Renungan

Selasa, 27 Februari 2018

Komentar sedikit tentang wahdatul wujud

1.    Seandainya wahdatul wujud diartikan tidak ada wujud kecuali wujud Allah yang wajib wujub dan sedangkan selain Allah adalah ‘adam semata-mata (tidak ada wujud sama sekali) dari semua sisi, ini jelas bertentangan akal sehat dan kenyataan pada kasat mata. Allah Ta’ala sendiri berfirman melalui wahyu-Nya bahwa Dia telah menciptakan selain-Nya dari tiada kepada ada. Karena itu tidak heran, kita diajarkan dari kecil bahwa wujud ada dua, wujud qadim dan wujud baharu. Hanya orang gila yang mencoba mengingkarinya dan ini kufur karena mengingkari sharih firman Allah Taala yang menegaskan ada wujud selain-Nya.
2.    Seandainya wahdatul wujud diartikan wujud Allah merupakan wujud kulliy (mutlaq) yang universal dan abtraks (hanya wujud pada zihin/alam pikiran seseorang), yang tidak wujud pada kharij (kenyataan), kemudian wujud ini hanya dhahir dan nyata pada alam seperti pada manusia dan lainnya, lalu dikatakannya pada hakikatnya alam ini adalah satu, yaitu Allah, maka ini juga kufur secara sharih. Karena mengingkari wujud Allah pada kharij, karena Allah wujud, bukan hanya wujud dalam pikiran semata.
3.    Seandainya wahdatul wujud diartikan Allah Taala wujud pada kharij, bukan wujud pada alam pikiran saja, akan tetapi wujud Allah tersebut dhahir pada alam nyata ini seperti pada manusia, maka ini termasuk akidah mujassimah yang mengi’tikad Allah Ta’ala menempati tempat (hulul) dan ittihad  (penyatuan) yang ijmak ulama mengingkarinya.
4.    Seandainya wahdatul wujud diartikan, tatkala wujud baharu ini bukan merupakan wujud dengan sendirinya (bukan wujud bizatihi), akan tetapi wujud dengan sebab diciptakan dan kekalnya dengan sebab dikekalkan, maka pada tinjauan ini, dikatakan  wujud baharu tidak berwujud, karena wujudnya bersumber dari wujud yang wajib wujud dengan sendirinya (wujud bizatihi). Karena itu, pada hakikatnya hanya Allahlah yang mempunyai wujud. penjelasan ini shahih, akan tetapi menggunakan lafazh wahdatul wujud dengan makna ini dikuatirkan tidak akan diikuti oleh kebanyakan awam kaum muslim. Karena maknanya khilaf dari dhahir lafazh wahdatul wujud. Berdasarkan ini, setidaknya menjadi makruh menggunakan lafazh wahdatul wujud, bahkan dapat menjadi haram menggunakannya apabila diyakini atau ada dugaan kuat akan muncul pemahaman mengikuti makna dhahirnya. Ini tentu bukan akhlaq seorang sufi yang tega menjerumuskan orang awam dalam kekufuran
5.    Seandainya wahdatul wujud diartikan dimana saat seorang sufi yang ‘arif tenggelam dalam dzuq dan laut ma’rifah tidak ada penyaksian bagi dirinya kecuali zat wajibul wujud yang azali dan sedangkan keadaan sufi tersebut pana’ dengan dirinya dan fana dengan kefanaannya, maka ini bukan wahdatul wujud, akan tetapi wahdatul syuhud (kesatuan dalam penyaksian).
Wassalam


Sabtu, 24 Februari 2018

Kisah Kaum Gay (Homosex) dalam al-Qur’an


1.    Firman Allah Ta’ala berbunyi   
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ (77) وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ (78) قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ (79) قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ (80) قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ (81) فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83(
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang dhalim (Q.S. Huud : 77- 83)


