bukan kemaluan.[1]
2.    Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan tidak ada khilaf di antara ummat bahwa liwath (orientasi seks sesama pria) lebih besar dosanya dari zina.[2]
3.    Al-Khaliliy al-Syafi’i mengatakan, para imam mengeluarkan nash bahwa kafir orang yang menghalalkan zina dan liwath.[3] Sebagaimana dimaklumi yang dapat menjadi kafir adalah menghalalkan yang haram yang menjadi ijmak ulama.
4.    Dalam Raudhah al-Talibin, Imam al-Nawawi  setelah menyebut menghalalkan yang haram dengan ijmak ulama dapat menjadi kafir, beliau menyebut salah satu contohnya adalah liwath. Dalam halaman berikutnya, Imam al-Nawawi mengatakan, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i (qaul al-azhhar) hukuman pelaku liwath adalah seperti hudud zina. Pendapat kedua dibunuh, baik dia pernah kawin atau tidak. Pendapat yang ketiga ditimpa atasnya tembok dinding atau dilempar dari ketinggian sehingga mati sebagaimana azab atas Kaum Nabi Luth a.s.[4]
5.    Al-Syaibaaniy dalam kitab Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama menyebutkan, para ulama sepakat bahwa liwath adalah haram dan termasuk perbuatan yang keji. Para ulama hanya  khilaf apakah wajib hudud?. Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan wajib hudud. Abu Hanifah mengatakan, dita’zir pelakunya jika dilakukan baru pertama.[5]
6.    ‘Ali Syibraan al-Malasi mengatakan, sepantasnya kafir yang mengi’tiqad halal bersetubuh pada dubur, karena telah terjadi  ijmak atas haramnya dan maklum dari agama secara mudah.[6]
7.    Al-Sarkhasi mengatakan, pelaku liwath menurut Abu Hanifah adalah dita’zir, akan tetapi menurut dua orang muridnya, yakni Abu Yusuf dan Muhammad, hukumannya hudud sebagaimana hudud zina.[7]
8.    Setelah menyebut beberapa hadits, Ibnu Hazm mengatakan nash-nash ini disebut secara terang bahwa haram saling bersentuhan kulit laki-laki sesama laki-laki dan perempuan sesama perempuan dengan keharaman yang sama. Kemudian beliau melanjutkan, apabila berlanjut kepada kemaluan, maka haramnya bertambah dan maksiatnya berlipat ganda.[8]
Kesimpulan hukuman liwath :
a.    Ijmak ulama perilaku liwath adalah haram dan merupakan dosa besar
b.    Terjadi pebedaan pendapat mengenai hukuman di dunia atas pelakunya. Jumhur ulama berpendapat hukumannya adalah hudud. Yang berpendapat hudud ini juga ada perbedaan pendapat dalam menentukan jenis hududnya. Ada yang mengatakan dibunuh dengan rajam atau pedang. Ada juga yang berpendapat hududnya seperti hudud zina. Pendapat lain mengatakan ditimpa atasnya tembok dinding atau dilempar dari ketinggian sehingga mati dan ada juga pendapat yang mengatakan dibakar hidup-hidup. Menurut Abu Hanifah, hukumannya bukan hudud, akan tetapi ta’zir.
-     Hukum Perilaku Lesbian
Adapun perilaku lesbian (musaahaqah) dapat disimak menurut keterangan ulama berikut ini :
1.    Al-Mawardi mengatakan, adapun hukum lesbian, yakni wanita mendatangi wanita  adalah diharamkan sama seperti zina, meskipun berbeda dalam hal hukumannya. Wajib padanya ta’zir, tidak hudud karena tidak ada persetubuhan padanya.[9]
