Pengertian LGBT
Mengingat
istilah LGBT ini sudah umum dipahami masyakat kita, maka di sini penulis
menyebut pengertian LGBT secara singkat saja, yakni :
1.
L (Lesbian) adalah Lesbi atau lesbian merupakan istilah bagi
perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan
atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik,
seksual, atau emosional
2.
G (Gay) adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan merujuk
kepada orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual, yakni yang mengarah pilihan
orientasi seksnya kepada sesama pria.
3.
B (Biseksual), Istilah ini umumnya digunakan
dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau
seksual kepada pria maupun wanita sekaligus.
4. T (Transgender) adalah orang yang mengadopsi peran dan nilai-nilai
lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya seseorang yang secara biologis
perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki dengan
juga sebaliknya. Waria adalah salah satu
contoh kategori ini karena memenuhi ciri-ciri kelompok tersebut.
Perilaku LGBT Menurut
Syari’at
- Hukum Perilaku Gay
Para ulama
telah menyebut nash-nash yang menjelaskan bahwa telah terjadi ijmak ulama perilaku
liwath (gay) merupakan perbuatan maksiat dalam skala dosa besar. Berikut ini
keterangan ulama mengenai ini, yakni sebagai berikut :
1.
Ibnu Qudamah mengatakan, ijmak ahli ilmu atas
haram liwath, sesungguhnya Allah telah mencelanya dalam kitab-Nya dan
menyatakan aib perbuatannya dan Rasul-Nya juga mencelanya. Selanjut beliau
mengatakan, terjadi perbedaan riwayat dari Imam Ahmad. Salah satu riwayat dari
Ahmad berpendapat pelaku liwath dirajam, baik pernah kawin maupun tidak. Ini
merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Abdullah bin Ma’mar,
al-Zuhri, Abi Hubaib, Rabi’ah, Malik, Ishaq dan salah satu pendapat Syafi’i.
Pendapat lain dari Ahmad adalah hukumannya seperti zina. Pendapat juga
dikatakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, ‘Itha’, al-Hasan, al-Nakh’i, Qatadah,
al-Auzha’i, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Abu Tsur dan pendapat yang
masyhur dari Imam Syafi’i. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar al-Siddiq r.a. pernah
memerintah membakar pelaku liwath. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu
al-Zubair. Sedangkan al-Hakam dan Abu Hanifah berpendapat tidak ada hudud atas
pelaku liwath, karena itu bukan tempat persetubuhan. Karenanya serupa dengan
bukan kemaluan.[1]
2.
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan tidak ada khilaf
di antara ummat bahwa liwath (orientasi seks sesama pria) lebih besar dosanya
dari zina.[2]
3.
Al-Khaliliy al-Syafi’i mengatakan, para imam
mengeluarkan nash bahwa kafir orang yang menghalalkan zina dan liwath.[3]
Sebagaimana dimaklumi yang dapat menjadi kafir adalah menghalalkan yang haram
yang menjadi ijmak ulama.
4.
Dalam Raudhah al-Talibin, Imam al-Nawawi setelah menyebut menghalalkan yang haram
dengan ijmak ulama dapat menjadi kafir, beliau menyebut salah satu contohnya
adalah liwath. Dalam halaman berikutnya, Imam al-Nawawi mengatakan, menurut
pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i (qaul al-azhhar) hukuman pelaku liwath
adalah seperti hudud zina. Pendapat kedua dibunuh, baik dia pernah kawin atau
tidak. Pendapat yang ketiga ditimpa atasnya tembok dinding atau dilempar dari
ketinggian sehingga mati sebagaimana azab atas Kaum Nabi Luth a.s.[4]
5.
Al-Syaibaaniy dalam kitab Ikhtilaf al-Aimmah
al-Ulama menyebutkan, para ulama sepakat bahwa liwath adalah haram dan termasuk
perbuatan yang keji. Para ulama hanya khilaf
apakah wajib hudud?. Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan wajib hudud. Abu
Hanifah mengatakan, dita’zir pelakunya jika dilakukan baru pertama.[5]
6.
