Renungan

Selasa, 27 Februari 2018

Komentar sedikit tentang wahdatul wujud

1.    Seandainya wahdatul wujud diartikan tidak ada wujud kecuali wujud Allah yang wajib wujub dan sedangkan selain Allah adalah ‘adam semata-mata (tidak ada wujud sama sekali) dari semua sisi, ini jelas bertentangan akal sehat dan kenyataan pada kasat mata. Allah Ta’ala sendiri berfirman melalui wahyu-Nya bahwa Dia telah menciptakan selain-Nya dari tiada kepada ada. Karena itu tidak heran, kita diajarkan dari kecil bahwa wujud ada dua, wujud qadim dan wujud baharu. Hanya orang gila yang mencoba mengingkarinya dan ini kufur karena mengingkari sharih firman Allah Taala yang menegaskan ada wujud selain-Nya.
2.    Seandainya wahdatul wujud diartikan wujud Allah merupakan wujud kulliy (mutlaq) yang universal dan abtraks (hanya wujud pada zihin/alam pikiran seseorang), yang tidak wujud pada kharij (kenyataan), kemudian wujud ini hanya dhahir dan nyata pada alam seperti pada manusia dan lainnya, lalu dikatakannya pada hakikatnya alam ini adalah satu, yaitu Allah, maka ini juga kufur secara sharih. Karena mengingkari wujud Allah pada kharij, karena Allah wujud, bukan hanya wujud dalam pikiran semata.
3.    Seandainya wahdatul wujud diartikan Allah Taala wujud pada kharij, bukan wujud pada alam pikiran saja, akan tetapi wujud Allah tersebut dhahir pada alam nyata ini seperti pada manusia, maka ini termasuk akidah mujassimah yang mengi’tikad Allah Ta’ala menempati tempat (hulul) dan ittihad  (penyatuan) yang ijmak ulama mengingkarinya.
4.    Seandainya wahdatul wujud diartikan, tatkala wujud baharu ini bukan merupakan wujud dengan sendirinya (bukan wujud bizatihi), akan tetapi wujud dengan sebab diciptakan dan kekalnya dengan sebab dikekalkan, maka pada tinjauan ini, dikatakan  wujud baharu tidak berwujud, karena wujudnya bersumber dari wujud yang wajib wujud dengan sendirinya (wujud bizatihi). Karena itu, pada hakikatnya hanya Allahlah yang mempunyai wujud. penjelasan ini shahih, akan tetapi menggunakan lafazh wahdatul wujud dengan makna ini dikuatirkan tidak akan diikuti oleh kebanyakan awam kaum muslim. Karena maknanya khilaf dari dhahir lafazh wahdatul wujud. Berdasarkan ini, setidaknya menjadi makruh menggunakan lafazh wahdatul wujud, bahkan dapat menjadi haram menggunakannya apabila diyakini atau ada dugaan kuat akan muncul pemahaman mengikuti makna dhahirnya. Ini tentu bukan akhlaq seorang sufi yang tega menjerumuskan orang awam dalam kekufuran
5.    Seandainya wahdatul wujud diartikan dimana saat seorang sufi yang ‘arif tenggelam dalam dzuq dan laut ma’rifah tidak ada penyaksian bagi dirinya kecuali zat wajibul wujud yang azali dan sedangkan keadaan sufi tersebut pana’ dengan dirinya dan fana dengan kefanaannya, maka ini bukan wahdatul wujud, akan tetapi wahdatul syuhud (kesatuan dalam penyaksian).
Wassalam


2 komentar:

  1. Mf sebelumnya Tgk diluar topik diatas, numpang tanya Tgk, bagaimana hukumnya kotoran/tahi Laba-laba atau serangga sejenisnya, najis atau tidak,, saya baca di internet bahwa kalau hewan yg tidak mengalir darahnya maka bangkai beserta kotorannya tidak bernajis, sementara yg kami ketahui waktu pengajian dikampung kotoran laba2 hukumnya najis, akibatnya isteri sy hampir tiap hari mensucikan kotoran laba yg jatuh dilantai rumah, kebetulan dirumah yg kami sewa bnyak sarang laba2 yg sudah berusaha kami bersihkan namun tetap ada,, trims atas jawaban Tgk,,,

    BalasHapus
  2. askm,
    pak kiai mohon pertanyaannya,
    apakah konsep wahdatul wujud yg dilontarkan terhadap Ibnu Arobiy??

    BalasHapus