2.    Dalam kitab al-Bayan fi Mazhab al-Syafi’i,  Abi al-Husaini al-‘Imarani al-Syafi’i al-Yamani mengatakan haram wanita mendatangi wanita dan tidak wajib hudud. Imam Malik mengatakan wajib atas masing-masing dari wanita itu hudud seratus kali cambuk.[10]
3.    Ibnu Hajar al-Haitami telah memasukkan perilaku lesbian dalam katagori ke-362 dosa besar. Beliau mengatakan, dosa besar yang ke-362 adalah lesbian para wanita, yakni wanita melakukan terhadap sesama wanita sebagaimana halnya pria melakukannya kepada wanita.[11]
4.    Ibnu Hajar al-Asqalani telah memasukkan perilaku lesbian ini dalam katagori  dimana hukumannya terjadi khilaf ulama antara hudud atau ta’zir.[12]
5.    Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabalah mengatakan, apabila dua orang wanita saling melakukan lesbian,  maka keduanya penzina yang terkutuk. Namun tidak ada hudud atas keduanya, karena tidak ada unsur bersetubuh, maka serupa dengan bersentuhan kulit pada selain kemaluan.[13]
6.    Al-Sarkhasi dari kalangan Hanafiyah dalam kitab beliau al-Mabsuth dalam mengomentari hadits : “Apabila seorang wanita mendatangi wanita, maka keduanya penzina” mengatakan, maksudnya pada hak dosa, bukan hudud.[14]
7.    Setelah menyebut beberapa hadits, Ibnu Hazm mengatakan nash-nash ini disebut secara terang bahwa haram saling bersentuhan kulit laki-laki sesama laki-laki dan perempuan sesama perempuan dengan keharaman yang sama. Kemudian beliau melanjutkan, apabila berlanjut kepada kemaluan, maka haramnya bertambah dan maksiatnya berlipat ganda.[15]
Kesimpulan hukuman lesbian
Berdasarkan keterangan ulama di atas, dipahami bahwa sepakat para ulama mengharamkan lesbian, namun mereka berbeda pendapat dalam hukumannya didunia. Jumhur ulama berpendapat lesbian tidak dihudud, akan tetapi dita’zir saja. Sedangkan Imam Malik berpendapat wanita lesbian di berikan hukuman hudud, yakni cambuk seratus kali.
-     Hukum Perilaku Transgender
Sebagaimana sudah dijelaskan pada awal tulisan ini, transgender  adalah orang yang mengadopsi peran dan nilai-nilai lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya seseorang yang secara biologis perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki dengan juga sebaliknya.  Waria adalah salah satu contoh kategori ini karena memenuhi ciri-ciri kelompok tersebut. Dengan demikian, maka kelompok perilaku transgender ini termasuk dalam perilaku pria yang berperilaku menyerupai perempuan dan juga sebaliknya, perempuan berperilaku menyerupai laki-laki yang sepakati haramnya dalam Islam dan merupakan dosa besar. Berikut ini pernyataan para ulama mengenai hukum transgender ini, yakni sebagai berikut :
1.    Menurut al-Iraqi, laki-laki yang menyerupai perempuan dalam gerak-gerik tubuh dan gaya bicaranya ini kadang-kadang ada yang memang merupakan bawaan sejak lahir dan bukan dibuat-buat. Kadang ada juga yang memang dibuat-buat, bukan bawaan lahir. Kelompok pertama tidak tercela, tidak berdosa dan tidak ada sanksi hukuman. Karena ia ‘uzur dan itu bukan dibuat-buat. Kelompok kedualah yang tercela yang dikutuk dalam hadits-hadits shahih.[16]