‘Ali Syibraan al-Malasi mengatakan, sepantasnya
kafir yang mengi’tiqad halal bersetubuh pada dubur, karena telah terjadi ijmak atas haramnya dan maklum dari agama
secara mudah.[6]
7.
Al-Sarkhasi mengatakan, pelaku liwath menurut Abu
Hanifah adalah dita’zir, akan tetapi menurut dua orang muridnya, yakni Abu
Yusuf dan Muhammad, hukumannya hudud sebagaimana hudud zina.[7]
8.
Setelah menyebut beberapa hadits, Ibnu Hazm
mengatakan nash-nash ini disebut secara terang bahwa haram saling bersentuhan
kulit laki-laki sesama laki-laki dan perempuan sesama perempuan dengan
keharaman yang sama. Kemudian beliau melanjutkan, apabila berlanjut kepada
kemaluan, maka haramnya bertambah dan maksiatnya berlipat ganda.[8]
Kesimpulan hukuman liwath :
a.
Ijmak ulama perilaku liwath adalah haram dan
merupakan dosa besar
b.
Terjadi pebedaan pendapat mengenai hukuman di
dunia atas pelakunya. Jumhur ulama berpendapat hukumannya adalah hudud. Yang
berpendapat hudud ini juga ada perbedaan pendapat dalam menentukan jenis
hududnya. Ada yang mengatakan dibunuh dengan rajam atau pedang. Ada juga yang
berpendapat hududnya seperti hudud zina. Pendapat lain mengatakan ditimpa
atasnya tembok dinding atau dilempar dari ketinggian sehingga mati dan ada juga
pendapat yang mengatakan dibakar hidup-hidup. Menurut Abu Hanifah, hukumannya
bukan hudud, akan tetapi ta’zir.
- Hukum
Perilaku Lesbian
Adapun perilaku lesbian (musaahaqah) dapat disimak
menurut keterangan ulama berikut ini :
1.
Al-Mawardi mengatakan, adapun hukum lesbian, yakni
wanita mendatangi wanita adalah
diharamkan sama seperti zina, meskipun berbeda dalam hal hukumannya. Wajib
padanya ta’zir, tidak hudud karena tidak ada persetubuhan padanya.[9]
2.
Dalam kitab al-Bayan fi Mazhab al-Syafi’i, Abi al-Husaini al-‘Imarani al-Syafi’i
al-Yamani mengatakan haram wanita mendatangi wanita dan tidak wajib hudud. Imam
Malik mengatakan wajib atas masing-masing dari wanita itu hudud seratus kali
cambuk.[10]
3.
Ibnu Hajar al-Haitami telah memasukkan perilaku
lesbian dalam katagori ke-362 dosa besar. Beliau mengatakan, dosa besar yang
ke-362 adalah lesbian para wanita, yakni wanita melakukan terhadap sesama
wanita sebagaimana halnya pria melakukannya kepada wanita.[11]
4.
Ibnu Hajar al-Asqalani telah memasukkan perilaku
lesbian ini dalam katagori dimana hukumannya
terjadi khilaf ulama antara hudud atau ta’zir.[12]
5.
Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabalah mengatakan,
apabila dua orang wanita saling melakukan lesbian, maka keduanya penzina yang terkutuk. Namun
tidak ada hudud atas keduanya, karena tidak ada unsur bersetubuh, maka serupa
dengan bersentuhan kulit pada selain kemaluan.[13]
6.
Al-Sarkhasi dari kalangan Hanafiyah dalam kitab
beliau al-Mabsuth dalam mengomentari hadits : “Apabila seorang wanita
mendatangi wanita, maka keduanya penzina” mengatakan, maksudnya pada hak dosa,
bukan hudud.[14]
7.