Point-point dari ayat di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni
a.    Nabi Luth tidak mengetahui kalau tamu yang datang kerumahnya adalah para malaikat utusan Allah yang menjelma dalam rupa pria-pria tampan yang ingin menyelamatkannya dari azab Allah yang akan ditimpa kepada kaumnya. Karena itu, Nabi Luth a.s. kuatir terhadap keselamatan tamunya dari perbuatan mungkar yang akan dilakukan kaumnya.[1]
b.    Untuk mencegah kaumnya melakukan perbuatan homoseksual kepada tamunya, Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu”. Bujukan Luth ini tidak digubris sedikitpun oleh kaumnya. Mereka malah menjawab : “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”. Al-Razi mengatakan terjadi khilaf ahli tafsir yang dimaksud dengan putri-putri Luth dalam ayat ini. Qatadah mengatakan, maksudnya adalah anak kandung Nabi Luth. Sedangkan Mujahid dan Sa’id bin Jubair mengatakan, maksudnya adalah wanita dari umatnya yang beriman kepadanya. Pendapat terakhir ini menjadi pilihan al-Razi. Adapun alasan al-Razi sebagai berikut :
1). Wanita-wanita itu beriman kepada Luth dan menerima dakwahnya. Karena itu dalam posisi seperti ini, maka Nabi Luth seperti ayah bagi mereka. Ahli bahasa Arab mengatakan, memadai dalam penyandaran (izhafah) yang baik dengan sebab yang paling rendah sekalipun, seperti firman firman Allah berbunyi :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. (Q.S. al-Ahzab : 6)

2). Menyerahkan anaknya kepada orang-orang berbuat mungkar dan fasiq tidak patut bagi seorang yang mempunyai marwah, maka bagaimana lagi bagi para anbiya.
3). Anak-anak kandung dari Nabi Luth tentu tidak mencukupi bagi kelompok yang banyak dari pria-pria kaum Luth. Adapun wanita-wanita umatnya mencukupi untuk mereka.
4). Telah shahih riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Luth a.s. mempunyai dua orang anak kandung, yakni Zanta dan Za’ura. Karena itu, tidak sah menyebut lafazh banaati (jamak muannats) kepada dua orang, karena menurut pendapat yang shahih sekurang-kurang jamak adalah tiga.
Kemudian al-Razi menjelaskan, adapun ahli tafsir yang berpendapat yang dimaksud itu adalah anak kandung Nabi Luth a.s., mereka sepakat bahwa Nabi Luth bukan menghimbau mereka berzina dengan wanita, akan tetapi mengajak mereka menikah dengan para wanita. Di sini terjadi khilaf, adakalanya dengan syarat beriman lebih dahulu atau dalam syari’at Nabi Luth a.s. boleh menikah wanita mukmin dengan kafir.[2]
Pendapat Mujahid dan Said bin Jubair juga telah dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.[3]
c.    Kisah Nabi Luth a.s. mencegah kaumnya melakukan perbuatan homoseksual kepada tamunya dengan himbauan mengambil anaknya atau wanita dari umatnya sesuai dengan perbedaan penafsiran di atas juga disebut dalam firman Allah dalam Surat al-Hijir : 71, berbunyi :
قَالَ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ
Luth berkata :“Mereka adalah anak-anakkku jika kalian hendak berbuat (Q.S. al-Hijr : 71)

d.   Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : “Dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini”, beliau mengatakan, patuhilah apa yang aku perintahkan kepadamu, yakni membatasi hanya kepada isteri-isterimu.[4]
e.    Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu”, beliau mengatakan, sesungguhnya kamu hai Luth sudah tahu bahwa kami tidak berkeinginan kepada isteri-isteri kami dan tidak mempunyai syawat kepada mereka.[5]
f.     Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : “Dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”, beliau mengatakan, tidak ada bagi kami kemauan kecuali pada pria-pria, padahal kamu mengetahuinya, apa perlu kamu mengulangi-ulangi yang demikian itu ?.[6]
2.    Pada saat Nabi Luth a.s. menyeru mereka kepada kebaikan dan mengingkari kemungkaran mereka, mereka langsung mengambil sikap terhadap Luth a.s. Allah mengisahkan dalam firman-Nya :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84 (
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.(Q.S. Al-A’raf  : 80-84)