2.    Al-Thabari mengatakan, termasuk yang tidak halal bagi laki-laki adalah menyerupai perempuan pada tingkah laku yang menjadi ciri khas perempuan, termasuk berperilaku perempuan pada tubuhnya dan bergaya perempuan dalam berbicara.[17]
3.    Al-Nawawi mengatakan, yang benar adalah perempuan menyerupai laki-laki dan sebaliknya adalah haram karena ada hadits shahih tentangnya.[18]
4.    Al-Bahutiy al-Hanbali, mengatakan haram menyerupai laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya, yakni menyerupai perempuan dengan laki-laki dalam berpakaian dan lainnya seperti dalam berbicara, berjalan dan lainnya.[19]
5.    Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan termasuk dosa besar yang ke 107 adalah menyerupai laki-laki dengan perempuan dalam hal yang menjadi ciri khas perempuan pada kebiasaan, baik pakaian, gaya berbicara, gerakan tubuh dan lainnya dan juga sebaliknya.[20]
6.    Al-Zahabi dalam kitabnya, al-Kabair telah memasukkan laki-laki yang berperilaku perempuan, perempuan yang berperilaku laki-laki, laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya, perempuan yang memakai pakaian laki-laki dan sebaliknya dalam kelompok manusia yang boleh dilaknat secara umum.[21]
Kesimpulan Perilaku Transgender
Berdasarkan keterangan ulama di atas, dipahami sepakat para ulama mengharamkan perilaku transgender. Perlu dicatat di sini, pengecualian kepada yang memang merupakan bawaan sejak lahir dan bukan dibuat-buat yang disebut oleh al-Iraqi di atas hanya berlaku pada gerakan tubuh dan gaya bicara yang secara alamiyah memang tidak dapat dikontrol dan gerakan itu muncul tanpa disadari, karena bersifat tabi’i. Adapun perilaku seperti cara berpakaian, perilaku seks dan lainnya, maka tidak termasuk dalam pengecualian, karena perilaku tersebut dapat dikontrol dengan keimanan dan ketaatan kepada hukum agama. Bukti perilaku seks dapat dikontrol, seseorang dalam menyalurkan syahwat seks dipengaruhi oleh ruang dan waktu dan juga tingkat keimananannya. Dan tidak dapat disangkal, saat seseorang punya keinginan melakukan aktifitas seks, maka itu muncul karena dia ingin menikmati seks tersebut. Keinginan menikmati itu pertanda kuat bahwa aktifitas seks bukan sesuatu yang dilakukan tanpa sadar, berbeda dengan gerakan tubuh dan gaya bicara yang kadang muncul tanpa disadari. Hal ini sebagaimana terlihat dalam penjelasan al-Iraqi di atas, beliau menjelaskannya dalam konteks perilaku gerakan tubuh dan gaya bicara pelaku transgender
-       Hukum Perilaku Biseksual
Di awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa istilah biseksual ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus. Dengan demikian, hukum terhadap perilaku biseksual ini dilihat dari sisi dimana dia menyalurkan hasrat syahwatnya kepada sesama jenisnya. Jadi, seandainya dia seorang lak-laki, di saat menyalurkan hasrat syahwat kepada sesama laki-laki, maka hukumnya termasuk dalam katagori gay (liwath) dan seandainya dia seorang perempuan, di saat menyalurkan hasrat syahwatnya kepada sesama perempuan, maka hukumnya termasuk dalam katagori lesbian. Dengan demikian hukum biseksual ini kembali kepada hukum gay dan lesbian di atas.