Setelah menyebut beberapa hadits, Ibnu Hazm
mengatakan nash-nash ini disebut secara terang bahwa haram saling bersentuhan
kulit laki-laki sesama laki-laki dan perempuan sesama perempuan dengan keharaman
yang sama. Kemudian beliau melanjutkan, apabila berlanjut kepada kemaluan, maka
haramnya bertambah dan maksiatnya berlipat ganda.[15]
Kesimpulan hukuman lesbian
Berdasarkan keterangan ulama di atas, dipahami
bahwa sepakat para ulama mengharamkan lesbian, namun mereka berbeda pendapat
dalam hukumannya didunia. Jumhur ulama berpendapat lesbian tidak dihudud, akan
tetapi dita’zir saja. Sedangkan Imam Malik berpendapat wanita lesbian di
berikan hukuman hudud, yakni cambuk seratus kali.
-
Hukum Perilaku
Transgender
Sebagaimana sudah dijelaskan pada
awal tulisan ini, transgender adalah orang yang mengadopsi peran dan nilai-nilai
lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya seseorang yang secara biologis
perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki dengan
juga sebaliknya. Waria adalah salah satu
contoh kategori ini karena memenuhi ciri-ciri kelompok tersebut. Dengan
demikian, maka kelompok perilaku transgender ini termasuk dalam perilaku pria
yang berperilaku menyerupai perempuan dan juga sebaliknya, perempuan
berperilaku menyerupai laki-laki yang sepakati haramnya dalam Islam dan
merupakan dosa besar. Berikut ini pernyataan para ulama mengenai hukum
transgender ini, yakni sebagai berikut :
1. Menurut al-Iraqi, laki-laki yang menyerupai perempuan dalam
gerak-gerik tubuh dan gaya bicaranya ini kadang-kadang ada yang memang
merupakan bawaan sejak lahir dan bukan dibuat-buat. Kadang ada juga yang memang
dibuat-buat, bukan bawaan lahir. Kelompok pertama tidak tercela, tidak berdosa
dan tidak ada sanksi hukuman. Karena ia ‘uzur dan itu bukan dibuat-buat.
Kelompok kedualah yang tercela yang dikutuk dalam hadits-hadits shahih.[16]
2. Al-Thabari mengatakan, termasuk yang tidak halal bagi
laki-laki adalah menyerupai perempuan pada tingkah laku yang menjadi ciri khas
perempuan, termasuk berperilaku perempuan pada tubuhnya dan bergaya perempuan
dalam berbicara.[17]
3. Al-Nawawi mengatakan, yang benar adalah perempuan
menyerupai laki-laki dan sebaliknya adalah haram karena ada hadits shahih
tentangnya.[18]
4. Al-Bahutiy al-Hanbali, mengatakan haram menyerupai
laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya, yakni menyerupai perempuan dengan
laki-laki dalam berpakaian dan lainnya seperti dalam berbicara, berjalan dan
lainnya.[19]
5. Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan termasuk dosa besar
yang ke 107 adalah menyerupai laki-laki dengan perempuan dalam hal yang menjadi
ciri khas perempuan pada kebiasaan, baik pakaian, gaya berbicara, gerakan tubuh
dan lainnya dan juga sebaliknya.[20]
6. Al-Zahabi dalam kitabnya, al-Kabair telah memasukkan
laki-laki yang berperilaku perempuan, perempuan yang berperilaku laki-laki,
laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya, perempuan yang memakai
pakaian laki-laki dan sebaliknya dalam kelompok manusia yang boleh dilaknat secara
umum.[21]
Kesimpulan Perilaku Transgender
Berdasarkan
keterangan ulama di atas, dipahami sepakat para ulama mengharamkan perilaku
transgender. Perlu dicatat di sini, pengecualian kepada yang memang merupakan bawaan sejak lahir dan bukan
dibuat-buat yang
disebut oleh al-Iraqi di atas hanya berlaku pada gerakan tubuh dan gaya bicara
yang secara alamiyah memang tidak dapat dikontrol dan gerakan itu muncul tanpa
disadari, karena bersifat tabi’i. Adapun perilaku seperti cara berpakaian,
perilaku seks dan lainnya, maka tidak termasuk dalam pengecualian, karena
perilaku tersebut dapat dikontrol dengan keimanan dan ketaatan kepada hukum
agama. Bukti perilaku seks dapat dikontrol, seseorang dalam menyalurkan syahwat
seks dipengaruhi oleh ruang dan waktu dan juga tingkat keimananannya. Dan tidak
dapat disangkal, saat seseorang punya keinginan melakukan aktifitas seks, maka
itu muncul karena dia ingin menikmati seks tersebut. Keinginan menikmati itu
pertanda kuat bahwa aktifitas seks bukan sesuatu yang dilakukan tanpa sadar,
berbeda dengan gerakan tubuh dan gaya bicara yang kadang muncul tanpa disadari.