Point-point dari ayat di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni
a.    Dalam menafsirkan ayat ke 80 di atas, Ibnu Katsir mengatakan Nabi Luth diutus Allah ke negeri Sodom dan sekitarnya untuk menyeru mereka beriman kepada Allah dan memerintah mereka melakukan yang ma’ruf serta melarang mereka perbuatan dosa, yang diharamkan Allah dan perbuatan-perbuatan keji yang mereka lakukan yang belum pernah dilakukan sama sekali oleh orang-orang sebelum mereka, baik anak Adam maupun lainnya, yakni berhubungan seks dengan sesama pria, tidak dengan wanita. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, belum pernah Bani Adam mengenal perilaku ini dan juga sangat asing serta tidak terlintas dalam pikiran mereka sehingga perilaku ini dilakukan oleh penduduk Sodom yang telah dilaknat Allah atas mereka.[7]
b.    Mengomentari ayat ke 80 di atas. ‘Amr bin Dinaar mengatakan, tidak pernah pria nafsu kepada pria sehingga datang kaum Luth.[8]
c.    Al-Walid bin Abd al-Malik, seorang Khalifah Bani Umayyah pada saat beliau shalat Jum’at di Damsyiq, beliau mengatakan seandainya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengisahkan kepada kita kisah kaum Nabi Luth, sungguh aku tidak menyangka ada pria naik atas pria.[9]
d.   Ibnu al-Haj dari kalangan Malikiyah dalam al-Madkhal menyebut riwayat ada sepuluh perkara yang menyebabkan Allah mencelakakan Kaum Luth, yang kesepuluh adalahh al-thamah al-kubra, yakni liwath.[10]
e.    Firman Allah “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita”, menunjukkan bahwa azab Allah atas mereka bukan karena semata-mata upaya mereka mencoba memperkosa tamu Nabi Luth .as. sebagaimana dakwaan kaum pendukung LGTB, akan tetapi karena mereka mempunyai kecenderungan seksual kepada sesama pria. Hal ini karena sebagai berikut :
1). Firman Allah : “bukan kepada wanita” menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai syahwat dan kemauan kepada wanita
2). Penolakan terhadap anjuran Nabi Luth mengambil putrinya atau wanita dari umatnya untuk pelampiasan syahwat mereka sebagaimana disebut dalam Q.S. Huud : 79 sebelum ini, padahal ini tidak perlu dengan cara memaksa dan  membuat keributan dengan Nabi Luth a.s., menunjukkan bahwa mereka memang tidak mempunyai syahwat kepada wanita.
3.    Allah Ta’ala juga menyebutkan sikap mereka yang mendustakan Nabi-Nya sehingga layak untuk mendapatkan azab
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ (160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (162) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (163) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (164) أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166) قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ (167) قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ (168) رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169) فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ (170) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ (171) ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآَخَرِينَ (172) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ (173 (
Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.”Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir”Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu (Q.S. Asy-Syua’ra’ : 160-173)

Point-point dari ayat di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni :
a.    Firman Allah dalam ayat 165 di atas yang berbunyi : “Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu”, secara terang dan gamblang Allah menjelaskan bahwa  kaum Luth .a.s. memang tidak mempunyai kecenderungan seksual kepada kaum wanita. Karena itu, mereka memaksa Nabi Luth a.s. untuk menyerahkan pria-pria tampan yang menjadi tamu beliau kepada mereka.
b.    Al-Qurthubi dalam menafsir ayat 165 di atas mengatakan, mereka menikah (berhubungan intim ) dengan para pria dengan mendatangi dubur mereka dan dalam menafsirkan ayat ke 166, beliau mengatakan, yakni kemaluan wanita, padahal Allah telah menjadikan para wanita untuk dinikahi.[11] Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya.[12]
4.    Ketika kaum Nabi Luth membujuk Nabi Luth a.s. agar menyerahkan tamunya, maka Allah menimpakan kepada mereka azab yang luar biasa. Allah berfirman :
وَلَقَدْ رَٰوَدُوهُ عَن ضَيْفِهِۦ فَطَمَسْنَآ أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا۟ عَذَابِى وَنُذُرِ
Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.(Q.S. al-Qamar : 37)

B.  Bentuk Celaan dan Bencana Sebagai Hukuman atas kaum LGBT pada Kaum Luth
Adapun celaan kaum LGBT dalam al-Qur’an dan al-Hadits dapat disimak sebagai berikut :
1.    Nabi Luth a.s. menyebut perilaku LGBT sebagai perbuatan fahisyah (keji) yang belum pernah dilakukan umat manusia sebelumnya sebagaimana Allah menyebutnya sebagai perbuatan fahisyah pada perbuatan zina, sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu) (Q.S. al-A’raf : 80)