Catatan : Hudud adalah hukumam yang sudah ditentukan syara' jenis dan ukurannya seperti potong tangan atas pencuri. sedangkan ta'zir hukumannya yang diserahkan kepada ijtihad qadhi/hakim seperti hukuman pelaku khalwat.

(Insya Allah tulisan ini akan berlanjut kepada dalil-haram LGBT dari al-Qur’an dan al-Hadits serta membuka tabir kebohongan dan kerancuan berpikir pendukung LGBT.)





[1] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII, Hal. 116
[3] Al-Khaliliy al-Syafi’i, Fataawi al-Khaliliy, Juz. II, Hal. 279
[4] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. X, Hal. 64 dan 90
[5] Al-Syaibaaniy, Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 255
[6] Al-Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khathib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 536
[7] Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 77
[8] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 406
[9] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 224
[10] Abi al-Husaini al-‘Imrani al-Syafi’i al-Yamani, al-Bayan fi Mazhab al-Syafi’i, Dar al-Minhaj, Juz. XII, Hal. 369
[11] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Zawajir ‘an I’tiraf al-Kabair, Juz. II, Hal. 152
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII, Hal. 177
[13] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61
[14] Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 78
[15] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 406
[16]Al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Tarqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VIII, Hal. 114
[17]Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 140
[18] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. II, Hal. 263
[19] Al-Bahutiy al-Hambali, Kasyf al-Qanaa’ ‘an Matan al-Iqna’,  Maktabah Syamilah,  Juz. I, Hal. 283
[20] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Zawajir ‘an I’tiraf al-Kabair, Juz. I, Hal. 161
[21] Al-Zahabi, al-Kabair, Maktabah Syamilah,  Juz. I, Hal. 165

Jumat, 08 Desember 2017

Apakah setiap yang tinggalkan Nabi SAW berarti tercela

Tidak setiap yang ditinggalkan Nabi SAW secara mutlaq dipahami sebagai suatu yang tercela atau diharamkan. Karena Nabi SAW meninggalkan suatu perbuatan kadang-kadang ada motivasi-motivasi tertentu yang melatarbelakanginya, artinya bukan karena perbuatan tersebut dianggap haram atau tercela.
            Motivasi-motivasi lain yang bukan karena faktor tercela atau haram yang menjadi alasan Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan, antara lain :
1.      Meninggalkannya karena tidak ada motivasi yang menggerakkan beliau melakukannya, seperti meninggalkan memerangi orang-orang  yang enggan membayar zakat. Rasulullah SAW tidak melakukannya karena tidak wujud orang yang enggan membayar zakat pada zamannya dan sebaliknya, Abu Bakar r.a. melakukannya, karena wujud orang yang enggan membayar zakat pada zamannya.[1] Contoh lain, Rasulullah SAW meninggalkan menghimpun al-Qur’an dalam mashaf, karena tidak muncul kekuatiran pada zamannya bahwa al-Qur’an akan bercampur dengan lainnya dan dapat hilang dari hafalan-hafalan manusia. Kekuatiran tersebut muncul pada zaman sahabat Nabi karena penghafal-penghafal al-Qur’an banyak yang sudah wafat, maka para Khulafaurrasyidin sesudah Rasulullah SAW  membukukan al-Qur’an dalam bentuk suatu mashaf sebagaimana Mashaf Usmany yang ada sekarang.[2] Ketajaman pemahaman Umar r.a. dapat memahami bahwa Rasulullah SAW tidak mengumpulkan al-Qur’’an tidak menunjukkan bahwa hal itu terlarang sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani :
وقد فهِم عمرُ أن ترك النبي صلى الله  عليه وسلم جمعه للقرآن-لا دلالة فيه على المنع،وقد رجع إليه أبوبكر لما رأى وجه الإصابة في ذلك،وأنه ليس في المنقول ولا في المعقول ما ينُافيه
Sungguh Umar r.a. memahami bahwa meninggalkan mengumpulkan al-Qur’an oleh Nabi SAW tidak ada petunjuk bahwa itu terlarang. Abu Bakar r.a. merujuk kembali kepada pendapat Umar r.a. manakala  melihat jalan pembenarannya dan tidak ada dalam nash yang dinaqalkan dan  logika hal-hal yang menafikannya.[3]