Hal ini sebagaimana terlihat dalam penjelasan al-Iraqi di atas, beliau
menjelaskannya dalam konteks perilaku gerakan tubuh dan gaya bicara pelaku
transgender
- Hukum Perilaku Biseksual
Di awal tulisan ini sudah dijelaskan
bahwa istilah biseksual ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan
manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun
wanita sekaligus. Dengan demikian, hukum terhadap perilaku biseksual ini dilihat
dari sisi dimana dia menyalurkan hasrat syahwatnya kepada sesama jenisnya.
Jadi, seandainya dia seorang lak-laki, di saat menyalurkan hasrat syahwat
kepada sesama laki-laki, maka hukumnya termasuk dalam katagori gay (liwath) dan
seandainya dia seorang perempuan, di saat menyalurkan hasrat syahwatnya kepada
sesama perempuan, maka hukumnya termasuk dalam katagori lesbian. Dengan
demikian hukum biseksual ini kembali kepada hukum gay dan lesbian di atas.
Catatan : Hudud adalah hukumam yang sudah ditentukan syara' jenis dan ukurannya seperti potong tangan atas pencuri. sedangkan ta'zir hukumannya yang diserahkan kepada ijtihad qadhi/hakim seperti hukuman pelaku khalwat.
Catatan : Hudud adalah hukumam yang sudah ditentukan syara' jenis dan ukurannya seperti potong tangan atas pencuri. sedangkan ta'zir hukumannya yang diserahkan kepada ijtihad qadhi/hakim seperti hukuman pelaku khalwat.
(Insya
Allah tulisan ini akan berlanjut kepada dalil-haram LGBT dari al-Qur’an dan
al-Hadits serta membuka tabir kebohongan dan kerancuan berpikir pendukung
LGBT.)
[1]
Ibnu Qudamah, al-Mughni,
Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII, Hal. 116
[3] Al-Khaliliy al-Syafi’i, Fataawi
al-Khaliliy, Juz. II, Hal. 279
[4] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin,
al-Maktab al-Islami, Juz. X, Hal. 64 dan 90
[6] Al-Bujairumi, Hasyiah
al-Bujairumi ‘ala al-Khathib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal.
536
[8]
Ibnu Hazm, al-Muhalla,
Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 406
[9] Al-Mawardi, al-Hawi
al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 224
[10]
Abi al-Husaini al-‘Imrani al-Syafi’i al-Yamani, al-Bayan
fi Mazhab al-Syafi’i, Dar al-Minhaj, Juz. XII, Hal. 369
[12] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII,
Hal. 177
[13] Ibnu Qudamah, al-Mughni,
Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61
[15]
Ibnu Hazm, al-Muhalla,
Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 406
[16]Al-Iraqi, Tharh
al-Tatsrib fi Syarh al-Tarqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz.
VIII, Hal. 114
[17]Ibnu Bathal, Syarah
Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 140
[18]
Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin,
al-Maktab al-Islami, Juz. II, Hal. 263
[21] Al-Zahabi,
al-Kabair, Maktabah Syamilah, Juz. I,
Hal. 165