Allah menyebut zina juga sebagai fahisyah  sebagaimana dalam firman-Nya, berbunyi : 
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah fahisy dan seburuk-buruk jalan (Q.S. al-Isra’ : 32)

2.    Perbuatan yang melampaui batas
Ini sesuai dengan firman Allah Taala berbunyi :
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (Q.S. al-A’raf : 81)

Dan firman Allah Ta’ala berbunyi :
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166(
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. al-Syu’ara’ : 165-166)

3.    Perbuatan yang dhalim.
Allah berfirman dalam al-Qur’an berbunyi :
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83(
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang dhalim (Q.S. Huud :82-83)

4.    Tidak berakal
Ini sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ
Dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal? (Q.S. Huud : 78)

5.    Perbuatan yang dikutuk oleh Nabi SAW sampai tiga kali.
Ini sebagaimana Sabda Nabi SAW berbunyi :
 ملْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
Terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan Kaum Luth, terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan Kaum Luth, terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan Kaum Luth (H.R. al-Thabrani, didalam sanadnya ada Muhriz bin Harun yang didha’ifkan oleh Jumhur. Namun haditsnya telah dinyatakan hasan oleh Turmidzi. Adapun rijal yang lain shahih)[13]

Adapun bencana sebagai hukuman  atas kaum LGBT dalam al-Qur’an dapat dicatat sebagai berikut :
1.    Dibutakan mata mereka
Ini sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلَقَدْ رَٰوَدُوهُ عَن ضَيْفِهِۦ فَطَمَسْنَآ أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا۟ عَذَابِى وَنُذُرِ
Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.(Q.S. al-Qamar : 37)

2.    Allah menjadikan bumi Kaum Nabi Luth terbalik, atas menjadi bawah dan bawah menjadi atas. Allah berfirman dalam al-Qur’an berbunyi :
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (Q.S. Huud : 82)

3.    Dihujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi sebagaimana dalam Q.S. Huud : 82 di atas.




[1] Al-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 377
[2] Al-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 378-379
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut, Juz. IV, Hal. 290
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[6] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[7] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[10] Ibnu al-Haj, al-Madkhal, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 119.
[11] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 132
[12] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Maktabah Syamilah, Juz. 19, Hal. 388
[13]Al-Haitsamy, al-Majma’’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 272, No. 10636

Jumat, 23 Februari 2018

Pembagian ragu-ragu dilihat dari aspek asalnya

Syeikh Abu Hamid al-Isfaraayaniy menjelaskan kepada kita bahwa ragu-ragu dilihat dari aspek asalnya terbagi kepada tiga pembagian, yakni :
1.      Ragu-ragu yang datang atas asal yang haram
2.      Ragu-ragu yang datang atas asal yang mubah
3.      Ragu-ragu yang tidak diketahui asalnya.
Ad. 1. Contoh untuk ragu-ragu yang datang atas asal yang haram seperti menemukan seekor kambing yang sudah disembelih dalam sebuah negeri yang ada orang muslim dan majusi. Maka tidak halal sembelihan tersebut sehingga diketahui penyembelihnya adalah muslim. Karena asalnya adalah haram, sedangkan kita meragukan petunjuk yang memubahkannya. Karena itu, seandainya ghalib dalam negeri tersebut orang muslim, maka boleh makan karena beramal dengan ghalib yang berfaedah dhahir.
Ad.2. Contoh ragu-ragu yang datang atas asal yang mubah seperti seseorang menemukan air yang sudah berubah, bisa jadi berubahnya karena jatuh sesuatu di dalamnya atau bisa jadi karena lama tergenang, maka boleh bersuci dengannya karena beramal dengan asal yang suci.
Ad.3. Contoh ragu-ragu yang tidak diketahui asalnya seperti tindakan mu’amalah dengan orang yang lebih banyak harta haram padanya dan tidak dapat dipastikan yang diambil dari hartanya itu adalah ‘ain haram, maka tidak haram jual beli dengannya. Karena masih memungkinkan halal dan tidak ada kepastian haram. Namun demikian, sikap tersebut adalah makruh karena kuatir jatuh dalam haram.[1]









[1] Al-Suyuthi, al-Asybah wan- Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 54