2.      Meninggalkannya karena ada penghalangnya, padahal ada motivasi yang menggerakkan untuk melakukannya. Hal yang menghalanginya itu antara lain :
a.       Kuatir difardhukan kepada umatnya, seperti Rasulullah SAW meninggalkan keluar berjama’ah shalat Tarawih ke mesjid sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut
:أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat dalam mesjid dengan diikuti oleh manusia. Kemudian beliau  keluar untuk shalat pada malam berikutnya, maka makin banyak manusia shalat bersamanya. Pada malam ketiga atau keempat manusia keluar berkumpul, Rasulullah SAW tidak keluar-keluar kepada mereka. Manakala Subuh bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku telah melihat apa yang kalian kerjakan dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali  kekuatiranku difardhukan shalat itu atasmu. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan. (H. R. Bukhari,[4] Muslim [5] dan Malik) [6]
Kekuatiran ini hilang dengan sebab terputusnya turun wahyu sesudah wafat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Umar bin Khatab memerintahkan Ka’ab shalat Tarawih dengan cara berjama’ah dalam satu imam. Beliau berkata :
إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ  
Sesungguhnya aku berpendapat kalau mereka ini dikumpulkan pada satu qarii, maka sungguh suatu yang lebih baik.(H.R. Bukhari)[7]
b.      Mafsadah (kerusakan) yang lebih besar, seperti Rasulullah SAW meninggalkan memugar ka’bah karena kuatir tersinggung kaum Quraisy sebagaimana digambarkan dalam hadits di bawah ini :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ
Bahwasanya Nabi SAW Bersabda : " Seandainnya tidak karena kaummu baru saja dari masa jahiliyah, niscaya aku perintahkan untuk roboh  Baitullah (untuk dipugar kembali), lalu aku masukkan apa yang telah mereka keluarkan dari padanya” (H.R. Bukhari)[8]

Jadi, seandainya mafsadah ini tidak ada lagi, maka keharusan meninggalkannya itu tidak berlaku lagi.
3.      Meninggalkannya, karena tabi’at Rasulullah SAW tidak menyukainya, seperti beliau tidak makan binatang dhabb (sejenis biawak) karena tabi’at beliau tidak menyukainya sebagaimana dikisahkan dalam hadits di bawah ini :
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاَ وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.
Dari Khalid bin AI Walid, beliau berkata: "Satu hari Nabi SAW disuguhi daging panggang dhabb (sejenis biawak) ketika Nabi SAW hendak memakannya, tiba-tiba ada yang bilang kepada beliau bahwa itu adalah daging dhabb. Seketika itu beliau menarik kembali tangannya. Maka Khalid bertanya: "Haramkah daging binatang itu?". Beliau menjawab: "Tidak, hanya saja ia tidak terdapat di tanah kaumku. Maka aku berusaha menjaga darinya". Khalid lalu memakannya, sementara Rasululiah SAW hanya memandangi saja.(H.R. Bukhari)[9]

        Ini tidak menjadi syari’at bagi umatnya dan tidak dapat menunjukkan kepada haram makan dhabb, tetapi hanya masalah tabi’at saja.
4.      Meninggalkannya karena tidak tergerak pikiran untuk melakukannya. Misalnya Rasulullah SAW tidak berkhutbah atas mimbar sebelum muncul ide dari salah seorang sahabatnya sebagaimana dikisahkan dalam riwayat berikut :
عَنِ الطُّفَيْلِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَى جِذْعٍ وَيَخْطُبُ إِلَيْهِ إِذْ كَانَ الْمَسْجِدُ عَرِيشًا، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ: أَلَا نَجْعَلُ لَكَ عَرِيشًا تَقُومُ عَلَيْهِ يَرَاكَ النَّاسُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَتُسْمِعُ مِنْ خُطْبَتِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ فَصُنِعَ لَهُ الثَّلَاثُ دَرَجَاتٍ، هُنَّ اللَّوَاتِي عَلَى الْمِنْبَرِ،
Dari Ath Thufail bin Ubay bin Ka'ab dari ayahnya r.a. ia berkata; Dahulu Rasulullah SAW shalat bersandar pada batang kurma dan begitu juga ketika berkhutbah saat masjid masih belum memiliki mimbar. Lalu seorang laki-laki dari sahabat beliau berkata kepadanya; "Sudikah baginda kami buatkan mimbar dan diletakkanlah mimbar itu di tempat baginda bisa berdiri di atasnya dan orang-orang dapat melihat baginda pada (khutbah) hari jum`at dan mereka dapat mendengarkan khutbah baginda. Beliau menjawab: "Ya, boleh". Maka dibuatkanlah untuk beliau tiga anak tangga yang berada pada mimbar (H.R. al-Darimiy [10]dan Ahmad dalam Musnadnya[11])

5.      Meninggalkannya karena lupa. Misalnya Rasulullah SAW pernah shalat berjama’ah bersama sahabatnya dimana Rasulullah kurang raka’at shalatnya karena lupa sebagaimana dikisahkan oleh Abu Hurairah r.a dalam haditsnya :
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، فَقِيلَ صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ
Nabi SAW pernah shalat dhuhur dua raka’at, maka salah seorang shabat berkata : “Engkau shalat dua raka’at”. Lalu Rasulullah SAW menambah dua raka’at lagi, kemudian melakukan salam, kemudian sujud dua kali sujud. (H.R. Bukhari)[12]

6.    Meninggalkannya karena perbuatan itu haram atau makruh yang khusus berlaku atas Nabi SAW. Misalnya Nabi SAW meninggalkan makan bawang dan sayuran lainnya yang mempunyai bau yang keji sebagaimana disebut dalam kitab Shahihaini dari Jabir :
 وَأَنّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ، فَوَجَدَ لَهَا رِيحاً، فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنَ الْبُقُولِ. فَقَالَ: قَرّبُوهَا إِلَىَ بَعْضِ أَصْحَابِهِ. فَلَمّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا، قَالَ: كُلْ، فَإِنّي أُنَاجِي مَنْ لاَ تُنَاجِي
Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah disuguhi panci berisi biji-bijian hijau lantas mencium bau darinya, lalu beliau diberitahu mengenai biji-bijian apa itu. Lantas beliau bersabda kepada sebagian para shahabat yang bersamanya, “Dekatkanlah kemari”. Tatkala melihatnya, beliau tidak suka untuk memakannya seraya bersabda, “Makan saja, sesungguhnya aku sedang bermunajat kepada Yang tidak kalian munajat.”(H.R. Bukhari dan Muslim)[13]

Ibnu Mulaqqin telah memasukkan makan bawang dan sejenisnya ini dalam katagori yang diharamkan secara khusus kepada Nabi SAW. Kemudian Ibnu Mulaqqin  mengutip pendapat al-Mawardi yang memastikan diharamkannya atas Nabi SAW.[14]
7.    Meninggalkannya karena dalam rangka memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan perbuatan tercela sebagaimana halnya yang dilakukan seseorang. Misalnya Rasulullah SAW tidak menshalati mayat yang masih tersangkut hutang pada orang lain, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Abu Hurairah r.a. berikut :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ المُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا؟ فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى، وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Sesungguhnya dibawakan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki yang mempunyai (tanggungan) hutang. Maka beliau bertanya, “Apakah ia meninggalkan (harta) untuk (melunasi) hutangnya?” Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan (harta) untuk melunasi hutangnya, maka beliau menshalatkannya. Jika tidak, maka beliau mengatakan kepada kaum muslimin, “Shalatkanlah jenazah sahabat kalian (ini).(H.R. Bukhari)[15]

Contoh lain, Rasulullah SAW tidak menshalati mayat yang mati karena bunuh diri  sebagaimana diriwayatkan pula dari Jabir bin Samurah r.a., ia berkata :
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Pernah dibawa kepada Nabi Shalallahu ’alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang mati bunuh diri dengan tombak, maka beliau tidak menshalatkannya.(H.R. Muslim)[16]


Tujuan Rasulullah SAW tidak menshalatkan kedua jenazah tersebut adalah sebagai peringatan bagi yang masih hidup agar tidak mudah berhutang serta lalai dalam membayarnya dan jangan sampai melakukan bunuh diri. Karena itu, Imam An-Nawawi mengatakan, al-Nakh’i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Jumhur ulama berpendapat tetap dishalatkan orang yang mati karena bunuh diri. Adapun Rasulullah SAW tidak menshalatkannya hanyalah untuk memotivasi manusia agar menjauhi perbuatan serupa yang  dilakukan si mayat pada waktu hidupnya dan adapun shalat atas mayat dilakukan hanya oleh sahabatnya saja.  Demikian Rasulullah SAW meninggalkan shalat atas mayat yang masih meninggalkan hutang untuk menjadi peringatan bagi umatnya agar menjauhi menyepelekan hutang dan lalai dalam membayarnya. Namun beliau memerintahkan sahabatnya menshalatinya.[17]
8.    Nabi SAW meninggalkan sesuatu yang mubah atau yang utama, karena mengutamakan waktunya digunakan untuk melakukan amalan yang lebih utama. Misalnya Nabi SAW meninggalkan shalat hari raya ketika berada di Mina, karena beliau disibukkan dengan manasik dan mengajarkan manusia hukum-hukumnya. Sedangkan ini lebih penting dari shalat hari raya. Ini berdasarkan pendapat yang dikuatkan al-Nawawi  bahwa shalat hari raya tidak gugur anjurannya dengan sebab musafir. Adapun hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW meninggalkan shalat hari raya saat berada di Mina, menurut al-Nawawi shahih dan ma’ruf.[18] Contoh lain, ulama yang berpendapat azan lebih utama dari imamah, mengatakan Nabi SAW meninggalkan melakukan azan tidak berarti azan tidak lebih utama dari imamah. Nabi  SAW meninggalkan azan, karena kesibukan beliau menyampaikan risalah dan mengurus urusan kaum muslimin, sehingga tidak ada kesempatan untuk azan. Berdasarkan ini, Umar bin Khathab r.a. mengatakan, “Seandainya tidak ada khilafah, maka sungguh aku melakukan azan.”[19]
Ini menunjukkan bahwa tidak setiap yang ditinggalkan Nabi SAW merupakan bukan perbuatan yang utama.
9.    Nabi SAW meninggalkannya karena pada ‘adat tidak mampu melakukannya pada zamannya, meskipun ada motivasi untuk melakukannya, sedangkan  pada zaman sesudahnya mungkin dilakukannya, seperti menggunakan pengeras suara (micropon) pada azan, takbir imam shalat, khutbah dan lain-lain.
Kriteria suatu perbuatan yang ditinggal oleh Nabi SAW adalah bid’ah tercela
Sebagaimana sebelum ini sudah dijelaskan bahwa tidak semua perbuatan yang ditinggalkan oleh Nabi SAW merupakan perbuatan tercela atau suatu yang diharamkan, karena kadang-kadang Nabi SAW meninggalkan suatu perbuatan bukan karena perbuatan itu tercela, akan tetapi karena ada motivasi lain.  Karena itu ada kriteria-kriteria tertentu suatu perbuatan yang ditinggal oleh Nabi SAW dianggap  bid’ah tercela. Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah  :
  Perbuatan itu ditinggalkan oleh Rasulullah, tetapi perbuatan tersebut ada motivasinya untuk dilakukannya dan tidak ada penghalang (maani’) melakukannya.
Kriteria di atas merupakan rangkuman dari pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Kubra beliau berikut ini :
وَكَذَا مَا تَركه - صلى الله عليه وسلم - مَعَ قيام الْمُقْتَضى فَيكون تَركه سنة وَفعله بِدعَة مذمومة وَخرج بقولنَا مَعَ قيام الْمُقْتَضى فِي حَيَاته تَركه إِخْرَاج الْيَهُود من جَزِيرَة الْعَرَب وَجمع الْمُصحف وَمَا تَركه لوُجُود الْمَانِع كالاجتماع للتراويح فَإِن الْمُقْتَضى التَّام يدْخل فِيهِ الْمَانِع
Demikian pula perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW, padahal motivasi untuk melakukannya sudah ada ketika itu. Maka meninggalkannya adalah sunnah dan melaksanakannya adalah bid’ah yang tercela. Dan dengan ucapan kami “Motivasi untuk melakukannya telah ada pada masa hidup beliau”, dikecualikan  dari bid’ah perbuatan beliau tidak mengusir kaum Yahudi dari Jazirah Arab dan tidak menghimpun mushaf. Dan juga dikecualikan perbuatan yang beliau tinggalkan karena ada penghalang seperti mengadakan jamaah shalat tarawih, maka adanya motivasi yang sempurna untuk mengadakan shalat jamaah tarawih masuk penghalang padanya.[20]

            Juga penjelasan al-Zahabi berikut :
ما أمسك عن فعله، أو الأمر به والنَّدْبمع قيام المقتضي دَلَّ على أنه ليس بَحَسَن ولا بِرٍّ.
Perkara-perkara yang mana Rasulullah SAW menahan diri dari melakukannya, menahan diri dari memerintahkan atau menganjurkannya, padahal motivasi untuk melakukannya sudah tegak, maka ini menunjukkan bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.[21]
            Kriteria di atas merupakan qarinah yang menunjukkan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi SAW merupakan perbuatan tercela. Adapun apabila kriteria tersebut tidak ada, alias bersifat mutlaq tanpa qarinah, maka tidak ada petunjuk kepada hukum taklifi tertentu, apalagi kalau dikatakan menjadi petunjuk kepada haram suatu perbuatan. Bahkan apabila perbuatan itu tidak termasuk dalam katagori dua kriteria di atas, kemudian didukung oleh dalil-dalil syara’ dan qawaid agama secara umum untuk mengamalkannya, maka termasuk dalam amalan yang maqbul di sisi Allah. Ini sesuai dengan mafhum mukhalafah dari hadits Nabi SAW berbunyi :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan  dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [22] dan Muslim [23])

            Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Karena itu, dalam mengurai kandungan hadits ini, beliau berkata :
واما لا ينافي ذالك بان شهد له شيء من ادلة الشرع او قواعده فليس يرد على فاعله بل هو مقبول منه وذالك كبناء نحو الرباط وخانات السبل وساْئر الانواع التي لم تعهد في الصدر الاول
Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima. Demikian itu seperti membangun ribath, pondok singgahan musafir dan jenis-jenis lainnya yang tidak dimaklum pada zaman pertama.[24]





[1] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain, Singapura, Hal. 24
[2] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain, Singapura, Hal. 154
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fahul Barri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. IX, Hal. 14
[4] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 50, No. hadits 1129
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 524, No. Hadits : 761
[6] Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 113, No. Hadits : 248
[7] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 58, No. Hadits : 2010
[8] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 180, No. Hadits : 1586
[9] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 93, No. Hadits : 5400
[10] Al-Darimi, al-Sunan al-Darimiy, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 180
[11] Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 623
[12] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 144, No. Hadits : 715
[13]Ibnu Mulaqqin, Ghayah al-Saul fi Khasais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Hal. 128
[14] Ibnu Mulaqqin, Ghayah al-Saul fi Khasais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Hal. 128
[15] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 67, No. Hadits : 5371
[16] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 672, No. 978
[17] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. VII, Hal. 67
[18] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. V, Hal. 31-32
[19] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz.. II, Hal. 62
[20] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 200
[21] Al-Zahabi, Juz-un fi al-Tamassuk bissunnah,Maktabah al-Ma’arif, Riyadh,  Hal. 40
[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
                [23] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1343, No.Hadits 1718
[24] Ibnu Hajar al-Haitami, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Hal. 222